Apa Yang Anda Ketahui Tentang Thaghut?

Thaghut

Thaghut adalah istilah dalam agama Islam yang merujuk kepada setiap yang disembah selain Allah yang rela dengan peribadatan yang dilakukan oleh penyembah atau pengikutnya, atau rela dengan ketaatan orang yang menaatinya dalam melawan perintah Allah. Apa yang anda ketahui tentang thaghut?

Secara bahasa, kata thagut diambil dari kata yang artinya melampaui batas. Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya ketika air melampaui batas, Kami bawa kalian di perahu.” (QS. Al-Haqqah:11)

Secara istilah syar’i yaitu sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah : thagut adalah segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melebihi batasannya, baik itu sesuatu yang diibadahi, diikuti, atau ditaati.

Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah menjelaskan bahwa thagut ada banyak. Thagut yang paling besar ada lima : iblis –semoga Allah melaknatnya-, siapa saja yang dijadikan sesembahan dan dia ridho, barangsiapa yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya, barangsiapa yang mengetahui tentang ilmu ghaib, dan barangsiapa yang berhukum dengan hukum selain yang Allah turunkan.

Pertama, Iblis laknatullah

Iblis merupakan pimpinan thagut. Mengapa? Karena dia diibadahi, diikuti, dan sekaligus ditaati dan dia ridho dengan perbuatan tersebut. Allah Ta’ala berfirman :

“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan (iblis)? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu “ (QS. Yasin:60)

Kedua, Barangsiapa yang disembah selain Allah dan dia ridho.

Semua yang ridho dijadikan sesembahan selain Allah maka dia termasuk thagut, baik disembah ketika masih hidup maupun sesudah matinya. Dia ridho untuk dijadikan sesembahan dengan bentuk ibadah apapun. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“Dan barangsiapa di antara mereka mengatakan: “Sesungguhnya Aku adalah Tuhan selain Allah”, maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim “ (QS. Al Anbiya’:29)

Tidak termasuk thagut seseorang yang dijadikan sesembahan dan dia tidak ridho dengan penyembahan tersebut. Misalnya seseorang yang menyembah Isa ‘alaihis salam, maka orang tersebut telah menyembah thagut. Namun Isa ‘alaihis sallam bukanlah thagut karena dia tidak ridho dengan penyembahannya tersebut, bahkan beliau mengingkarinya.

Ketiga, Barangsiapa yang menyuruh manusia untuk menyembah dirinya.

Barangsiapa yang menyuruh manusia untuk menyembah dirinya dengan jenis ibadah apapun baik ketika dia masih hidup maupun sudah mati maka dia termasuk thagut. Sama saja baik ada orang yang mau mengikuti seruannya maupun tidak. Thagut jenis ketiga ini lebih parah daripada yang kedua karena dia menyuruh dan mengajak orang untuk menyembah dirinya.

Hal ini seperti perbuatan Fir’aun yang Allah kisahkan dalam Al Qur’an :

“ (Fir’aun) berkata:”Akulah tuhanmu yang paling tinggi “ (QS. An Nazi’at:24)

Termasuk juga perbuatan para ulama sufi yang memerintahkan pengikutnya untuk beribadah kepada dirinya.

Keempat, Barangsiapa yang mengaku mengetahui ilmu ghaib.

Barangsiapa yang mengaku mengetahui ilmu ghaib yang mutlak maka dia termasuk thagut. Tidak ada yang mengetahui ilmu ghaib yang mutlak kecuali hanya Allah semata. Yang dimaksud ilmu ghaib yang mutlak adalah perkara-perkara ghaib yang hanya diketahui oleh Allah saja, seperti ilmu tentang umur dan ajal seseorang, ilmu tentang hari kiamat, ilmu tentang nasib seseorang di akherat, dan sebagainya. Allah Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya hanya di sisi Allah sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok . Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengetahui” (QS. Luqman:34)

“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. “ (QS. An Naml:65).

“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. “ (QS. Al Jin 26-27)

Maka termasuk thagut jenis ini adalah para dukun, paranormal, dan tukang sihir yang mengaku mengetahui ilmu ghaib.

Kelima, Barangsiapa yang berhukum dengan hukum selain Allah.

Terdapat perincian permasalahan tentang berhukum dengan hukum selain Allah. Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata, “Orang yang berhukum dengan hukum selain yang Allah turunkan ada empat keadaan:

  • Orang yang mengatakan, “Saya berhukum dengannya karena lebih baik daripada syari’at Islam”, maka hukumnya kufur akbar.

  • Orang yang mengatakan, “Saya berhukum dengannya karena hukum tersebut sama/setara dengan syari’at Islam, maka berhukum dengannya boleh dan berhukum dengan syari’at (Islam) juga boleh”, maka hukumnya juga kufur akbar.

  • Orang yang mengatakan, “Saya berhukum dengannya sedangkan berhukum dengan syari’at Islam lebih afdhol, akan tetapi boleh berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan”, maka hukumnya juga kufur akbar.

  • Orang yang mengatakan, “Saya berhukum dengannya” . Namun dia meyakini bahwa tidak boleh berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan, dan dia menyatakan bahwa berhukum dengan syari’at Islam lebih afdhol serta tidak boleh berhukum dengan selainnya, akan tetapi dia bermudah-mudah dan meremehkan (dalam melakukan maksiat) atau dia melakukannya karena perintah dari pemerintahnya. Yang demikian ini hukumnya kufur asghar yang tidak mengeluarkannya dari Islam namun termasuk perbuatan dosa besar yang paling besar”

Berikut fatwa yang dikeluarkan oleh Al Lajnah Daimah li Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta pada pertanyaan kesebelas dari Fatwa No 5741.

Pertanyaan : Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, apakah dia seorang muslim atau kafir dengan kufur akbar? Dan apakah diterima amal perbuatannya?

Jawab: Segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya.

