-
Sahur, meskipun hanya sedikit; misalnya seteguk air. Sahur sunah dilakukan pada akhir malam. Sahur dimaksudkan untuk menguatkan fisik ketika berpuasa. Sahur disunahkan berdasarkan hadis yang diriwayatkan dalam kitab Ash-Shahihain:
Bersahurlah kalian, karena dalam sahur terdapat berkah.
-
Menyegerakan berbuka ketika diyakini bahwa matahari telah tenggelam. Berbuka disunahkan sebelum salat. Berbuka puasa disunahkan dengan makanan basah, kurma, manisan, atau air. Makanan tersebut berjumlah ganjil; tiga atau lebih. Menyegerakan berbuka disunahkan berdasarkan hadis:
Manusia selalu berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.
Kita dianjurkan untuk segera berbuka dan mengakhirkan makan sahur. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak ingin memberatkan umatnya. Kita diperintahkan untuk beribadah, namun jangan berlebihan sehingga malah merusak badan. Bahkan, Nabi SAW mengharamkan puasa sehari semalam, yakni selama 24 jam penuh. Islam hanya mengajarkan puasa di siang hari.
Anjuran (sunnah) segera berbuka jika waktunya telah tiba, meskipun hanya seteguk air, menunjukkan bahwa Islam ingin umatnya menjalankan ajarannya dengan ringan, tidak terlalu berlebihan dan memberatkan. Dengan segera berbuka, rasa lapar dan dahaga yang ditahan sejak pagi hari akan segera terobati. Kita tidak dianjurkan (makruh) menunda-nunda berbuka sehingga terlalu lama menahan lapar.
-
Berdoa setelah berbuka dengan doa-doa yang ma‟tsur. Misalnya doa berikut:
Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dengan rezeki- Mu aku berbuka, kepada-Mu aku bertawakal, dan kepada-Mu aku beriman. Rasa haus menjadi hilang, keringat menjadi basah, dan pahala akan tetap, insya Allah. Wahai Zat yang memiliki karunia yang luas, ampunilah aku. Segala puji bagi Allah yang telah menolongku sehingga aku berpuasa, dan yang telah memberiku rezeki sehingga aku berbuka.
-
Memberi makanan untuk berbuka bagi orang-orang yang berpuasa. Hal ini dapat dilakukan kendatipun dengan sebiji kurma, seteguk air, atau yang lainnya. Sudah barang tentu, yang lebih sempurna adalah memberi makanan yang mengenyangkan. Pendapat ini didasarkan atas hadis:
Barang siapa memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikit pun.
-
Mandi dari janabah, dari haid, atau dari nifas sebelum fajar. Hal ini dimaksudkan agar seseorang berada dalam keadaan suci sejak permulaan siang.
-
Menahan lidah dan anggota badan dari pembicaraan dan perbuatan yang berlebih-lebihan yang tidak menimbulkan dosa. Adapun menahan diri dari hal-hal yang diharamkan, misalnya ghibah, mengadu domba, dan berdusta, maka hal itu sangat ditekankan untuk dihindari dalam bulan Ramadan. Menahan diri dari yang dilarang-Nya adalah wajib sepanjang zaman, dan melakukannya adalah haram pada setiap kesempatan. Nabi SAW bersabda:
Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dusta sebaliknya, dia malah mengerjakannya, maka Allah tidak membutuhkan makanan dan minuman yang telah ditinggalkannya.
-
Meninggalkan syahwat yang dibolehkan, yang tidak membatalkan puasa. Misalnya, mencari kesenangan syahwat melalui pendengaran, penglihatan, perabaan, atau penciuman. Contohnya mencium wewangian, memegang, dan melihatnya.
-
Menurut mazhab Syafi‟i, seseorang disunahkan menjauhi aktivitas berbekam, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.
-
Berlapang dada terhadap keluarga, berbuat baik kepada kerabat, dan memperbanyak sedekah kepada fakir miskin. Hal ini berdasarkan hadis yang terdapat dalam kitab Ash-Shahihain:
Rasulullah SAW adalah orang yang paling dermawan dengan kebaikan. Kedermawanannya itu lebih tampak) lagi dalam bulan Ramadan ketika ditemui oleh Jibril.
-
Menyibukkan diri dengan ilmu pengetahuan, membaca dan mengaji Al-Qur‟an, serta memperbanyak zikir dan membaca salawat kepada Nabi SAW, yang dilakukan pada setiap saat yang tidak memberatkan, baik pada malam hari maupun siang hari. Hal ini berdasarkan hadis yang terdapat dalam kitab Ash-Shahihain:
Jibril menemui Nabi SAW pada setiap malam bulan Ramadan. Dia mengajak beliau untuk mengaji Al-Qur‟an.
-
Melakukan i‟tikaf terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Hal itu dianjurkan karena i‟tikaf merupakan ibadah yang lebih menjaga diri dari hal-hal yang dilarang dan mengerjakan hal-hal yang diperintahkan. Dan dengan beri‟tikaf, seseorang bisa berharap untuk menemukan Lailatul Qadar. Sebab, Lailatul Qadar sering terjadi pada waktu tersebut. Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW sangat rajin pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, tidak seperti pada waktu-waktu yang lainnya. Aisyah berkata:
Apabila Nabi SAW memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, beliau menghidupkan malam, membangunkan keluarganya, dan mengencangkan sarungnya.