Upacara Adat Kematian dan Penguburan Orang Dayak
Dayak Ngaju
Upacara kematian dalam kepercayaan Dayak Ngaju yaitu jika orang dayak meninggal dunia, maka jenazah dimasukkan kedalam peti mati yang oleh masyarakat Dayak Ngaju disebut Raung, Raung atau tabela ini berbentuk perahu sebagai simbol perjalanan roh dan diberi hiasan burung enggang (hornbill) sebagai simbol dunia atas. Tutup dan badan raung disatukan setelah jenazah dimasukkan lalu diikat dengan tali rotan yang dianyam yang disebut saluang. Ketika jenazah dimasukkan di dalam raung, beberapa benda kesayangan si arwah semasa hidupnya juga diikut sertakan bersamanya sebagai bekal kubur. Raung berisi jenazah dan bekal kubur tersebut ditanam di dalam tanah. Tetapi kuburan tersebut sementara sifatnya, sebab yang terpenting adalah upacara pelepasan roh yang oleh masing-masing etnik masyarakat dayak berdeda-beda penyebutannya.
Baik upacara kematian Tiwah, Ijambe dan upacara Wara atau mabatur, merupakan upacara penguburan sekunder dengan pengambilan tulang-tulang untuk dipindahkan ke kuburan permanen. Di atas kuburan permanen itulah didirikan bangunan yang disebut pambak, Sandong. Dalam masyarakat Dayak dikenal suatu adat yang berkaitan dengan upacara kematian yang disebut dengan upacara Pesta Tiwah, melaLui upacara ini orang Dayak percaya bahwa roh Orang yang telah meninggal dapat sampai ke surga. Pada jaman dahulu upacara Pesta Tiwah disertai pula dengan adat mengayau. Upacara kematian biasa dimaksud untuk memimpin liau ke tempat peristirahatan sementara, yaitu di Bukit Pasahan Raung. Perjalanan liau kesitu disebutkan di dalam nyanyian para imam. Para liau menunggu di situ hingga diadakan upacara kedua, yaitu upacara Tiwah.
Mengenai tiwah dapat diuraikan sebagai berikut :
Tiwah yang artinya bebas, lepas dari kewajiban dimaksud uNtuk memimpin liau dari perjalanannya ke alam akhirat menuju ke lewu liau, tempat jiwa dipersatukan dengan nenek moyangnya dan untuk kedua kalinya memakamkan tulang-tulang sang wafat ditempat pemakaman yang tetap yang disebut sandong. Pestanya sendiri berlangsung 7 hari, tetapi pekerjaan yang harus dilakukan para imam sering berlangsung hingga 33 hari. Terlebih dahulu para imam, bersama dengan para sangiang, harus mengadakan persiapan simbolis yang dilakukan dengan menaikan puji-pujian.
Tiga hari sebelum tiwah dimulai orang menjemput sang wafat yang semula di makamkan untuk sementara waktu di luar desa. Dengan suatu pawai tulang-tulang sang wafat yang berada di dalam peti jenazah dibawa ke balai, tempat menempatkan peti-peti itu. Tempat penempatan peti-peti itu dihiasi dengan mutiara, bulu burung yang berharga, panji-panji dan anyaman-anyaman yang halus, sedang di peti jenazah ditempatkan harta pusaka kerabat yang berharga. Sesudah peti jenazah ditempatkan di balai, seluruh desa dan sungai-sungai dinyatakan sebagai najis. Dimulailah pali untuk 7 hari, desa dipandang sebagai tertutup dari dunia luar, karena diliputi oleh “sial” (bahaya/kecelakaan). Orang asing tak boleh memasukinya, perbatasan desa dan sungai-sungai di beri rintangan dengan rotan-rotan sebagai tanda bahaya. Waktu pali ini berlangsung hingga hari kelima dari pesta itu.