Allah Ta’ala berfirman :

“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al Maidah:44)

“Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim” (QS. Al Maidah:45)

“Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik“ (QS. Al Maidah:47)

Jika orang tersebut menghalalkan berhukum dengan hukum selain Allah dan meyakini kebolehannya, maka dihukumi kafir akbar, zalim akbar, dan fasik akbar yang mengeluarkannya dari Islam. Adapun jika dia melakukannya karena untuk menyuap atau maksud lainnya, sementara dia meyakini haramnya berhukum dengan hukum selain Allah, maka dia telah berbuat dosa dan dihukumi kafir asghar, zalim asghar, dan fasik asghar yang tidak mengeluarkannya dari Islam. Inilah yang dijelaskan oleh para ulama tentang tafsir ayat-ayat di atas. (Dikeluarkan oleh Komisi Penelitian Ilmiah dan Penerbitan Fatwa : Abdullah bin Ghudayan, Abdur Razzaq ‘Afifi, ‘Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baaz).

Maka, penting untuk diketahui bahwa berhukum dengan hukum selain Allah tidak otomatis dihukumi kafir dan tidak serta merta pelakunya keluar dari Islam.

Penyebutan lima gembong thagut di atas tidak membatasi bahwa thagut terbatas hanya lima saja. Namun yang disebutkan hanya sekedar contoh thagut yang paling banyak saja.

Kewajiban Kufur Terhadap Thagut

Dalam surat Al Baqarah 256 di atas Allah memerintahkan untuk kufur terhadap thagut. Yang dimaksud kufur terhadap thagut mencakup tiga makna :

  • Meyakini batilnya peribadatan kepada selain Allah
  • Meninggalkan dan membenci peribadatan kepada selain Allah
  • Mengkafirkan pelakunya dan membencinya.

Kufur terhadap thagut termasuk salah satu makna dari rukun Laa ilaaha illallah yaitu menafikan peribadatan selain Allah. Firman Allah merupakan peniadaan peribadatan selain Allah, sedangkan firman-Nya menetapkan bahwa peribadatan hanya untuk Allah semata. Inilah makna Laa ilaaha illallah.

Semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq-Nya kepada kita untuk senantiasa mentauhidkan Allah dan kufur terhadap thagut. Upaya terpenting untuk mendapatkannya adalah dengan senantiasa mempelajari dan mengamalkan tauhid serta menyebarkan dakwah tauhid kepada umat.

Wallahu a’lam.

Kata thaghut berasal dari akar kata thagha yang secara bahasa berarti melampaui batas, berbuat sewenang-wenang, kejam atau menindas, melebihi ketentuan yang ada, meninggi dan melampaui batas dalam hal pengingkaran. Kata ini dengan berbagai derivasinya ( isytiqaq ) dalam al-Qur’an diulang sebanyak 39 kali yang tersebar dalam 39 ayat dan 27 surat.

Selain itu, term-term thaghut juga merujuk kepada umat-umat terdahulu yang ingkar kepada Allah dan membangkang terhadap rasul-rasul yang telah dikirim kepada mereka. Misalnya, QS. al-Haqqah/ 69: 11; QS. al-Najm/53: 52, telah menceritakan tentang kaum Nabi Nuh, as QS. Thaha/20:24, 43, 45; QS. al-Nazi’at/ 79: 17, menceritakan tentang kaum Nabi Musa, as dan penguasa pada waktu itu yakni Fir’aun, QS. al-Haqqah/69: 5; QS. al- Syams/91: 11 telah menceritakan tentang kaum Tsamud (Nabi Shaleh, as), yang mendurhaka atau yang senantiasa selalu mendustakan rasul-rasul yang telah diutus Allah kepada mereka.

Identifikasi Kata Thaghut dalam Al-Qur’an

Berikut adalah penggunaan kata thagut didalam Al Quran, yang digunakan sebagai pelajaran bagi manusia untuk menjauhinya.

1. Anjuran untuk tidak mempercayai Thaghut

“Tiada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); kerana sesungguhnya telah nyata kebenaran (Islam) dari kesesatan (kufur). Oleh karena itu, barang siapa yang tidak percayakan thaghut, dan ia pula beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada simpulan (tali agama) yang teguh yang tidak akan putus. Dan (ingatlah), Allah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah/2: 256)

Ayat ini diturunkan di Madinah untuk memberikan peringatan agar (setiap manusia) tidak memaksakan seseorang pun untuk memeluk agama Islam, karena sesungguhnya dalil-dalil dan bukti-bukti yang ada itu sudah demikian jelas, sehingga tidak perlu ada suatu bentuk pemaksaan terhadap seseorang untuk memeluk suatu agama maupun kepercayaan. Tetapi barang siapa yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan dilapangkan dadanya serta diberikan cahaya bagi hati nuraninya, maka ia akan memeluknya. Sebaliknya, mereka yang telah dibutakan hatinya oleh Allah, telah dikunci mati (tertutup) pendengaran dan pandangannya, maka tidak akan ada satu manfaat baginya suatu paksaan maupun tekanan untuk memeluk agama Islam.

Ayat ini mendahulukan penyebutan kufur dan thaghut daripada beriman kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mengesakan Allah haruslah terlebih dahulu dengan menafikan atau melepaskan sesembahan selain-Nya. Manusia harus lepas dari segala thaghut , jangan sampai ketika dia mengaku beriman kepada Allah sementara dalam hatinya masih ada thaghut-thaghut (tuhan-tuhan kecil yang diyakini setara dengan Allah). Sebagaimana contohnya, sebelum mencuci pakaian, kita terlebih dahulu harus merendamnya sejenak guna menghilangkan kotoran dan melembutkan pakaian tersebut.

