Apa yang anda ketahui tentang Romusha pada masa penjajahan Jepang ?

Romusha merupakan panggilan bagi orang - orang yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia pada tahun 1942 hingga tahun 1945. Kata romusha berasal dari bahasa Jepang yang berarti serdadu kerja. Secara harfiah romusha dapat diartikan sebagai orang - orang yang bekerja pada pekerjaan kasar (buruh). Romusha hampir sama dengan sistem kerja paksa atau tanam paksa pada masa penjajahan Belanda. Para romusha dipekerjakan sebagai petani, penambang, tenaga pembangunan dan pekerjaan pekerjaan kasar lain.

Apa yang anda ketahui tentang Romusha pada masa penjajahan Jepang ?

Romusha/Romusa merupakan orang-orang yang dipaksa bekerja berat pada zaman pendudukan Jepang. Romusha terkadang juga disebut sebagai serdadu ekonomi oleh tentara Jepang, yang kebanyakan diambil dari para petani yang berasal di desa-desa.

Pengeksploitasian tenaga kerja yang dilakukan oleh pendudukan Jepang semakin meningkat ketika Sidang Chuo Sangi-In yang ke-4. Sidang tersebut memutuskan cara untuk mencapai kemenangan perang Asia Timur Raya. Hasil keputusan tersebut menetapkan 4 poin yang harus ditempuh. Keempat poin itu adalah :

  • Pertama, memperbesar tenaga pekerja. Dalam poin pertama ini pemerintah melakukan pengerahan besar-besaran di berbagai daerah pertahanan perangnya menghadapi Sekutu.

  • Kedua yakni mengatur urusan romusha. Usaha pemerintah untuk mendapatkan tenaga kerja yang banyak maka urusan ini diserahkan oleh Romukyokai, selanjutnya Romukyokai memerintahkan setiap penguasa daerah untuk mencari tenaga kerja yang diperlukan pemerintah Jepang. Setelah semuanya terkumpul kemudian di data dan diperiksa kondisi badannya. Baru setelah proses itu selasai, pekerja diberangkatkan.

  • Ketiga, melindungi keluarga romusha . Setiap keluarga yang ditinggal bekerja menjadi romusha akan diberikan tunjangan. Tunjangan yang diberikan berupa uang dari pemotongan gaji para pekerja tersebut sebesar f. 3.00 setiap bulannya.

  • Keempat, agar mampu menegakkan susunan romusha di Jawa yang sesuai, mereka dipekerjakan sesuai dengan kemampuan (kondisi badan), selanjutnya setelah selesai mereka dipindahkan ke daerah yang membutuhkan tenaga kerja.

Ribuan orang Indonesia, terutama yang berasal dari Pulau Jawa antara tahun 1942 sampai dengan 1945 dijadikan budak pekerja pemerintah militer Jepang. Pengerahan tenaga kerja dilakukan untuk membantu mesin perang Jepang melawan Sekutu. Pengerahan yang dilakukan hingga sampai ke luar negeri.

Untuk melakukan pengerahan secara rasionil, dalam Sidang Tyuuoo Sangi-in ke-7 dianjurkan, bahwa romusha cukup yang berasal dari golongan seperti orang kota yang menganggur, tanpa memandang bangsa, serta para pengemis yang tidak terurus. Sementara itu, petani dianjurkan untuk tetap melipatgandakan hasil bumi. Dalam penempatan juga harus sesuai dengan kemampuan masing-masing agar memperoleh hasil yang maksimal.

Romusha ini diambil terutama bagi para penduduk yang berusia produktif. Cara yang halus maupun kasar dilakukan Jepang dalam perekrutan tenaga kerja tersebut. Bagi penduduk yang tidak mau, mereka akan mendapat cacian dari orang yang berwenang di atasnya. Pengeksploitasian tenaga kerja (romusha) lebih dipusatkan di Jawa karena merupakan daerah padat penduduk. Dalam satu keluarga diwajibkan menyerahkan seorang anak laki-lakinya yang berumur kurang dari 30 tahun. Mereka kemudian diberangkatkan menjadi romusha.

Kerja Romusha


Usaha Jepang untuk memperoleh tenaga kerja yang banyak serta demi mencapai kemenangan melawan sekutu, maka pemerintah mulai melakukan perekrutan tenaga kerja secara besar-besaran. Pengerahan tenaga kerja ini dilakukan oleh aparat daerah tertentu yang sudah ditunjuk oleh pemerintah Jepang. Tujuannya adalah agar lebih mudah dalam memperoleh tenaga kerja yang banyak, di samping itu karena aparat daerah setempat lebih dekat dengan penduduk dibanding dengan pemerintah pusat.

Tahun 1943, para serdadu ekonomi (romusha) mulai ditempatkan di berbagai daerah di Indonesia, bahkan sampai di perbatasan Burma dan Thailand. Artinya bahwa mereka dikirim ke berbagai tempat dimana Jepang membutuhkan. Tenaga buruh kasar ini sangat penting bagi pertahanan militer Jepang untuk menghadapi Sekutu. Mereka selain diperlukan untuk eksploitasi ekonomi juga dibutuhkan untuk membangun proyek-proyek pertahanan perang. Tempat pengerahan bermacam-macam, baik di dataran rendah, pegunungan maupun daerah pesisir pantai (pelabuhan).

Mereka kebanyakan berasal dari golongan petani miskin. Dalam pengerahan itu Jepang menyiarkan propaganda bahwa romusha adalah prajurit ekonomi dan prajurit pekerja. Prajurit dalam hal ini digambarkan sebagai orang yang menjalankan tugas suci untuk angkatan perang Jepang, meskipun dalam kenyataannya tidak jauh dari budak.

Romusha sebelum dikerahkan ke daerah yang di tuju terlebih dahulu ditampung di sebuah tempat. Romusha yang berasal dari Bantul pusat penampungannya bertempat di stasiun Gowongan. Dari tempat tersebut kemudian mereka diberangkatkan ke berbagai tempat pengerjaan, seperti ke Banten, Sumatera, Singapura, melalui Jakarta. Selain itu ada juga yang diberangkatkan melalui stasiun Lempuyangan dan dengan tujuan pengiriman ke Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku lewat Surabaya. Mereka dipekerjakan di berbagai tempat untuk membangun infrastruktur pertahanan militer Jepang.