Para perempuan mempersiapkan makanan untuk hari berikutnya. Jika pekerjaan itu sudah selesai mereka diperkenankan berpesta sendiri. Menjelang malam dimulailah yang disebut magah liau yaitu panyalumpok liau ke alam akhirat. Upacara ini terdiri dari seorang imam, sebagai perantara tempon telon menjadi pemimpin liau itu.
Dahulu pada hari ini dikorbankan budak-budak, tetapi kemudian diganti dengan kerbau. Cara menyembelih kerbau itu harus sama dengan cara orang menyembelih manusia. Korban ini dimaksud untuk menjadikan jiwa budak itu melayani para wafat di alam baka. Dilakukan magah liau karahang, yaitu pemakaman tulang-tulang para wafat kedalam makam yang tetap.
Diperuntukan bagi para perempuan lagi, merekam mempersiapkan makanan bagi pesta pada hari berikutnya, yaitu puncak tiwah. Andau labah, pada hari ini perkabungan dan pali berakhir. Seluruh suku diundang untuk berpesta, juga mereka yang sudah tidak berada di alam orang hidup. Dengan nyanyian para imam para arwah nenek moyang diundang untuk menghadiri pesta itu (para orang yang sudah dimati diwakili oleh orang-orang yang memakai topeng). Hari ini dimulai dengan malalohan, yaitu pemberian hadiah. Hari ke enam dan ketujuh adalah hari penyucian segala orang yang ikut serta didalam perayaan tiwah ini.
Ada beberapa tempat pemakaman yang tetap ada yang berada dibagian udik dan ada yang berada dibagian hilir desa. Hal ini ditentukan oleh orang yang mati, apakah ia termasuk golongan tinggi atau rendah.
Dayak Benuaq
Prosesi Adat Kematian Dayak Benuaq Prosesi adat kematian Dayak Benuaq dilaksanakan secara berjenjang. Jenjang ini menunjukkan makin membaiknya kehidupan roh orang yang meninggal di alam baka. Orang Dayak Benuaq percaya bahwa alam baqa memiliki tingkat kehidupan yang berbeda sesuai dengan tingkat upacara yang dilaksanakan orang yang masih hidup (keluarga dan kerabat).
Alam baka dalam bahasa Benuaq disebut secara umum adalah Lumut. Di dalam Lumut terdapat tingkat (kualitas) kehidupan alam baqa. Kepercayaan Orang Dayak Benuaq tidak mengenal Nereka. Perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan Orang Dayak Benuaq telah mendapat ganjaran selama mereka hidup, baik berupa tulah, kutukan, bencana/malapetaka, penderitaan dll. Itu sebabnya Orang Dayak Benuaq meyakini jika terjadi yang tidak baik dalam kehidupan berarti telah terjadi pelanggaran adat dan perbuatan yang tidak baik. Untuk menghindari kehidupan yang penuh bencana, maka orang Dayak Benuaq berusaha menjalankan adat dengan sempurna dan menjalankan kehidupan dengan sebaik-baiknya.
Prosesi Adat Penguburan seperti Peti kubur di Kutai. tersebut merupakan kuburan Dayak Benuaq di Kutai. Peti yang dimaksud adalah Selokng (ditempatkan di Garai). Ini merupakan penguburan primer - tempat mayat melalui Upacara/Ritual Kenyauw. Sementara di sebelahnya (terlihat sepotong) merupakan Tempelaq yang merupakan tempat tulang si meninggal melalui Upacara/Ritual Kwangkay.
Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
- wadah (peti) mayat
- wadah tulang-beluang.
Dayak Maanyaan
Ritual kematian yang digelar pada hakikatnya hanyalah mengantarkan liau (jiwa) agar sampai di tempat yang dituju, yakni lewu (surge) dan agar yidak tersesat di tengah jalan . Dalam ritual dibacakan nyanyian oleh seorang balian ( dukun) yang bermakna dua sisi, negatifdan positif. Nyanyian negative merupakan peringatan kepada liau supaya jangan tersesat, adapun positif memperlihatkan jalan yang harus di ttempuh. Ritual kematian secara tidak langsung juga berfungsi melindungi manusia yang masih hidup dari teguran dan gangguan liau-liau yang masih gentayangan.