Maksudnya, kekafiran kepada thaghut didahulukan daripada keimanan kepada Allah. Perbuatan demikian mengandung isyarat yang halus bahwa yang pertama kali harus dilakukan ialah membersihkan kalbu dan membuang kepercayaan kepada thaghut yang ada dalam kalbu. Jika kalbu telah kosong dan bersih, maka dapat diisi dengan keimanan. Keimanan tidak akan melekat kecuali jika memilih Allah sebagai pemeliharaannya. Maka, tidak ada seorang pun yang mampu mencabut keimanan yang mengakar ke dalam kalbu dan yang memegang teguh tali agama Allah yang kokoh, (maksud tali di sini adalah iman dan Islam).

Di sini, kita berhadapan dengan suatu gambaran konkrit tentang hakikat perasaan dan hakikat nilai. Sesungguhnya beriman kepada Allah bagaikan berpegang dengan buhul yang amat kuat, yang tidak akan lepas apalagi putus. Orang yang berpegang dengan buhul (agama Allah) ini tidak akan tersesat. Iman itu sendiri pada dasarnya adalah mengikuti jalan yang benar yang mengantarkan seseorang kepada kebenaran pertama yang berada di balik wujud ini yaitu Allah yang merupakan satu-satunya kebenaran yang absolute .

Inilah hakikat agama Islam, karena Islam maknanya ialah merupakan penyerahan diri kepada Allah, semata- mata yang disertai dengan kepatuhan mutlak kepada-Nya. Ibadah juga berarti segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin, yang dicintai dan diridhai Allah. Dan suatu amal diterima oleh Allah sebagai suatu ibadah apabila diniati dengan ikhlas, semata-mata karena Allah; dan mengikuti tuntunan Rasulullah.

2. Thaghut menuntun manusia dari cahaya keimanan kepada kekufuran

“Allah merupakan Pelindung (Yang Maha mengawal dan menolong) bagi setiap orang-orang yang beriman. Ia menuntun mereka dari kegelapan (kekufuran) kepada cahaya (keimanan). Dan bagi setiap orang-orang yang kafir, penolong-penolong mereka ialah thaghut (pelanggar batas) yang mana telah menuntun mereka dari cahaya (keimanan) kepada kegelapan (kekufuran). Mereka itulah para ahli neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah/2: 257)

Konteks ayat ini menggambarkan suatu kehidupan tentang jalan yang benar dan jalan yang sesat. Serta menggambarkan bahwa Allah merupakan pemimpin bagi setiap orang- orang beriman yang menunjuki mereka jalan yang benar. Sementara bagi setiap orang-orang kafir, pemimpin mereka adalah thaghut yang menuntun mereka kepada kekafiran.

Oleh karena itu Allah menjadikan kata al-nur sebagai kata mufrad (tunggal) dan menjadikan kata al-zhulumat sebagai kata jama’ , karena kebenaran itu hanyalah bersifat satu atau tunggal ( al- haq min rabb ) sedangkan kekufuran tersebut telah jelas mempunyai beraneka jenis-jenis yang beragam yang mana dari semuanya itu bersifat bathil, salah satunya yakni thaghut .

Dalam ayat ini, Allah menyebutkan kalimat thaghut dalam bentuk tunggal/ mufrad untuk mubtada’ dalam bentuk majemuk yaitu awliya . Para pelindung/ awliya tersebut disifati dengan mufrad ( thaghut ) karena walaupun para pelindung itu beraneka ragam, tapi hakekatnya mereka satu. Misi mereka, yakni mengeluarkan manusia dari cahaya keimanan menuju kegelapan (kekufuran).7 Mengapa Allah tidak membuat redaksi thaghut dengan majemuk, yakni thawaghit / para thaghut ? sebab kata ini sekalipun bentuknya tunggal tapi dapat dipergunakan untuk menunjukkan arti jamak .

Semua ini karena cahaya keimanan adalah bersifat tunggal dalam hakikat dan substansinya, sedang kekufuran beraneka ragam bentuk dan rupanya. Cahaya iman, apabila telah meresap ke dalam kalbu seseorang, maka cahaya itu akan menerangi jalannya, dan dengannya ia akan mampu menangkal segala macam bentuk kegelapan, bahkan dengannya ia mampu menjangkau sekian banyak hakikat dalam perjalanan hidupnya.

Sebagai firman Allah berikut ini:

“Dan bahwasanya (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang yang lurus maka ikutilah dia olehmu; Dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lainnya),karena niscaya kalian akan terpisah jauh dari jalan yang diridhoi Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kamu agar kalian bertakwa.” (QS. al-An’am/6: 153)

Karena perwalian Allah telah diganti dengan perwalian thaghut , niscaya mereka kembali kebathilan. Kita akan dapat pula merasakan suasana kekufuran tersebut, dalam satu negeri yang di dalam statistik di sebut daerah Islam, tetapi pimpinan mereka adalah thaghut . Maka yang memimpin langsung orang yang beriman adalah Allah. Lain halnya dengan orang yang tidak beriman, pemimpin mereka adalah thaghut , yaitu sekalian pemimpin yang akan membawa keluar dari batas yang ditentukan Allah. Telah ditegaskan lagi adanya perwalian dari syaithan , sumber yang asli dari segala macam thaghut.

Sebaliknya, orang-orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan sebagian menjadi wali dari sebahagiaan yang lain; menyuruh berbuat amar ma’ruf nahi mungkar , mendirikan sholat dan mengeluarkan zakat, serta ta’at kepada Allah dan Rasul- Nya seperti telah digambarkan dalam QS. al-Taubah/9: 71, dikuatkan dengan QS. al-Anfal/8: 72, bahwa orang yang beriman sanggup hijrah, dan sanggup pula berjuang (jihad). Begitulah luasnya daerah yang tercakup dalam kalimat wali tersebut, meliputi wali Allah maupun wali thaghut.