Pembangunan infrastruktur pertahanan militer diantaranya seperti membuat jalan Kereta Api, kolam, pertambangan batu bara, gedung markas besar Jepang, benteng persembunyian dan pangintaian, lapangan terbang, gua-gua persembunyian, membuat arang, kebun sayuran, selokan, serta lorong bawah tanah, dan juga aliran air untuk mengisi kolam renang. Selain itu, romusha juga dipekerjakan di perusahaan dan pabrik atau pembuatan jalan.

Sebagian romusha yang berasal dari Yogyakarta oleh Jepang ditempatkan di daerahnya sendiri, sedangkan mereka yang berasal dari Bantul beberapa diantaranya ditempatkan di Banten. Beberapa romusha ada yang dikerahkan di Pingit Yogyakarta, bahkan sampai ke luar pulau seperti di Kalimantan, serta ke Pulau Kijang (areal Tanjung Pinang). Mereka diperintahkan untuk membangun proyek pertahanan militer Jepang selama perang. Selain itu juga sebagai proyek peningkatan produksi pertanian. Karena semakin terdesaknya kondisi Jepang dalam perang Pasifik itulah proyek tersebut segera dijalankan.

Kondisi Jepang yang semakin memburuk dalam peperangan melawan Sekutu, memaksanya untuk tetap memelihara hubungan kerjasama dengan para pemimpin Indonesia. Oleh sebab itu Jepang memberikan kelonggaran kepada mereka. Pada situasi ini oleh Sultan Hamengku Buwono IX dengan segera dimanfaatkan untuk mengurangi pengerahan tenaga kerja romusha ke luar daerah.

Pengerjaan proyek yang dilakukan di daerah Yogyakarta yaitu pembangunan lapangan terbang di Badug, terletak di sekitar lapangan pesawat terbang Maguwo. Bangunan yang dikerjakan berupa kubu-kubu pertahanan militer dan berupa gorong- gorong setengah lingkaran memanjang dan berkelok-kelok. Konstruksi bangunan tersebut dari batu bata dengan lapisan kapur semen dan pasir. Tujuan dari pembangunan pertahanan militer dengan konstruksi yang sedemikian rupa agar tidak mudah tertembus peluru musuh. Kebanyakan dari mereka yang dikerahkan ke Badug diperintahkan untuk mengaduk pasir, semen, kawur, memecah batu, mengangkuti bata merah serta mengangkut tanah. Beberapa dari mereka ada juga yang diperintahkan untuk mebuat jalan yang menghubungkan kubu-kubu tersebut.

Di desa Gendeng dekat Badug, romusha diperintahkan untuk mengerjakan pertanian berupa menanam sayur-sayuran. Penanaman sayuran yang diperintahkan itu nantinya ditujukan untuk penyediaan bahan makanan bagi militer Jepang maupun romusha itu sendiri.

Pengerahan romusha berasal dari penduduk desa yang dekat maupun agak jauh dari lokasi proyek. Dalam setiap kecamatan wajib untuk mengirimkan romusha dari setiap desa yang secara bergiliran dengan desa yang lainnya. Waktu bekerja mereka adalah siang dan malam. Jam kerja siang mulai jam tujuh pagi sampai empat sore, kemudian yang bekerja malam mulai dari jam tujuh malam hingga jam empat pagi. Lama mereka bekerja tidak sama, ada yang satu minggu, ada juga yang hanya empat hari sudah dipulangkan.

Pengerjaan proyek yang di selenggarakan di Kaliurang yakni, pembuatan arang di dekat Tlaga Putri, membuat ladang sayuran di Penting dan Bedoyo, serta pembuatan guwa dan terowongan di dekat Turgo. Dalam pengerjaan proyek tersebut dibagi dalam beberapa kelompok. Sebagai pekerja pembuat arang kelompoknya terdiri atas penebang kayu, pengangkut kayu, dan pembuat arang. Kelompok penggali gua yakni penggali tanah (mencangkul), dan juga yang bertugas mengangkuti tanah dan batu-batu dari dalam gua untuk dikeluarkan. Kelompok tukang batu bertugas untuk memberikan lapisan pada dinding-dinding gua dengan adonan batu, pasir dengan semen.

Proyek Mrangi, tepatnya terletak di Kelurahan Seloharjo, Kecamatan Pundong, Bantul dekat Parangtritis. Daerah ini merupakan wilayah daerah perbukitan. Di daerah tersebut dibuat gua sebagai tempat mengintai musuh yang akan meyerang dari laut Selatan.26 Konstruksi bangunan gua tersebut menggunakan kayu jati, semen, pasir, dan batu, serta di sekelilingnya dibuat pagar kawat berduri dengan posisi melingkar untuk melindungi serangan dari luar.

Pengerahan yang dilakukan terhadap romusha asal Yogyakarta tidak hanya ke wilayah Yogyakarta saja, tetapi juga ke luar daerah dan luar negeri. Proses pengirimannya juga sama baik yang diberangkatkan ke luar daerah maupun luar negeri. Mereka terlebih dahulu dikumpulkan di Romukyoku Gowongan , kemudian setelah jumlahnya mencukupi mereka diberangkatkan ke tempat mereka dipekerjakan.

Di Banten, romusha diberangkatkan menggunakan kereta api. Sampai di tujuan mereka dipekerjakan untuk membuat jalan kereta api, pembuatan jalan, dan tambang batu bara serta lapangan terbang. Mereka bekerja mengangkuti tanah (meratakan tanah) karena tempat yang digunakan merupakan sebuah sawah tadah hujan.

Di Jakarta, mereka dipekerjakan di pelabuhan Tanjung Priok sebagai kuli angkutan barang dari kereta maupun kapal di masukkan ke gudang. Begitu juga sebaliknya, dari gudang dinaikkan ke dalam pengangkutan barang, baik itu kapal maupun kereta. Ada juga yang dipekerjakan di rumah milik Jepang. Jadi pekerjaan yang dikerjakan mereka sangat beragam, tergantung dengan kebutuhan Jepang.

Di Gersik, mereka dipekerjakan dalam pabrik pembuatan garam. Di Surabaya dipekerjakan di pabrik garam, pabrik kayu, proyek pembuatan jalan dan lain-lainnya. Kebanyakan romusha yang dikirim ke tempat ini dipekerjakan di pabrik garam. Lingkungan tempat mereka bekerja yang kumuh dan tidak terawat sama dengan mereka yang dipekerjakan untuk membuat jalan dan lain-lainnya.

Pengiriman ke luar Pulau juga dilakukan oleh Jepang, seperti di Sumatera yakni, di Tanjungpinang. Pekerjaan yang mereka kerjakan adalah bongkar muat barang di pelabuhan. Di Palembang, mereka disuruh menjadi tenaga pembongkar dan mengangkut barang ke dalam gudang, membuat jalan, menebang pohon. Kerja lembur tetap diadakan di pelabuhan bila ada kapal yang datang. Tempat pengiriman romusha asal Bantul yang ditempatkan ke luar negeri adalah Singapura. Romusha ini dipekerjakan di sebuah pabrik minyak, pelabuhan, dan juga lubang persembunyian.

Di Kalimantan Utara, Malaka, Maluku, kepulauan Andaman, dan di Kamboja sebagian disuruh membangun sebuah lapangan terbang serta membuat terowongan yang menembus batu karang. Diantara mereka juga dipekerjakan sebagai pembuat jalan yang menembus hutan belantara di Sulawesi. Sementara itu mereka yang dikerahkan di kepulauan Riau bekerja di sebuah tambang bauksit.

Romusha selalu ditempatkan secara berpindah-pindah sesuai dengan daerah yang memerlukan pertahanan perang. Karena kondisi perang yang semakin memanas, kaum perempuan juga dilibatkan dalam perang itu. Kaum perempuan yang sebelumnya hanya berada di bagian pertanian, kemudian ditarik untuk turut mengerjakan pekerjaan sesuai kemampuannya yang biasa dilakukan oleh kaum laki- laki.

Bantul rupanya tidak lepas dari kebijakan yang dibuat oleh Jepang. Masyarakat direkrut masuk menjadi romusha , kemudian dikirim ke wilayah Yogyakarta, tepatnya di Wonokromo dekat Maguwo. Dalam setiap harinya tidak kurang dari 20 orang per pedukuhan yang dikirim ke tempat tersebut secara bergilir. Jenis bangunan yang digarap oleh romusha ini adalah membuat “ urung-urung ” atau lorong bawah tanah.

Bagi romusha yang berasal dari Bantul, sebagian bekerja di Pingit. Sebelum pemberangkatan, mereka terlebih dahulu diperiksa kesehatannya, setelah selesai baru mereka diberangkatkan menggunakan kereta api. Mereka disuruh untuk mengangkat kayu-kayu dan dimuat ke truk yang disediakan oleh Jepang. Mereka bekerja selama delapan jam, dari jam delapan pagi sampai jam empat sore.

Di Kota Baru dan Gentan, mereka bekerja membersihkan berbagai tempat, membuat parit dan juga merawat tanaman Jepang. Di Grugulan (sekarang Sardjito) membuat kolam renang Jepang, yang airnya disalurkan dari mata air yang ada di lereng merapi (Kaliurang) menggunakan pipa besi.

Tujuan tempat pengerahan penduduk Bantul yang direkrut menjadi romusha dan dipekerjakan ke luar pulau yakni di Pulau Kijang (Tanjungpinang, Sumatera). Mereka diangkut menggunakan kapal layar dan memakan waktu sekitar satu bulan. Mereka diperintahkan untuk membuat kolam, membuat jalan, jembatan, menebang pohon di hutan dan lain sebagainya.

Bagi romusha asal Bantul yang dikirim ke luar negeri, mereka bekerja seperti di pelabuhan dan lain sebagainya. Pekerjaan yang dikerjakan oleh romusha rata-rata sama semua, baik di luar negeri, luar daerah maupun di daerahnya. Pembangunan berbagai infrastruktur pendukung perang adalah pekerjaan yang dikerjakan dalam daerah pengerahan.

Bentuk pekerjaan yang dilakukan di luar negeri adalah seperti melakukan bongkar muat di pelabuhan, mengecat kapal, pembangunan jalan-jalan, barak-barak tempat tinggal yang terbuat dari kayu, serta dimasukan dalam pabrik pengecoran logam dan lain sebagainya.

Kondisi Romusha


Gaji (upah) yang diterima oleh para buruh kasar ( romusha) bukanlah suatu permasalahan serius. Tragedi paling mengenaskan dari romusha adalah cara-cara tidakmanusiawi yang dilakukan tentara Jepang. Romusha seolah-olah dianggap sebagai barang yang dapat dihabiskan dan bisa diganti. Di samping itu, tidak ada sama sekali usaha pemerintah Jepang yang terlaksana baik untuk memperhatikan kondisi mereka. Seolah-olah ada perhitungan bahwa lebih murah memasok romusha baru daripada merawat atau memulihkan kembali mereka yang sakit. Oleh karena itu banyak romusha yang meninggal karena penyakit yang diderita.

Romusha merupakan tenaga kerja yang dikerahkan oleh pemerintah militer Jepang untuk menunjang perekonomian dan pertahanan perang. Dalam pengerjaan berbagai proyek yang diperintahkan oleh Jepang mereka mendapatkan fasilitas yang minim, lingkungan tempat mereka bekerja yang kumuh, dan tidak diperhatikan kebersihannya mengundang berbagai penyakit. Fasilitas yang minim, lingkungan kumuh, serta perlakuan kasar telah menjadi momok bagi mereka. Selain itu, mereka masih diberi beban pekerjaan yang sangat berat. Sikap tersebut lebih condong sebagai pemerasan, pemaksaan serta penghinaan dibandingkan dengan perburuhan pada umumnya.

Di tempat pengerahan, fasilitas yang mereka dapatkan hanya berupa makanan, penginapan dan pengobatan yang minim. Sementara itu upah yang sebelumnya dijanjikan belum diberikan secara penuh oleh pemerintah pendudukan Jepang. Meskipun sudah, namun tidak pernah sampai ke tangan romusha .

Dalam segi makanan, mereka tidak sepenuhnya mendapatkan makanan yang benar-benar sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan untuk pembangunan suatu proyek. Di samping itu, makanan yang mereka konsumsi tidak layak untuk dikonsumsi manusia. Jatah makan yang diterima antara romusha yang ditempatkan di daerah satu dengan yang lainya berbeda-beda. Pemberian jatah makan sesuai dengan kebijakan yang diberikan ditempat mereka bekerja. Meskipun telah didirikan dapur umum untuk menyediakan makanan bagi para romusha, namun lebih sering terjadi kekurangan. Kemungkinan banyak tindak pencatutan oleh mereka yang berada di dalamnya.39 Hal itu terlihat ketika istirahat, mereka ( romusha ) memanfaatkan waktu itu untuk menjadi buruh di pasar atau mencari ikan di sungai dan dijual ke pasar agar mendapatkan tambahan uang guna membeli makanan.

  • Di Yogyakarta, ketika proyek Kaliurang dikerjakan dalam waktu satu hari, romusha mendapat jatah makan satu kali pada jam 12 siang. Jatah makan yang diperoleh dengan menggunakan bungkusan besek kecil dan isinya berbeda-beda. Isinya ada yang berupa nasi beserta sayuran dan ada yang berupa singkong yang direbus. Dalam proyek Mrangi, mereka tidak mendapatkan jatah makanan, namun ditukar dengan upah 25 sen dan dipotong satu sen untuk mandornya. Kebanyakan dari mereka membawa bekal sendiri dari rumah. Bekal yang dimaksud berupa tiwul, kelapa dengan pecel daun ketela pohon.

  • Di Pingit, romusha dipekerjakan untuk mengangkat kayu, dan diberi jatah makan satu kali dalam sehari. Makanan mereka terima setelah selesai bekerja dan makanan itu berupa blendung (makanan dari jagung yang direbus dengan bumbu garam dan parutan kelapa) dengan menggunakan wadah yang terbuat dari tempurung kelapa. Sayuran yang berbahan dasar dari sawi juga diberikan, namun bagi yang tidak memiliki wadah, mereka tidak menerimanya.

  • Di Kota Baru dan Gentan, makanan yang mereka terima berbeda-beda. Hal itu disebabkan karena persediaan bahan makanan yang semakin berkurang selama perang Jepang melawan Sekutu. Ada yang satu kali dalam sehari (pada jam 12.00 siang) dan ada juga yang tiga kali sehari. Mereka diberi makan dengan menggunakan besek kecil dan berisi nasi serta sayuran seadanya. Lama mereka bekerja rata-rata delapan jam setiap harinya.

  • Di Banten, romusha mendapatkan jatah makan yang berbeda dalam setiap proyek. Dalam proyek pembuatan jalan kereta api mendapat jatah yang tidak menentu. Ada yang diberi jatah beras untuk satu minggu, setiap romusha mendapat setengah kilogram beras, serta ada juga yang diberi jatah nasi dan ikan asin untuk makan siang dan sore. Yang bekerja dalam proyek pembuatan jalan mendapat jatah makan dua kali. Mereka masing-masing mendapat satu besek kecil bagi setiap orang, namun ada juga romusha yang memperoleh jatah bahan mentah, yakni berupa satu liter beras dan garam setiap orang untuk tiga hari. Di proyek tambang batu bara, mereka memasak makanan sendiri, apabila dalam satu barak jumlah penghuninya 52 orang, maka yang dua diperintah untuk memasak dan yang lainnya untuk tetap bekerja.

  • Di Jakarta, romusha memasak sendiri untuk memenuhi kebutuhan makan mereka. Ada juga romusha yang membeli makanan dengan upah yang diperoleh. Romusha yang bekerja di Gresik dan Surabaya mendapat jatah makan berupa nasi dan sayur. Untuk mendapatkan jatah makan itu, mereka harus antri.

  • Di Sumatera, kondisi makanan yang mereka terima berbeda-beda. Di Pulau Kijang (Tanjungpinang) mendapat jatah makan dua kali sehari, berupa nasi dengan porsi sedikit, sayur dan ikan teri di rebus dan tanpa bumbu. Di Palembang, jatah makanan nasi yang diberikan banyak bercampur gabah dengan sayur kangkung dan diberi bumbu garam. Di Pekan Baru, Sungai Gerong dan Bengkulu, mereka mendapat jatah makan satu kali. Makanan itu berupa nasi yang banyak dicampuri dengan gabah dan sayuran yang berganti-ganti.

  • Di Kalimantan, romusha yang bekerja di Balik Papan dalam satu hari mendapatkan jatah makan satu kali yang terdiri dari nasi, sayur dan ikan asin, kadang mereka dikasih ongol-ongol yang terbuat dari pati kanji. Romusha yang bekerja di Banjarmasin dan Pangkalan Bun mendapat jatah lima kilogram satu orang untuk 1 bulan, kemudian dikumpulkan dan dimasak bersama dalam satu kelompok.

image

Kondisi semakin mendesak Jepang untuk mempekerjakan para romusha akan kebutuhan perang ketika memasuki tahun 1944. Jaminan kebutuhan makanan maupun yang menjadi kebutuhan hidup lainnya tidak diperoleh di tempat mereka bekerja. Kondisi tempat bekerja yang kurang memperhatikan kebersihan menimbulkan penyakit. Tempat tinggal para romusha adalah sebuah kamp yang tidak layak huni, karena mereka tinggal di tempat yang sama (di tempat mereka bekerja) dan tidak tersedia tempat buang air. Kondisi seperti inilah yang mengakibatkan banyak romusha yang mengidap penyakit kulit seperti koreng serta disentri, bahkan sampai mengakibatkan kematian yang disebabkan karena keletihan bekerja.

Romusha yang akan dikirim untuk bekerja dilakukan pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu. Meskipun sudah dilakukan pemeriksaan oleh dokter, namun masih terdapat romusha yang meninggal dalam perjalanan. Berdasarkan pengalaman dari seorang mantan romusha yang dikirim ke luar negeri ( Borneo ), dalam perjalanan menuju tempat pengerjaan selama satu bulan, rata-rata lima atau enam orang meninggal dalam kapal karena kondisi kesehatan yang buruk. Di tempat bekerja, banyak yang meninggal karena kekurangan makanan dan gizi yang buruk serta mengidap penyakit. Mayat-mayat itu baru dikubur kalau sudah sejumlah sepuluh sampai lima belas orang. Pembungkus yang digunakan biasanya hanya berupa tikar dan diikat dengan pelepah pohon pisang.