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
- Penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
- Penguburan di dalam peti batu (dolmen)
- Penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
- Penguburan tahap pertama (primer)
- Penguburan tahap kedua (sekunder)
Prosesi penguburan sekunder
- Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
- Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
Bagi orang Dayak Maayan, kematian tidak lebih dari perpindahan kehidupan. Ritual penguburan dianggap hanya mengantarkan jiwa orang yang meninggal ke tempat peristirahatan sementara. Sedangkan ritual pembakaran tulang akan mengantarkan jiwa ke surga.
Upacara Kelahiran dalam Tradisi Suku Dayak
Menurut tradisi di kalangan masyarakat Dayak, pada saat melahirkan biasanya diadakan upacara memukul gendang/gimar dan kelentangan dalam nada khusus yang disebut Domaq. Hal itu dimaksud agar proses kelahiran dapat berjalan dengan lancar dan selamat. Setalah bayi lahir, tali pusar dipotong dengan menggunakan sembilu sebatas ukuran lutut si bayi dan kemudian diikat dengan benang dan diberi ramuan obat tradisional, seperti air kunyit dan gambir. Alas yang digunakan untuk memotong tali pusar, diatas uang logam perak atau bila tidak ada dapat diganti dengan sepotong gabus yang bersih. Setelah bersih bayi tersebut dimasukkan kedalam Siuur yang telah dilapisi dengan daun biruq di bagian bawah. Sedangkan di bagian atas, dilapisi daun pisang yang telah di panasi dengan api agar steril. Kemudian bayi yang telah dimasukan dalam Siuur itu, dibawa kesetiap sudut ruangan rumah, sambil meninggalkan potongan-potongan tongkol pisang yang telah disiapkan pada setiap ruangan tadi.
Upacara Perkawinan dalam Tradisi Suku Dayak
Upacara perkawinan suku Dayak sepenuhnya ditanggung oleh keluarga pihak wanita. Untuk pelaksanaan upacara perkawinan dipotong beberapa ekor babi, sedangkan memotong ayam untuk hidangan dianggap hina. Pada upacara perkawinan pengantin pria biasanya menghadiahkan berbagai tanda kenangan berupa barang antik kepada abang mempelai wanita. Sebagai pernyataan terima kasih karena selama ini abang telah mengasuh calon istrinya. Tanda kenangan yang oleh orang Dayak Ot Danum disebut sapput. itu berupa piring keramik Cina, gong antik, meriam kecil kuno, dan lain-lain. Di kalangan suku dayak Manyaan, Kalimantan Tengah, upacara perkawinan disertai dengan Pembayaran Harga Pengantin, yang terdiri dari uang, beberapa buah gong, dan barang-barang pusaka lainnya.
Upacara Tari Religi dalam Tradisi Suku Dayak
Tari Amboyo merupakan tari tradisi suku Dayak Kanayatn Bukit yang terdapat di Kalimantan Barat. Tari Amboyo termasuk dalam tari upacara tradisi yang sifatnya ritual. Menurut Soedarsono (1982) Tari upacara pada umumnya bersifat sakral (sesuatu yang spritual berhubungan dengan kesucian) dan bersifat ritual, yang diutamakan pada tari upacara ini aspek kehendak maka perbendaharaan gerak tarinya adalah sederhana dan terbatas begitu pula koreografinya sangat sederhana. Pada bagian gerak banyak dilakukan pengulangan. Tari Amboyo adalah tari menimang padi pada saat upacara Naik Dango. Dalam pelaksanaan Tari Amboyo yang hanya dilakukan pada upacara Naik Dango, merupakan pengungkapan keyakinan akan adanya kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa.