Apa yang anda ketahui tentang Suku Dayak ?

Suku Dayak adalah nama yang oleh penjajah diberi kepada penghuni pedalaman pulau Borneo yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan). Ada 5 suku atau 7 suku asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, Paser, Berau dan Tidung[ Menurut sensus Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak Indonesia (268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar). Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah Budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan “perhuluan” atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.

Apa yang anda ketahui tentang Suku Dayak ?

Etimologi


Istilah “Dayak” paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu. Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa di antaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.

Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn: orang daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu). Jadi semula istilah orang Daya (orang darat) ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil, selanjutnya oleh pihak kolonial Belanda hanya kedua daerah inilah yang kemudian secara administratif disebut Tanah Dayak. Sejak masa itulah istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito.

Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat yang berbeda-beda bahasanya, khususnya non-Muslim atau non-Melayu. Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun 1895.

Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai. Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet. Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur, yaitu Daya, Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.

Asal-usul Orang Dayak


Suku Dayak pada dasarnya berasal dari keturunan para imigran yang berasal dari Cina Selatan (Yunnan). Migrasi ini diperkirakan terjadi sekitar antara tahun 3000 s/d 1500 SM pada zaman glasial (zaman es). Mereka membentuk kelompok pengembara yang berjalan dari negeri asal melewati Vietnam Indocina, kemudian menuju Malaysia hingga akhirnya masuk di kepulauan nusantara.
Di daerah kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat banyak dihuni beragam etnis dayak yang hidup dalam kelompok masing-masing dengan budaya dan tradisi yang telah berjalan lama sejak ratusan tahun bahkan mungkin ribuan tahun yang lalu. Diduga kehadiran suku-suku Dayak di wilayah ini datang dalam 3 gelombang.

  • Migrasi dalam gelombang pertama diperkirakan datang dari arah barat (kemungkinan berasal dari hilir sungai Kapuas dan anak-anak sungai, seperti sungai Sekayam, Ketungau dan Sekadau). Suku-suku Dayak tersebut adalah: Seberuang, Ensilat, Iban, Kantu’, Tamanik, Desa, Sekapat, Suaid, Mayan, Sebaru’, Rembay, dan Ulu ai’.

  • Migrasi dalam gelombang kedua diperkirakan berasal dari arah timur daerah Data Purah, Apo Kayaan yang menghasilkan 3 suku Dayak yaitu: Punan, Buket dan Kayaan Mendalam.

  • Migrasi ketiga diduga juga berasal dari timur, yaitu sungai Kayaan. Kelompok ini tidak langsung ke Kalimantan barat, melainkan menuju sungai Mahakam kemudian menyebar ke hulu sungai Melawi. Pada gelombang ketiga ini terdiri dari:Orung Da’an, Suru’ dan Mentebah.

Mitologi Dayak menyatakan bahwa nenek moyang suku Dayak diturunkan di Palangka Bulau pada empat tempat, masing-masing adalah:

  1. Di Tahta Puruk Pamantuan, yang terletak di hulu sungai Kahayan dan Barito.
  2. Di Tahta Liang Mangan Puruk Kaminting, yang terletak di sekitar gunung Raya.
  3. Di Tahta Tangkasiang, di hulu sungai Malahui, yang terletak di daerah Kalimantan barat.
  4. Di Puruk Kambang Tanah Siang, yang terletak di hulu sungai Barito.

Orang-orang Dayak yang turun di tempat-tempat inilah yang berkembang biak dan menjadi cikal bakal suku dayak yang ada di Kalimantan. Pada tahun (1977-1978), Benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian Nusantara yang masih menyatu, yang memungkkinkan ras Mongoloid dari Asia mengembara melalui daratan dan sampai di pegunungan “Muller-Schwaner”. Namun setelah orang orang melayu dari Sumatera dan Semenanjung Malaka datang, orang dayak itu makin lama makin mundur ke dalam.

Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makassar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar pencar diseluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama mereka harus menyebar menulusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan.

