Apa yang dimaksud dengan Revolusi Hijau?

image

Revolusi Hijau merupakan sebuah usaha dalam mengembangkan teknolosi pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan.

Apa yang Anda ketahui tentang Revolusi Hijau?

Secara harafiah, Revolusi Hijau (Green Revolution) adalah perubahan secara cepat dalam memproduksi bahan makanan. Asumsinya berangkat dari hipotesa produksi bahan makanan tidak akan mencukupi yang dibutuhkan manusia jika hanya mengandalkan cara berproduksi tradisional.

Revolusi hijau merupakan usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan. Peningkatan tersebut dengan cara mengubah dari pertanian tradisional menjadi pertanian modern, yakni pertanian dengan memanfaatkan atau menggunakan teknologi lebih maju dari waktu sebelumnya. Jadi revolusi hijau terletak pada pemanfaatan hasil penemuan teknologi up to date.

Revolusi hijau dikenal juga sebagai Revolusi Agraria. Dengan Revolusi ini para petani ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan para petani pada cuaca dan alam karena meningkatnya peran ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Jenis bahan makanan yang mendapat prioritas adalah jenis bahan pokok bagi sebagian besar penduduk dunia, seperti gandum, jagung dan padi.

Terdapat dua metode untuk meningkatkan produksi bahan makanan, yakni metode ekstensifikasi dan intensifikasi. Metode Ekstensifikasi dilakukan dengan cara memperluas lahan pertanian dalam meningkatkan produksi bahan makanan. Dengan metode ini maka akan dibuka lahan-lahan baru untuk ditanami, seperti dengan membuka hutan, mengubah lahan tandus menjadi lahan produktif.

Sedangkan metode Intensifikasi adalah dengan cara meng-intensif-kan lahan pertanian yang ada, supaya produktivitas lahan terus meningkat. Metode yang kedua ini dengan cara menggunakan :

  1. Bibit unggul
  2. Memakai pupuk kimia / buatan
  3. Saluran irigasi yang baik.
  4. Pengobatan atau pemakaian pestisida, insektisida dan fungisida.
  5. Kegiatan penyuluhan pertanian.
  6. Lancarnya transportasi dan komunikasi.
  7. Kegiatan pemasaran yang baik.

Ciri-ciri Revolusi Hijau :

  1. Tumbuhan yang ditanam terspesialisasi atau istilah lainnya MONOKULTUR. Teknik ini dilakukan dikarenakan perhitungan pragmatis, bahwa jika tanaman yang sama, maka kebutuhan akan obat dan pupuk juga akan sama. Jadi mempermudah merawatnya

  2. Penggunaan bibit yang unggul yang tahan terhadap penyalkit tertentu dan juga hanya cocok ditanam dilahan tertentu. Kemajuan teknologi dengan teknik kultur jaringan, memungkinkan memperoleh varietas tertentu sesuai dengan yang diharapkan. Dan dengan penelitian terus menerus, maka semakin hari umur tanaman makin pendek.

  3. Pemanfaatan teknologi maju, misalnya bajak oleh binatang yang digantikan oleh mesin jetor. Dampaknya adalah semakin hemat tenaga kerja, tetapi akan memerlukan modal yang besar.

Revolusi hijau di Indonesia dilakukan dengan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi dengan perluasan areal, seperti membuka hutan untuk lahan pertanian baru. Terbatasnya areal menyebabkan pengembangan lebih banyak pada intensifikasi. Intensifikasi dilakukan melalui Panca Usaha Tani, yaitu:

  1. Teknik pengolahan lahan pertanian
  2. Pengaturan irigasi
  3. Pemupukan
  4. Pemberantasan hama
  5. Penggunaan bibit unggul

Revolusi Hjaiu (pertama) memang telah menghantarkan Indonesia berswasembada beras dan mapu meningkatkan produksi padi nasional hampir tiga kali lipat (289 persen) selama 30 tahun. Dalam dua dasawarsa terakhir disadari adanya beberapa kelemahan dan dampak negatif dari Revolusi hijau yang patut dikoreksi.

Pertama, perhatian saat itu lebih terfokus dan terlalu menghandalkan lahan sawah irigasi sebagai media produksi padi, sementara lahan suboptimal kurang mendapat perhatian.

Kedua, intensifikasi padi cenderung pada penggunaan input (agrokimia) tinggi yang menyebabkan rendahnya kelenturan Sistem Usaha Tani (SUT) padi.

Ketiga, kelestarian sumber daya (lahan dan lingkungan), kearifan dan sumber daya lokal kurang mendapat perhatian.

Keempat, upaya peningkatan produksi padi belum sepenuhnya berhasil meningkatkan kesejahteraan petani. Gejala pelandaian produktivitas dan produksi padi nasional sejak beberapa dasawarsa terakhir akibat makin tipisnya perbedaan daya hasil berbagai VUB terhadap potensi genetiknya, makin mendorong perlunya koreksi terhadap revolusi hijau pertama.

Apalagi makin mengemukanya isu lingkungan, perubahan iklim (global warming), konversi dan degradasi lahan, serta makin menggemanya tuntutan terhadap keamanan pangan (food savety).

Di Indonesia, konsep awal Revolusi Hijau Lestari atau Revolusi Hijau Generasi Kedua makin diperjelas dan dijabarkan melalui beberapa diskusi pada forum Pekan Padi Nasional Pertama (PPN I) pada tahun 2002 dan menjelang PPN II pada tahun 2004 di Sukamandi, Jawa Barat. Diskusi bertitik tolak pada evaluasi 30 tahun pelaksanaan intensifikasi padi sejak 1969 yang pada umumnya bertumpu pada pendekatan atau teknologi Revolusi Hijau dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Revolusi Hijau Lestari di Indonesia diarahkan kepada:

Pertama, tanpa mengurangi harapan dan tumpuan pada lahan sawah irigasi, namun perhatian harus lebih besar kepada daerah suboptimal tertinggal atau unvapourable rice environment berupa lahan sawah tadah hujan, lahan rawa, dan lahan kering.

Kedua, diversifikasi usaha tani berbasis padi dengan memperhatikan keanekaragaman potensi sumber daya pertanian (lahan/tanah, air iklim), kearifan lokal, dan teknologi indigenous (pupuk/bahan organik, dll).

Ketiga, pembangunan pertanian berkelanjutan yang mampu memenuhi permintaan dengan memanfaatkan IPTEK tinggi yang adaptif dan ramah lingkungan, berupa inovasi teknologi VUB, komponen teknologi pengelolaan LATO (lahan, air, tanah dan OPT), dan Sistem Farming dengan perhatian yang lebih besar terhadap upaya peningkatan pendapatan petani.

Keempat, program intensifikasi harus memberikan perhatian yang lebih besar terhadap masalah gizi atau kesehatan, air bersih, lingkungan, dan pembangunan pedesaan.

Kelima, hambatan laju peningkatan produksi dan kesejahteraan petani tidak hanya diatasi dengan inovasi teknologi, tetapi juga rekayasa kelembagaan, termasuk penyuluhan dan pelatihan serta reforma agraria.

Hingga 20 tahun ke depan diperkirakan lahan sawah masih menjadi tulang punggung ketahanan pangan, khusus dalam pengadaan beras nasional.

1 Like

Revolusi Hijau awalnya diperkenalkan oleh William S. Gaud pada tahun 1968, salah satu staf U.S. Agency for International Development (USAID), untuk merayakan keberhasilkan rekayasa varietas gandum dan beras yang diasumsikan akan membangkitkan revolusi untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh masyarakat global (Hazell, 2003).

Di Indonesia, pada umumnya konsep Revolusi Hijau diindikasikan dengan modernisasi pertanian atau penggunaan teknologi modern dalam kegiatan on farm seperti penggunaan pupuk kimia dan pestisida, nyatanya telah diterapkan ketika pemerintahan Soekarno melalui “Rencana Kasimo”, namun karena keterbatasan anggaran negara kala itu mengakibatkan rencana tersebut gagal di tengah jalan. Seiring berjalannya waktu, konsep Revolusi Hijau baru dapat diimplementasikan secara optimal di era pemerintahan Soeharto (Orde Baru), yakni terwujud melalui pemantapan program Bimas1 dengan semboyan yang terkenal: “Panca Usaha Tani” (Both dan McCawley, 1986: 31-32). Namun, implementasi Revolusi Hijau di era Soeharto menghasilkan efek dan tonik dan toksik yang terlihat dari kejenuhan tanah akibat penggunaan pupuk kimia yang mengakibatkan hama resisten karena mutasi yang terjadi dengan pestisida. Di satu lain, terdapat backwash effect yang perlu dibayar mahal dalam aspek sosial ekonomi, yaitu ketergantungan masyarakat petani terhadap beberapa komoditas industri pertanian.

Referensi:
Booth, Anne, dan McCawley, Peter, 1986, Ekonomi Orde Baru, LP3ES.
Hazell, Peter B.R, 2003, Green Revolution, Curse or Blessing?:IFPRI, http://www.ifpri.org/sites/default/fil es/pubs/pubs/ib/ib11.pdf diakses pada tanggal 05 Agustus 2020.