Apa yang anda ketahui tentang Prasasti Kebantenan ?

Prasasti Kabantenan adalah sebuah prasasti bersejarah Indonesia. Prasasti ini terdiri dari lempengan tembaga. Prasasti Kebantenan dibeli oleh Raden Saleh dari penduduk desa Kabantenan, Bekasi. Prasasti ini beraksara dan berbahasa Sunda Kuno, dan sekarang disimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris E.1, E2, E.3, E.4, dan E.5).

Apa yang anda ketahui tentang Prasasti Kebantenan ?

Prasasti Kebantenan ditemukan di Desa Kebantenan, Bekasi pada tahun 1867. Saat ini prasasti disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan nomor inventaris E.42A-E.45. Di dalam isi prasasti tidak tercantum angka tahun, namun menyebutkan nama Sri Baduga Maharaja (1482-1521) serta wilayah Pakuan Pajajaran sehingga dapat diperkirakan berasal dari abad ke-15 Masehi (Ayatrohaedi, 1993).

Prasasti Kebantenan berdasarkan isinya dibagi menjadi prasasti Kebantenan I, II, IV yang merupakan pitĕkĕt atau perintah langsung dari raja. Sedangkan prasasti Kebantenan III dan V merupakan peringatan dari raja.

Prasasti Kebantenan merupakan prasasti beraksara dan berbahasa Sunda Kuna.

Berdasarkan bentuk aksaranya diketahui berasal dari abad ke-15 Masehi. Prasasti ini dibuat dari lempengan tembaga yang sangat tipis oleh sebab itu pada prasasti Kebantenan V aksaranya sulit dibaca kembali.

Pembacaan telah dilakukan oleh peneliti asing atau pun pribumi seperti Holle tahun 1867 dan 1872, C.M. Pleyte tahun 1991, Atja tahun 1990 dan Ayatrohaedi tahun 1990. Prasasti ini dibahas pula sebagai pelengkap uraian sejarah kuna Jawa Barat dalam Sejarah Nasional II (Sumadio, 1993) dan dalam Rintisan Masa Silam Sejarah Jawa Barat Jilid keempat (Danasasmita, 1993/1994). Di bawah ini adalah hasil alih aksara dan bahasa yang dilakukan oleh Ayatrohaedi.

Prasasti Kebantenan I


Prasasti Kebantenan dituliskan di dua lempeng tembaga yang amat tipis masing-masing berukuran 21,5 x 6,5 cm. Lempeng I betuliskan empat baris di kedua belah sisinya dan sebuah lagi bertuliskan hanya pada satu sisinya dengan tiga baris tulisan. Di bawah ini adalah alih aksara dan bahasanya:

Lempeng I (E.42a) recto:

//o// on awignam as/tu. nihan/ sakakala ra
hyan niskala was/tu kañcana pu/ turun/ ka ra
hyan ningrat/ kañcana maka ŋuni ka susuhunan/ ayő
na di pakuan/ pajajaran/ pun/ mulah mo mipahe

Terjemahan:

Semoga selamat. Inilah tanda peringatan Rahyang Niskala Wastu Kancana, turun kepada hyang Ningrat Kancana, kemudian diamanatkan kepada Susuhunan yang sekarang di Pakuan Pajajaran. Telah menitipkan

Lempeng 1 (E.42a) verso:

dayőhan/ di jayagiri dőn (baca; jőn) dayőhan/ di su(n/)da sĕmbawa
ayama nu ŋabayu an/ iña ulah dek/ ŋahőryanan
iña ku nadasa. calagra. kapas/ timban. pare
dondan pun/ maŋaditudi ka para muhara. mulah dek/ men/

Terjemahan:

dayeuhan di Jayagiri dan dayeuhan di Sunda Sembawa agar ada yang mengurusnya. semua hendaknya jangan mengganggu dengan dasa calagara, kapas timbang dan pare dongdang. Maka diperintahkan kepada para muhara agar jangan

Lempeng 2 (E.42b) recto:

ta an/ iña beya pun/ kena iña nu purah dibuhaya
mibuhayakőn/ na kacarita an/ pun/ nu pagőh ŋawaka
n/ na dewa sasana/ na pun/ o.o

Terjemahan:

memungut biaya (pajak) dari mereka (penduduk) karena mereka itu sangat berbakti kepada ajaran (agama) dan teguh memelihara Dewasasana.

Prasasti Kebantenan II (Sunda Sembawa I)


Prasasti Kebantenan II adalah satu lempengan tembaga amat tipis, berukuran 21 x 6,7 cm. Di bagian depan lempengan bertuliskan enam baris tulisan dan bagian belakang lima baris tulisan. Di bawah ini adalah alih aksara dan bahasanya:

Lempeng E.43 recto:

/ /o/ / pun/ ini pitĕkĕt/ sri baduga maharaja ratu haji
di pakwan/ sri san ratu dewata nu dipitĕkĕtan/ mana (baca: nana) lĕ
mah dewa sasana su(n)da sĕmbawa mulah aya nu ŋubahya
mulah aya nu ŋahőryanan/ te (baca: ti) beh timur hangat/ cira ub/
ka san hyan salila ti barat/ hangat rusĕb/ ka mu(ñ)jul/ ka ci
bakeken ciho(ñ/)je ka muhara cimu(ñ/)can pun/ ti kidul/

Terjemahan:

Inilah (surat) pengukuhan Sri Baduga Maharaja, raja penguasa di Pakuan, Sri Sang Ratu Dewata. Yang dikukuhkannya adalah tanah dewasasana di Sunda Sembawa. Jangan ada yang mengganggu, janganlah ada yang mempermainkan. (Batasnya) di sebelah timur dari Ci Raub sampai Sanghyang Salila, di barat dari Rusĕb sampai Munjul, ke CI Bakekeng, Ci Honje, (sampai) ke muara Ci Muncang, di selatan

Lempeng E.43 verso:

hangat/ lőwőn comon/ mulah mo mihapeya kena
na dewa sasana sangar kami ratu saparah jalan/ gede
kagirangkőn/ lemah laraŋan/ pigősanőn/ na para wiku
pun/ ulah dek waya nu kődő di bőnanŋin ŋagurat/ ke
na a in heman/ di wiku pun/

Terjemahan:

dari hutan comon. Jangan tidak mengabaikan, karena Dewasasana sanggar (pemujaan) raja kami. Sepanjang jalan besar ke arah hulu adalah tanah larangan yang telah disediakan untuk para wiku. Jangan ada yang mengingkari (keputusan) yang telah digoreskan ini karena aku sayang pada wiku.

Prasasti Kebantenan III (Sunda Sembawa II)


Prasasti Kebantenan III adalah satu lemoengan tembaga yang amat tipis berukuran 14 x 5,3 cm. Di bagian depan depan bertuliskan lima baris tulisan dan bagian belakang dua baris tulisan.

Lempeng E.44. recto:

ini pitĕkĕt/ nu seba di pajajaran/ mitĕkĕ
tan/ na kabuyutan/ di su(n/)da sĕmbawa aya ma nu ŋaba
yu an/ mulah aya nu ñĕkapan/ mulah aya
nu munahmunah iña nu hahőryanan/ (baca: ŋahőryanan/) lamun aya nu

Terjemahan:

Inilah pengukuhan yang bersemayam di Pajajaran. Mengukuhkan kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya, jangan ada yang mengurangi, jangan ada yang merintangi atau mengganggu.

Lempeng E.44 verso:

kődő pa(am/)bahna lurah su(n)da sembawa ku a in dititah di pa eh
han/ kena eta lurah kawikuan/

Terjemahan:

Jika ada yang memaksa memasuki daerah Sunda Sembawa aku perintahkan agar dibunuh, karena daerah itu tempat kediaman para wiku.

Prasasti Kebantenan IV (Gunung Samaya)


Prasasti Kebantenan IV ditulisakan pada sebuah lempengan tembaga yang amat tipis dengan ukuran 20,5 x 6,5 cm. Lempengan ini bertuliskan pada ke dua belah sisinya. Di bagian depan terdiri dari delapan baris tulisan, sedangkan bagian belakang tidak jelas memuat berapa baris karena keadaannya sudah sangat aus. Di bawah ini adalah alih aksara dan bahasanya:

Lempeng E.45 recto:

/ /o/ / pun/ ini pitĕkĕt/ sri baduga maharaja ratu haji di pakwan/ sri san ratu
dewata nu di pitĕkĕtan/mana (baca: nana) lmah dewa sasana gunu samaya
sugan/n=aya
nu dek/ ŋahőriyanan/ iña ku palulurahhan/ ku pallmahhan/ mulah aya
nu ŋahőriyanan/ iña ti timur ha(n)gat/ ci upih ti barat/ ha(n)gat/ cilbu
ti kidul/ ha(n)gat jalan/ gede pun/ mulah aya nu ŋahőriyanan/ iña ku da
sa ku calagara upĕti pangĕrs rma (baca: rőma) ulah aya nu me(n/)ta an/ iña
kena sangar kami ratu nu purah mibuhayakőn/na ka ratu pun/ nu pagőh
ŋawakan/
na dewa sasana pun/ o o

Terjemahan:

Inilah tanda pengukuhan Sri Baduga Maharaja, raja yang berkuasa di Pakuan, Sri Baduga Sang Ratu Dewata. Yang dikukuhkannya adalah tanah Dewasasana di Gunung Samaya. Janganlah ada yang hendak mengganggunnya, baik melalui daerahnya maupun melalui tanahnya jangan ada yang mengganggu. Di timur berbatasan dengan Ci Upih, di barat berbatasan dengan Ci Lebu, di selatan berbatasan dengan jalan besar. Janganlah ada yang mengganggunya dengan meminta dasa, calagara, upeti panggĕrĕs rema. Janganlah ada yang memintanya karena ada sanggar (pemujaan) raja kami yang selalu memberi perlindungan kepada raja yang teguh memelihara Dewasasana.

Prasasti Kebantenan V


Prasasti Kebantenan V dituliskan pada lempeng prasasti E.45 verso. Prasasti ini sulit untuk dibaca kembali karena tulisannya sangat tipis serta lempengnya adalah bekas prasasti lama yang ditulis kembali. Di dalam isi prasasti ini banyak menyebutkan daerah-daerah beragama seperti Kabuyutan dan Dewasasana. Daerah-daerah ini dijelaskan dengan batas-batas wilayah sesuai dengan arah mata angin. Prasasti kebantenan diamanatkan kepada penduduk Dayeuhan Jayagiri dan Dayeuhan Sunda Sembawa untuk memelihara Kabuyutan dan Dewasasana. Dayeuh adalah suatu kota, sedangkan Dewasasana adalah tempat keagamaan. Disebutkan di dalam isi prasasti dengan jelas bahwa terdapat Dayeuhan Sunda Sembawa dan Dewasasana Sunda Sembawa. Dijelaskan pula bahwa Dayeuhan yang di dalamnya terdapat Kabuyutan dan Dewasasana dibebaskan dari pajak (dasacalagara, kapas timbang, pare dongdang) dan siapa pun dilarang untuk mengganggunya.

Penjelasan tersebut memperlihatkan bahwa kota yang terdapat daerah keagamaan tersebut dianggap sakral oleh raja dan masyarakatnya.