Apa yang anda ketahui tentang Sindrom bangunan sakit atau Sick Building Syndrome?

Sindom bangunan sakit

Sindrom bangunan sakit (Sick building syndrome) adalah gejala-gejala yang muncul di tempat tinggal atau kerja (kantor) tertentu tanpa alasan yang jelas. Semakin lama seseorang menghabiskan waktu di dalam bangunan tersebut, semakin parah gejala yang dialami; sebaliknya, begitu seseorang menjauhi bangunan tersebut, gejala mulai membaik atau menghilang. Beberapa gejala yang paling sering dilaporkan adalah sakit kepala, iritasi mata, hidung dan tenggorokan, rasa lelah, dan mual. Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia pada tahun 1984, terdapat 30% bangunan baru dan terenovasi yang terkait dengan gejala-gejala SBS. Sebagian besar gejala sindrom bangunan sakit disebabkan oleh kualitas udara di dalam ruangan yang buruk.

SBS dapat disebabkan oleh buruknya sistem pemanas, ventilasi dan AC, walaupun hasil penelitian terkait dengan hal ini masih belum jelas. Penyebab-penyebab lain adalah kontaminan yang dihasilkan oleh pelepasan gas dari beberapa jenis bahan bangunan, senyawa organik mudah menguap, kapang, ventilasi pembangunan ozon yang buruk (dari beberapa mesin), penggunaan bahan kimia industri ringan di dalam bangunan, atau tidak cukupnya udara segar di dalam ruangan.

Istilah Sick Building Syndrome (SBS) pertama kali diperkenalkan oleh para ahli dari negara Skandinavia pada tahun 80-an. Sick Building Syndrome dikenal juga dengan Tigh Building Syndrome (TBS) karena sindroma ini sering dijumpai dalam ruang-ruang pada gedung pencakar langit. Namun dari penelitian yang dilakukan oleh NIOSH (National Institute for Occupational Safety and Health, USA) ditemukan pula pada gedung-gedung biasa dengan karakteristik kualitas udara yang buruk. Istilah SBS mempunyai dua pengertian yaitu:

Kumpulan gejala yang dikeluhkan seseorang atau kelompok orang meliputi perasaan-perasaaan tidak spesifik yang mengganggu kesehatan berkaitan dengan kondisi gedung tertentu.

Gejala Sick Building Syndrome


Sick Building Syndrome

Menurut Iskandar (2007), Sick Building Syndrome merupakan salah satu istilah yang jarang digunakan di Indonesia sehingga banyak orang tidak mengetahui apa artinya. Sick Building Syndrome (SBS) adalah istilah yang mengacu pada sejumlah gejala alergi yang mempengaruhi sebagian pekerja kantor dalam suatu gedung selama mereka berada di dalam gedung tersebut dan secara berangsur menghilang setelah mereka meninggalkan gedung.

Gejala-gejala gangguan kesehatan yang sering dialami pekerja yang bekerja dalam ruang kantor di antaranya adalah iritasi mata, iritasi hidung, iritasi tenggorokan, pilek, bintik merah pada kulit, sakit kepala, mual, batuk, dan bersin- bersin. Gejala-gejala ini dinyatakan sebagai SBS apabila gejala tersebut minimal dialami oleh 20% dari pekerja kantor yang berada di dalam gedung.

SBS muncul apabila terjadi kondisi lingkungan yang tidak sehat di dalam ruang kerja atau gedung. Hal ini didasarkan dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli dalam gedung-gedung perkantoran yang memiliki berbagai fasilitas modern di dalamnya dan sistem ventilasi yang menggunakan air conditioning .

Gejala Sick Building Syndrome, sebagai dampak pencemaran udara dalam ruangan terhadap tubuh terutama pada daerah tubuh atau organ tubuh yang kontak langsung dengan udara meliputi organ sebagai berikut (Prasasti, dkk: 2005):

  • Iritasi selaput lendir: Iritasi mata, mata pedih, mata merah, mata berair.

  • Iritasi hidung, bersin, gatal: Iritasi tenggorokan, sakit menelan, gatal, batuk kering.