Masyarakat Dayak Kalimantan merupakan suku bangsa yang heterogen, yang terdiri atas kurang lebih empat ratus lima sub suku kecil dari enam rumpun yaitu rumpun Klemantan, rumpun Iban, rumpun Apo Kayaan, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan, di mana terdapat sejumlah kesamaan yang signifikan sehingga masih memungkinkan untuk mengkaji kebudayaan Dayak sebagai satu kesatuan, terkecuali suku Punan yang lebih nomadik.

Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet. Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur, yaitu Daya’, Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.

Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. Dayak adalah suku asli yang mendiami kalimantan. Dari hulu sungai sampai ke hilir sungai.

Mite dan Magi Orang Dayak


  • Mite Penjadian
    Di dalam mite penjadian dituturkan bahwa segala sesuatu terjadi dalam beberapa tahap :

    1. Tahap pertama Yaitu sebelum alam semesta dijadikan, semula yang ada adalah dua bukit, tempat kediaman kedua dewata yang tertinggi, yaitu Bukit Emas dan Bukit Permata.

    2. Tahap kedua ini tidak diceritakan dengan jelas yang terang ialah, bahwa padi akhir tahap kedua ini alam atas dan alam bawah sudah terjadi sebagai suatu totalitas. Akan tetapi pada waktu itu belum ada manusia dan temat kediaman manusia.

    3. Pada tahap ketiga Mahatala memanggil Jata untuk berunding di alam atas.

  • Magi dalam Kepercayaan Orang Dayak
    Dalam mitos suku dayak ada 5 hal yang di takuti oleh orang luar suku dayak yaitu :

    • The Ghost Warrior (Prajurit Hantu)
      Suku Dayak mempunyai The Ghost Warrior, atau dalam bahasa Indonesia dapat di artikan prajurit hantu dan seperti itu lah yang mereka ketahui tentang suku dayak. Apa benar suku dayak mempunyai prajurit hantu ? mungkin anda telah mengetahuinya siapa sebenarnya prajurit hantu ini. Ya, The Ghost Warrior disebut juga pangkalima burung atau penglima burung. Perawakan panglima burung yang masih misterius bagi masyarakat Indonesia menjadikan pangkalima burung bak prajurit hantu yang siap menyerang siapa saja yang melecehkan Suku Dayak untuk melindungi tanah borneo.

    • Humans With Full Tattoo (Manusia Penuh Tato)
      Untuk yang kedua ini sepertinya tidak menyeramkan. Di mata dunia, tato pada suku dayak yang ada hampir menyelimuti tubuh suku dayak adalah sebuah karya seni. Sepertinya perlu di koreksi bahwa tidak semua masyarakat suku dayak mentatto seluruh tubuhnya bahkan penulis saja yang juga merupakan orang dayak tidak memiliki tato. Tapi jika dikaitkan dengan judul tulisan ini, maka bisa saja menjadi menyeramkan jika semua suku dayak mentato seluruh tubuhnya dan anda hidup di lungkungan dengan manusia yang semuanya penuh tatto.

    • The Deadly Sword ( Pedang Mematikan)
      Pedang mematikan, ternyata yang mereka maksud pedang mematikan ini adalah Mandau / Parang. karena pedang dan mandau adalah hal yang berbeda. Pedang mematikan ini adalah pedang magis yang dapat membunuh siapapun tanpa rasa kasihan.

    • Poisonous Chopsticks (Sumpit Beracun)
      Selain mandau terbang, hal menakutkan suku dayak di mata dunia adalah sumpit beracun. Entah apakah sumpit beracun masih ada atau tidak untuk saat ini, namun sumpit beracun suku dayak telah menjadi sejarah tersendiri bagi masyarakat dayak pasa masa penjajahan di masa lalu.

    • Dangerous Magic (Kekuatan Jahat)
      Suku dayak memiliki kekuatan magis yang sangat berbahaya yang menjadikan suku dayak sebagai salah satu dari 5 suku paling di takuti di dunia karena sihirnya. Sedikit berlebihan sih, tapi untuk pengingat saja bahwa tidak semua suku dayak memiliki kekuatan-kekuatan magis seperti yang ditakutkan oleh seluruh dunia termasuk Indonesia. Hanya segelintir orang dari suku dayak saja yang memiliki kekuatan seperti itu.