Merujuk pembahasan di atas, dapatlah di mengerti bahwa manusia yang menjual kebebasan jiwanya kepada thaghut ada bermacam-macam bentuknya. Setengah menyembah berhala, setengah menyembah para penguasa yang dipandang sebagai pemimpin kemudian mereka menggantungkan nasib kepadanya, dan setengahnya lagi menyembah kepada benda-benda yang dianggap dapat mendatangkan keuntungan.

3. Mempersekutukan Allah dengan mengimani Jibt dan Thaghut

“Tidakkah engkau perhatikan (dan merasa pelik wahai Muhammad) kepada orang-orang yang telah diberikan sebahagian dari Kitab (Taurat)? Mereka percaya kepada benda-benda yang disembah selain dari Allah, dan kepada thaghut, dan mereka pula berkata kepada orang-orang kafir (kaum musyrik di Makkah) bahwa mereka (kaum musyrik itu) lebih benar jalan agamanya daripada orang-orang yang beriman (kepada Nabi Muhammad)”.(QS. al-Nisa’/4: 51)

Surat al-Nisa’ ini diturunkan di Madinah. Menurut Hamka, ayat ini menerangkan mengenai setengah orang yang mendapat bahagian dari kitab, yaitu kitab Taurat atau Injil atau kitab dari para nabi yang dahulu. Ada di kalangan mereka tersebut yang percaya kepada jibt dan thaghut . Ayat ini mengisahkan kembali perbuatan orang-orang Yahudi yang telah diberi kitab, telah memahami dan mendalami isi kitab yang pada dasarnya menyeru berbakti dan menyembah kepada Allah, namun mereka masih juga bersujud dan menyembah berhala dan mempersekutukan Allah. Hal ini juga secara tak langsung merupakan kutukan kepada mereka dan pemberitahuan bahwa mereka tidak akan ditolong di dunia dan di akhirat.

Sesungguhnya orang-orang yang diberi bagian dari Kitab Suci semestinya lebih layak mengikuti kitab tersebut, lebih layak mengingkari kemusyrikan yang dianut orang-orang yang tidak memberlakukan kitab Allah di dalam kehidupan mereka, dan tidak mengikuti thaghut . Akan tetapi, kaum Yahudi pada waktu yang sama mengikuti kebathilan dan kemusyrikan dengan mengikuti jibt .

Mereka beriman kepada hukum yang tidak didasarkan pada syari’at Allah. Hukum semacam ini termasuk dalam bahagian thaghut karena merupakan tindakan melampaui batas- karena memberikan kepada manusia salah satu hak prerogatif uluhiyah , yaitu hak hakimiyah “membuat hukum”-dan tidak berpedoman pada hukum-hukum yang telah disyari’atkan Allah. Maka, hukum dan tindakan semacam itu termasuk bahagian yang telah melampaui batas. Hal ini termasuk dalam prilaku thaghut dan orang-orang yang tidak mengikutinya adalah musyrik atau kafir. Di samping beriman kepada jibt dan thaghut, mereka juga berpihak kepada barisan kaum musyrik dan kaum kafir untuk menentang kaum mukmin yang juga diberi Kitab Suci oleh Allah.

Pada ayat ini terdapat dua perkataan sebagai kepercayaan mereka, pertama jibt dan kedua thaghut . Jibt dapat dikatakan dengan kesesatan sedangkan thaghut sebagaimana dibahas sebelumnya, berumpun dari kata thaghiyah (thughyan) diartikan dengan kesewenang-wenangan, melampaui batas khususnya kepada manusia yang telah lupa atau sengaja keluar dari batasnya sebagai insan, lalu mengambil hak Tuhan atau manusia itu dianggap Tuhan oleh yang mempercayainya. Maka segala pemujaan kepada manusia hingga mendudukkannya menjadi seperti Tuhan, meskipun tidak diucapkan dengan secara langsung tetapi bertemu dengan perbuatan, termasuklah dalam makna ini.

Adanya campur aduk dalam aqidah orang Yahudi, meskipun orang-orang Yahudi tersebut beriman kepada Tuhan dan mereka memiliki kitab samawi, namun mereka juga beriman kepada jibt dan thaghut yakni berhala. Hal ini terlihat jelas dari perkataan sebagian pembesar- pembesar mereka yakni, Ka’ab ibn Asyraf dan Huyay ibn Akhtab, dengan dalil QS. al-Nisa’/4: 60 di atas, dan perkataan mereka terhadap orang-orang kafir Quraisy, bahwasanya orang-orang kafir Quraisy tersebut lebih benar petunjuknya daripada orang-orang yang beriman terhadap Muhammad, sebagaimana telah dijelaskan pada Asbab al-Nuzul ayat ini.

4. Mereka yang berhukum kepada Thaghut

“Tidakkah engkau melihat (wahai Muhammad) orang-orang (munafik) yang mendakwa bahawa mereka telah beriman kepada Al-Quran yang telah diturunkan kepadamu dan kepada (Kitab-kitab) yang telah diturunkan dahulu daripadamu? Mereka suka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan supaya kufur ingkar kepada thaghut itu. Dan syaithan pula sentiasa hendak menyesatkan mereka dengan kesesatan yang amat jauh”. (QS. al-Nisa’/4: 60)

Islam merupakan agama yang benar, adil dan memperhatikan persamaan, ia membawa ajaran-ajarannya yang luas dan menyeluruh kepada keadilan di antara semua makhluk, tak seorang pun diperlakukan secara zhalim karena kelemahan dan ketidak-berdayaannya, hak manusia tidak boleh dilanggar, bila dengan alasan karena mereka bukan orang muslim dan bukan orang beriman. Karena Islam adalah agama Allah yang abadi, yang menghargai hak orang kecil dan orang besar, yang memerintahkan untuk menyerahkan amanat kepada orang yang berhak menerimanya, tanpa harus melihat apakah yang bersangkutan orang muslim atau non-muslim, tidak boleh ada kezhaliman dan peniadaan hak manusia, siapapun dia.