  • Gangguan neurotoksik: Sakit kepala, lemah/capai, mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi.

  • Gangguan paru dan pernafasan: Batuk, nafas berbunyi/mengi, sesak nafas, rasa berat di dada.

  • Gangguan kulit: Kulit kering, kulit gatal

  • Gangguan saluran cerna: Diare/mencret

  • Lain-lain: Gangguan perilaku, gangguan saluran kencing, sulit belajar

Keluhan tersebut biasanya tidak terlalu parah dan tidak menimbulkan kecacatan tetap, tetapi jelas terasa amat mengganggu, tidak menyenangkan dan bahkan mengakibatkan menurunnya produktivitas kerja para pekerja.

Gejala-gejala yang timbul memang berhubungan dengan tidak sehatnya udara di dalam gedung. Keluhan-keluhan tersebut biasanya menetap setidaknya dua minggu. Keluhan-keluhan yang ada biasanya tidak terlalu hebat, tetapi cukup terasa mengganggu dan yang penting amat berpengaruh terhadap produktifitas kerja seseorang. Sindrom gedung sakit baru dapat dipertimbangkan bila lebih dari 20%, atau bahkan sampai 50% pengguna suatu gedung mempunyai keluhan- keluhan seperti di atas. Kalau hanya dua atau tiga orang maka mereka mungkin sedang kena flu biasa (Aditama, 1991).

Penyebab Sick Building Syndrome


Penyebab dari gejala SBS menurut Soemirat, 2004, tidak jelas dan dapat bermacam-macam penyebabnya, tetapi yang jelas fenomena ini berkaitan dengan kondisi gedung serta kualitas udara yang tidak memenuhi syarat.

Berdasarkan evaluasi penyebab SBS oleh NIOSH terhadap gedung perkantoran, sekolah, universitas, dan gedung palayanan kesehatan selama tahun 1978-1989 telah ditemukan faktor kondisi gedung yang diduga menyebabkan SBS. Faktor ventilasi gedung yang tidak adekuat menjadi penyebab utama (>50%), kontaminasi dalam ruang (<20%), kontaminasi udara luar (10%), sedangkan kontaminasi mikrobiologi dan material bangunan masing-masing tidak lebih dari 5%.

Beberapa faktor yang berkaitan dengan kualitas udara dalam ruangan yang perlu diperhatikan dalam hubungannya dengan kejadian Sick Building Syndrome menurut Kusnoputranto (2002):

  • Kondisi lingkungan dalam ruangan
    Kondisi lingkungan yang sangat penting untuk diperhatikan adalah suhu ruangan, kelembaban, dan aliran udara. Ketia hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan absorbsi polutan kimia dalam ruangan, peningkatan pertumbuhan mikrooranisme udara, dan timbulnya bau yang tidak sedap

  • Konstruksi gedung dan furniture
    Konstruksi bangunan dan furniture dapat melepaskan gas-gas polutan dalam ruangan, misalnya formaldehide, serat asbes, cat, polutan dari karpet, fiberglass.

  • Proses dan alat-alat dalam gedung
    Banyak polutan dilepaskan oleh alat-alat dan proses dalam gedung, misalnya ozon dari mesin fotokopi dan asap rokok.

  • Ventilasi
    Ventilasi udara merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan. Ventilasi udara yang buruk dapat menyebabkan kurangnya udara segar yang masuk dan buruknya distribusi udara yang ada.

  • Status kesehatan pekerja
    Status kesehatan pekerja antara lain adalah alergi/ asma yang diderita pekerja yang bersangkutan, perilaku merokok, pengguna alkohol, dan sebagainya.

  • Faktor psikososial/ stress
    Faktor psikososial/ stress juga ikut mempengaruhi terjadinya Sick Building Syndrome pada seorang pekerja.

Untuk dapat mengetahui penyebab sindrom ini maka perlu dilakukan penelitian terhadap situasi lingkungan udara di dalam suatu gedung. The National lnstitute for Occupational Safety and Health (NIOSH), suatu badan untuk kesehatan dan keselamatan kerja di Amerika Serikat telah memeriksa 446 gedung di negara itu. Pemeriksaan ini dilakukan berdasarkan permintaan dari pemilik/pengguna gedung-gedung itu untuk menilai apakah gedung tempat mereka bekerja masih dalam keadaan sehat atau tidak.

