Apa yang anda ketahui tentang Radio Republik Indonesia?

Radio Republik Indonesia

Seperti apa sih Radio Publik Nasional itu yang diwakili oleh Radio Republik Indonesia? apakah saat ini radio publik nasional masih berjaya ?

Di Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 juga telah memberikan ruang bagi lembaga penyiaran publik yang diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15, beserta Peraturan Pemerintah No. 12, 13, dan 14 untuk lembaga penyiaran publik. LPP yang diatur dalam undang-undang adalah RRI dan TVRI. Dalam konteks radio, lembaga penyiaran publik nasional adalah Radio Republik Indonesia (RRI).

RRI memunyai karakteristik khas yang berbeda dengan lembaga penyiaran radio swasta. Jika penyiaran yang menganut market model yang mengutamakan economic determinism, yakni seolah-olah semua aspek tingkah laku institusi penyiaran ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi, maka lembaga penyiaran publik diharapkan mampu menjadi media intermediary yang keberadaannya mampu menjembatani kepentingan publik dan badan-badan publik dalam hubungannya dengan akses informasi publik secara terbuka dan transparan. Oleh sebab itu, kehadiran lembaga penyiaran publik bukan saja menjawab kebutuhan publik atas akses informasi, tapi juga dapat membantu pemerintah menyediakan pasokan informasi sehingga pemerintah dapat mengambil keputusan yang tepat berdasarkan informasi yang akurat dan objektif (Ghazali, 2002: xii).

Transformasi RRI dari lembaga penyiaran milik pemerintah ke lembaga penyiaran publik sejak tahun 2002 mengalami proses dan dinamika tersendiri, mengingat lembaga ini lebih identik sebagai institusi birokratik ketimbang media massa. Dalam hal ini, masih terdapat dualisme antara posisi struktural sebagai pejabat negara di kalangan SDM RRI dengan praktisi media massa yang independen. Dalam konteks RRI sebagai radio publik, yang yang diperlukan adalah terjadinya pergeseran yang bersifat ideologis dari yang awalnya merupakan lembaga penyiaran pemerintah, dan karenanya bertindak sebagai “corong” pemerintah untuk kemudian bertransformasi menjadi lembaga penyiaran publik. Kedua jenis lembaga penyiaran ini secara substansial memunyai perbedaan yang sangat jelas (Rianto dkk, 2012). Lembaga penyiaran pemerintah lebih diorientasikan sebagai “corong” demi kepentingan kekuasaan. Oleh karena itu, isi siarannya acapkali bersifat propaganda, dalam pengertian hanya merepresentasikan kepentingankepentingan kekuasaan. Warga negara yang seharusnya dilayani oleh media menjadi dipinggirkan. Sebaliknya, lembaga penyiaran publik justru mengabdi kepada kepentingan publik. Lembaga penyiaran publik ada untuk melayani kebutuhan dan kepentingan publik. Oleh karena itu, lembaga penyiaran publik harus menjaga netralitas, objektivitas, dan independensinya. berikut yang dilakukan agar lembaga penyiaran publik mampu melaksanakan peran tersebut (Rianto dkk, 2012.

Menurut Masduki dan Muryanto (2007), persoalan praktis penerapan jurnalisme yang berorientasi publik di Indonesia, khususnya pada RRI (dan juga TVRI) meliputi empat aspek :

  1. pemahaman yang belum utuh terhadap lembaga penyiaran publik itu sendiri. Meski bukan sesuatu yang baru, tetapi lembaga penyiaran publik yang menuntut ketrampilan jurnalisme publik di Indonesia masih belum dikenal dan diadopsi dalam rutinitas praktik pemberitaan. Jurnalisme publik baru menjadi wacana di kelas pendidikan komunikasi dan pelatihan SDM media siaran. Kekeliruan pemahaman dapat terjadi karena jurnalisme publik merupakan jargon yang tidak normatif, tetapi melekat pada praktik. SDM RRI yang jumlahnya ribuan tentu akan menjadi beban dalam sosialisasi ketrampilan jurnalisme publik.

  2. kebijakan struktural di RRI yang tidak sepenuhnya menopang penerapan jurnalisme publik. Kebijakan ke arah RRI menjadi media yang mandiri secara finansial menimbulkan sikap yang pro-kontra antara membolehkan dan melarang kedua media menyiarkan iklan. Muncul kekhawatiran absennya dukungan dana negara menyebabkan transisi kedua lembaga menuju media publik tidak berjalan mulus.

  3. masih kuatnya budaya paternalistik di tubuh birokrasi RRI. Sebagai media yang nyaris seumur hidup dikendalikan oleh rezim politik yang berkuasa, geliat baru RRI masih tampak rikuh. Pada aspek produksi berita, budaya ini menimbulkan bias isi berita. Pertama, bad news bias: klasifikasi berita berdasarkan moralitas hitam putih, baik buruk menurut pandangan kelompok dominan khususnya pemerintah. Kedua, status quo bias: penguasaan siaran jurnalistik oleh kelompok dominan di masyarakat secara ekonomi dan politik, berita yang dimuat relatif menjaga keamaman mereka. Budaya hirarkis antara wartawan yang notabene bawahan dengan pimpinan stasiun, budaya komunikasi politik yang buruk antara pejabat tertinggi di pusat dan daerah dengan kepala stasiun RRI daerah menjadi hambatan psikologis.

  4. popularitas RRI sebagai media penyiaran publik. Selain menghadapi problem keterbatasan alokasi frekuensi, RRI sudah terlanjur bercitra buruk sebagai media dengan menu siaran yang monoton. Dalam dunia penyiaran, frekuensi adalah modal terpenting yang menentukan ada tidaknya sebuah stasiun radio dan televisi. Tanpa gelombang elektromagnetik yang melintas di udara tersebut, aktivitas komunikasi lebih bersifat individual, off-air dan terbatas. Jumlah kanal frekuensi yang dimiliki RRI selaku media publik masih kalah jauh dengan televisi dan radio swasta.

Pada aspek menu siaran, khususnya pola kemasan dan strategi penyiaran berita yang berperspektif publik, RRI juga masih menghadapi kendala. Dalam penentuan topik-topik berita, redaksi RRI kurang mengandalkan kemampuan analisis internal dan keputusan newsroom tanpa menggalang aspirasi pemirsa atau pendengar aktifnya. Dalam banyak peristiwa yang terkait isu-isu publik, reporter RRI cenderung pasif, menunggu undangan atau permintaan peliputan dari pihak terkait. Selain tidak terbuka, proses produksi dan penyajian berita juga didominasi oleh sumber-sumber aparat dan kelompok elit lainnya.

Dilihat dari kapasitasnya sebagai radio berjaringan nasional, setidaknya RRI hingga saat ini memiliki 80 stasiun penyiaran untuk mengcover seluruh wilayah NKRI. Selain itu RRI memiliki 13 studio produksi baik berada di perbatasan antarnegara maupun daerah blankspot. Namun, studi yang dilakukan oleh Pustlitbangdiklat LPP RRI dan Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) menunjukkan bahwa ditinjau dari daya jangkau siaran dan kualitas suara, dalam beberapa kasus, RRI kalah dibandingkan dengan radio-radio swasta (Rianto, Adiputra, Yusuf; 2010). Bahkan, di beberapa wilayah, daya jangkau RRI sangat terbatas terutama untuk Pro 2 sehingga gagal dalam memenuhi salah satu prinsip radio publik, yakni menjangkau seluruh masyarakat.

Ringkasan

Masduki, (2005). “Perkembangan dan Problematika Radio Komunitas di Indonesia” dalam Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 2. No. 2

Bambang Muryanto. (2007). ”Jurnalisme Publik pada Media Penyiaran Publik”. Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 2