Apa yang anda ketahui tentang Simakobu?

Simakobu adalah salah satu fauna asli Indonesia. Fauna ini memiliki nama ilmiah Simias concolor. Hewan ini termasuk dalam kelas Mammalia yaitu hewan yang berkembang biak dengan beranak. Simakobu adalah hewan yang masih satu keluarga dengan kera. Simakobu ditemukan di Indonesia tepatnya di Pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan, serta di Pulau Siberut.

Simakobu jantan memiliki panjang sekitar 490-550 mm sedangkan pada betina memiliki panjang 460-550 mm. Berat rata-rata sekitar simakobu adalah 8,7 kg untuk jantan dan 7,1 kg untuk betina. Panjang ekor simakobu bervariasi antara 14 hingga 15 cm. Ada dua jenis warna pada simakobu yaitu abu-abu gelap dan warna coklat muda, tetapi warna abu-abu gelap lebih umum ditemui. Simakobu memiliki tangan dan kakinya yang sama panjang. Ekor simakobu berukuran agak pendek dibandingkan dengan spesies primata yang lain dalam subfamili Colobinae. Simakobu yang sudah dewasa memiliki warna rambut hitam dan semakin gelap daripada saat masih muda. Keunikan hewan ini adalah ekornya pendek, setra tidak berbulu, bulunya hanya ada pada ujung ekor. Karena bentuk ekornya yang seperti ekor babi tersebut maka simakobu juga sering disebut monyet ekor babi.

Monyet ekor babi, simakobu, pig tailed langur (Simias concolor) adalah salah satu primata paling langka di Indonesia. Monyet ekor babi yang disebut juga sebagai simakobu ini oleh Primate Specialist Group (IUCN Species Survival Commission bekerja sama dengan International Primatological Society dan Conservation International) termasuk dalam “The World’s 25 Most Endangered Primates” (25 Primata Paling Terancam di Dunia).

Simakobu atau monyet ekor babi (Simias concolor) menjadi salah satu primata paling langka dan terancam punah lantaran populasinya yang semakin menurun. Monyet ekor babi pun merupakan hewan endemik dari kepulauan Mentawai, Sumatera. Dengan daerah sebaran yang terbatas dan populasi yang terus menurun, tak pelak mengukuhkan simakobu sebagai Most Endangered Primates.

Monyet ekor babi dikenal juga sebagai simakobu dan simasepsep. Dalam bahasa Inggris, hewan endemik langka ini disebut dengan pig tailed langur dan Pig-tailed Snub-nosed Monkey. Sedangkan menurut nama latin (nama ilmiah), monyet ekor babi disebut sebagai Simias concolor. Nama ‘ekor babi’ dan ‘pig tailed‘ merujuk pada bentuk ekor simakobu yang pendek menyerupai ekor babi.

Sebelumnya spesies endemik ini dikelompokkan dalam genus Nasalis atau satu genus dengan bekantan. Kini simakubo atau monyet ekor babi ditempatkan dalam genus Simias. Terdapat dua subspesies dari Pig-tailed Langur ini yakni Simias concolor concolor dan Simias concolor siberu.

Ciri Fisik dan Perilaku. Ukuran tubuh monyet ekor babi atau simakobu sekitar 50 cm dengan berat tubuh sekitar 7-9 kg. Tubuh simakubo ditumbuhi bulu berwarna hitam-coklat dan bulu berwarna hitam pada daerah wajah. Ekornya pendek sekitar 15 cm dan memiliki sedikit bulu. Hidungnya pesek dan terkesan menghadap ke atas. Lengannya panjang dan kuat.

Monyet ekor babi tinggal dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas satu monyet jantan, satu atau lebih betina dan anak monyet. Binatang diurnal (aktif di siang hari) ini lebih sering melakukan aktifitas di atas pohon dan jarang turun ke tanah. Makanan utama simakobu adalah dedaunan dan terkadang memakan buah-buahan.

Sebaran, Habitat, Populasi, dan Konservasi. Monyet ekor babi (Simias concolor) merupakan hewan endemik yang hanya dapat dijumpai di kepulauan Mentawai. Subspesies Simias concolor concolor mendiami pulau Pagai Selatan, Pagai Utara, dan Sipora. Sedangkan subspesies Simias concolor siberu hanya dapat ditemui di pulau Siberut. Monyet endemikberekor babi ini mendiami habitat hutan di lereng bukit di pedalaman pulau maupun di hutan hujan dataran rendah, hutan daerah rawa air payau dan tawar.

Populasi monyet ekor babi (Pig-tailed Langur) diperkirakan telah mengalami penurunan hingga 80% dalam 10 tahun terakhir. Menurut IUCN Redlist jumlah populasinya diperkirakan sekitar 6.700 – 17.300 ekor (2006) yang terdiri atas sekitar 6.000 – 15.500 Simias concolor siberu dan 700 – 1.800 ekor Simias concolor concolor. Laju penurunan populasi monyet ekor babi ini akibatkan oleh perburuan liar dan rusaknya habitat akibat deforestasi dan perambahan hutan.

Lantaran populasinya yang mengalami penurunan hingga 80% dalam 10 tahun terakhir dan masih maraknya perburuan liar dan deforestasi serta mempertimbangkan daerah sebaran monyet ekor babi yang endemik kepulauan Mentawai saja, IUCN Redlist kemudian memasukkan monyet endemik Mentawai ini dalam status konservasi Critically Endangered (Sangat Terancam / Kritis). CITES pun mendaftar primata langka ini dalam Apendiks I yang berarti tidak boleh diperdagangkan dalam bentuk apapun. Di Indonesia, simakobu pun termasuk binatang yang dilindungi.

Dengan realita yang demikian, maka tidak mengherankan jika kemudian sebuah badan konservasi primata tingkat dunia, The Primates Specialist Group, kemudian memasukkan monyet ekor babi, simakobu, simasepsep, Pig-tailed Langur, Pig-tailed Snub-nosed Monkey, atau Simias concolor dalam daftar “The World’s 25 Most Endangered Primates” (25 Primata Paling Terancam di Dunia).

Sayangnya masih banyak di antara kita yang tidak peduli dengan terus memburu dan merusak habitatnya dengan alasan sesuap nasi. Dan sebagian lainnya bahkan tidak mengenal monyet endemik nan langka, Si Ekor Babi dari Mentawai.

Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Mamalia; Famili: Cercopithecidae; Subfamili: Colobinae; Genus: Simias (Miller, 1903); Spesies: Simias concolor (Miller, 1903)

Simakobu memiliki klasifikasi sebagai berikut :

  • Kingdom : Animalia
  • Filum : Chordata
  • Subfilum : Vertebrata
  • Kelas : Mamalia
  • Ordo : Primata
  • Famili : Cercopithecidae
  • Subfamili : Colobinae
  • Genus : Simias
  • Spesies : Simias concolor
  • Subspesies : Simias concolor siberu (Groves 2001).

Simakobu sangat berbeda dengan Colobinae lainnya. Hal tersebut disebabkan ekornya yang pendek menyerupai ekor babi, kurang lebih sepertiga dari panjang tubuhnya (80-130 mm), dan badannya yang gemuk-pendek, serta anggota-anggota badan yang sama panjang. Panjang tubuh simakobu berkisar antara 45-52,5 cm, dengan berat badan lebih kurang 6-9 kg (WWF 1980; Supriatna & Wahyono 2000).

Simakobu tidak mempunyai perbedaan warna di antara jenis kelaminnya, baik jantan maupun betinanya yang berwarna kelabu tua ataupun keemasan. Simakobu yang berwarna kelabu tua lebih sering dijumpai dibandingkan dengan yang berwarna keemasan, akan tetapi persentase jumlahnya berbeda antara daerah-daerah di Siberut. Ciri-ciri lainnya adalah warna rambut pada jambul kepala dan bahu lebih gelap, kaki dan tangannya berwarna kehitam-hitaman, wajah hitam dengan hidung pesek, bentuk tubuh mirip dengan beruk ( Macaca nemestrina ), serta ischial callosity (bantalan pantat) besar dan berwarna hitam. Ischial callosity tersebut tidak terpisah pada simakobu jantan, sedangkan pada betina terpisah oleh suatu celah yang sempit. Jantan dewasa memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari betina dewasa, dan memiliki gigi taring yang lebih panjang dari gigi taring betina dewasa (Gambar 2) (WWF 1980: 44; Supriatna & Wahyono 2000 ; Tenaza & Fuentes 1995).

Status konservasi simakobu


Keberadaan simakobu di alam sangat terancam dan rentan terhadap kepunahan. Status simakobu ditetapkan berstatus kritis ( critically endangered ) oleh International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) tahun 2009. Simakobu juga terdaftar dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered of Wild Species of Fauna and Flora (CITES). Hal tersebut berarti simakobu dilindungi dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersial. Simakobu di Indonesia, telah dilindungi secara hukum melalui peraturan perlindungan binatang liar no. 266 Th. 1931, SK MenHut 10 Juni 1991 no.301/Kpts-II/1991 (Supriatna & Wahyono 2000: Indrawan dkk . 2007; Whittaker & Mittermeier 2008).

Distribusi dan habitat simakobu


Distribusi simakobu tersebar luas di kepulauan Mentawai, terutama di pulau-pulau utama seperti Siberut, Pagai Utara, Pagai Selatan dan Sipora. Selain itu, simakobu juga terdapat di pulau-pulau kecil yaitu Simalegu, Simatapi, dan Sinakak (Tenaza & Fuentes 1995). Chasen & Kloss (1927) menyatakan bahwa terdapat dua subspesies simakobu di kepulauan Mentawai, yaitu Simias concolor siberu yang tersebar di pulau Siberut, dan Simias concolor concolor yang tersebar di Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan lihat Tenaza & Fuentes (1995).

Habitat alamiah simakobu adalah hutan rawa air tawar ( fresh water swamp forest ), hutan payau dan hutan dataran rendah. Simakobu juga dapat hidup di hutan tebangan, hutan terganggu dekat pemukiman dan ladang. Simakobu yang hidup di hutan primer sebanyak 50,02%, hutan sekunder 33,35%, dan hutan campuran 8,31%. Strata yang sering digunakan oleh jenis tersebut yaitu pada ketinggian 15-50 m (dengan rerata 35 m) (Supriatna & Wahyono 2000).

Pakan Simakobu


Simakobu merupakan primata pemakan daun ( leaf monkeys ), tapi juga mengonsumsi buah-buahan. Simakobu makan daun-daun muda dari pohon yang tumbuh di sekitar habitatnya (Primata 2007). Berdasarkan Curtin & Chivers (1979), makanan yang terdiri dari daun-daun muda banyak mengandung selulosa. Selulosa tersebut dapat difermentasikan oleh bakteri-bakteri yang terdapat di dalam saluran pencernaan monyet tersebut menjadi asam-asam lemak yang mudah menguap, seperti pada sistem pencernaan Ruminansia. Sistem pencernaan tersebut terdapat pada primata tingkat tinggi, terutama jenis dari subfamili Colobinae di Asia lihat Irwanto (2006).

Simakobu yang terdapat di pulau Simalegu biasanya sering memakan daun dari spesies Oncosperma (nibung). Simakobu memakan bagian dari tumbuhan seperti pucuk daun, bunga, buah dan beberapa jenis serangga kecil. Komposisi pakan monyet tersebut antara lain 60% mengkonsumsi daun, buah 25%, sisanya bagian dari tumbuhan lain, dan beberapa jenis serangga (Supriatna & Wahyono 2000).

Perilaku simakobu


Simakobu merupakan primata yang aktif pada siang hari (diurnal) dan bersifat arboreal . Satu kelompok simakobu terdiri dari 5-15 individu, dengan satu ekor jantan dewasa, dan lima ekor atau lebih betina dewasa, serta anak-anak ( poligamous ). Luas wilayah yang dimiliki satu kelompok berkisar antara 7-50 Ha (hektar). Simakobu merupakan primata pendiam dan jarang bergerak (Tenaza & Fuentes 1995). Simakobu jantan biasanya mengeluarkan loud call yang terdiri dari rangkaian suara keras yang terdengar hingga 500 meter jauhnya. Hal tersebut terjadi sebagai respon terhadap loud call simakobu jantan lainnya.

Simakobu jantan mengeluarkan loud call pada pagi hari dan sore hari (Tenaza 1989). Simakobu betina adalah satu-satunya Asia Colobinae yang mempunyai pembengkakan seksual ( sexual swelling ) yang menonjol. Sexual swelling ditandai dengan membengkaknya perineum anterior pada simakobu betina dan berubah warna menjadi pink . Hal tersebut disebabkan sekresi hormon estrogen selama masa estrus. Fungsi dari sexual swelling adalah untuk menarik perhatian jantan. Simakobu betina melahirkan satu anak pada setiap kelahiran ( single birth ) (Tenaza 1989). Periode kelahiran simakobu di Siberut biasanya terjadi dari bulan Juni hingga Juli (Napier & Napier 1985).

Aktivitas harian merupakan seluruh aktivitas yang dilakukan oleh simakobu sejak meninggalkan pohon tidurnya pada pagi hari hingga kembali ke pohon tidur pada sore hari. Waktu yang digunakan untuk beraktivitas pada setiap individu bervariasi, terkait dengan kelimpahan sumber pakan, kondisi sosial, dan status reproduksi. Aktivitas harian primata dari subfamili Colobinae dapat dibedakan menjadikan aktivitas makan ( feeding ), istirahat ( resting ), bergerak ( moving ), dan aktivitas sosial lainnya (Bennett & Davies 1994). Berdasarkan Paciulli (2002), simakobu menghabiskan waktunya untuk makan (44%), istirahat (46%), bergerak (7%), dan aktivitas sosial lainnya (3%).

Aktivitas makan merupakan segala sesuatu aktivitas yang meliputi kegiatan mulai dari menggapai, mengambil, memasukkan makanan ke dalam mulut, mengunyah, dan menelan makanan (Stier 2000: 169). Aktivitas simakobu ketika berada di pohon pakannya adalah mencari tempat yang rimbun dan makan diam-diam. Simakobu biasanya mempergunakan salah satu tangannya untuk berpegang pada cabang atau ranting bagian atas, sedangkan tangan yang lain untuk meraih makanan. Selain itu, simakobu juga mempunyai preferensi makan dengan menggunakan tangan kanan. Aktivitas makan simakobu banyak terjadi pada pagi hari dan sore hari (Primata 2007). Aktivitas bergerak adalah salah satu aktivitas yang dilakukan oleh simakobu. Pergerakan yang dilakukan adalah meloncat, atau menggunakan keempat anggota badannya ( quadrupedal ) saat berjalan di dahan atau tanah. Luas daerah jelajah tiap kelompok simakobu sekitar 20-30 hektar, dan pergerakan hariannya dapat mencapai 2 kilometer (Supriatna & Wahyono 2000).

Aktivitas istirahat merupakan suatu keadaan individu relatif tidak aktif meliputi berbaring, duduk, atau berpegang pada dahan tanpa melakukan perpindahan (Zhou dkk . 2007). Umumnya simakobu tidur pada pohon yang rimbun, dan berkelompok dengan anggotanya, serta tidak membuat sarang (Supriatna & Wahyono 2000). Menurut Tenaza & Tilson (1985), ciri- ciri pohon tidur yang disenangi simakobu adalah pohon dengan ketinggian 35–55 meter, dengan diameter 50-150 cm. Aktivitas sosial adalah hubungan timbal balik antar individu yang dapat terjadi karena kesamaan pemenuhan kebutuhan ataupun pendekatan psikis. Salah satu contoh aktivitas sosial adalah bermain ( playing ). Aktivitas bermain digolongkan menjadi bermain objek ( object play ), pergerakan ( locomotion ), dan sosial yaitu bermain bersama teman ( social play ) (Thompson 1996).