Hasil pemeriksaan NIOSH di atas menunjukkan enam sumber utama pencamaran udara di dalam suatu gedung sebagaimana tampak pada tabel dibawah ini.

Tabel Sumber Pencemaran Udara Dalam Ruang

Sumber Persentase
Pencemaran dari alat-alat di dalam gedung 17%
Pencemaran dari luar gedung 11%
Pencemaran akibat bahan bangunan 3%
Pencemaran mikroba 5%
Gangguan ventilasi 52%
Tdak diketahui 12%

Sumber: Laporan NIOSH, 1984

Keterangan dari tabel diatas adalah sebagai berikut :

  • Pencemaran oleh alat-alat di dalam gedung adalah pencemaran akibat mesin fotokopi, asap rokok, pestisida, bahan-bahan pembersih ruangan dan lain-lain.

  • Pencemaran dari luar gedung meliputi masuknya gas buang kendaraan bermotor yang lalu lalang, gas dari cerobong asap atau dapur yang terletak di dekat gedung, yang kesemuanya dapat terjadi akibat penempatan lokasi lubang pemasukan udara yang tidak tepat.

  • Pencemaran akibat bahan bangunan meliputi antara lain formaldehid, lem, asbes, fiber glass dan bahan- bahan lain yang merupakan komponen bangunan pembentuk gedung tersebut.

  • Pencemaran akibat mikroba dapat berupa bakteri, jamur, protozoa dan produk mikroba lainnya yang dapat ditemukan di saluran udara dan alat pendingin (AC) beserta seluruh sistemnya.

  • Gangguan ventilasi udara berupa kurangnya udara segar yang masuk, buruknya distribusi udara dan kurangnya perawatan sistem ventilasi udara tenyata punya peranan besar dalam menentukan sehat tidaknya lingkungan udara di dalam suatu gedung.

Pencegahan Sick Building Syndrome


Keluhan yang timbul pada penderita biasanya dapat ditangani secara simtomatis namun harus diikuti dengan upaya perbaikan suasana lingkungan udara di gedung tempat kerja agar menjadi lebih sehat. Upaya pencegahan Sick Building Syndrome dan perbaikan kualitas udara dalam ruang cukup luas, menyangkut proses pembangunan gedung, desain ruangan, bahan-bahan yang digunakan di dalam gedung, perawatan alat-alat dan lain-lain. Upaya pencegahan meliputi upaya agar udara luar yang segar dapat masuk ke dalam gedung secara baik dan terdistribusi secara merata ke semua bagian di dalam suatu gedung. Dalam hal ini perlu diperhatikan agar lubang tempat masuknya udara luar tidak berdekatan dengan sumber-sumber pencemar di luar gedung agar bahan pencemar tidak terhisap masuk ke dalam gedung.

Perlu pula diperhatikan pemilihan bahan- bahan bangunan dan bahan pembersih ruangan yang tidak akan mencemari lingkungan udara di dalam gedung. Renovasi ruangan, penambahan batas-batas ruangan dan penambahan jumlah orang yang bekerja dalam satu ruangan hendaknya dilakukan setelah memperhitungkan agar setiap bagian ruangan dan setiap individu mendapat ventilasi udara yang memadai (Aditama, 1991).

Sick Building Syindrome


Istilah sick building syndrome (SBS) mempunyai dua arti yaitu :

  • SBS adalah kumpulan gejala (sindroma) yang dikeluhkan seseorang atau sekelompok orang meliputi perasaanperasaan tidak spesifik yang mengganggu kesehatan berkaitan dengan kondisi gedung tertentu.

  • SBS merupakan suatu kondisi gedung tertentu berkaitan dengan keluhan atau gangguan kesehatan tidak spesifik yang dialami penghuninya, sehingga dikatakan gedung yang sakit.

Menurut Finnegan dan Pickering dalam jurnal yang dibuat oleh Wawolumaya (1996), dilaporkan bahwa SBS merupakan kumpulan dari berbagai penyakit seperti penyakit alergi, infeksi bakteri, virus, dan jamur. Gejala-gejala penyakit yang muncul antara lain sakit kepala, letih lesu, gangguan nasal, dan membran mukosa. Juga dihubungkan dengan berbagai faktor seperti efek biologis dari ion-ion dalam udara; peningkatan ion negatif udara memanjangkan waktu reaksi sedangkan meningkatnya ion positif di udara dapat dihubungkan dengan efek deleterious, gangguan saluran pernafasan atas, gangguan mata/penglihatan, pening, kesukaran bernafas dan sakit kepala, juga gejala penyakit bersifat seperti asmatis, alergi alveolistis. Dikatakan SBS apabila lebih dari 20% penghuni gedung mengalami gejala gangguan pernafasan, iritasi mata, sakit kepala dan fatigue ( University of North Carolina at Chapel Hill , 2002).

> Banyak peneliti setuju bahwa sick building syndrome menggambarkan kumpulan dari gejala yang asal usulnya tidak diketahui dengan jelas, ditambah lagi dengan adanya pengaruh khususnya dari lingkungan gedung. Dari informasi yang telah dikumpulkan, para peneliti (Levin 1989 dan Raw 1994) telah berusaha mengklarifikasi penggunaan beberapa istilah yang berbeda atau bermakna ambigu, contohnya “building sickness”, “building-related occupant complaint syndrome”, “nonspecific building-related illness”, “office eye syndrome”, “sick office syndrome”, and “tight building syndrome” (Spengler, 2001).

Berbagai keluhan dan gejala yang timbul pada saat seseorang berada didalam gedung dan kondisi membaik setelah tidak berada didalam gedung, besar kemungkinan karena menderita “ sick building syndrome ” (SBS) atau “sindrom gedung sakit”. Kasus-kasus SBS memang tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas dan secara objektif tidak dapat diukur. Keluhan dan tanda berupa sakit kepala, lesu, iritasi mata maupun kulit serta berbagai problem pernapasan, seringkali sulit diperoleh penyebab yang nyata dan kadang-kadang dihubungkan dengan SBS apabila terdapat riwayat tinggal di gedung dengan kualitas ruangan yang buruk (Anies, 2004)

Wawolumaya (1996) dalam Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia menyebutkan bahwa sebuah hasil penelitian di Australia melaporkan bahwa SBS dapat dihubungkan dengan terjadinya akumulasi bakteri, virus dan mikroorganisme lainnya dalam saluran AC, cooling towers atau menara pendingin sistem saluran air dan lain-lain yang termasuk dalam sistem pendingin gedung.

Gejala yang terjadi berjenis-jenis mulai dari common cold sampai penyakit legionnaires yang disebabkan oleh kuman legionella. Hal yang sama dilaporkan oleh penelitian-penelitian di Inggris dari Sherwood Burge of the Occupational Lung Disease Unit East Birmingham Hospital England tahun 1988 pada 4000 karyawan kantor. Dilaporan bahwa SBS dapat dihubungkan dengan sistem alat pendingin atau alat penyejuk ruangan yang kurang bersih.

Menurt EPA (1991), sick building syndrome didefinisikan sebagai situasi dimana penghuni gedung (bangunan) mengeluhkan permasalahan kesehatan dan kenyamanan yang akut, yang penyebabnya tidak dapat diidentifikasikan. Manusia menghabiskan 90% waktunya dalam lingkungan konstruksi, baik itu didalam bangunan kantor ataupun rumah yang mungkin sekali kualitas udara dalam ruangnya tercemar oleh chemical yang berasal dari dalam maupun luar ruangan, tercemar oleh mikroba ataupun disebabkan karena ventilasi udara yang kurang baik.

Contoh polutan yang bisa mencemari ruangan misalnya asap rokok; ozone yang berasal dari mesin fotocopi dan printer; volatile organic compounds yang berasal dari karpet , furniture, cat, cleaning agents , debu, karbon monoksida, formaldehid, dll (Kurniadi, 2009).

ASHRAE menyebutkan bahwa standar ventilasi yang baik adalah tersedianya minimal 15 ft³/m (cfm) udara dari luar gedung untuk satu orang,dengan 20 cfm/orang pada ruang kerja dan sampai dengan 60 cfm pada ruangan lain, tergantung dari aktivitas yang biasanya terjadi di tempat tersebut (Alan, 2007).

Gejala-gejala SBS


Menurut WHO (1983) yang dikutip oleh Anies (2004) dikatakan bahwa:

  • Banyak kasus SBS menunjukkan gejala yang tidak jelas secara klinis, sehingga tidak dapat diukur. Sebagian besar penderita adalah para pekerja rutin di gedung-gedung. Meskipun keluhan dan tanda yang dikemukakan oleh para penderita bersifat kronis dan mencapai 80% dari para pekerja dilaporkan menderita SBS, tetapi seringkali tidak ditemukan polusi yang jelas. Para penghuni gedung yang tidak sehat ini umumnya mengalami gejala-gejala SBS yang bervariasi. Gejala-gejala tersebut meliputi sakit kepala, pening, mual, iritasi, pada mata, hidung maupun tenggorokan yang disertai dengan batuk kering. Gejala khas pada kulit, berupa kulit kering dan gatal-gatal. Keluhan SBS yang sering dikemukakan antara lain kelelahan, peka terhadap bau yang tidak sedap serta sulit untuk berkonsentrasi ( Burge et al ., 1987)

  • Gejala dan keluhan diatas berkaitan dengan penyakit-penyakit spesifik dan non spesifik. Penyakit-penyakit spesifik tersebut antara lain infeksi standar dalam ruangan seperti tuberculosis atau legionellosis , alergi terhadap bahan-bahan penyebab alergi dalam ruangan seperti tungau, produk tumbuh-tumbuhan serta jamur. Iritasi biasanya disebabkan oleh bahan- bahan kimia mudah menguap yang dilepaskan dari lingkungan. Karbon monoksida yang berkaitan dengan asap rokok serta gas-gas buang lain mempunyai andil cukup besar dalam menimbulkan gejala dan keluhan pada SBS (Menzies and Bourbeau, 1997).

  • Penyakit-penyakit non spesifik meskipun dapat bermanisfestasi gejala serta keluhan seperti telah disebutkan, tetapi berhubungan dengan berbagai faktor seperti usia yang lebih muda, jenis kelamin wanita, asap rokok serta jenis pekerjaan (pekerjaan fotokopi), tingkat keramaian kantor, penggunaan karpet di dalam ruangan serta banyak atau sedikitnya ventilasi ruangan, ikut berperan dalam menimbulkan gejala dan keluhan SBS (Hedge, 1989; Mendell, 1993).

  • Gejala-gejala SBS sering dihubungkan dengan tingkat stres emosional seseorang (Morris and Hawkins, 1987). Faktor-faktor pekerjaan seperti jenjang jabatan dalam pekerjaan, lama menggunakan komputer, tekanan pekerjaan maupun kepuasan kerja, mempunyai andil dalam menimbulkan SBS. Dalam studi terhadap hampir 4.500 pekerja kantor dalam gedung yang ruangannya menggunakan AC, kualitas udara ruangan yang diterima, pemakaian komputer, kepuasan kerja, tekanan pekerjaan serta jenis kelamin, menunjukkan secara signifikan pengaruhnya terhadap jumlah gejala SBS yang dikeluhkan oleh para pekerja (Hedge et al ., 1992; Hedgeet al ., 1995; Hedge et al ., 1996).

Faktor-faktor yang menimbulkan SBS


Anies (2004) mengatakan bahwa kualitas udara, ventilasi, pencahayaan serta penggunaan berbagai bahan kimia di dalam gedung, merupakan penyebab yang sangat potensial bagi timbulnya SBS (Burge, 1987). Kondisi semakin buruk jika gedung yang bersangkutan menggunakan air-conditioned (AC) yang tidak terawat dengan baik (Apter et al., 1994; Mendell, 1993). Namun, disamping karena penyebab yang bersumber pada lingkungan, ternyata keluhan-keluhan pada SBS juga dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar lingkungan, seperti problem pribadi, pekerjaan dan psikologis yang dianggap mempengaruhi kepekaan seseorang terhadap SBS (Hedge, 1995).

Untuk mengerti penyebab dari sakit karena gedung telah dilakukan dengan melakukan penyelidikan terhadap banyak parameter. Penyelidikan ini cenderung difokuskan pada kinerja ventilasi, kontaminan, dan berbagai variasi parameter lainnya. Tipikal parameter yang telah diselidiki dapat dilihat pada tabel berikut

image

Dalam buku Kualitas Udara dalam Ruang (1998) dituliskan bahwa tidak satupun penyebab telah dapat diidentifikasi secara sempurna dan banyak dari kejadian lainnya mengenai penyebab sakit karena gedung tidak dapat disimpulkan. Kumpulan makalah yang dituliskan oleh Sundell (1994) termasuk membahas kajian ekstensif dari topik ini dan hasil-hasil dari beberapa studi. Diantara studinya Sundell menyimpulkan beberapa kejadian menunjukkan bahwa lambatnya aliran udara pada ventilasi di dalam kantor, dikombinasikan dengan kehadiran berbagai polutan dapat meningkatkan masalah-masalah yang berhubungan sakit gedung, walaupun gejala yang ditemukan untuk kejadian pada seluruh jenis ventilasi. Penggunaan sistem ventilasi secara berkala ( intermittent ) juga meningkatkan resiko. Oleh karena itu perlu dicatat bahwa berbagai hubungan dengan SBS adalah berkaitan dengan penggunaan ventilasi untuk mengalirkan udara, baik dalam kondisi aliran besar atau kecil.

Mendell meninjau dari 32 penelitian yang dilakukan antara tahun 1984 dan 1992 mempertimbangkan bahwa ada 37 faktor potensial yang berhubungan dengan gejala-gejala pada pekerja kantor. Mendell menyiapkan sebuah ringkasan laporan hubungan antara prevalensi gejala dengan pengukuran lingkungan, faktor gedung, faktor tempat kerja dan faktor pekerjaan atau faktor pribadi. (Spengler, 2001).

Cara Penanggulangan SBS


Untuk mengurangi dampak keluhan kesehatan akibat berada dalam ruangan ber-AC yang tertutup, maka disarankan agar membuka jendela ruangan selama 1 jam dalam satu hari kerja, serta menjaga kondisi tubuh dengan minum air hangat saat tubuh mulai terasa dingin atau menggunakan jaket saat bekerja (Asrul, 2009).

Menurut Seppanen et al. dalam Spengler (2001), dikatakan bahwa prevalensi SBS dapat menurun dengan meningkatkan kecepatan ventilasi yaitu 20L/detik per orang.

Pada tahun 2003 dilakukan studi penelitian pada pekerja call center , dikatakan bahwa pekerja yang duduk dekat dengan jendela akan lebih cepat kerjanya sekitar 6-12%, dan memiliki masalah kesehatan yang lebih sedikit dibandingkan dengan teman kerjanya (Aston , 2007).

Menurut Mohun J, penanggulangan SBS dapat dilakukan dengan membuat taman hijau di sekitar bangunan yang dapat mengurangi stres dari karyawan dan Mckee menyarankan untuk gedung yang sehat adalah jendela yang cukup dapat memasukkan udara segar dan cahaya alamiah; plafon yang tinggi untuk kenyamanan udara sejuk; bila menggunakan penerangan buatan supaya distribusinya merata, ventilasi sederhana dan penggunaan komputer yang ergonomik (Wawolumaya, 1996).

Menurut Kusnoputranto (Wahyuni, 2004), dalam hubungannya dengan kejadian sick building syndrome, ada beberapa faktor yang dapat diperhatikan dalam upaya pencegahannya :

  1. Pemilihan lokasi gedung
    Polusi udara dapat berasal dari sumber yang dekat atau yang jauh dari lokasi gedung. Oleh karena itu, sebelum mendirikan bangunan harus diperhatikan hal-hal :

    • Data tentang tingkat polusi di daerah tersebut
    • Analisis sumber polusi di sekitar lokasi
    • Tingkat polusi air dan tanah, meliputi gas radon dan komponen radioaktif lainnya
    • Informasi tentang cuaca dan iklim yang dominan di lokasi
  2. Desain arsitektur
    Dalam merancang sebuah gedung harus diperhitungkan faktor kelembaban dalam ruang, perubahan temperatur, pergerakan udara, radiasi, serangan bahaya kimia dan agen biologi atau bencana alam. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperhatikan :

    • Bagian gedung yang terbuka harus terletak jauh dari sumber polusi dan tidak terletak padas posisi berlawanan dengan arah angin
    • Perlu diperhatikan tentang pembuangan air
    • Tempat parkir kendaraan harus dibangun jauh dan tidak terletak pada sumber intake udara gedung
  3. Pengaturan jendela
    Dalam membangun sebuah gedung, pengaturan jendela termasuk dalam perencanaan proyek arsitektural. Keuntungannya adalah untuk menyediakan ventilasi tambahan untuk daerah-daerah yang membutuhkan. Selain itu, keuntungan kedua adalah bersifat psikososial yaitu memberikan pemandangan keluar ruangan untuk para karyawan.

  4. Perlindungan kelembaban
    Hal ini merupakan cara penting untuk melakukan pengendalian terhadap kejadian SBS, terdiri dari usaha penurunan kelembaban pada pondasi bangunan dimana mikroorganisme terutama jamur dapat menyebar dan berkembang. Isolasi dan pengendalian area yang paling rawan kelembaban perlu dipertimbangkan karena kelembaban dapat merusak bahan-bahan perlengkapan gedung dan biasanya bahan yang rusak tersebut menjadi sumber kontaminan mikrobiologis.

  5. Perencanaan jarak dalam ruangan
    Untuk menghindari efek SBS perlu diketahui berbagai aktivitas yang dapat menjadi sumber kontaminasi. Contoh aktifitas yang dapat menjadi sumber kontaminasi yaitu bagian penyiapan makanan (dapur), percetakan, penggunaan mesin fotokopi dan merokok. Pengetahuan ini dapat digunakan untuk membatasi dan mengendalikan sumber-sumber potensial polusi.

  6. Pemilihan bahan
    Karakteristik bahan yang digunakan untuk konstruksi, dekorasi dan perabotan, aktivitas kerja sehari-hari serta cara gedung dibersihkan harus diperhatikan dalam rangka mencegah timbulnya masalah polusi udara dalam gedung. Beberapa produsen bahan perlengkapan kantor tidak mempelajari produk mereka dan telah melakukan pelabelan “environmentally safe”, “nontoxic”, dan sebagainya. Hal ini tentu akan memudahkan pengelola gedung dalam pemilihan bahan yang kadar polutannya rendah untuk digunakan sebagai bahan perlengkapan gedungnya.

  7. Sistem ventilasi dan pengendalian suhu dalam ruangan
    Dalam ruangan yang luasnya terbatas, ventilasi adalah salah satu metode untuk pengendalian kualitas udara. Ventilasi adalah metode pengendalian yang biasanya digunakan untuk melarutkan, mengencerkan dan menghilangkan kontaminan dari dalam ruangan yang terkena polusi. Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mendesain sistem ventilasi :

    • Kualitas udara luar yang akan digunakan
      Adanya polutan tertentu yang harus diperhatikan tentang kemampuan penyebarannya
    • Sumber-sumber yang mungkin mengkontaminasi
    • Distribusi udara di dalam ruangan

Didalam jurnal yang berjudul sick building syndrome solution Arnold (2001) mengatakan bahwa solusi untuk mengatasi SBS yaitu memindahkan sumber polutan atau memodifikasinya, meningkatkan kecepatan ventilasi dan distribusi udara, pembersihan udara, edukasi dan komunikasi merupakan elemen yang penting dalam program manajemen indoor air quality.