Upacara Adat Kematian dan Penguburan Orang Dayak

Dayak Ngaju
Upacara kematian dalam kepercayaan Dayak Ngaju yaitu jika orang dayak meninggal dunia, maka jenazah dimasukkan kedalam peti mati yang oleh masyarakat Dayak Ngaju disebut Raung, Raung atau tabela ini berbentuk perahu sebagai simbol perjalanan roh dan diberi hiasan burung enggang (hornbill) sebagai simbol dunia atas. Tutup dan badan raung disatukan setelah jenazah dimasukkan lalu diikat dengan tali rotan yang dianyam yang disebut saluang. Ketika jenazah dimasukkan di dalam raung, beberapa benda kesayangan si arwah semasa hidupnya juga diikut sertakan bersamanya sebagai bekal kubur. Raung berisi jenazah dan bekal kubur tersebut ditanam di dalam tanah. Tetapi kuburan tersebut sementara sifatnya, sebab yang terpenting adalah upacara pelepasan roh yang oleh masing-masing etnik masyarakat dayak berdeda-beda penyebutannya.

Baik upacara kematian Tiwah, Ijambe dan upacara Wara atau mabatur, merupakan upacara penguburan sekunder dengan pengambilan tulang-tulang untuk dipindahkan ke kuburan permanen. Di atas kuburan permanen itulah didirikan bangunan yang disebut pambak, Sandong. Dalam masyarakat Dayak dikenal suatu adat yang berkaitan dengan upacara kematian yang disebut dengan upacara Pesta Tiwah, melaLui upacara ini orang Dayak percaya bahwa roh Orang yang telah meninggal dapat sampai ke surga. Pada jaman dahulu upacara Pesta Tiwah disertai pula dengan adat mengayau. Upacara kematian biasa dimaksud untuk memimpin liau ke tempat peristirahatan sementara, yaitu di Bukit Pasahan Raung. Perjalanan liau kesitu disebutkan di dalam nyanyian para imam. Para liau menunggu di situ hingga diadakan upacara kedua, yaitu upacara Tiwah.

Mengenai tiwah dapat diuraikan sebagai berikut :
Tiwah yang artinya bebas, lepas dari kewajiban dimaksud uNtuk memimpin liau dari perjalanannya ke alam akhirat menuju ke lewu liau, tempat jiwa dipersatukan dengan nenek moyangnya dan untuk kedua kalinya memakamkan tulang-tulang sang wafat ditempat pemakaman yang tetap yang disebut sandong. Pestanya sendiri berlangsung 7 hari, tetapi pekerjaan yang harus dilakukan para imam sering berlangsung hingga 33 hari. Terlebih dahulu para imam, bersama dengan para sangiang, harus mengadakan persiapan simbolis yang dilakukan dengan menaikan puji-pujian.

Tiga hari sebelum tiwah dimulai orang menjemput sang wafat yang semula di makamkan untuk sementara waktu di luar desa. Dengan suatu pawai tulang-tulang sang wafat yang berada di dalam peti jenazah dibawa ke balai, tempat menempatkan peti-peti itu. Tempat penempatan peti-peti itu dihiasi dengan mutiara, bulu burung yang berharga, panji-panji dan anyaman-anyaman yang halus, sedang di peti jenazah ditempatkan harta pusaka kerabat yang berharga. Sesudah peti jenazah ditempatkan di balai, seluruh desa dan sungai-sungai dinyatakan sebagai najis. Dimulailah pali untuk 7 hari, desa dipandang sebagai tertutup dari dunia luar, karena diliputi oleh “sial” (bahaya/kecelakaan). Orang asing tak boleh memasukinya, perbatasan desa dan sungai-sungai di beri rintangan dengan rotan-rotan sebagai tanda bahaya. Waktu pali ini berlangsung hingga hari kelima dari pesta itu.

