Apa yang anda ketahui tentang Teori Pilihan Rasional (Rational Choice)?

Teori pilihan rasional, kadang disebut teori pilihan atau teori tindakan rasional, adalah kerangka pemikiran untuk memahami dan merancang model perilaku sosial dan ekonomi.[1]

Asumsi dasar teori pilihan rasional adalah seluruh perilaku sosial disebabkan oleh perilaku individu yang masing-masing membuat keputusannya sendiri. Teori ini berfokus pada penentu pilihan individu (individualisme metodologis).

Teori pilihan rasional juga berasumsi bahwa seseorang memiliki preferensi di antara beberapa pilihan alternatif yang memungkinkan orang tersebut menyatakan pilihan yang diinginkannya. Preferensi tersebut dianggap lengkap (orang tersebut selalu dapat menentukan alternatif yang mereka inginkan atau tak ada alternatif yang diinginkan) dan transitif (apabila pilihan A lebih diinginkan daripada pilihan B dan pilihan B lebih diinginkan daripada pilihan C, maka A lebih diinginkan daripada C). Agen rasional kemudian mempertimbangkan informasi yang ada, kemungkinan peristiwa, dan potensi biaya dan keuntungan dari menentukan pilihan, dan bertindak konsisten dalam memilih tindakan terbaik.

Rasionalitas sering dijadikan asumsi perilaku individu dalam model dan analisis ekonomi mikro dan muncul di hampir semua penjelasan pembuatan keputusan manusia yang ada di buku pelajaran ekonomi. Rasionalitas juga penting bagi ilmu politik modern,[2] sosiologi,[3] dan filsafat.

Versi turunan dari rasionalitas adalah rasionalitas instrumental yang meliputi pencarian cara paling hemat biaya untuk meraih tujuan tertentu tanpa melihat berharga atau tidaknya tujuan tersebut. Gary Becker adalah salah satu pendukung penerapan model perilaku rasional secara luas.[4] Becker dianugerahi Hadiah Nobel Ekonomi tahun 1992 atas penelitiannya tentang diskriminasi, kejahatan, dan modal manusia.[5]

Referensi :

Referensi

[1] Lawrence E. Blume and David Easley (2008). “rationality,” The New Palgrave Dictionary of Economics , 2nd Edition. Abstract." by Abstract] & pre-publication copy.
Amartya Sen (2008). “rational behaviour,” The New Palgrave Dictionary of Economics, 2nd Edition. Abstract.
[2] Susanne Lohmann (2008). "rational choice and political science,"The New Palgrave Dictionary of Economics, 2nd Edition.Abstract.
[3] Peter Hedström and Charlotta Stern (2008). “rational choice and sociology,” The New Palgrave Dictionary of Economics, 2nd Edition. Abstract.
[4] Gary S. Becker (1976). The Economic Approach to Human Behavior. Chicago. Description and scroll to chapter-preview links.
[5] Nobel Prize Committee press release

1 Like

teori pilihan rasional

Karakteristik utama dari berbagai bentuk rasionalitas adalah bahwa semuanya melakukan pemilihan secara bernalar tentang perlunya mengambil arah tindakan tertentu untuk memecahkan masalah kebijakan.

Bentuk-bentuk rasionalitas menurut Paul Diesing, adalah sebagai berikut :

  1. Rasionalitas teknis
    Rasionalitas teknis merupakan karakteristik pilihan yang bernalar yang meliputi perbandingan berbagai alternatif atas dasar kemampuan masing-masing memecahkan masalah secara efektif.

  2. Rasionalitas ekonomis
    Rasionalitas ekonomis merupakan karakteristik pilihan yang bernalar yang membandingkan berbagai alternatif atas dasar kemampuan untuk menemukan pemecahan masalah yang efisien.

  3. Rasionalitas legal
    Rasionalitas legal merupakan karakteristik pilihan yang bernalar yang meliputi perbandingan alternatif menurut kesesuaian hukumnya terhadap peraturan- peraturan dan kasus-kasus penyelesaian sebelumnya.

  4. Rasionalitas sosial
    Rasionalitas sosial merupakan karakteristik pilihan yang bernalar menyangkut perbandingan alternatif menurut kemampuannya dalam mempertahankan atau meningkatkan institusi-institusi sosial yang bernilai.

  5. Rasionalitas substantif
    Rasionalitas substantif merupakan karakteristik pilihan yang bernalar menyangkut perbandingan berbagai bentuk rasionalitas -teknis, ekonomis, legal, sosial- dengan maksud agar dapat dibuat pilihan yang paling layak di bawah kondisi yang ada.

Teori Rasionalitas Terbatas (Bounded Rationality)

Herbert A. Simon telah mengembangkan suatu teori rasionalitas yang lebih menyentuh aspek humanisme yaitu teori rasionalitas terbatas (bounded rationality). Simon berpendapat bahwa tidak mungkin perilaku individu secara sendiri mencapai suatu tingkat rasionalitas yang tinggi. Jumlah alternatif yang harus dicari sedemikian banyaknya, informasi yang dibutuhkan untuk mengevaluasi alternatif-alternatif itu sedemikian besarnya sehingga sekedar mendekati rasionalitas yang obyektif pun sulit untuk dicapai.

Formulasi yang menegaskan teori rasionalitas terbatas akan nampak ketika pengambil keputusan berusaha mengkombinasikan antara kepuasan (satisfactory) dan kecukupan (suffice) sehingga menghasilkan suatu pilihan yang dianggap paling memuaskan. Disini pengambil keputusan tidak perlu memperhatikan seluruh alternatif yang terlalu banyak, namun cukup memperhatikan alternatif yang terbukti akan menghasilkan suatu kenaikan manfaat yang dapat diterima.

Perilaku memuaskan dapat sepenuhnya rasional, jika yang kita maksud dengan rasional disini adalah proses memperkerjakan akal dalam membuat pilihan-pilihan yang memperhitungkan biaya pencarian informasi. Pada perkembangannya teori rasionalitas terbatas banyak dipergunakan dalam berbagai penelitian dengan bidang ilmu yang berbeda-beda.

Salah satu peneliti yang menggunakan asumsi rasionalitas terbatas dalam penelitiannya adalah Williamson. Penelitian yang dilakukan Williamson menjelaskan tentang biaya transaksi dengan menggunakan asumsi rasionalitas terbatas sebagai salah satu elemen utamanya. Williamson menggunakan dua asumsi yang sering digunakan ekonom, yaitu

  1. rasionalitas terbatas (boundered rationality)
  2. kesempatan (opportunity).

Asumsi pertama mengasumsikan terbatasnya kemampuan individu-individu untuk menjadi rasional seratus persen dalam menghadapi biaya-biaya informasi yang non-trivial (penting) sifatnya, sementara asumsi kedua merujuk pada perilaku pemenuhan keinginan diri sendiri dengan cara-cara yang cerdik.

Penelitian Williamson menyimpulkan bahwa apabila setiap orang dalam masyarakat memiliki rasionalitas seratus persen, berperilaku jujur dan tidak oportunistik serta memiliki informasi yang sempurna, maka pertukaran melalui mekanisme pasar adalah metode yang paling efisien.

Kenyatannya, dalam dunia nyata, tidak semua orang (bahkan mungkin tidak ada seorangpun) rasional seratus persen, lebih banyak orang yang curang dan oportunistik daripada orang yang jujur serta informasi yang dimiliki oleh aktor-aktor ekonomi masih jauh dari sempurna. Informasi yang tidak sempurna dan asimetris dapat mengarahkan pengambil keputusan yang berjiwa oportunistik dan curang pada sikap adverse selection dan moral hazards.

Sikap oportunistik dan curang akan mendorong keberadaan rasionalitas dalam memilih alternatif terbaik dari berbagai pilihan yang ditawarkan.

image

Teori Pilihan Rasional

Kerangka analisis ekonomi politik baru terutama didasarkan pada aktor individu yang memperjuangkan kepentingan pribadi, tepatnya individu-individu diasumsikan sebagai ‘goal seeking and choosing creatures’ yang beroperasi di lingkungan yang berbeda-beda.

Aktor individu diasumsikan mempunyai sifat-sifat khusus yang spesifik, termasuk di dalamnya seperangkat selera atau perangkingan preferensi dan kemampuan mengambil keputusan secara rasional atau kemampuan memilih alternative terbaik yang paling efisien dari berbagai pilihan yang ada.

Dalam hal aplikasi, ekonomi politik baru dapat diaplikasikan bukan hanya dalam berbagai keputusan ekonomi, namun juga diaplikasikan untuk berbagai fenomena social politik lainnya termasuk sikap wajib pajak dan sikap pemerintah dalam proses pengambilan keputusan bagi kebijakan publik. Paradigma pilihan rasional (rational choice) pertama kali dikemukakan oleh Kenneth Arrow (1951) dalam bukunya Social Choice and Individual Values.

Kaum klasik sudah mengembangkan asumsi manusia rasional yang selalu berusaha memilih alternatif terbaik dari berbagai pilihan yang tersedia. Kemudian, pakar Neoklasik mengembangkan lebih jauh konsep rasionalitas tersebut ke proses-proses dan institusi-institusi politik.

Konsep-konsep rasionalitas berkaitan erat dengan kesukaan atau preferensi (preference), kepercayaan (beliefs), peluang (opportunities), dan tindakan (action).

Menurut William H. Riker65 dalam Political Science and rational Choice (1994), model pilihan rasional terdiri dari elemen – elemen :

  1. Para aktor dapat merangking tujuan-tujuan, nilai-nilai, selera dan strategi- strategi mereka
  2. Para aktor dapat memilih alternatif terbaik yang bisa memaksimumkan kepuasan mereka.

Berdasarkan elemen-elemen tersebut diatas, komponen pilihan rasional dapat ditentukan sebagai berikut :

  1. Perangkingan, dalam melakukan perangkingan, perangkat alternatif diasumsikan tertentu dan tetap jumlahnya, sedangkan hal-hal yang dapat diabaikan atau dipercaya tidak relevan dikategorikan sebagai pilihan-pilihan yang tidak mungkin;

  2. **Kepercayaan (beliefs)**, Elster mengungkapkan : ‘ in order to know what to do, we first have to know what to believe with respect to the relevant factual matters. Hence a theory of rational choice must be supplemented by a theory of rational beliefs’. Tekanan pada kepercayaan menunjukkan bahwa individu- individu tidak bertindak semata – mata berdasar kebiasaan dan emosi, tetapi juga atas dasar kepercayaan tentang struktur sebab akibat dunia nyata;

  3. Kesempatan (opportunity), yang terkait dengan sumber daya dan kendala. Tiap orang punya banyak keinginan, tetapi tidak semua keinginan bisa dicapai karena sumber daya dan kemampuan untuk memperoleh yang diinginkan terbatas adanya. Pada suatu waktu, kita hanya akan memperoleh hasil tertentu sesuai keterbatasan logika, fisik, dan ekonomi yang ada ;

  4. Tindakan itu sendiri, yaitu pilihan oleh agen-agen yang diamati. Tujuan teori pilihan rasional adalah untuk menjelaskan pilihan-pilihan yang dilakukan oleh agen-agen, di mana preferensi-preferensi dan kepercayaan-kepercayaan yang diasumsikan tidak ditentukan dari dalam melainkan dari luar dan bersifat tetap, sedangkan pilihan-pilihan adalah hasil respons terhadap perubahan-perubahan dalam insentif dan biaya-biaya.

Elster mengemukakan : the essence of rational choice explanation embodies a conception of how preferences, beliefs, resources and actions stand in relation to one another. Hubungan ini dapat dipecah atas dua bagian yaitu :

  1. Terdapat sebuah kriteria yang konsisten yang dapat diaplikasikan terhadap struktur preferensi-preferensi dan kepercayaan-kepercayaan
  2. Terdapat serangkaian persyaratan yang mengikat.

Dapat dikatakan bahwa suatu aksi disebut rasional jika dapat memperlihatkan keterkaitan dengan preferensi-preferensi, kepercayaan-kepercayaan, dan sumber- sumber daya.

Sebuah tindakan dikatakan rasional jika :

  1. dapat dibuktikan (secara ex- ante daripada ex-post) sebagai tindakan terbaik yang mungkin dilakukan untuk memenuhi preferensi-preferensi agen sesuai kepercayaan-kepercayaan,

  2. bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut rasional sesuai bukti-bukti yang ada, dan

  3. jalan atau proses dan kualitas dari bukti-bukti yang tersedia dapat dijustifikasi sesuai rasio biaya dan keuntungan.

Kaum klasik menegaskan bahwa manusia rasional adalah yang selalu berusaha memilih alternative terbaik dari berbagai pilihan yang tersedia, sesuai kendala dan keterbatasan yang dimiliki. Menurut Jurgen Habermas dalam The Theory of Communicative Action , tindakan rasional adalah tindakan yang disengaja untuk mencapai hasil maksimal dengan menciptakan kondisi yang kondusif dan institusi- institusi yang mendukung sehingga dapat dilakukan tindakan dengan tingkat kesalahan minimal.

Meskipun terdapat beberapa kritik terhadap teori rasionalitas, William H. Riker (1994) menawarkan suatu jalan keluar yaitu dengan mengasumsikan bahwa perangkat pilihan sudah berisikan semua alternatif yang mungkin relevan. Dengan berlandaskan asumsi tersebut, maka semua pilihan yang ada aktor bisa memilih sebuah alternatif yang dianggap terbaik.

Dalam hal ini bisa saja aktor keliru dalam menafsirkan alternatif-alternatif yang ada, atau salah dalam memilih alternatif yang tidak sesuai dengan tujuan utama mereka, atau aktor tidak memilih alternatif yang terbaik karena kurangnya informasi.

Untuk menghilangkan keragu-raguan dalam menetukan pilihan, Riker membedakan procedural rationality atau revealed preference (di mana tidak ada tujuan ataupun hasil yang sudah dispesifikasikan sebelumnya) dengan substantive rationality atau posited rationality (dimana tujuan-tujuan tertentu sudah ditentukan sebelumnya.

Dengan adanya pembedaan procedural rationality dari substantive rationality tersebut, maka model pilihan rasional bisa menggeneralisasi pilihan-pilihan yang persis sama dengan peristiwa-peristiwa pengambilan harga dalam pasar ekonomi dan yang lebih penting lagi, mampu menggeneralisasi tujuan dari para aktor.

Pada tahun 1989, Coleman mendirikan jurnal Rationality and Society yang bertujuan menyebarkan pemikiran yang berasal dari perspektif pilihan rasional. Jurnal tersebut bersifat interdisipliner karena teori pilihan rasional adalah satu-satunya teori yang mungkin menghasilkan integrasi berbagai paradigma kehidupan sosial.

Coleman menginginkan karya penelitian dilakukan bertolak dari perspektif pilihan rasional yang mempunyai kaitan praktis dengan kehidupan social yang sedang berubah. Fenomena makro harus dapat dijelaskan oleh faktor internalnya sendiri, khususnya faktor individual. Fenomena ini juga menjelaskan bahwa data biasanya dikumpulkan di tingkat individual dan kemudian disusun untuk menghasilkan data di tingkat sistem sosial.

Gagasan mendasar dari teori pilihan rasional Coleman adalah tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi). Terdapat dua unsur utama dalam teori Coleman yaitu aktor dan sumber daya. Konsep yang lebih tepat secara teoritis mengenai aktor rasional adalah aktor yang dapat memilih tindakan untuk memaksimalkan kegunaan atau yang memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka. Sumber daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor.

Coleman menjelaskan interaksi antara aktor dan sumber daya secara rinci menuju ke tingkat sistem sosial :

Basis minimal untuk sistem sosial tindakan adalah dua orang aktor, masing- masing mengendalikan sumber daya yang menarik perhatian pihak yang lain. Perhatian satu orang terhadap sumber daya yang dikendalikan orang lain itulah yang menyebabkan keduanya terlibat dalam tindakan saling membutuhkan… terlibat dalam sistem tindakan… Selaku aktor yang mempunyai tujuan, masing- masing bertujuan untuk memaksimalkan perwujudan kepentingan yang memberikan ciri saling tergantung atau ciri sistemik terhadap tindakan mereka.

Coleman mengakui bahwa dalam kehidupan nyata orang tak selalu berperilaku rasional, namun hal tersebut tak mempengaruhi teori yang telah dikemukakannya. Coleman lebih melihat pilihan rasional sebagai perilaku kolektif, berdasarkan norma yang berlaku dan terdapat aktor korporat didalamnya.

Meskipun teori Coleman menuai banyak kritik, namun teori pilihan rasional diyakini akan mampu menganalisis dan menerangkan masalah tingkat mikro dan makro maupun peran yang dimainkan oleh faktor tingkat mikro dalam pembentukan fenomena tingkat makro.

Referensi
  • Diesing, Paul, 1962, Reason and Society, Urbana, IL : University of Illinois Press
  • Simon, Herbert A., 1945, Administrative Behaviour, New York : Macmillan
  • Arrow, Kenneth. 1951. Social Choice and Individual Values. New Haven, Conn: Yale University Press.
  • Riker, William H., 1980. ‘Implications from the Disequilibrium of Majority Rule for the Study of Institutions’
  • Americans Politicals Science Review, no 74 ;
  • Habermas, Jurgen. 1981. The Theory of Communicative Action, published in 2 volumes, first Reason and the
  • Rationalization of Society (Handlungsrationalität und gesellschaftliche Rationalisierung) and the second Lifeworld and System: A Critique of Functionalist Reason (Zur Kritik der funktionalistischen Vernunft).
  • Coleman, James, 1989, Rationality and Society,
  • Coleman, James,1990, Foundations of Social Theory. Cambridge: Belknap Press Of Harvard University Press.

Teori pilihan rasional berasal dari ekonomi klasik. Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai rnanusia yang mempunyai maksud. Hal tersebut dimaksudkan aktor mempunyai tujuan dan tindakannya tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan itu. Aktorpun dipandang mempunyai pilihan (atau nilai, keperluan). Teori pilihan rasional tidak rnenghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor. Hal terpenting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor.

Ritzer menerangkan, meskipun teori pilihan rasional berawal dari tujuan atau maksud aktor, namun teori ini memperhatikan sekurang-kurangnya dua pemaksa utama tindakan.

  • Pertama adalah keterbatasan sumber. Aktor mempunyai sumber yang berbeda-beda maupun akses yang berbeda terhadap sumberdaya yang lain. Bagi aktor yang mempunyai sumberdaya yang besar, pencapaian tujuan mungkin relatif mudah. Tetapi bagi aktor yang mempunyai sumberdaya sedikit, pencapaian tujuan akan sukar atau sulit. Aktor dipandang berupaya mencapai keuntungan maksimal dan tujuan mungkin meliputi gabungan antara peluang untuk mencapai tujuan utama dan apa yang telah dicapai pada peluang yang tersedia untuk mencapai tujuan kedua yang paling bernilai.

  • Kedua atas tindakan aktor individual adalah lembaga sosial. Hambatan kelembagaan ini menyediakan baik sanksi positif maupun sanksi negatif yang membantu mendorong aktor untuk melakukan tindakan tertentu dan menghindarkan tindakan lain.

Selanjutnya, Friedman dan Hecthter mengemukakan dua gagasan lain yang menjadi dasar teori pilihan rasional.

  • Pertama, adalah kumpulan mekanisme atau proses yang menggabungkan tindakan aktor individual yang terpisah untuk menghasilkan akibat sosial.

  • Kedua, bertambahnya pengertian tentang pentingnya informasi dalam membuat pilihan rasional.

Teori pilihan Rasional atau Rational choice theory (selanjutnya akan disebut choice theory ) lahir dari semangat positivisme di penghujung abad ke sembilan belas. Di satu sisi ada para filsuf utilitarian yang menginginkan sebuah eksplanasi positif tentang perilaku manusia sebagai sebuah kriteria bagi pembentukan kebijakan publik. Sedangkan di sisi yang lain ada para ekonom pengikut Adam Smith yang ingin memberikan eksplanasi tentang bagaimana sistem ekonomi berbasis self-interest dapat bekerja. Kedua hasrat untuk menjelaskan perilaku manusia ini berujung pada pembentukan indeks atau indikator standar tentang bagaimana konsep rasionalitas mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang.

Teori pilihan Rasional atau Rational choice theory dapat didefinisikan sebagai sebuah eksplanasi tentang bagaimana atau bagaimana seharusnya individu atau kelompok mengambil keputusan. Definisi ini diambil dari buku Choices: An Introduction to Decision Theory (Minnesota University Press, 1987) karya Michael D. Resnik

Perhatikan bagaimana definisi tersebut mendisjungsi ‘bagaimana’ dan ‘bagaimana seharusnya’. Jon Elster, di bagian pengantar buku Rational Choice (1986)2, menekankan dua dimensi choice theory : dimensi normatif dan dimensi deskriptif. Dimensi normatif berkaitan dengan ‘bagaimana seharusnya’. Choice theory , sebagai sebuah teori ilmu sosial, dapat memberikan insight tentang apa yang harus kita lakukan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan semaksimal mungkin. Sedangkan dimensi deskriptif berkaitan dengan ‘bagaimana’. Dimensi deskriptif memberikan penjelasan kepada kita bagaimana sebuah pilihan dapat dikatakan rasional.

Kedua dimensi tersebut mengimplikasikan bahwa choice theory memiliki ruang lingkup yang lebih kompleks dari sekedar persoalan pengambilan keputusan. Di dalam studinya, pada akhirnya choice theory sangat berhubungan dengan konsep- konsep abstrak lain seperti: rasionalitas (serta kekurangan dan batasan-batasannya), moralitas, dan preferensi, di mana konsep yang terakhir ini sangat kental berhubungan dengan disiplin ilmu psikologi.

Pembahasan mengenai choice theory ini akan dibagi menjadi tiga bagian pembahasan: rasionalitas, preferensi, dan moralitas.

Rasionalitas


Pertama-tama, suatu tindakan yang dapat dikatakan rasional biasanya berhubungan dengan konsep “cara” atau “sarana” ( means ) dan “tujuan” ( ends ). Suatu pilihan atau tindakan dapat dikatakan rasional jika pilihan/tindakan tersebut merupakan sebuah “cara” terbaik untuk mencapai sebuah “tujuan” yang diinginkan.

Sekali lagi, kedua konsep ini mengimplikasikan dimensi normatif dan deskriptif dari choice theory . Karena dengan menggunakan konsep “cara” dan “tujuan”, choice theory dapat memberikan insight tentang apa yang harus kita lakukan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Tetapi konsep “cara” dan “tujuan” juga berguna jika kita hanya ingin menjelaskan mengapa Si X melakukan hal ini dan bukan hal itu. Sekaligus juga kita dapat melakukan prediksi tentang apa yang akan dilakukan Si X seandainya suatu hari nanti ia kembali menghadapi alternatif-alteratif pilihan yang kurang lebih sama. Konsep means dan ends ini membawa asumsi bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang melakukan sesuatu atas dorongan untuk mencapai tujuan ( goal-directed ).

Namun, model means-ends ini bukanlah satu-satunya penjelasan mengenai rasionalitas tindakan manusia. Salah satu bentuk penjelasan lain berkaitan dengan kriteria formal suatu tujuan. Maksudnya, suatu tindakan dapat dikatakan rasional bukan karena ada suatu sarana ( means ) terbaik untuk mencapai tujuan tersebut, tetapi karena tindakan tersebut memenuhi standar atau kriteria formal yang ditetapkan sebelumnya.

Contohnya: adalah rasional bagi seseorang untuk mendaki Gunung Jaya Wijaya jika ia ingin mendaki gunung tertinggi di Indonesia. Sebaliknya, adalah tindakan yang tidak rasional jika orang tersebut justru mendaki gunung selain Gunung Jaya Wijaya. Pada contoh ini, mendaki Gunung Jaya Wijaya bukanlah means atau sarana bagi tercapainya tujuan mendaki puncak gunung tertinggi di Indonesia, karena tindakan tersebut pada dasarnya sudah merupakan tujuan itu sendiri.

Limitasi dari model penjelasan means-ends dan kriteria formal adalah bahwa keduanya hanya menjelaskan rasionalitas tindakan manusia dilihat dari berbagai pilihan sarana/kriteria untuk satu tujuan ( ends ) tertentu, namun tidak menekankan dimensi tujuan itu sendiri. Padahal, seringkali pilihan yang diambil seseorang sangat dipengaruhi oleh berapa banyak jumlah pilihan tujuan yang ada beserta konsekuensi-konsekuensi yang menyertainya.

Seseorang yang ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi, misalnya, dihadapkan pada pilihan: bidang studi apa yang akan diambil dan universitas apa yang akan dimasuki. Kedua pilihan ini akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti: biaya kuliah, prospek kerja, fasilitas yang diberikan universitas, kesesuaian dengan minat atau bakat, dan lain sebagainya. Pertanyaan yang muncul dari persoalan tujuan ( ends ) sebagai bagian dari problem rasionalitas adalah: apa yang membuat seseorang memilih suatu tujuan ( ends ) tertentu dan bukan yang lain? Persoalan ini masuk ke dalam pembahasan mengenai persoalan preferensi.

Jadi, rasionalitas tindakan manusia dapat kita baca berdasarkan tiga model:

  1. model sarana-tujuan,
  2. model kriteria formal, dan
  3. model preferensi tujuan.

Preferensi


Preferensi adalah persoalan mengenai urutan atau ranking keputusan pilihan. Jika pada suatu kondisi seseorang memilih untuk membeli barang x ketika tersedia barang y , maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki preferensi atas barang x ketimbang barang y .

Persoalan yang ingin dibahas pada bagian ini adalah justifikasi atau reason yang dapat diberikan pada preferensi. Mengapa seseorang memilih x ketimbang y , sehingga menunjukkan bahwa ia memiliki preferensi atas x ketimbang y ? Pertanyaan ini menjadi penting di dalam diskursus ilmu ekonomi karena justifikasi atas preferensi dapat membantu kita untuk memprediksi pola tindakan seseorang. Hal ini berguna misalnya di dalam teori perilaku konsumen.

Umumnya, justifikasi yang biasanya berlaku atas preferensi seseorang terhadap suatu pilihan adalah justifikasi berdasarkan konsekuensi.5 Maksudnya, pilihan yang diambil seseorang sangat dipengaruhi oleh hasil yang akan didapatkan orang itu dari pilihan yang ia ambil. Seseorang memutuskan untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi karena ia percaya bahwa keputusannya itu akan memudahkan dirinya di masa yang akan datang. Persoalannya, tidak semua keputusan memiliki konsekuensi yang jelas dan dapat dikalkulasi secara sempurna. Kadangkala seseorang harus memilih sebuah pilihan tanpa dapat mengetahui konsekuensi yang akan ia terima. Persoalan ketidakpastian konsekuensi ini merupakan kritik dasar bagi choice theory dan akan dikembangkan lebih jauh pada behavioral economics .

Choice theory sendiri memiliki tiga asumsi mendasar mengenai preferensi individu agar premis-premisnya menjadi valid. Ketiga asumsi tersebut adalah:

  • Completeness . Yakni asumsi yang menyatakan bahwa semua pilihan dapat diurutkan atau disusun berdasarkan ranking. Konsekuensinya, asumsi ini ingin menyatakan bahwa tidak ada alternatif pilihan yang tidak menjadi preferensi si subjek (semua alternatif harus disebut dan menjadi preferensi subjek).

  • Transitivity. Yakni asumsi yang meyatakan bahwa jika x lebih dipreferensikan ketimbang y , dan y lebih dipreferensikan ketimbang z , maka x lebih dipreferensikan ketimbang z . Dengan kata lain, asumsi ini ingin menyatakan bahwa semua alternatif pilihan dapat diperbandingkan satu sama lain.

  • Independence of Irrelevant Alternatives (IIA) . Asumsi ini menyatakan bahwa jika dari opsi pilihan { X, Y} di mana pilihan X lebih dipreferensikan, maka memasukkan opsi Z ke dalam { X, Y, Z} tidak akan membuat opsi Y menjadi lebih dipreferensikan ketimbang X . Artinya, asumsi ini ingin menyatakan bahwa memasukkan opsi baru tidak akan mengubah urutan preferensi pada pilihan-pilihan sebelumnya.

Selain ketiga asumsi di atas, choice theory juga memiliki dua asumsi lain yang biasanya tidak dinyatakan dengan eksplisit. Yakni asumsi bahwa (1) setiap individu memiliki informasi yang sempurna tentang konsekuensi yang akan ia terima dari pilihan yang diambil, dan (2) setiap individu memiliki kemampuan kognitif dan segala fasilitas lain (seperti waktu dan tenaga) yang dibutuhkan untuk mempertimbangkan pilihan-pilihan yang mereka hadapi.

Kesemua asumsi di atas pada dasarnya dibutuhkan choice theory untuk mempertahankan tesis bahwa preferensi individu selalu bersifat konsisten. Melalui modelisasi dan asumsi-asumsi tersebut, choice theory pada akhirnya mampu membentuk suatu eksplanasi tentang perilaku manusia yang tidak hanya efektif sebagai deskripsi, tetapi juga memiliki daya prediktif yang sangat kuat.

Moralitas


Persoalan moralitas di dalam choice theory umumnya berkaitan dengan keselarasan antara keputusan rasional individual dengan kepentingan publik yang lebih luas. Asumsi egoisme rasional di dalam ilmu ekonomi membawa implikasi pemahaman bahwa jika setiap individu saling mengejar preferensi egoisnya masing-masing, maka dampak sosialnya justru lebih bersifat positif ketimbang jika mereka mendahulukan kepentingan orang lain. Contohnya adalah kutipan dari Adam Smith mengenai tukang roti:

Bukan karena kebaikan hati dari tukang roti kita memiliki makan malam di meja makan kita, tetapi karena tukang roti tersebut berusaha memenuhi kepentingannya sendiri ”.

Asumsi ini bekerja atas dasar pemahaman bahwa kepentingan publik merupakan hasil penggabungan dari berbagai preferensi individu. Untuk beberapa hal, seperti kasus tukang roti, asumsi ini dapat bekerja sempurna. Namun kadangkala ada beberapa kepentingan publik yang tidak berkorelasi positif dengan preferensi individu. Bahkan, pada kasus-kasus tersebut, semakin banyak individu yang mengejar preferensi individualnya, maka kondisi kehidupan sosial justru semakin memburuk. Pada kasus-kasus semacam ini, proses pengambilan keputusan pada akhirnya menjadi sebuah tindakan moral: seseorang dituntut untuk memilih antara kepentingan pribadi atau kepentingan umum yang lebih luas.

Untuk lebih jelasnya, mari kita gunakan ilustrasi standar yang biasa dipakai sebagai contoh kasus di dalam game theory , yakni mengenai prisoner’s dilemma . Bayangkan dua orang tersangka kasus kejahatan (kita sebut saja mereka sebagai “Si A” dan “Si B”) diinterogasi secara terpisah di kantor polisi. Kepada masing- masing tersangka, para polisi menawarkan proposal:

  • Jika kedua tersangka mengaku, keduanya akan dipenjara 6 tahun.
  • Jika hanya Si A yang mengaku, Si A akan dibebaskan sedangkan Si B dipenjara 12 tahun.
  • Jika hanya Si B yang mengaku, Si B akan dibebaskan sedangkan Si A dipenjara 12 tahun.
  • Jika keduanya tidak mengaku, keduanya hanya akan dipenjara dua tahun.
Si A Mengaku Si A Tidak Mengaku
Si B Mengaku Penjara 6 tahun Si A dibebaskan, Si B dipenjara 12 tahun
Si B Tidak Mengaku Si B dibebaskan, Si A dipenjara 12 tahun Penjara 2 tahun

Pada kasus prisoner’s dilemma di atas, pilihan yang paling ideal adalah jika kedua tersangka tersebut sama-sama tidak mengakui kejahatan mereka, karena dengan begitu keduanya hanya mendapatkan hukuman penjara selama dua tahun. Namun, bagi masing-masing tersangka tersebut, pilihan untuk tidak mengaku adalah pilihan yang beresiko, karena tidak ada jaminan rekan mereka akan memilih pilihan yang sama. Seandainya salah satu dari mereka memilih untuk tidak mengaku sedangkan rekan mereka ternyata memilih untuk mengaku, konsekuensi yang diterima akan lebih berat (12 tahun penjara) ketimbang jika keduanya mengakui kejahatan mereka (6 tahun penjara). Maka, meskipun pilihan ideal pada kasus ini adalah “tidak mengaku”, namun pilihan rasional-nya justru memilih untuk “mengaku”.

Kasus prisoner’s dilemma di atas adalah contoh klasik di mana konsekuensi pilihan paling ideal tidak dapat diraih karena persebaran informasi yang tidak seimbang (salah satu pihak tidak mengetahui apa yang akan dilakukan oleh pihak lainnya). Kasus ini menunjukkan bahwa asumsi choice theory mengenai “setiap individu memiliki informasi yang sempurna” adalah sekedar asumsi. Pada kenyataannya justru seringkali setiap individu dihadapkan pada pilihan yang konsekuensinya tidak bisa ia ketahui.

Contoh-contoh konkret kasus prisoner’s dilemma di kehidupan sosial di antaranya:

  • Seorang penglaju ( commuter ) akan lebih nyaman dan cepat jika menggunakan kendaraan pribadi, namun konsekuensinya akan lebih buruk jika semua penglaju berpikiran sama dengan dirinya.

  • Akan lebih aman bagi seorang prajurit untuk sembunyi atau lari di medan perang, namun konsekuensinya akan lebih buruk bagi sebuah negara jika semua prajurit berpikir demikian.

  • Seorang nelayan akan lebih untung jika ia menangkap ikan melebihi batas yang diizinkan, namun konsekuensinya akan lebih buruk bagi banyak orang jika semua nelayan berpikir demikian.

  • Di sebuah kota yang over-populated , sebuah keluarga akan diuntungkan jika memiliki banyak anak, namun konsekuensi sosial akan jauh lebih buruk jika semua keluarga berpikiran demikian.

Pada kasus-kasus di atas, pilihan rasional (yakni pilihan yang paling menguntungkan diri sendiri) merupakan pilihan yang paling ideal, namun konsekuensi pilihan tersebut sangat tergantung pada keputusan yang diambil oleh pihak lain. Jika semua orang mengambil keputusan yang hanya memenuhi preferensi individual, konsekuensi ideal yang ingin diraih justru semakin berkurang nilai utilitasnya. Pada kasus-kasus semacam itu, pada akhirnya pilihan rasional menjadi sebuah keputusan yang mengandung dimensi moral: merelakan preferensi individual demi utilitas bersama atau tetap mempertahankan preferensi individu dengan resiko munculnya kerugian sosial?

Referensi
  • Micheal D. Resnik, Choices: An Introduction to Decision Theory (1987), Minneapolis: Minnesota University Press
  • Jon Elster (ed.), Rational Choice (1986), New York: New Yorl University Press
  • Michael D. Resnik, Choices: An Introduction to Decision Theory (1987), Minneapolis: Minnesota University Press
  • Jon Elster (ed.), Rational Choice (1986), New York: New Yorl University Press

Teori pilihan rasional berada dalam tataran middle range theory yang berlandaskan kepada teori umum (grand theory), yakni tindakan rasional yang digagas oleh Max Weber.

Berlandaskan grand theory dari Weber mengenai rasionalitas atau lebih spesifiknya adalah tindakan rasional, serta perspektif pilihan rasional pada tataran middle range theory seperti yang dikemukakan oleh Coleman, maka periode waktu terakhir ini berkembang studi-studi yang mengkaji kapital sosial secara khusus, dan representasi kapital secara umum dari sudut pandang Sosiologi Ekonomi, dikaitkan dengan pengambilan keputusan transaksi sosial ekonomi.

Oleh karenanya, berdasarkan penjelasan di atas maka dalam tindakan rasional ada beberapa kata kunci yang harus dikaitkan satu dengan yang lainnya, yakni aktor (yang diasumsikan rasional); pilihan dari beragam sumber yang tersedia; penguasaan atas sumber-sumber itu oleh si aktor; dan kepentingan pribadi.

Dengan demikian timbul pertanyaan mengapa Coleman tidak mengacu kepada pemikiran Fungsionalisme Struktural dalam menjelaskan teori pilihan rasional. Hal ini tidak terlepas dari kritiknya terhadap aliran sosiologi dan aliran ekonomi, yakni dua aliran yang berupaya menjelaskan kapital sosial hingga dekade 1980-an.

Kritik yang dikemukakan adalah mengenai cacat yang sangat fatal bagi perkembangan teori yang tidak mempertimbangkan atau mengabaikan aktor yang memiliki dalam tanda petik “mesin tindakan”.

Kritik itu ditujukan kepada aliran sosiologi yang menganggap aktor itu dibentuk oleh lingkungan (sistem atau struktur), bersifat pasif, serta tidak memiliki kekuatan dari dalam untuk menentukan tindakannya. Faktanya dalam dunia sosial tidaklah demikian. Menurut Coleman, individu manusia bukan hanya sekedar tempat ataupun media bagi bekerjanya suatu struktur sosial.

Teori pilihan rasional adalah teori yang membahas perihal penyebab suatu fenomena terjadi dengan kata lain aktor yang membuat kebijakan dipengaruhi oleh lingkungan, pemikiran, dan variabel lainnya. Aktor yang dimaksud adalah negara yang tentu saja berhubungan dengan bagaimana negara tersebut bertahan sekaligus menjamin kesejahteraan rakyatnya. Hal tersebut senada dengan apa yang dikatakan oleh James S. Coleman, yang mengatakan bahwa dalam proses kebijakan luar negeri sumber yang berperan adalah aktor dan sumber daya. Artinya aktor berperan mengelola dan mencari sumber daya yang dimiliki.

Namun menurut Coleman, aktor yang dimaksud adalah kelompok atau individu yang disebut sebagai pemerintah yang menjadi aktor dalam pembuat keputusan untuk mewujudkan tujuan negara. Sehingga untuk mendapatkan rasionalitas dari tindakan atau kebijakan suatu negara dapat dilakukan dengan menafsirkan keputusan berdasarkan pada kejadian yang berkaitan dengan negara tersebut.

Dalam teori pilihan rasional, pertimbangan pengambilan keputusan adalah dengan menggunakan pertimbangan keuntungan maksimal yang dapat didapatkan. Apabila individu dan kelompok yang menjalankan pemerintahan mampu mendapatkan kepentingannya, maka hal tersebut berlaku pula bagi negara. Karena pada hakikatnya, negara dijalankan oleh individu dan kelompok yang membuat keputusan-keputusan dalam pemerintahan.

Posisi negara dalam teori pilihan rasional dalam konteks hubungan internasional adalah negara sebagai aktor utama. Pada hakikatnya negara adalah sebuah kesatuan kelompok yang didalamnya terdiri dari berbagai organisasi yang bersifat ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya. Artinya pemimpin organisasi atau pejabat politik membuat keputusan atas negara adalah keputusan atas nama kelompok yang selanjutnya menjadi kebijakan negara.

Mereka adalah aktor yang segala keputusannya dikeluarkan menjadi atas nama negara. Dengan demikian, presiden, menteri dan pejabat lainnya membuat dan melaksanakan keputusan tentu saja atas nama negara. Dalam konteks tersebut, negara dipandang memiliki sikap dalam membuat keputusan atau kebijakannya. Keputusan yang diambil adalah cerminan dari sikap negara. .

Dalam Rational Model, negara adalah aktor satu-satunya yang membuat kebijakan. Terdapat tiga komponen dalam pengambilan keputusan melalui model rasional ini yaitu tujuan, pilihan, dan konsekuensi. Faktor yang paling berpengaruh dalam pengambilan keputusan adalah ekonomi politik.
Terdapat tiga kriteria suatu keputusan dianggap sebagai keputusan yang rasional. Pertama, landasan aktor untuk membuat kebijakan adalah kepentingan nasional atau tujuan dari negaranya. Kedua adalah jika terdapat beberapa pilihan, maka pembuat kebijakan harus mampu memilih pilihan tersebut berdasarkan keuntungan sealigus konsisten terhadappilihannya. Ketiga, adalah mampu memaksimalkan pilihan yang telah dipilih sehingga keuntungan yang didapat mampu dimaksimalkan pula.

kak bisa minta sumber lengpanya mengenai tulisan ini kak. kutipan kutipannya mau saya jadikan landasan teori