Teori pilihan Rasional atau Rational choice theory (selanjutnya akan disebut choice theory ) lahir dari semangat positivisme di penghujung abad ke sembilan belas. Di satu sisi ada para filsuf utilitarian yang menginginkan sebuah eksplanasi positif tentang perilaku manusia sebagai sebuah kriteria bagi pembentukan kebijakan publik. Sedangkan di sisi yang lain ada para ekonom pengikut Adam Smith yang ingin memberikan eksplanasi tentang bagaimana sistem ekonomi berbasis self-interest dapat bekerja. Kedua hasrat untuk menjelaskan perilaku manusia ini berujung pada pembentukan indeks atau indikator standar tentang bagaimana konsep rasionalitas mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang.
Teori pilihan Rasional atau Rational choice theory dapat didefinisikan sebagai sebuah eksplanasi tentang bagaimana atau bagaimana seharusnya individu atau kelompok mengambil keputusan. Definisi ini diambil dari buku Choices: An Introduction to Decision Theory (Minnesota University Press, 1987) karya Michael D. Resnik
Perhatikan bagaimana definisi tersebut mendisjungsi ‘bagaimana’ dan ‘bagaimana seharusnya’. Jon Elster, di bagian pengantar buku Rational Choice (1986)2, menekankan dua dimensi choice theory : dimensi normatif dan dimensi deskriptif. Dimensi normatif berkaitan dengan ‘bagaimana seharusnya’. Choice theory , sebagai sebuah teori ilmu sosial, dapat memberikan insight tentang apa yang harus kita lakukan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan semaksimal mungkin. Sedangkan dimensi deskriptif berkaitan dengan ‘bagaimana’. Dimensi deskriptif memberikan penjelasan kepada kita bagaimana sebuah pilihan dapat dikatakan rasional.
Kedua dimensi tersebut mengimplikasikan bahwa choice theory memiliki ruang lingkup yang lebih kompleks dari sekedar persoalan pengambilan keputusan. Di dalam studinya, pada akhirnya choice theory sangat berhubungan dengan konsep- konsep abstrak lain seperti: rasionalitas (serta kekurangan dan batasan-batasannya), moralitas, dan preferensi, di mana konsep yang terakhir ini sangat kental berhubungan dengan disiplin ilmu psikologi.
Pembahasan mengenai choice theory ini akan dibagi menjadi tiga bagian pembahasan: rasionalitas, preferensi, dan moralitas.
Rasionalitas
Pertama-tama, suatu tindakan yang dapat dikatakan rasional biasanya berhubungan dengan konsep “cara” atau “sarana” ( means ) dan “tujuan” ( ends ). Suatu pilihan atau tindakan dapat dikatakan rasional jika pilihan/tindakan tersebut merupakan sebuah “cara” terbaik untuk mencapai sebuah “tujuan” yang diinginkan.
Sekali lagi, kedua konsep ini mengimplikasikan dimensi normatif dan deskriptif dari choice theory . Karena dengan menggunakan konsep “cara” dan “tujuan”, choice theory dapat memberikan insight tentang apa yang harus kita lakukan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Tetapi konsep “cara” dan “tujuan” juga berguna jika kita hanya ingin menjelaskan mengapa Si X melakukan hal ini dan bukan hal itu. Sekaligus juga kita dapat melakukan prediksi tentang apa yang akan dilakukan Si X seandainya suatu hari nanti ia kembali menghadapi alternatif-alteratif pilihan yang kurang lebih sama. Konsep means dan ends ini membawa asumsi bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang melakukan sesuatu atas dorongan untuk mencapai tujuan ( goal-directed ).
Namun, model means-ends ini bukanlah satu-satunya penjelasan mengenai rasionalitas tindakan manusia. Salah satu bentuk penjelasan lain berkaitan dengan kriteria formal suatu tujuan. Maksudnya, suatu tindakan dapat dikatakan rasional bukan karena ada suatu sarana ( means ) terbaik untuk mencapai tujuan tersebut, tetapi karena tindakan tersebut memenuhi standar atau kriteria formal yang ditetapkan sebelumnya.
Contohnya: adalah rasional bagi seseorang untuk mendaki Gunung Jaya Wijaya jika ia ingin mendaki gunung tertinggi di Indonesia. Sebaliknya, adalah tindakan yang tidak rasional jika orang tersebut justru mendaki gunung selain Gunung Jaya Wijaya. Pada contoh ini, mendaki Gunung Jaya Wijaya bukanlah means atau sarana bagi tercapainya tujuan mendaki puncak gunung tertinggi di Indonesia, karena tindakan tersebut pada dasarnya sudah merupakan tujuan itu sendiri.
Limitasi dari model penjelasan means-ends dan kriteria formal adalah bahwa keduanya hanya menjelaskan rasionalitas tindakan manusia dilihat dari berbagai pilihan sarana/kriteria untuk satu tujuan ( ends ) tertentu, namun tidak menekankan dimensi tujuan itu sendiri. Padahal, seringkali pilihan yang diambil seseorang sangat dipengaruhi oleh berapa banyak jumlah pilihan tujuan yang ada beserta konsekuensi-konsekuensi yang menyertainya.
Seseorang yang ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi, misalnya, dihadapkan pada pilihan: bidang studi apa yang akan diambil dan universitas apa yang akan dimasuki. Kedua pilihan ini akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti: biaya kuliah, prospek kerja, fasilitas yang diberikan universitas, kesesuaian dengan minat atau bakat, dan lain sebagainya. Pertanyaan yang muncul dari persoalan tujuan ( ends ) sebagai bagian dari problem rasionalitas adalah: apa yang membuat seseorang memilih suatu tujuan ( ends ) tertentu dan bukan yang lain? Persoalan ini masuk ke dalam pembahasan mengenai persoalan preferensi.
Jadi, rasionalitas tindakan manusia dapat kita baca berdasarkan tiga model:
- model sarana-tujuan,
- model kriteria formal, dan
- model preferensi tujuan.
Preferensi
Preferensi adalah persoalan mengenai urutan atau ranking keputusan pilihan. Jika pada suatu kondisi seseorang memilih untuk membeli barang x ketika tersedia barang y , maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki preferensi atas barang x ketimbang barang y .
Persoalan yang ingin dibahas pada bagian ini adalah justifikasi atau reason yang dapat diberikan pada preferensi. Mengapa seseorang memilih x ketimbang y , sehingga menunjukkan bahwa ia memiliki preferensi atas x ketimbang y ? Pertanyaan ini menjadi penting di dalam diskursus ilmu ekonomi karena justifikasi atas preferensi dapat membantu kita untuk memprediksi pola tindakan seseorang. Hal ini berguna misalnya di dalam teori perilaku konsumen.
Umumnya, justifikasi yang biasanya berlaku atas preferensi seseorang terhadap suatu pilihan adalah justifikasi berdasarkan konsekuensi.5 Maksudnya, pilihan yang diambil seseorang sangat dipengaruhi oleh hasil yang akan didapatkan orang itu dari pilihan yang ia ambil. Seseorang memutuskan untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi karena ia percaya bahwa keputusannya itu akan memudahkan dirinya di masa yang akan datang. Persoalannya, tidak semua keputusan memiliki konsekuensi yang jelas dan dapat dikalkulasi secara sempurna. Kadangkala seseorang harus memilih sebuah pilihan tanpa dapat mengetahui konsekuensi yang akan ia terima. Persoalan ketidakpastian konsekuensi ini merupakan kritik dasar bagi choice theory dan akan dikembangkan lebih jauh pada behavioral economics .
Choice theory sendiri memiliki tiga asumsi mendasar mengenai preferensi individu agar premis-premisnya menjadi valid. Ketiga asumsi tersebut adalah:
-
Completeness . Yakni asumsi yang menyatakan bahwa semua pilihan dapat diurutkan atau disusun berdasarkan ranking. Konsekuensinya, asumsi ini ingin menyatakan bahwa tidak ada alternatif pilihan yang tidak menjadi preferensi si subjek (semua alternatif harus disebut dan menjadi preferensi subjek).
-
Transitivity. Yakni asumsi yang meyatakan bahwa jika x lebih dipreferensikan ketimbang y , dan y lebih dipreferensikan ketimbang z , maka x lebih dipreferensikan ketimbang z . Dengan kata lain, asumsi ini ingin menyatakan bahwa semua alternatif pilihan dapat diperbandingkan satu sama lain.
-
Independence of Irrelevant Alternatives (IIA) . Asumsi ini menyatakan bahwa jika dari opsi pilihan { X, Y} di mana pilihan X lebih dipreferensikan, maka memasukkan opsi Z ke dalam { X, Y, Z} tidak akan membuat opsi Y menjadi lebih dipreferensikan ketimbang X . Artinya, asumsi ini ingin menyatakan bahwa memasukkan opsi baru tidak akan mengubah urutan preferensi pada pilihan-pilihan sebelumnya.
Selain ketiga asumsi di atas, choice theory juga memiliki dua asumsi lain yang biasanya tidak dinyatakan dengan eksplisit. Yakni asumsi bahwa (1) setiap individu memiliki informasi yang sempurna tentang konsekuensi yang akan ia terima dari pilihan yang diambil, dan (2) setiap individu memiliki kemampuan kognitif dan segala fasilitas lain (seperti waktu dan tenaga) yang dibutuhkan untuk mempertimbangkan pilihan-pilihan yang mereka hadapi.
Kesemua asumsi di atas pada dasarnya dibutuhkan choice theory untuk mempertahankan tesis bahwa preferensi individu selalu bersifat konsisten. Melalui modelisasi dan asumsi-asumsi tersebut, choice theory pada akhirnya mampu membentuk suatu eksplanasi tentang perilaku manusia yang tidak hanya efektif sebagai deskripsi, tetapi juga memiliki daya prediktif yang sangat kuat.
Moralitas
Persoalan moralitas di dalam choice theory umumnya berkaitan dengan keselarasan antara keputusan rasional individual dengan kepentingan publik yang lebih luas. Asumsi egoisme rasional di dalam ilmu ekonomi membawa implikasi pemahaman bahwa jika setiap individu saling mengejar preferensi egoisnya masing-masing, maka dampak sosialnya justru lebih bersifat positif ketimbang jika mereka mendahulukan kepentingan orang lain. Contohnya adalah kutipan dari Adam Smith mengenai tukang roti:
“Bukan karena kebaikan hati dari tukang roti kita memiliki makan malam di meja makan kita, tetapi karena tukang roti tersebut berusaha memenuhi kepentingannya sendiri ”.
Asumsi ini bekerja atas dasar pemahaman bahwa kepentingan publik merupakan hasil penggabungan dari berbagai preferensi individu. Untuk beberapa hal, seperti kasus tukang roti, asumsi ini dapat bekerja sempurna. Namun kadangkala ada beberapa kepentingan publik yang tidak berkorelasi positif dengan preferensi individu. Bahkan, pada kasus-kasus tersebut, semakin banyak individu yang mengejar preferensi individualnya, maka kondisi kehidupan sosial justru semakin memburuk. Pada kasus-kasus semacam ini, proses pengambilan keputusan pada akhirnya menjadi sebuah tindakan moral: seseorang dituntut untuk memilih antara kepentingan pribadi atau kepentingan umum yang lebih luas.
Untuk lebih jelasnya, mari kita gunakan ilustrasi standar yang biasa dipakai sebagai contoh kasus di dalam game theory , yakni mengenai prisoner’s dilemma . Bayangkan dua orang tersangka kasus kejahatan (kita sebut saja mereka sebagai “Si A” dan “Si B”) diinterogasi secara terpisah di kantor polisi. Kepada masing- masing tersangka, para polisi menawarkan proposal:
- Jika kedua tersangka mengaku, keduanya akan dipenjara 6 tahun.
- Jika hanya Si A yang mengaku, Si A akan dibebaskan sedangkan Si B dipenjara 12 tahun.
- Jika hanya Si B yang mengaku, Si B akan dibebaskan sedangkan Si A dipenjara 12 tahun.
- Jika keduanya tidak mengaku, keduanya hanya akan dipenjara dua tahun.
|
Si A Mengaku |
Si A Tidak Mengaku |
Si B Mengaku |
Penjara 6 tahun |
Si A dibebaskan, Si B dipenjara 12 tahun |
Si B Tidak Mengaku |
Si B dibebaskan, Si A dipenjara 12 tahun |
Penjara 2 tahun |
Pada kasus prisoner’s dilemma di atas, pilihan yang paling ideal adalah jika kedua tersangka tersebut sama-sama tidak mengakui kejahatan mereka, karena dengan begitu keduanya hanya mendapatkan hukuman penjara selama dua tahun. Namun, bagi masing-masing tersangka tersebut, pilihan untuk tidak mengaku adalah pilihan yang beresiko, karena tidak ada jaminan rekan mereka akan memilih pilihan yang sama. Seandainya salah satu dari mereka memilih untuk tidak mengaku sedangkan rekan mereka ternyata memilih untuk mengaku, konsekuensi yang diterima akan lebih berat (12 tahun penjara) ketimbang jika keduanya mengakui kejahatan mereka (6 tahun penjara). Maka, meskipun pilihan ideal pada kasus ini adalah “tidak mengaku”, namun pilihan rasional-nya justru memilih untuk “mengaku”.
Kasus prisoner’s dilemma di atas adalah contoh klasik di mana konsekuensi pilihan paling ideal tidak dapat diraih karena persebaran informasi yang tidak seimbang (salah satu pihak tidak mengetahui apa yang akan dilakukan oleh pihak lainnya). Kasus ini menunjukkan bahwa asumsi choice theory mengenai “setiap individu memiliki informasi yang sempurna” adalah sekedar asumsi. Pada kenyataannya justru seringkali setiap individu dihadapkan pada pilihan yang konsekuensinya tidak bisa ia ketahui.
Contoh-contoh konkret kasus prisoner’s dilemma di kehidupan sosial di antaranya:
-
Seorang penglaju ( commuter ) akan lebih nyaman dan cepat jika menggunakan kendaraan pribadi, namun konsekuensinya akan lebih buruk jika semua penglaju berpikiran sama dengan dirinya.
-
Akan lebih aman bagi seorang prajurit untuk sembunyi atau lari di medan perang, namun konsekuensinya akan lebih buruk bagi sebuah negara jika semua prajurit berpikir demikian.
-
Seorang nelayan akan lebih untung jika ia menangkap ikan melebihi batas yang diizinkan, namun konsekuensinya akan lebih buruk bagi banyak orang jika semua nelayan berpikir demikian.
-
Di sebuah kota yang over-populated , sebuah keluarga akan diuntungkan jika memiliki banyak anak, namun konsekuensi sosial akan jauh lebih buruk jika semua keluarga berpikiran demikian.
Pada kasus-kasus di atas, pilihan rasional (yakni pilihan yang paling menguntungkan diri sendiri) merupakan pilihan yang paling ideal, namun konsekuensi pilihan tersebut sangat tergantung pada keputusan yang diambil oleh pihak lain. Jika semua orang mengambil keputusan yang hanya memenuhi preferensi individual, konsekuensi ideal yang ingin diraih justru semakin berkurang nilai utilitasnya. Pada kasus-kasus semacam itu, pada akhirnya pilihan rasional menjadi sebuah keputusan yang mengandung dimensi moral: merelakan preferensi individual demi utilitas bersama atau tetap mempertahankan preferensi individu dengan resiko munculnya kerugian sosial?
Referensi
- Micheal D. Resnik, Choices: An Introduction to Decision Theory (1987), Minneapolis: Minnesota University Press
- Jon Elster (ed.), Rational Choice (1986), New York: New Yorl University Press
- Michael D. Resnik, Choices: An Introduction to Decision Theory (1987), Minneapolis: Minnesota University Press
- Jon Elster (ed.), Rational Choice (1986), New York: New Yorl University Press