Ayat ini juga merupakan pengingkaran Allah terhadap orang-orang yang mengaku beriman kepada apa yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada para nabi yang terdahulu. Walaupun pengakuannya demikian, tetapi mereka dalam waktu yang sama tetap hendak berhakim kepada selain Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya dalam hal-hal yang mereka pertentangkan dan perselisihkan, sebagaimana telah yang disebutkan dalam sebab turunnya ayat ini. Akan tetapi, kandungan ayat ini sebenarnya lebih umum dari itu. Karena ayat ini adalah merupakan celaan bagi orang- orang yang berpaling dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan malah meminta keputusan kepada selain keduanya yang merupakan kebathilan. Kebathilan itulah yang dimaksud dengan thaghut di sini.

Di sini di dalam ayat ini kata “ thaghut ” bermakna sebagai orang yang selalu banyak berbuat sewenang-wenang dalam mengambil keputusan, yakni tertuju pada Ka’ab bin al-Asyraf dan Abu Barzah al-Aslami. Al-Kilabi meriwayatkan dari ibn ‘Abbas r.a,17: ayat ini turun kepada orang munafik yang berselisih dengan orang Yahudi namun mereka hendak berhakim kepada hakim-hakim Jahiliyah ( thaghut ), Lalu orang Yahudi tersebut itu berkata: “mari kita pergi ke Nabi Muhammad”. Namun orang munafik itu berkata: tidak, tetapi mari kita datang kepada Ka’ab bin al- Asyraf. Dialah orang yang disebut Tuhan sebagai thaghut. Namun orang Yahudi itu menolaknya. Dia tetap untuk mengadukan permasalahannya kepada Rasulullah saw.

Ketika orang munafik melihat hal tersebut (keinginan yang kuat orang Yahudi itu), akhirnya dia bersama dengan orang Yahudi tersebut datang kepada Rasulullah saw dan mereka berdua mengadukan perselisihan yang terjadi kepada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw memutuskan untuk orang Yahudi itu yang benar. Ketika mereka berdua keluar, orang munafik itu tidak terima dengan keputusan yang didengarnya, dan tetap mengikuti orang Yahudi tersebut dan berkata: mari kita pergi ke Umar bin Khattab ra.

Kemudian mereka mendatangi Umar bin Khattab ra, lalu orang Yahudi itu berkata; saya dan dia telah mengadukan masalah ini kepada Nabi Muhammad dan Ia (Nabi Muhammad) telah memutuskannya, namun dia (orang munafik) tetap tidak mau menerima keputusan itu. Dia tetap menahan saya dan mengajak untuk mengadukannya kepadamu. Karena itu, saya datang kepadamu bersamanya. Lalu Umar bin Khattab ra berkata kepada orang munafik itu: apakah memang begitu? orang munafik itu menjawab: ya. Kemudian Umar ra berkata kepada keduanya: tunggu sebentar sampai saya kembali lagi kepadamu. Lalu Umar ra pun masuk dan mengambil pedang kemudian membawanya. Dan umar keluar kembali menemui kedua orang itu. Kemudian Umar ra memukul orang munafik dengan pedang tersebut sampai mati.

Maka, turunlah ayat ini. Dan jibril as, pun berkata: sesungguhnya Umar ra, adalah orang yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Karena itulah Umar ra dijuluki al-Faruq. Imam Ibn Jarir al-Thabari berpendapat bahwa ayat ini turun kepada orang Munafik dan Yahudi. Pada dasarnya mencela orang-orang yang berpaling atau berpindah dari hukum Allah dan Sunnah Rasulullah saw kepada kebathilan selain keduanya, kebathilan itulah yang disebut dengan thaghut.

Dengan demikian bahwa semua yang dibuat oleh para thaghut berupa undang-undang dan peraturan untuk kehidupan manusia dan pemerintahan mereka di pandang oleh agama Islam sebagai hal yang bathil secara mendasar, tidak mengikat siapapun, bahkan bagi manusia berkeharusan menentang semua itu dan dituntut agar berupaya menghapusnya. Allah menegaskan dalam satu kecaman terhadap orang- orang yang membuat undang-undang sendiri untuk mengatur kehidupan :

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (QS. al-Syura/42: 21)

Sayyid Quthb menjelaskan, tidak seorang pun di antara manusia yang berhak membuat aturan selain di gariskan oleh Allah dan telah diberi wewenang untuk itu. Hanya Allah sendiri yang membuat undang-undang untuk para hamba-Nya, sebab Dialah pencipta dan pengatur alam ini dengan hukum-hukum universal. Dan kehidupan manusia tidak lebih dari bagian kecil dalam perputaran roda jagat raya ini. Oleh sebab itu seharusnya kehidupan manusia ini diatur oleh undang-undang yang bersesuaian dengan hukum-hukum universal itu. Yang demikian itu akan terwujud kecuali ketika Allah Yang Maha Meliputi mensyari’atkan dengan hukum-hukum itu. Semua pembuat undang-undang tidak ada yang sempurna selain Allah. Oleh sebab itu perundang-undangan buatan manusia tidak dapat diandalkan dengan adanya kekurangan tersebut.

Kendati demikian jelasnya realitas ini, masih banyak juga yang memperdebatkan syari’ah atau tidak puas dengannya. Mereka berani membuat perundang-undangan di luar ketentuan dari Allah dengan anggapan bahwa mereka memilih yang terbaik bagi bangsa mereka. Mereka mencari dalih dengan adanya kondisi obyektif dan perundang-undangan yang mereka buat sendiri. Seolah mereka merasa lebih mengetahui dan lebih bijaksana dari

Allah, atau seolah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang telah membuat undang-undang untuk mereka yang tidak diizinkan oleh Allah. Kiranya tidak ada yang lebih durhaka terhadap Allah daripada hal yang demikian itu.

