Sick Building Syindrome
Istilah sick building syndrome (SBS) mempunyai dua arti yaitu :
-
SBS adalah kumpulan gejala (sindroma) yang dikeluhkan seseorang atau sekelompok orang meliputi perasaanperasaan tidak spesifik yang mengganggu kesehatan berkaitan dengan kondisi gedung tertentu.
-
SBS merupakan suatu kondisi gedung tertentu berkaitan dengan keluhan atau gangguan kesehatan tidak spesifik yang dialami penghuninya, sehingga dikatakan gedung yang sakit.
Menurut Finnegan dan Pickering dalam jurnal yang dibuat oleh Wawolumaya (1996), dilaporkan bahwa SBS merupakan kumpulan dari berbagai penyakit seperti penyakit alergi, infeksi bakteri, virus, dan jamur. Gejala-gejala penyakit yang muncul antara lain sakit kepala, letih lesu, gangguan nasal, dan membran mukosa. Juga dihubungkan dengan berbagai faktor seperti efek biologis dari ion-ion dalam udara; peningkatan ion negatif udara memanjangkan waktu reaksi sedangkan meningkatnya ion positif di udara dapat dihubungkan dengan efek deleterious, gangguan saluran pernafasan atas, gangguan mata/penglihatan, pening, kesukaran bernafas dan sakit kepala, juga gejala penyakit bersifat seperti asmatis, alergi alveolistis. Dikatakan SBS apabila lebih dari 20% penghuni gedung mengalami gejala gangguan pernafasan, iritasi mata, sakit kepala dan fatigue ( University of North Carolina at Chapel Hill , 2002).
> Banyak peneliti setuju bahwa sick building syndrome menggambarkan kumpulan dari gejala yang asal usulnya tidak diketahui dengan jelas, ditambah lagi dengan adanya pengaruh khususnya dari lingkungan gedung. Dari informasi yang telah dikumpulkan, para peneliti (Levin 1989 dan Raw 1994) telah berusaha mengklarifikasi penggunaan beberapa istilah yang berbeda atau bermakna ambigu, contohnya “building sickness”, “building-related occupant complaint syndrome”, “nonspecific building-related illness”, “office eye syndrome”, “sick office syndrome”, and “tight building syndrome” (Spengler, 2001).
Berbagai keluhan dan gejala yang timbul pada saat seseorang berada didalam gedung dan kondisi membaik setelah tidak berada didalam gedung, besar kemungkinan karena menderita “ sick building syndrome ” (SBS) atau “sindrom gedung sakit”. Kasus-kasus SBS memang tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas dan secara objektif tidak dapat diukur. Keluhan dan tanda berupa sakit kepala, lesu, iritasi mata maupun kulit serta berbagai problem pernapasan, seringkali sulit diperoleh penyebab yang nyata dan kadang-kadang dihubungkan dengan SBS apabila terdapat riwayat tinggal di gedung dengan kualitas ruangan yang buruk (Anies, 2004)
Wawolumaya (1996) dalam Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia menyebutkan bahwa sebuah hasil penelitian di Australia melaporkan bahwa SBS dapat dihubungkan dengan terjadinya akumulasi bakteri, virus dan mikroorganisme lainnya dalam saluran AC, cooling towers atau menara pendingin sistem saluran air dan lain-lain yang termasuk dalam sistem pendingin gedung.
Gejala yang terjadi berjenis-jenis mulai dari common cold sampai penyakit legionnaires yang disebabkan oleh kuman legionella. Hal yang sama dilaporkan oleh penelitian-penelitian di Inggris dari Sherwood Burge of the Occupational Lung Disease Unit East Birmingham Hospital England tahun 1988 pada 4000 karyawan kantor. Dilaporan bahwa SBS dapat dihubungkan dengan sistem alat pendingin atau alat penyejuk ruangan yang kurang bersih.
Menurt EPA (1991), sick building syndrome didefinisikan sebagai situasi dimana penghuni gedung (bangunan) mengeluhkan permasalahan kesehatan dan kenyamanan yang akut, yang penyebabnya tidak dapat diidentifikasikan. Manusia menghabiskan 90% waktunya dalam lingkungan konstruksi, baik itu didalam bangunan kantor ataupun rumah yang mungkin sekali kualitas udara dalam ruangnya tercemar oleh chemical yang berasal dari dalam maupun luar ruangan, tercemar oleh mikroba ataupun disebabkan karena ventilasi udara yang kurang baik.
Contoh polutan yang bisa mencemari ruangan misalnya asap rokok; ozone yang berasal dari mesin fotocopi dan printer; volatile organic compounds yang berasal dari karpet , furniture, cat, cleaning agents , debu, karbon monoksida, formaldehid, dll (Kurniadi, 2009).
ASHRAE menyebutkan bahwa standar ventilasi yang baik adalah tersedianya minimal 15 ft³/m (cfm) udara dari luar gedung untuk satu orang,dengan 20 cfm/orang pada ruang kerja dan sampai dengan 60 cfm pada ruangan lain, tergantung dari aktivitas yang biasanya terjadi di tempat tersebut (Alan, 2007).
Gejala-gejala SBS
Menurut WHO (1983) yang dikutip oleh Anies (2004) dikatakan bahwa:
-
Banyak kasus SBS menunjukkan gejala yang tidak jelas secara klinis, sehingga tidak dapat diukur. Sebagian besar penderita adalah para pekerja rutin di gedung-gedung. Meskipun keluhan dan tanda yang dikemukakan oleh para penderita bersifat kronis dan mencapai 80% dari para pekerja dilaporkan menderita SBS, tetapi seringkali tidak ditemukan polusi yang jelas. Para penghuni gedung yang tidak sehat ini umumnya mengalami gejala-gejala SBS yang bervariasi. Gejala-gejala tersebut meliputi sakit kepala, pening, mual, iritasi, pada mata, hidung maupun tenggorokan yang disertai dengan batuk kering. Gejala khas pada kulit, berupa kulit kering dan gatal-gatal. Keluhan SBS yang sering dikemukakan antara lain kelelahan, peka terhadap bau yang tidak sedap serta sulit untuk berkonsentrasi ( Burge et al ., 1987)
-
Gejala dan keluhan diatas berkaitan dengan penyakit-penyakit spesifik dan non spesifik. Penyakit-penyakit spesifik tersebut antara lain infeksi standar dalam ruangan seperti tuberculosis atau legionellosis , alergi terhadap bahan-bahan penyebab alergi dalam ruangan seperti tungau, produk tumbuh-tumbuhan serta jamur. Iritasi biasanya disebabkan oleh bahan- bahan kimia mudah menguap yang dilepaskan dari lingkungan. Karbon monoksida yang berkaitan dengan asap rokok serta gas-gas buang lain mempunyai andil cukup besar dalam menimbulkan gejala dan keluhan pada SBS (Menzies and Bourbeau, 1997).
-
Penyakit-penyakit non spesifik meskipun dapat bermanisfestasi gejala serta keluhan seperti telah disebutkan, tetapi berhubungan dengan berbagai faktor seperti usia yang lebih muda, jenis kelamin wanita, asap rokok serta jenis pekerjaan (pekerjaan fotokopi), tingkat keramaian kantor, penggunaan karpet di dalam ruangan serta banyak atau sedikitnya ventilasi ruangan, ikut berperan dalam menimbulkan gejala dan keluhan SBS (Hedge, 1989; Mendell, 1993).
-
Gejala-gejala SBS sering dihubungkan dengan tingkat stres emosional seseorang (Morris and Hawkins, 1987). Faktor-faktor pekerjaan seperti jenjang jabatan dalam pekerjaan, lama menggunakan komputer, tekanan pekerjaan maupun kepuasan kerja, mempunyai andil dalam menimbulkan SBS. Dalam studi terhadap hampir 4.500 pekerja kantor dalam gedung yang ruangannya menggunakan AC, kualitas udara ruangan yang diterima, pemakaian komputer, kepuasan kerja, tekanan pekerjaan serta jenis kelamin, menunjukkan secara signifikan pengaruhnya terhadap jumlah gejala SBS yang dikeluhkan oleh para pekerja (Hedge et al ., 1992; Hedgeet al ., 1995; Hedge et al ., 1996).
Faktor-faktor yang menimbulkan SBS
Anies (2004) mengatakan bahwa kualitas udara, ventilasi, pencahayaan serta penggunaan berbagai bahan kimia di dalam gedung, merupakan penyebab yang sangat potensial bagi timbulnya SBS (Burge, 1987). Kondisi semakin buruk jika gedung yang bersangkutan menggunakan air-conditioned (AC) yang tidak terawat dengan baik (Apter et al., 1994; Mendell, 1993). Namun, disamping karena penyebab yang bersumber pada lingkungan, ternyata keluhan-keluhan pada SBS juga dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar lingkungan, seperti problem pribadi, pekerjaan dan psikologis yang dianggap mempengaruhi kepekaan seseorang terhadap SBS (Hedge, 1995).
Untuk mengerti penyebab dari sakit karena gedung telah dilakukan dengan melakukan penyelidikan terhadap banyak parameter. Penyelidikan ini cenderung difokuskan pada kinerja ventilasi, kontaminan, dan berbagai variasi parameter lainnya. Tipikal parameter yang telah diselidiki dapat dilihat pada tabel berikut
Dalam buku Kualitas Udara dalam Ruang (1998) dituliskan bahwa tidak satupun penyebab telah dapat diidentifikasi secara sempurna dan banyak dari kejadian lainnya mengenai penyebab sakit karena gedung tidak dapat disimpulkan. Kumpulan makalah yang dituliskan oleh Sundell (1994) termasuk membahas kajian ekstensif dari topik ini dan hasil-hasil dari beberapa studi. Diantara studinya Sundell menyimpulkan beberapa kejadian menunjukkan bahwa lambatnya aliran udara pada ventilasi di dalam kantor, dikombinasikan dengan kehadiran berbagai polutan dapat meningkatkan masalah-masalah yang berhubungan sakit gedung, walaupun gejala yang ditemukan untuk kejadian pada seluruh jenis ventilasi. Penggunaan sistem ventilasi secara berkala ( intermittent ) juga meningkatkan resiko. Oleh karena itu perlu dicatat bahwa berbagai hubungan dengan SBS adalah berkaitan dengan penggunaan ventilasi untuk mengalirkan udara, baik dalam kondisi aliran besar atau kecil.
Mendell meninjau dari 32 penelitian yang dilakukan antara tahun 1984 dan 1992 mempertimbangkan bahwa ada 37 faktor potensial yang berhubungan dengan gejala-gejala pada pekerja kantor. Mendell menyiapkan sebuah ringkasan laporan hubungan antara prevalensi gejala dengan pengukuran lingkungan, faktor gedung, faktor tempat kerja dan faktor pekerjaan atau faktor pribadi. (Spengler, 2001).
Cara Penanggulangan SBS
Untuk mengurangi dampak keluhan kesehatan akibat berada dalam ruangan ber-AC yang tertutup, maka disarankan agar membuka jendela ruangan selama 1 jam dalam satu hari kerja, serta menjaga kondisi tubuh dengan minum air hangat saat tubuh mulai terasa dingin atau menggunakan jaket saat bekerja (Asrul, 2009).
Menurut Seppanen et al. dalam Spengler (2001), dikatakan bahwa prevalensi SBS dapat menurun dengan meningkatkan kecepatan ventilasi yaitu 20L/detik per orang.
Pada tahun 2003 dilakukan studi penelitian pada pekerja call center , dikatakan bahwa pekerja yang duduk dekat dengan jendela akan lebih cepat kerjanya sekitar 6-12%, dan memiliki masalah kesehatan yang lebih sedikit dibandingkan dengan teman kerjanya (Aston , 2007).
Menurut Mohun J, penanggulangan SBS dapat dilakukan dengan membuat taman hijau di sekitar bangunan yang dapat mengurangi stres dari karyawan dan Mckee menyarankan untuk gedung yang sehat adalah jendela yang cukup dapat memasukkan udara segar dan cahaya alamiah; plafon yang tinggi untuk kenyamanan udara sejuk; bila menggunakan penerangan buatan supaya distribusinya merata, ventilasi sederhana dan penggunaan komputer yang ergonomik (Wawolumaya, 1996).
Menurut Kusnoputranto (Wahyuni, 2004), dalam hubungannya dengan kejadian sick building syndrome, ada beberapa faktor yang dapat diperhatikan dalam upaya pencegahannya :
-
Pemilihan lokasi gedung
Polusi udara dapat berasal dari sumber yang dekat atau yang jauh dari lokasi gedung. Oleh karena itu, sebelum mendirikan bangunan harus diperhatikan hal-hal :
- Data tentang tingkat polusi di daerah tersebut
- Analisis sumber polusi di sekitar lokasi
- Tingkat polusi air dan tanah, meliputi gas radon dan komponen radioaktif lainnya
- Informasi tentang cuaca dan iklim yang dominan di lokasi
-
Desain arsitektur
Dalam merancang sebuah gedung harus diperhitungkan faktor kelembaban dalam ruang, perubahan temperatur, pergerakan udara, radiasi, serangan bahaya kimia dan agen biologi atau bencana alam. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperhatikan :
- Bagian gedung yang terbuka harus terletak jauh dari sumber polusi dan tidak terletak padas posisi berlawanan dengan arah angin
- Perlu diperhatikan tentang pembuangan air
- Tempat parkir kendaraan harus dibangun jauh dan tidak terletak pada sumber intake udara gedung
-
Pengaturan jendela
Dalam membangun sebuah gedung, pengaturan jendela termasuk dalam perencanaan proyek arsitektural. Keuntungannya adalah untuk menyediakan ventilasi tambahan untuk daerah-daerah yang membutuhkan. Selain itu, keuntungan kedua adalah bersifat psikososial yaitu memberikan pemandangan keluar ruangan untuk para karyawan.
-
Perlindungan kelembaban
Hal ini merupakan cara penting untuk melakukan pengendalian terhadap kejadian SBS, terdiri dari usaha penurunan kelembaban pada pondasi bangunan dimana mikroorganisme terutama jamur dapat menyebar dan berkembang. Isolasi dan pengendalian area yang paling rawan kelembaban perlu dipertimbangkan karena kelembaban dapat merusak bahan-bahan perlengkapan gedung dan biasanya bahan yang rusak tersebut menjadi sumber kontaminan mikrobiologis.
-
Perencanaan jarak dalam ruangan
Untuk menghindari efek SBS perlu diketahui berbagai aktivitas yang dapat menjadi sumber kontaminasi. Contoh aktifitas yang dapat menjadi sumber kontaminasi yaitu bagian penyiapan makanan (dapur), percetakan, penggunaan mesin fotokopi dan merokok. Pengetahuan ini dapat digunakan untuk membatasi dan mengendalikan sumber-sumber potensial polusi.
-
Pemilihan bahan
Karakteristik bahan yang digunakan untuk konstruksi, dekorasi dan perabotan, aktivitas kerja sehari-hari serta cara gedung dibersihkan harus diperhatikan dalam rangka mencegah timbulnya masalah polusi udara dalam gedung. Beberapa produsen bahan perlengkapan kantor tidak mempelajari produk mereka dan telah melakukan pelabelan “environmentally safe”, “nontoxic”, dan sebagainya. Hal ini tentu akan memudahkan pengelola gedung dalam pemilihan bahan yang kadar polutannya rendah untuk digunakan sebagai bahan perlengkapan gedungnya.
-
Sistem ventilasi dan pengendalian suhu dalam ruangan
Dalam ruangan yang luasnya terbatas, ventilasi adalah salah satu metode untuk pengendalian kualitas udara. Ventilasi adalah metode pengendalian yang biasanya digunakan untuk melarutkan, mengencerkan dan menghilangkan kontaminan dari dalam ruangan yang terkena polusi. Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mendesain sistem ventilasi :
- Kualitas udara luar yang akan digunakan
Adanya polutan tertentu yang harus diperhatikan tentang kemampuan penyebarannya
- Sumber-sumber yang mungkin mengkontaminasi
- Distribusi udara di dalam ruangan
Didalam jurnal yang berjudul sick building syndrome solution Arnold (2001) mengatakan bahwa solusi untuk mengatasi SBS yaitu memindahkan sumber polutan atau memodifikasinya, meningkatkan kecepatan ventilasi dan distribusi udara, pembersihan udara, edukasi dan komunikasi merupakan elemen yang penting dalam program manajemen indoor air quality.