Kekurangan makanan bagi romusha biasanya juga disebabkan adanya tindak penyelewengan oleh orang yang lebih berkuasa di atasnya. Mereka mengalami kesulitan untuk mencari makanan tambahan dengan uang mereka sendiri, sebab lokasi bekerja jauh dengan pemukiman penduduk. Meninggalnya romusha juga disebabkan oleh serangan dari pihak Sekutu, sehingga maut selalu mengancam mereka dalam bekerja. Kemudian jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan kondisi tubuh mereka serta kurangnya pemberian hari libur meningkatkan rasa lelah yang cukup menyiksa.

Mayoritas matapencaharian penduduk desa adalah sebagai petani yang dalam kesehariannya tanpa dengan adanya pengawasan yang ketat dan perlakukan keras, sehingga mereka dapat bekerja tanpa dikejar-kejar oleh waktu, dan dapat bekerja dengan nyaman. Perubahan semakin dirasakan penduduk ketika Jepang sudah memegang pemerintahan. Aktifitas masyarakat selalu diawasi oleh pemerintah militer Jepang serta pekekerjaan yang dikerjakan penduduk harus sesuai dengan perintah Jepang.

Di tempat kerja yang baru, mereka menghadapi pekerjaan yang asing. Mereka harus bekerja sesuai perintah militer Jepang. Bilamana ada yang menolak, maka akan mendapatkan hukuman.

Hukuman yang biasanya diberikan pada romusha seperti pemukulan dengan menggunakan sebatang kayu, tamparan serta tendangan. Hukuman yang dijatuhkan tersebut mengakibatkan romusha semakin menderita baik secara fisik maupun psikologis.

Karena makanan hanya diperoleh bagi para romusha yang terdaftar bekerja saja, maka menyebabkan romusha yang tidak terdaftar kerja harus memaksakan diri untuk bekerja. Makanan yang disediakan untuk romusha-pun tidak memenuhi standar kebutuhan tubuh, sehingga dari mereka banyak yang mengeluhkan makanan yang mereka makan. Menu makanan yang mereka makan ketika di tempat pengerahan berbeda jauh dengan makanan yang biasa mereka makan sebelumnya. Oleh karena itu daya tahan tubuh mereka semakin mudah terjangkit penyakit.

Berbagai macam bahan kebutuhan hidup semakin sulit diperoleh bagi kalangan bawah, seperti kebutuhan untuk mengenakan pakaian sangat sulit diperoleh. Mereka diberi pakaian yang tidak layak untuk dikenakan umumnya manusia. Pakaian yang diperoleh bagi kaum laki-laki berupa celana yang terbuat dari karung goni dan lempengan karet ( lateks ) untuk perempuan. Pakaian yang terbuat dari karung goni itu-pun banyak kutunya, sehingga tubuh mereka digigiti kutu-kutu tersebut. Gigitan kutu-kutu menyebabkan luka koreng di tubuh mereka, sehingga tubuh mereka ketika bekerja dihiasi dengan luka-luka koreng.

Penanganan kesehatan yang diberikan oleh Jepang terhadap romusha sangat kurang. Meskipun dalam lingkungan kerja telah didirikan kamp-kamp kesehatan, akan tetapi tidak mampu untuk menangani. Ketidak mampuan kamp-kamp kesehatan dalam menangani romusha dikarenakan kamp-kamp kesehatan yang didirikan kekurangan obat-obatan dan jumlahnya tidak mencukupi.

Dalam kalangan romusha muncul desas-desus kalau sekali seseorang diangkut ke klinik, ia tidak akan kembali dalam kondisi sehat atau hidup. Kebanyakan dari mereka yang terutama terserang penyakit disentri tidak dapat tertolong lagi nyawanya. Jadi dapat dipahami betapa kerasnya hidup ditempat kerja. Mereka tidak memperoleh fasilitas kerja yang maksimal dan kodisi tempat mereka bekerja sangat memprihatinkan. Suasana di tempat pengerahan selalu dihiasi dengan pekerja yang menyandang penyakit di sekujur tubuhnya dan aroma mayat-mayat yang ditumpuk di dekat mereka tinggal.

Upah Romusha


Upah merupakan suatu tujuan utama seseorang bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup dalam keluarganya. Seseorang yang bekerja atas perintah atasan layaknya mendapatkan upah sesuai dengan apa yang di kerjakan. Begitu juga dengan romusha yang diorganisir oleh pemerintah militer Jepang. Sebagai pemberi pekerjaan terhadap romusha, hendaknya pemerintah Jepang memberikan upah yang setimpal pada tenaga kerja suruhannya.

Romusha sebenarnya diberikan upah sesuai dengan adanya keputusan yang telah disepakati oleh pemerintah militer Jepang. Pihak yang memutuskan upah adalah berdasarkan Persetujuan Pemasokan Romusha antara Angkatan Darat (AD) keenambelas di Jawa dengan Angkatan Laut (AL) Jepang di Makasar pada bulan Juli 1943. Hasil keputusan dalam hal pemberian upah kepada romusha adalah sebagai berikut.

Upah mula-mula romusha harus sejumlah F. 0.50 per harinya. Kemudian sejumlah F. 3.00 dipotong setiap bulannya untuk dikirim ke pada keluarganya.

Bagi romusha yang bekerja di Jawa, upah harian mula-mula ditetapakan F. 0.35, namun pada bulan November 1944 keputusan penetapan upah tersebut diperbaiki. Di Jakarta dan Surabaya berubah menjadi F. 0.50 (laki-laki dewasa) dan F. 0.40 (perempuan dan orang yang belum berumur 16 tahun). Di Bandung dan Semarang menjadi F. 0.45 (laki-laki dewasa) dan F. 0.30 (perempuan dan orang yang belum berumur 16 tahun). Kemudian untuk upah di daerah lainya bagi laki-laki dewasa f. 0.40 serta perempuan dan orang yang belum berumur 16 tahun F. 0.30.

Penetapan yang diberlakukan oleh pemerintah untuk romusha mempunyai tujuan tersendiri. Tujuan itu adalah untuk mencegah pindah kerjanya romusha karena pemberian upah yang tidak sama dan untuk mencegah pengambilan romusha dari badan yang lain dengan cara memberikan upah yang lebih tinggi serta tidak sepatutnya.

Pemberian upah romusha di Banten terbagi dalam 3 kelompok, yaitu :

  • Pertama, kelompok berdasarkan badannya yang mampu bekerja berat per harinya diberi upah sebesar F. 1.00 dan 100 gram beras. Kedua, kelompok biasa dan ketiga kelompok lemah.

  • Kelompok kedua dan ketiga mendapatkan upah per harinya sebesar F. 0.40 dan 250 gram beras. Di Pertambangan Mitsui di Cikotok seorang yang bekerja di bawah tanah menerima upah antara F. 0.25 dan F. 0.50 (rata-rata F. 0.30).

Menurut analisis yang dilakukan oleh Aiko Kurasawa, upah dari seorang romusha dalam per harinya antara F. 0.40 dan F. 0.50. Upah tersebut kemudian dipotong untuk makan dan dikirim untuk keluarga romusha di kampung halamannya, sehinga upah yang diterima antara F. 0.20 dan F. 0.25. Upah romusha semakin terasa sangat rendah pada bulan Maret tahun 1944, yakni ketika harga resmi gabah yang dikeluarkan pemerintah per kilogramnya di Jawa adalah F. 0.10.

Dari beberapa romusha, upah yang mereka terima kebanyakan tidak sesuai dengan janji yang pernah diberikan oleh militer Jepang. Di samping itu bahkan ada yang tidak menerima upah sama sekali dengan alasan telah dikirimkan kepada keluarganya. Dalam kenyataannya uang yang dikirim tidak sampai ketangan keluarga romusha , meskipun ada namun jumlahnya lebih kecil dari yang seharusnya.

Bagi romusha yang bekerja di Pingit, upah yang mereka terima sebesar F. 2.00, beberapa dari mereka juga ada yang tidak menerima upah sama sekali. Romusha yang bekerja di Kota Baru upahnya tidak dibayarkan, sedangkan di Gentan upah yang diterima 100 sen dan ada juga yang diberikan upah sebesar 1 sen. Meskipun diberikan upah, namun kemungkinan upah yang harusnya diperoleh romsuha dikorupsi oleh orang-orang di atasnya dan tidak sampai ke tangan mereka. Beberapa romusha yang tidak mendapatkan upah, mereka berusaha untuk melarikan diri. Mereka berusaha untuk keluar dari tempat bekerja, namun kebayakan mereka yang melarikan diri tertangkap kembali oleh militer Jepang dan diperintahkan untuk kembali bekerja.

Sumber : Asep Edi Tri Purwanto , Kabupaten Bantul dalam pelaksanaan kebijakan Romusha (1943-1945), Universitas Negeri Yogyakarta

Referensi :

  • M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 , (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005).
  • Suyono, Seks dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial , (Jakarta: PT. Grasindo, tt)
  • Hendri F. Isnaeni dan Apid, Romusa: Sejarah yang terlupakan , (Yogyakarta: Ombak, 2008).
  • Suhartono, Kaigun: Angkatan Laut Jepang, Penentu Krisis Proklamasi , (Yogyakarta: Kanisius, 2007).
  • A. Budi Hartono dan Dadang Juliantoro, Derita Paksa Perempuan: Kisah Jugun Ianfu pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945 , (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997).
  • P.J. Suwarno, Romusa Daerah Istimewa Yogyakarta , (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 1999).
  • Oemar Sanoesi, Replika Sejarah Perjuangan Rakyat Yogyakarta. Jilid I . Dinas Sosial Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Proyek Penelitian Tempat Bersejarah Perjuangan Bangsa 1942-1945, (Yogyakarta: Kanisius, 1994).
  • O.D.P. Sihombing, Pemuda Indonesia Menentang Fasisme Jepang , (Jakarta: Sinar Jaya, 1962)
  • Tim, Replika Sejarah Perjuangan Rakyat Yogyakarta . Buku Kedua. Proyek Pemeliharaan Tempat Bersejarah Perjuangan Bangsa Didaerah Istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: Kerjasama Dinas Sosial Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, 1984/1985)
  • Aiko Kurasawa, Mobilisasi Dan Kontrol: Studi tentang perubahan sosial di pedesaan Jawa 1942-1945 , (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993).

Ketika menjajah Indonesia, Jepang mulai menggerakkan masyarakat untuk bekerja keras bagi pemenuhan logistik Jepang selama berada di Indonesia. Jepang sangat membutuhkan logistik sebagai usaha pemenuhan kebutuhan sendiri selama perang berlangsung. Isnaeni dan Apid (2008) menjelaskan bahwa Jepang juga menerapkan sistem autarki; daerah harus memenuhi kebutuhannya sendiri dan kebutuhan perang.

Oleh karena itu, Jepang melakukan pengerahan massa untuk mengolah sumber daya yang ada di Indonesia. Seperti di pertanian, perkebunan, pertambangan hingga kepada kegiatan industri. Jepang bukan hanya memanfaatkan sumber daya alamnya saja, tetapi sumber daya manusianya pun dipergunakan untuk kepentingan perangnya. Indonesia dijadikan sebagai masyarakat pekerja selama pendudukan Jepang berlangsung.

Masyarakat Indonesia pada awalnya bekerja secara sukarela, hal tersebut dilakukan sebagai bentuk balas budi kepada Jepang. Namun tak berlangsung lama para pekerja ini pada akhirnya dieksploitasi tenaganya demi kepentingan Jepang.

Sedangkan pengertian Eksploitasi sendiri adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial.

Para pekerja kasar tersebut biasanya disebut dengan istilah Romusha. Romusha adalah sebuah kata Jepang yang bermakna semacam ”serdadu kerja” (Jong, 1987) sedangkan menurut Kurasawa (1993) Romusha secara harfiah diartikan sebagai seorang pekerja yang melakukan pekerjaan sebagai buruh kasar.

Sehingga pengertian Romusha adalah buruh atau pekerja kasar yang dipekerjakan secara paksa pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Setiap laki-laki yang berusia kurang dari 30 tahun diberangkatkan untuk dikirim ke berbagai daerah di Indonesia bahkan sampai ke luar negeri. Mobilisasi para buruh pekerja ini dalam jumlah yang cukup besar, hingga mencapai 50.000-300.000 ke berbagai wilayah.

Pada awalnya tugas yang dilakukan bersifat sukarela dan lokasinya tidak begitu jauh dari tempat tinggal. Tetapi pada akhirnya berubah menjadi paksaan. Romusha diperlakukan secara kasar dan tidak dijamin baik sandang pangannya serta kesehatannya. Sehingga ini menyebabkan banyak terjadinya busung lapar yang berujung pada kematian.

Menjelang tahun 1943, pengambilan dan penempatan Romusha oleh Angkatan Perang dilakukan dengan serius. Ada tiga alasan mengapa itu dilakukan, pertama kondisi perang yang semakin buruk bagi Jepang. Kedua, adanya tuntutan memenuhi kebutuhan sendiri (autarki) bagi setiap angkatan perang di daerah pendudukan. Ketiga, adanya motivasi ekonomi yang disertakan oleh penguasa Angkatan Perang dalam setiap pengerahan Romusha ke luar Pulau Jawa.

Hal ini menjadi ketakutan tersendiri bagi masyarakat, mereka enggan untuk menjadi Romusha dan memilih untuk bersembunyi dan meninggalkan desanya. Keadaan ini berdampak pada menurunnya produksi pertanian yang sedang digalakkan oleh Jepang. Dampak lainnya adalah kelaparan yang melanda wilayahwilayah di Indonesia, terutama di wilayah pedesaannya.

Ketika Jepang menduduki Jawa, salah satu tujuannya untuk mendapatkan sumber-sumber pangan yang sangat penting bagi kehidupan mereka selama perang berlangsung. Sebelumnya, sebagian besar tanah Jawa digunakan Belanda untuk menanam kebutuhan bagi perdagangan mereka di Eropa. Seperti gula, tembakau, kopi, teh dan karet.

Pada masa pendudukan Jepang, yang semula perkebunan diganti menjadi ke pertanian. Perkebunan seperti kopi, teh, dan tembakau masih tetap dibutuhkan, karena berfungsi sebagai barang kenikmatan. Pada akhirnya perkebunan-perkebunan tersebut diganti dengan tanaman bahan pangan dan tanaman jarak untuk pelumas (Pusponegoro dan Notosusanto, 1993).

Sehingga masyarakat dipekerjakan oleh pemerintah Jepang untuk mengolah lahan pertanian. Sebagai contoh seperti yang di daerah Indramayu. Pemerintah mendorong masyarakat untuk bercocok tanam tanaman padi. Karena Jepang sangat membutuhkan beras sebagai logistiknya selama perang berlangsung. Walau demikian, hasil dari perkebunan lain pun masih sangat dibutuhkan untuk keperluan industri. Seperti pakaian, obat-obatan dan amunisi menjadi sangat penting selama perang berlangsung.

Latar Belakang Adanya Romusha

Romusha merupakan panggilan bagi orang – orang yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia pada tahun 1942 hingga tahun 1945. Kata romusha berasal dari bahasa Jepang yang berarti serdadu kerja. Secara harfiah romusha dapat diartikan sebagai orang – orang yang bekerja pada pekerjaan kasar (buruh). Romusha hampir sama dengan sistem kerja paksa atau tanam paksa pada masa penjajahan Belanda. Para romusha dipekerjakan sebagai petani, penambang, tenaga pembangunan dan pekerjaan pekerjaan kasar lain.

Jepang memberlakukan sistem romusha dengan tujuan sebagai persiapan perang dengan segala kebutuhan perang Jepang dalam upaya memenangkan Perang Pasifik atau perang Asia Timur Raya. Pada awalnya, penduduk pribumi bekerja secara sukarela kepada Jepang, para romusha terpengaruh propaganda “untuk kemakmuran bersama Asia Timur Raya”.

Luasnya jajahan Jepang di Indonesia, membuat Jepang membutuhkan banyak tenaga untuk secepatnya membangun sarana pertahanan seperti kubu – kubu pertahanan, lapangan udara darurat, gedung bawah tanah, jalan raya dan jembatan. Sebagian besar romusha adalah para petani. Sistem romusha diberlakukan pertama kali sejak bulan Oktober 1943. Para romusha dipekerjakan bukan hanya di Indonesia saja, tetapi juga di Birma, Muangthai, Vietnam, Malaysia serta Serawak.

Ketenaga Kerjaan Romusha.

Dalam sidang pertama Chuo Sangi in membahas mengenai pembentukan badan – badan yang bertujuan untuk memotivasi rakyat menjadi tenaga sukarela melalui kerja sama bupati, wedana, camat dan kepala desa untuk pengerahan tenaga kerja (buruh / romusha) secara sukarela di pemerintahan Jepang. Dalam pelaksanaannya, syarat – syarat sukarela tersebut diabaikan. Banyak diantara keluarga yang secara terang – terangan menolak untuk masuk dalam pekerja paksa romusha. Mereka yang menolak akan dipaksa, ditakut – takuti dan dikucilkan. Jika anak yang mereka minta melarikan diri dan bersembunyi ke sawah maupun hutan, pihak Jepang akan dicari dan apabila ketemu akan dipaksa untuk masuk sebagai romusha.

Selama dipekerjakan sebagai romusha hingga selesai, ternyata mereka hanya mendapat fasilitas sangat minim dan tidak diberi upah. Mereka tidak dapat menuntut karena tidak adanya perjanjian kerja tertulis. Para romusha dipekerjakan sebagai tenaga kerja paksa dan buruh yang dibayar upah selayaknya.

Sebelum mendapatkan wilayah jajahan Indonesia dari tangan Belanda, Jepang telah memperhitungkan tanah Jawa akan bisa memberikan tenaga kerja yang memadai untuk memenangkan Perang Pasifik. Perhitungan ini didasarkan para jumlah penduduk Jawa dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tergolong pesat. Hal ini sangat menguntungkan Jepang apalagi tenaga yang diambil dari Jawa didapatkan tanpa upah dan tanpa pengeluaran biaya untuk makan maupun pengobatan. Pola pikir inilah yang kemudian membuat para romusha banyak yang mati kelaparan maupun terserang wabah penyakit.

Jumlah romusha yang dipekerjakan Jepang diperkirakan mencapai 4 hingga 10 juta orang. Tenaga romusha yang didapatkan dari orang – orang Jawa melalui program Kinrohosi (kerja bakti). Pada awalnya para romusha secara sukarela memabntu pemerintah Jepang, namun akibat desakan Perang Pasifik, pemerintah Jepang memaksa melakukan pengerahan tenaga yang diserahkan kepada panitia pengerahan ( Romukyokai ) yang ada di setiap desa. Peraturan yang diberikan Jepang yaitu setiap keluarga petani diwajibkan menyerahkan satu orang laki – laki untuk berangkat menjadi romusha. Sedangkan untuk golongan masyarakat seperti pedagang, pejabat, dan orang – orang Cina dapat menyogok para pejabat pelaksana pengerahan tenaga atau membayar teman sekampung yang miskin agar menggantikannya sehingga terhidar dari kerja wajib romusha.

Pemerintah Jepang mempropagandakan “prajurit ekonomi” atau “pahlawan kerja” bagi para romusha. Mereka menggambarkan para romusha merupakan orang – orang yang sedang menjalani tugas suci guna memenangkan perang Asia Timur Raya. Pada waktu itu, sebanyak 300.000 orang Jawa dapat dijadikan sebagai romusha dan 70.000 orang berada dalam keadaan yang menyedihkan.

Kekejaman Romusha.

Pada pertengahan tahun 1943, para romusha semakin tereksploitasi oleh pemerintah Jepang. Akibat kekalahan Jepang di Perang Pasifik membuat Jepang terpaksa mengearahkan para romusha untuk dipergunakan sebegai tenaga swasembada pendukung perang secara langsung. Para romusha dialih fungsikan menjadi pasukan – pasukan Jepang. Pada saat itu permintaan akan romusha semakin tak terkendali. Barulah pada tahun 1945, ketika Hindia Belanda memerdekakan diri dan berubah nama menjadi Indonesia menandakan berakhirnya proyek dan impian kolonisasi Jepang begitu juga dengan sistem kerja romusha.

Hanya pada awal pendudukan Jepang berlaku baik, setelahnya mereka sangat kejam dengan meghilangkan makanan, pakaian, barang dan obat – obatan di pasaran. Sulitnya mendapatkan pakaian pada masa tersebut membuat para pribumi menggunakan karung goni sebagai celana bagi para pria. Sedangkan para wanita menggunakan kain dari karet yang panas apabila menempel di tubuh. Obat – obatan juga sangat langka di pasaran. Banyak diantara para pribumi terkena penyakit koreng dalam jumlah yang banyak sekali. Mereka sangat kesulitan mendapatkan salep. Mereka terpaksa membuat obat – obatan sendiri untuk mengobati koreng tersebut.

Sepeda kala itu menggunakan ban karet mati atau ban mati. Buku – buku di sekolah – sekolah terbuat dari kertas merang. Pencil atau potlot dari arang hingga menyulitkan untuk menulis. Pada masa itu, banyak dari para pribumi memungut makanan di bak – bak sampah. Bila menemukan mayat di jalan mereka tidak terlalu kaget. Jepang bahkan mengajari para pribumi untuk makan bekicot yang pada masyarakat Betawi disebut keong racun. Akses radio dipersulit dan radio beberapa orang disegel. Mereka hanya boleh mendengarkan berita dari Dai Nippon. Apabila ketahuan mendengarkan saluran dari luar negeri maka akan dihukum berat. Orang – orang sangat takut dengan para polisi militer Jepang yang memiliki julkan Kempetai .

Pada malam hari seringkali terdengar sirine Kuso Keho yang merupakan penanda adanya serangan udara dari sekutu. Para orang – orang pribumi bergegas memadamkan api penerangan dan kemudian berlari ke tempat perlindungan. Pada halaman – halaman rumah seringkali terdapat galian lubang dengan kapasitas empat hingga lima orang untuk berlindung ketika sirine bahaya berbunyi.

Kekejaman Jepang pernah difilmkan dalam sebuah film berjudul Romusha. Film ini diproduksi pada tahun 1972 dan telah lulus sensor namun ditahan oleh Deppen. Alasannya yaitu mengganggu hubungan Indonesia dan Jepang. Pada masa Orde Baru, kebijakan pemerintah sangat sulit di lawan. Meskipun ada sedikit protes dari pihak dunia perfilman, namun pihak Deppen diperintahkan “atasan” untuk tidak meladeninya. Menurut produser Julies Rofi’ie, ia mendapat tekanan dari pemerintah Jepang untuk tidak menyiarkan film Romusha.

Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizami meminta maaf atas kekejaman
bala tentaranya ketika Perang Dunia II yang menyebabkan berbagai
penderitaan di kawasan Asia. Permintaan ini disampaikan pada pertemuan
Presiden RRC Hu Jintau di sela – sela KTT Asean pada tahun 2005 di
Jakarta. Permintaan ini ternyata tidak hanya ditujukan kepada Cina dan
Korea saja, melainkan negara – negara di Asia Tenggara tak terkecuali
Indonesia. Sampai saat ini korban eks romusha pada PD II mengajukan klaim kepada Jepang atas kompensasi gaji mereka yang tidak dibayar selama menjadi
romusha.

Dampak Romusha

1. Bidang Ekonomi

Keadaan Indonesia mengalami kemerosotan akibat adanya romusha. Berikut ini adalah penyebabnya :

  • Penyuluh pertanian bukan dari tenaga ahli pertanian
  • Banyak hewan – hewan yang sangat berguna dalam proses pertanian direbut pihak Jepang
  • Kurangnya tenaga kerja petani karena sebagian besar petani dilarikan menjadi tenaga kerja romusha
  • Banyaknya penebangan hutan liar
  • Kewajiban menyerahkan hasil bumi

2. Bidang Sosial Budaya.

Kepala desa dan camat menjadi orang yang bertanggung jawab atas pemilihan romusha pada masyarakat mereka. Para romusha dipilih dari orang – orang yang mereka tidak sukai. Berjuta – juta rakyat mengalami kelaparan dan dalam kondisi serba kekurangan. Program romusha seakan menambah hancur ketentraman masyarakat Jawa.