Para perempuan mempersiapkan makanan untuk hari berikutnya. Jika pekerjaan itu sudah selesai mereka diperkenankan berpesta sendiri. Menjelang malam dimulailah yang disebut magah liau yaitu panyalumpok liau ke alam akhirat. Upacara ini terdiri dari seorang imam, sebagai perantara tempon telon menjadi pemimpin liau itu.

Dahulu pada hari ini dikorbankan budak-budak, tetapi kemudian diganti dengan kerbau. Cara menyembelih kerbau itu harus sama dengan cara orang menyembelih manusia. Korban ini dimaksud untuk menjadikan jiwa budak itu melayani para wafat di alam baka. Dilakukan magah liau karahang, yaitu pemakaman tulang-tulang para wafat kedalam makam yang tetap.

Diperuntukan bagi para perempuan lagi, merekam mempersiapkan makanan bagi pesta pada hari berikutnya, yaitu puncak tiwah. Andau labah, pada hari ini perkabungan dan pali berakhir. Seluruh suku diundang untuk berpesta, juga mereka yang sudah tidak berada di alam orang hidup. Dengan nyanyian para imam para arwah nenek moyang diundang untuk menghadiri pesta itu (para orang yang sudah dimati diwakili oleh orang-orang yang memakai topeng). Hari ini dimulai dengan malalohan, yaitu pemberian hadiah. Hari ke enam dan ketujuh adalah hari penyucian segala orang yang ikut serta didalam perayaan tiwah ini.

Ada beberapa tempat pemakaman yang tetap ada yang berada dibagian udik dan ada yang berada dibagian hilir desa. Hal ini ditentukan oleh orang yang mati, apakah ia termasuk golongan tinggi atau rendah.

Dayak Benuaq
Prosesi Adat Kematian Dayak Benuaq Prosesi adat kematian Dayak Benuaq dilaksanakan secara berjenjang. Jenjang ini menunjukkan makin membaiknya kehidupan roh orang yang meninggal di alam baka. Orang Dayak Benuaq percaya bahwa alam baqa memiliki tingkat kehidupan yang berbeda sesuai dengan tingkat upacara yang dilaksanakan orang yang masih hidup (keluarga dan kerabat).

Alam baka dalam bahasa Benuaq disebut secara umum adalah Lumut. Di dalam Lumut terdapat tingkat (kualitas) kehidupan alam baqa. Kepercayaan Orang Dayak Benuaq tidak mengenal Nereka. Perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan Orang Dayak Benuaq telah mendapat ganjaran selama mereka hidup, baik berupa tulah, kutukan, bencana/malapetaka, penderitaan dll. Itu sebabnya Orang Dayak Benuaq meyakini jika terjadi yang tidak baik dalam kehidupan berarti telah terjadi pelanggaran adat dan perbuatan yang tidak baik. Untuk menghindari kehidupan yang penuh bencana, maka orang Dayak Benuaq berusaha menjalankan adat dengan sempurna dan menjalankan kehidupan dengan sebaik-baiknya.

Prosesi Adat Penguburan seperti Peti kubur di Kutai. tersebut merupakan kuburan Dayak Benuaq di Kutai. Peti yang dimaksud adalah Selokng (ditempatkan di Garai). Ini merupakan penguburan primer - tempat mayat melalui Upacara/Ritual Kenyauw. Sementara di sebelahnya (terlihat sepotong) merupakan Tempelaq yang merupakan tempat tulang si meninggal melalui Upacara/Ritual Kwangkay.
Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :

  1. wadah (peti) mayat
  2. wadah tulang-beluang.

Dayak Maanyaan
Ritual kematian yang digelar pada hakikatnya hanyalah mengantarkan liau (jiwa) agar sampai di tempat yang dituju, yakni lewu (surge) dan agar yidak tersesat di tengah jalan . Dalam ritual dibacakan nyanyian oleh seorang balian ( dukun) yang bermakna dua sisi, negatifdan positif. Nyanyian negative merupakan peringatan kepada liau supaya jangan tersesat, adapun positif memperlihatkan jalan yang harus di ttempuh. Ritual kematian secara tidak langsung juga berfungsi melindungi manusia yang masih hidup dari teguran dan gangguan liau-liau yang masih gentayangan.

Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :

  1. Penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
  2. Penguburan di dalam peti batu (dolmen)
  3. Penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
    Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
    1. Penguburan tahap pertama (primer)
    2. Penguburan tahap kedua (sekunder)
      Prosesi penguburan sekunder
      • Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
      • Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
        Bagi orang Dayak Maayan, kematian tidak lebih dari perpindahan kehidupan. Ritual penguburan dianggap hanya mengantarkan jiwa orang yang meninggal ke tempat peristirahatan sementara. Sedangkan ritual pembakaran tulang akan mengantarkan jiwa ke surga.

Upacara Kelahiran dalam Tradisi Suku Dayak
Menurut tradisi di kalangan masyarakat Dayak, pada saat melahirkan biasanya diadakan upacara memukul gendang/gimar dan kelentangan dalam nada khusus yang disebut Domaq. Hal itu dimaksud agar proses kelahiran dapat berjalan dengan lancar dan selamat. Setalah bayi lahir, tali pusar dipotong dengan menggunakan sembilu sebatas ukuran lutut si bayi dan kemudian diikat dengan benang dan diberi ramuan obat tradisional, seperti air kunyit dan gambir. Alas yang digunakan untuk memotong tali pusar, diatas uang logam perak atau bila tidak ada dapat diganti dengan sepotong gabus yang bersih. Setelah bersih bayi tersebut dimasukkan kedalam Siuur yang telah dilapisi dengan daun biruq di bagian bawah. Sedangkan di bagian atas, dilapisi daun pisang yang telah di panasi dengan api agar steril. Kemudian bayi yang telah dimasukan dalam Siuur itu, dibawa kesetiap sudut ruangan rumah, sambil meninggalkan potongan-potongan tongkol pisang yang telah disiapkan pada setiap ruangan tadi.

Upacara Perkawinan dalam Tradisi Suku Dayak
Upacara perkawinan suku Dayak sepenuhnya ditanggung oleh keluarga pihak wanita. Untuk pelaksanaan upacara perkawinan dipotong beberapa ekor babi, sedangkan memotong ayam untuk hidangan dianggap hina. Pada upacara perkawinan pengantin pria biasanya menghadiahkan berbagai tanda kenangan berupa barang antik kepada abang mempelai wanita. Sebagai pernyataan terima kasih karena selama ini abang telah mengasuh calon istrinya. Tanda kenangan yang oleh orang Dayak Ot Danum disebut sapput. itu berupa piring keramik Cina, gong antik, meriam kecil kuno, dan lain-lain. Di kalangan suku dayak Manyaan, Kalimantan Tengah, upacara perkawinan disertai dengan Pembayaran Harga Pengantin, yang terdiri dari uang, beberapa buah gong, dan barang-barang pusaka lainnya.

Upacara Tari Religi dalam Tradisi Suku Dayak
Tari Amboyo merupakan tari tradisi suku Dayak Kanayatn Bukit yang terdapat di Kalimantan Barat. Tari Amboyo termasuk dalam tari upacara tradisi yang sifatnya ritual. Menurut Soedarsono (1982) Tari upacara pada umumnya bersifat sakral (sesuatu yang spritual berhubungan dengan kesucian) dan bersifat ritual, yang diutamakan pada tari upacara ini aspek kehendak maka perbendaharaan gerak tarinya adalah sederhana dan terbatas begitu pula koreografinya sangat sederhana. Pada bagian gerak banyak dilakukan pengulangan. Tari Amboyo adalah tari menimang padi pada saat upacara Naik Dango. Dalam pelaksanaan Tari Amboyo yang hanya dilakukan pada upacara Naik Dango, merupakan pengungkapan keyakinan akan adanya kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa.