Apa yang anda ketahui tentang Raja Jayabaya ?

Raja Jayabaya adalah raja terbesar dari Kerajaan Panjalu atau Kadiri yang sekarang disebut Kediri. Di masyarakat jawa, Raja Jayabaya terkenal dengan kitab ramalannya tentang pulau Jawa, yang dikenal sebagai Jangka Raja Jayabaya.

Apa yang anda ketahui tentang Raja Jayabaya ?

Maharaja Jayabhaya adalah Raja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.

Pemerintahan Raja Jayabhaya


Pemerintahan raja Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kediri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).

Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kediri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kediri selama perang melawan Jenggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan kerajaan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan kerajaan Kediri.

Kemenangan Jayabhaya atas Jenggala disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh empu Sedah dan empu Panuluh tahun 1157.

Kerajaan Panjalu dan kerajaan Janggal dulunya merupakan satu kerajaan, yaitu kerajaan Kahuripan dengan rajanya yang bernama raja Airlangga. Kedua kerajaan tersebut diwariskan kepada kedua orang puteranya, seorang menjadi raja di Panjalu (Kediri) dan yang seorang lagi menjadi raja di Jenggala. Informasi historis yang mendasari anggapan tersebut adalah keterangan dari kitab Negarakretagama karya pujangga Mpu Prapanca tahun 1365. Pembagian kerajaan ini dimaksudkan karena raja Airlangga mengkhawatirkan terjadinya perang saudara antara kedua orang puteranya yang ingin menjadi raja menggantikan ayahnya.

Pada perkembangan selanjutnya, kerajaan Panjalu (Kediri), yang juga biasa disebut dengan kerajaan Gelang-gelang, ternyata lebih maju dari kerajaan Jenggala. Kemajuan kerajaan Kediri tidak dapat dilepaskan dari kepemimpinan raja yang memerintahnya, dan raja terbesar kerajaan Kediri, berdasarkan beberapa prasasti yang ada, adalah Raja Jayabaya.

Raja Jayabaya dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu, seperti yang tertulis dalam prasasti Hantang atau Ngantang yang ditemukan di Ngantang, Malang. Pada prasasti tersebut tertulis :

Sri Maharaja Sang Apanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa, yang artinya "Yang termulya raja agung Jayabhaya yang termulya tuan dari keadilan titisan Dewa Wisnu yang tidak tercela, yang kuat, yang berani, seperti Singa, yang memenangkan dunia dengan nama Uttunggadewa.

Dari tulisan tersebut terdapat dua pengertian yaitu

  • Pertama, Sang Apanji Jayabaya merupakan nama pribadi dan Sri Warmeswara merupakan nama sucinya, yang juga mengungkapkan sifat dan kedudukan raja Jayabaya.

  • Kedua, Raja Jayabaya merupakan titisan dewa Wisnu, yaitu dewa yang mempunyai tugas memelihara hukum abadi dan diturunkan sewaktu dunia dalam keadaan kacau.

Seperti dikisahkan dalam cerita pewayangan, Bathara Wisnu mempunyai tugas di dunia antara lain untuk :

  • Memberantas segala bentuk dan wujud angkara murka, baik lahir maupun batin
  • Membangun kehidupan manusia
  • Membangun bangsa dan negara
  • Membangun dan mengayomi rakyatnya.

Berdasarkan analisis diatas, maka kerajaan Kediri ketika dibawah pemerintahan raja Jayabaya sedang mengalami kejayaan, keagungan dan keluhuran.

Pernyataan bahwa raja Jayabaya sebagai titisan dewa Wisnu juga terdapat dalam kitab Bharatayuda. Kita ini berupa kakawin dalam bahasa Jawa kuna yang ditulis oleh dua orang pujangga besar pada masa pemerintahan raja Jayabaya, yaitu mpu Sedah dan mpu Panuluh. Dalam kitab Baratayuda tersebut, Raja Jayabaya dipuji sebagai seorang “Pandito Ratu”.

Raja Jayabaya memberi nama istananya dengan sebutan “Mamenang”. Pemilihan kata “Mamenang” dimaksudkan sebagai peringatan atau tanda sejarah bahwa waktu itu diseluruh tanah Jawa, raja Jayabaya merupakan raja yang paling perkasa tiada tanding. Ia selalu menang dalam setiap peperangan dan mempunyai wibawa yang sangat besar. Hal ini tertulis pada Prasasti Ngantang (1057 Saka = 1135 M) yang berbunyi “Panjalu Jayati” yang mempunyai arti Panjalu menang.

Kehebatan raja Jayabaya, berdasarkan penelusuran sejarah, ditulis oleh seorang sarjana Belanda dalam thesisnya di tahun 1848 sebagai berikut :

“Keadaan yang kacau penuh bencana hanya dapat diatasi oleh raja agung sebagai wakil Tuhan di dunia. Hanya kehendak Tuhan yang direnungkan dalam hatinya. Sewaktu berperang,prajuritnya bukan manusia, melainkan kehendak Tuhan yang Maha Kuasa. Banyak musuh yang tewas, semua pemberontak ditumpas habis. Jayabaya memang raja yang bijaksana, pemaaf dan pengasih, tidak mementingkan harta benda. Semuanya dilakukan demi kesejahteraan hidup rakyat kecil”

Hal itulah yang membuat rakyatnya sangat mencintai raja Jayabaya dan selalu mengenangnya dengan menyebut “Sang Prabu Sri Aji Jayabaya, seorang raja yang perkasa tiada tandingnya”.

Disamping diidentikkan sebagai titisan dewa Wisnu, raja Jayabaya juga digambarkan sebagai Bhatara Kresna, yang dapat dilihat dalam Kitab Baratayudha pada pupuh LII/4, yaitu :

"Ketika Bhatara Wisnu melihat (keadaan pulau Jawa), iba hatinya, oleh karena itu lalu turun ke dunia untuk menjadi raja Jawa demi keamanan dan kesejahteraan kerajaan. Dahulu Bhatara Kresna, sebagai titisan Dewa Wisnu, berjaya gilang gemilang dalam peperangan. Sekarang yang menjadi sesembahan semesta alam ialah Bhatara Jayabaya, ia melanjutkan tugas Bhatara Krena.

Seperti diceritakan dalam pewayangan, kita mengenal bahwa Bhatara Kresna memiliki “Kewicaksanaan”, yang bukan saja hanya berarti memiliki kebijaksanaan, tetapi juga memiliki kemampuan mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang, atau dalam istilah Jawanya “Ngerti sadurunge winarah

Peninggalan Raja Jayabaya


Pada zamannya, kerajaan Kediri mengalami jaman keemasan. Kebudayaan dan kesenian mencapai puncak tertinggi, dengan terciptanya karya-karya sastra seperti Baratayuda, Hariwangsa dan Gatutkaca Sraya. Selain itu, raja Jayabaya membuat karya sastranya sendiri, yang disebut “Jangka Jayabaya”. Jangka Jayabaya berisi ramalan tentang keadaan dan nasib pulau Jawa di masa depan. Karya tersebut hingga kini masih menarik perhatian masyarakat Jawa.

Selain karya sastra, pada zaman raja Jayabaya, berkembang juga seni pertunjukan dengan diciptakannya Wayang Purwa dan gamelan, walaupun masih dalam bentuk rintisan.

Akhir Hayat


Berdasarkan cerita rakyat dan sejarah, raja Jayabaya tidak jelas kapan meninggal dunia. Raja Jayabaya dipercaya telah “Muksa”, yaitu sukma dan raganya ke alam kelanggengan secara bersama-sama. Menurut kepercayaan Hindu-Budha, seseorang yang telah mencapai tahapan muksa dapat dikatakan telah sempurna dalam menjalankan darma baktinya selama hidup di dunia. Dalam agama Islam, dikenal juga istilah “Makrifat”, yang juga merupakan tujuan akhir yang harus dicapai dalam kehidupan. Menurut Al Gazali,

Makrifat dan tauhid merupakan tujuan akhir yang harus dicapai manusia di dunia ini, yang sekaligus merupakan kesempurnaan tertinggi yang didalamnya terkandung kebahagiaan yang hakiki”

Referensi :

  • Bambang Yudoyono, Sang Prabu Sri Aji Jayabaya, Jakarta, Karya Unipress, 1984.
  • Ma’aruf al Payamani, Islam dan Kebatinan, Ramadhani Solo, 1992.