5. Mereka (orang-orang kafir) berperang di jalan Thaghut

“Orang-orang yang beriman, berperang pada jalan Allah; dan bagi orang-orang yang kafir pula berperang pada jalan thaghut (syaithan). Oleh sebab itu, perangilah kamu akan pengikut-pengikut syaithan itu, kerana sesungguhnya tipu daya syaithan itu adalah lemah”. (QS. al-Nisa’/4: 76)

Ayat di atas memaparkan bahwa orang-orang yang beriman bersandar kepada perlindungan dan penjagaan serta pemeliharaan Allah, sedang orang- orang kafir bersandar kepada perlindungan setan dengan macam- macam benderanya, manhaj, syari’at, jalan, tata nilai dan norma-nya-yang semuanya adalah ikhwan syaithan . Allah memerintahkan bagi setiap orang-orang yang beriman supaya senantiasa memerangi ikhwan syaithan tersebut, serta supaya jangan takut terhadap tipu daya mereka.

Jadi thaghut tersebut apakah dia syaithan ?, atau apakah dia suatu tindakan yang sewenang-wenang yang dapat menjerumuskan pada kesesatan atau kezaliman?, atau tindakan yang cenderung membawa seseorang pada kesesatan dan menjauhkannya pada syari’at tuhan atau sesuatu yang diimani akan menyebabkan seseorang keluar dari kebenaran?, keseluruhan dari soalan di atas ini adalah benar dan semua ini pun merupakan salah satu klasifikasi bagian dari thaghut itu sendiri.

Sifat thaghut mencakup seluruh apa yang jauh dari Allah dan menghalangi jalan-Nya serta menentang syari’at-Nya. Di sini kaum munafik mendengarkan nasehat yang disampaikan oleh kaum mukmin untuk mengikuti Allah dan Rasul-Nya, tetapi mereka tetap berjalan pada jalan thaghut . Setiap kali mereka melangkah maka kesesatan akan menguasai, sehingga mereka menempuh jarak yang jauh dalam jalan yang membingungkan. Mereka telah banyak mendengar nasehat yang disampaikan kepada mereka.

Jadi inti dari ayat ini, bahwa orang- orang yang beriman berperang dalam rangka ketaatan kepada Allah, sedangkan bagi orang-orang kafir berperang dalam rangka ketaatan kepada thaghut. Dan Allah juga telah memotivasi kaum mukmin agar senantiasa memerangi setiap pengikut- pengikut thaghut tersebut, dan bahwasanya tipudaya thaghut sangatlah lemah. Pada ayat lanjutan diperintahkan kepada orang yang beriman, hendaklah perangilah wali-wali syaithan tersebut.

6. Ganjaran Allah bagi mereka yang menyembah Thaghut

“Katakanlah: “Maukah, aku khabarkan kepada kamu tentang yang lebih buruk balasannya di sisi Allah daripada yang demikian itu? Ialah orang- orang yang dilaknat oleh Allah dan dimurkai-Nya, dan orang-orang yang dijadikan di antara mereka sebagai kera dan babi, dan penyembah thaghut. Mereka inilah yang lebih buruk kedudukannya dan yang lebih sesat dari jalan yang betul (lurus)”. (QS. al- Maidah/5: 60)

Surat al-Maidah ini diturunkan di Madinah. Pada ayat ini diterangkan mengenai orang yang akan mendapat ganjaran yang sangat buruk di sisi Allah, yaitu tentang kemurkaan dan kutukan Allah terhadap orang-orang yang terdahulu yang berbuat fasik sehingga dijadikan setengah dari mereka menyerupai kera dan babi dan penyembah thaghut.

Maksud dari ayat ini, maukah aku akan beritahukan kepada kalian tentang pembalasan yang lebih buruk di sisi Allah pada hari kiamat kelak, yang kalian menganggap bahwa pembalasan itu akan ditimpakan kepada kami? Ataukah (siksa itu akan menimpa) kalian, yang mana kalian telah disifati dengan sifat- sifat berikut, yaitu yang dijauhkan dari rahmat-Nya, dan dimurkai setelah itu tidak akan diridhai untuk selamanya.

Abduh menjelaskan bahwa makna thaghut atau thughyan di sini, mengandung makna dari segala sumber yang telah melewati batas dari ketentuan yang telah ditetapkan dan cenderung membawa kepada kebathilan serta kemungkaran. Jadi penghambaan kepada thaghut merupakan suatu ketaatan dari seorang hamba dengan orang yang diagungkannya, baik itu yang menyuruhnya untuk melakukan suatu perintah dan pelarangan akan sesuatu hal yang harus ditaati. Hal ini suatu kenyataan bahwa mereka hidup dalam kesesatan, karena mereka senantiasa mempengaruhi orang lain pada hal-hal kejelekan serta menjerumuskan pada kesesatan.

Abu Hayyan dalam tafsirnya al-Bahr al-Muhith , mengambil pendapat Zamakhsyari, mengatakan bagaimana bisa Allah menjadikan diantara mereka menjadi hamba-hamba thaghut, disebabkan dua hal, yakni:

  • Pertama , Allah tidak memberi pertolongan/ menelantarkan seluruh hamba- hambanya sehingga mereka menyembah kepada-Nya serta meninggalkan penyembahan thaghut.

  • Kedua, Sesungguhnya mereka divonis telah mempunyai sifat-sifat seperti itu.

Intinya segala apa yang terjadi terhadap para pembangkang itu merupakan peringatan yang sangat berharga untuk dihindari oleh mereka yang tidak ditimpa sanksi tersebut, baik yang hidup ketika itu maupun generasi selanjutnya. Sekaligus ia merupakan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Sekali lagi, apakah perubahan bentuk secara hakiki atau bentuk jasmani mereka yang diubah atau bukan, dewasa ini tidaklah terlalu penting untuk dibuktikan. Yang pasti adalah akhlak mereka dan cara berpikir mereka tidak lurus dan tidak sesuai dengan kaidah moral agama.

Allah telah memberikan pengarahan kepada Rasul-Nya supaya menghadapi Ahl Kitab dengan mengemukakan sejarah ini beserta balasan Allah yang mereka dapatkan sepanjang sejarahnya. Hal ini seakan-akan mereka sebuah generasi karena karakteristik mereka sama. Allah memberi pengarahan kepada Rasulullah saw supaya mengatakan kepada mereka bahwa sikap demikian tersebut dapat akan berakibat fatal. Yakni lebih buruk daripada siksaan, tipu daya, dan gangguan orang-orang Ahl Kitab terhadap kaum muslimin disebabkan keimanan mereka. Apalah arti siksaan manusia yang lemah dibandingkan dengan siksaan dan azab dari Allah? Allah menghukumi Ahl Kitab itu sebagai orang yang buruk dan sesat jalannya.

7. Perintah menyembah Allah dan menjauhi diri dari penyembahan Thaghut

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus dalam kalangan tiap-tiap umat seorang Rasul (dengan memerintahkannya menyeru mereka): “Hendaklah kamu menyembah Allah dan jauhilah thaghut “. Maka di antara mereka (yang menerima seruan Rasul itu), ada yang diberi hidayah petunjuk oIeh Allah dan ada pula yang berhak ditimpa kesesatan. Oleh itu mengembaralah (berjalanlah) kamu di bumi, kemudian lihatlah bagaimana buruknya kesudahan umat- umat yang mendustakan Rasul- rasulnya”. (QS. al-Nahl/16: 36)

Surat al-Nahl ini diturunkan di Makkah. Ayat ini menjelaskan mengenai pokok utama tugas dari seorang Rasul jika dia diutus oleh Allah kepada suatu umat sesuai dengan Sunnatullah , ialah supaya menyeru, mendakwah kepada seluruh umat tersebut menyembah kepada Allah dan menjauhkan diri dari penyembahan thaghut.

Allah tidak menginginkan perbuatan syirik dari hamba-hamba-Nya dan tidak meridhai mereka untuk mengharamkan apa yang telah dihalalkan-Nya dari segala hal kebaikan. Iradah -Nya ini telah termaktub dalam syari’at-Nya melalui lisan para rasul yang hanya dibebankan menyampaikan dakwah kepada seluruh manusia.

Sesungguhnya iradah sang Pencipta Yang Maha Bijaksana menginginkan penciptaan setiap manusia dengan segala kesiapannya untuk menerima petunjuk atau kesesatan. Dia membiarkan mereka bebas dalam memilih salah satu dari dua jalan di atas, membekali mereka akal pikiran agar ia bisa menentukan dengan akalnya itu salah satu di antara dua pilihannya. Namun, hal itu setelah Allah memperlihatkan ayat-ayat petunjuk-Nya di seluruh jagat raya yang bisa dijangkau oleh mata, telinga, hati dan akal manusia-kapan saja pekatnya malam dan gemilaunya cahaya siang berputar.

Kemudian rahmat Allah berkehendak kepada hamba-hamba- Nya agar tidak membiarkan mereka mengandalkan akalnya semata. Maka, Dia meletakkan bagi akal itu barometer yang kuat ( mizan tsabit ) pada syari’at- syari’at-Nya yang dibawa oleh para Rasul-Nya. Akal akan merujuk ke barometer tersebut setiap kali terasa samar pada urusan manusia di tengah jalan, agar dapat memastikan kebenaran pilihannya atau kekeliruannya melalui mizan tsabit yang tidak akan sirna oleh manisnya dorongan dari hawa nafsu.

Allah juga tidak menjadikan para Rasul-Nya itu sebagai hamba-hamba yang senantiasa menuntun umat manusia agar mereka beriman. Akan tetapi, para Rasul itu dijadikan-Nya hanya sebagai penyampai ( muballigh ) misi-Nya, tidak lebih dari itu. Mereka mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada-nya dan menjauhi setiap selain-Nya seperti berhala-berhala, hawa nafsu, syahwat dan kekuasaan.

Maka ada kelompok yang merespons, dan ada pula kelompok yang enggan untuk merespons malah berpaling ke jalan kesesatan. Kedua kelompok ini sama-sama tidak lepas dari masyiatillah (kehendak Allah) Keduanya sama-sama tidak dipaksakan untuk mendapatkan hidayah atau kesesatan oleh Allah. Hanya saja orang-orang yang menempuh jalan-Nyalah yang akan Allah jadikan iradah -Nya tampak pada akhlaknya setelah Allah bekali mereka rambu-rambu jalan menuju petunjuk, baik yang terdapat pada diri mereka sendiri maupun yang tersebar di setiap ufuk jagat raya ini.

Ketika berbicara mengenai hidayah, secara tegas ayat di atas menyatakan bahwa Allah telah menganugerahkan kepada seluruh manusia, berbeda ketika menguraikan tentang kesesatan. Redaksi yang digunakan pada ayat ini adalah telah pasti atasnya sanksi kesesatan, tanpa menyebut siapa yang menyesatkan. Hal ini mengisyaratkan bahwa kesesatan tersebut pada dasarnya bukan bersumber pertama kali dari Allah, tetapi dari mereka sendiri. Memang di dalam al-Qur’an juga terdapat ayat yang menyatakan bahwa “Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki” , tetapi kehendak-Nya itu terlaksana setelah (manusia) yang bersangkutan sendiri sesat.

“Maka ketika mereka berpaling dari kebenaran, Allah memalingkan hati mereka dan Allah tidak memberi hidayah orang-orang fasik.” (QS. al- Shaf/61: 5)

8. Kabar gembira bagi yang menjauhi diri dari penyembahan Thaghut

“Dan orang-orang yang menjauhi dirinya dari menyembah atau memuja thaghut serta mereka telah kembali taat sepenuhnya kepada Allah, mereka akan beroleh berita yang mengembirakan (sebaik-baik sahaja mereka mulai meninggal dunia); oleh itu sampaikanlah berita tersebut kepada hamba-hambaKu”. (QS. al-Zumar/39: 17)

Surat al-Zumar ini diturunkan di Makkah. Dalam suatu riwayat yang

dikeluarkan oleh Ibn Abi Hatim dari Zaid ibn Aslam, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan 33 (orang–orang yang menjauhkan diri dari thaghut ) dalam ayat ini adalah Zaid ibn ‘Amr ibn Nafil, Abi Dzar al-Ghiffari dan Salman al-Farisi. Mereka ini di zaman Jahiliyah telah mengaku atau berikrar bahwa “tiada Tuhan kecuali Allah ”. Maka kemudian Allah memberikan kabar gembira kepada mereka dengan menurunkan ayat di atas ini.

Ayat di atas ini telah menggabungkan antara menafikan penyembahan thaghut dengan penegasan kepada seluruh manusia tentang kembali kepada Allah. Hal ini mengisyaratkan bahwa sekedar menafikan dan tidak menyembah, belumlah cukup untuk menyelamatkan manusia, tetapi bersama itu haruslah disertai dengan adanya upaya beribadah dan patuh secara murni kepada Allah.35 Lafal thaghut telah menunjukkan pada suatu kepatuhan yang berlebihan hingga menyebabkan orang yang dipatuhi melampaui batas. Jika ditujukan kepada manusia bermakna sangat zalim. Ketika kamu mematuhinya untuk memenuhi kebutuhannya dia semakin angkuh terhadapmu hingga melampaui batas. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an :

“Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” (QS. al- Zukhruf/43: 54)

Tidak ada orang yang langsung melampaui batas dalam berbuat zalim, tetapi kezalimannya itu berakumulasi sehingga pada suatu masa mencapai klimaksnya. Seperti hukum diktator yang bertangan besi, dimulai dari yang kecil dan sederhana. Jika masyarakatnya tahan dan bersabar, peraturan dan undang-undang diktator itu semakin keras hingga akhirnya menjadi thaghut.

Ayat ini juga menerangkan bahwa Allah telah berfirman dengan memberi berita gembira ( busyra ) kepada orang- orang yang meninggalkan persembahan kepada berhala-berhala dan tuhan-tuhan selain Allah dengan kembali kepada jalan yang benar dan lurus, yaitu mengesakan Allah dan melakukan ibadah dan bertakwa hanya kepada-Nya. Allah pun memberi berita gembira ( busyra ) pula kepada hamba-hamba-Nya yang apabila mendengarkan perkataan dan ucapan, mereka menyaringnya lalu mengikuti dan menerima apa yang paling baik dan paling benar. Orang-orang yang demikian itulah yang termasuk golongan ahli pikir yang sempurna.

Sebab itu di dalam surat Thaha ada tersebut bahwa Nabi Musa as, diperintahkan oleh Allah pergi kepada Fir’aun menyampaikan dakwah, di karenakan Fir’aun tersebut telah merasa sangat berkuasa, sebagaimana firman Allah :

“Pergilah kepada Fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas”. (QS. Thaha/ 20: 24)

Dari segala uraian tersebut telah difahamkan bahwasanya orang-orang berkuasa yang sudah tidak memperdulikan lagi peraturan serta ketentuan dari Allah kemudian telah membuat undang-undang sendiri menurut kehendaknya guna memelihara kekuasaannya, dapat dikatakan dengan thaghut . Negara-negara tirani ( thughyan ) yang memuja-muja para pemimpinnya, kepala negara, hingga diberi gelar-gelar yang menyerupai Tuhan, dapat juga digolongkan menjadi bahagian dari thaghut.

Bila menilik dari kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang disusun oleh para ulama mutaqaddimin , seperti al-Thabari, al-Razi, Ibn Katsir dan lain-lain, thaghut pada umumnya diartikan dengan bersifat berhala atau benda-benda yang dianggap dapat disembah saja. Padahal dalam perkembangan negara-negara di zaman modern, kita terkadang melihat negara-negara itu sendiri telah diberhalakan, kemudian memuja para pemimpin dan sebagainya sehingga mereka tidak sadar dengan secara tidak langsung telah me- nuhan -kan.

Sebagai contoh seperti yang terjadi pada kaum komunis, tidak mengakui akan adanya Tuhan, tetapi disiplin untuk memuja para pemimpin menyebabkan komunis menjadi satu “agama” menyembah tuhan pemimpin. Jerman Nazi memberi gelar pada Hitler “ Der Feuhrer ” yang berarti “pemimpin”. Fascist Italia memberi gelar kepada Musollini “ Il Duce ” yang berarti pemimpin juga (gelar kehormatan kepada Musollini).

Bagaimanapun, tak seorang pun meragukan bahwa seorang tiran ( thughyan ) adalah penguasa tunggal. Sekali kekuasaannya telah berurat akar, seorang tiran ( thughyan ) terang-terangan akan menggunakan teror (ancaman) untuk menyurutkan setiap usaha menggulingkannya. Taktik “memecah belah dan melumpuhkan” digunakan para tiran ( thughyan ) agar ia tetap bertahan pada kekuasaannya. Namun kesudahan hidup dari para pemimpin- pemimpin yang dituhankan tersebut sangatlah menyedihkan. Ada yang mati bunuh diri dan ada juga yang mati dibunuh dengan sangat hina.

Sebab itu maka dengan tuntunan ayat ini, kaum beriman diberi suatu peringatan agar selalu senantiasa menjauhi dari thaghut atau thughyan , dan senantiasa selalu mengingat kepada Allah.

Referensi

Laila Sari Masyhur, Thaghut dalam Al-Qur’an, JURNAL USHULUDDIN Vol. XVIII No. 2, Juli 2012