Apa yang anda ketahui tentang Prabu Dharmawangsa Teguh ?

Dharmmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa merupakan raja terakhir kerajaan Medang, yang memerintah antara tahun 985 hinggga – 1007 M. Beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa raja Dharmmawangsa Teguh memerintah sejak 991 dan turun takhta pada 1016 M.

Apa yang anda ketahui tentang Prabu Dharmawangsa Teguh ?

Sri Maharaja Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa adalah raja terakhir Kerajaan Medang yang memerintah pada tahun 991–1007 atau 1016. Prabu Darmawangsa Teguh meletakkan pusat kerajaannya yang pertama kali di Madiun, kemudian Darmawangsa Teguh memindahkan pusat kerajaannya di daerah Jombang. Setelah itu pindah lagi di daerah Maospati.

Prasasti Sirah Keting menyebutkan nama asli Dharmawangsa Teguh adalah Wijayamreta Wardhana. Dharmawangsa sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dharmavaṃśa yang mempunyai arti “keturunan Dharma”

Asal-Usul


Prasasti Pucangan tahun 1041 dikeluarkan oleh raja bernama Airlangga yang menyebut dirinya sebagai anggota keluarga Dharmawangsa Teguh. Disebutkan pula bahwa Airlangga adalah putra pasangan Mahendradatta dengan Udayana raja Bali. Adapun Mahendradatta adalah putri Makuthawangsawardhana dari Wangsa Isana. Airlangga sendiri kemudian menjadi menantu Dharmawangsa.

Pada umumnya para sejarawan sepakat menyebut Dharmawangsa sebagai putra Makuthawangsawardhana. Teori ini diperkuat oleh prasasti Sirah Keting yang menyebut Dharmawangsa sebagai anggota Wangsa Isana.

Jadi kesimpulannya, Makuthawangsawardhana memiliki dua orang anak, yaitu Mahendradatta dan Dharmawangsa. Mahendradatta menjadi permaisuri di Bali dan melahirkan Airlangga. Sementara itu, Dharmawangsa menggantikan Makuthawangsawardhana sebagai raja Kerajaan Medang. Setelah dewasa, Airlangga diambil sebagai menantu Dharmawangsa untuk mempererat kekeluargaan.

Selain prasasti Pucangan dan prasasti Sirah Keting, nama Dharmawangsa juga ditemukan dalam naskah Mahabharata bahasa Jawa Kuno, pada bagian Wirataparwa, yang ditulis pada tanggal 14 Oktober 996.

Prasasti Sirah Keting juga menyebutkan nama asli Dharmawangsa yaitu Wijayamreta Wardhana.

Menyerang Sriwijaya


Berita Cina dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po.

Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Cina. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh tentara Cho-po.

Pada musim semi tahun 992 duta San-fo-tsi tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Campa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song supaya menyatakan bahwa San-fo-tsi berada dalam perlindungan Cina.

Utusan Cho-po juga tiba di Cina tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru tersebut diduga kuat adalah Dharmawangsa Teguh. Dengan demikian, dari berita Cina tersebut dapat diketahui kalau pemerintahan Dharmawangsa dimulai sejak tahun 991.

Kerajaan Medang berhasil menguasai Palembang tahun 992, namun pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatra.

Mahapralaya Medang


Prasasti Pucangan mengisahkan kehancuran Kerajaan Medang yang dikenal dengan sebutan Mahapralaya atau “kematian besar”.

Dikisahkan Dharmawangsa menikahkan putrinya dengan seorang pangeran Bali yang baru berusia 16 tahun, bernama Airlangga. Di tengah keramaian pesta, tiba-tiba istana diserang pasukan Wurawari dari Lwaram dengan bantuan laskar Sriwijaya. Istana Dharmawangsa yang terletak di kota Wwatan hangus terbakar. Dharmawangsa sendiri tewas dalam serangan tersebut, sedangkan Airlangga lolos dari maut. Tiga tahun kemudian Airlangga membangun istana baru di Wwatan Mas dan menjadi raja sebagai penerus takhta mertuanya.

Dari prasasti Pucangan diketahui adanya perpindahan ibu kota kerajaan. Prasasti Turyan menyebut ibu kota Kerajaan Medang terletak di Tamwlang, dan kemudian pindah ke Watugaluh menurut prasasti Anjukladang. Kedua kota tersebut terletak di daerah Jombang sekarang. Sementara itu kota Wwatan diperkirakan terletak di daerah Madiun, sedangkan Wwatan Mas terletak di dekat Gunung Penanggungan.

Mengenai alasan Haji Wurawari membunuh Dharmawangsa terjadi beberapa penafsiran. Ada yang berpendapat bahwa Wurawari sakit hati karena lamarannya terhadap putri Dharmawangsa ditolak, ada juga yang berpendapat Haji Wurawuri, yang merupakan raja bawahan kerajaan Medang, terlihat dari gelarnya haji yang mengacu pada raja kecil, yang terkena hasutan kerajaan Sriwijaya, yang dulu pernah diserang oleh pasukan kerajaan Medang.

Prasasti Pucangan yang keadaannya sudah tua melahirkan dua versi terhadap tahun berdirinya istana Wwatan Mas. Golongan pertama membaca angka tahun berupa kalimat Suryasengkala yaitu Locana agni vadane atau tahun 1010 Masehi, sedangkan golongan kedua membacanya Sasalancana abdi vadane atau tahun 1016.

Dengan demikian, versi pertama menyebut kehancuran istana Wwatan atau kematian Dharmawangsa terjadi pada tahun 1007, sedangkan versi kedua menyebut peristiwa Mahapralaya tersebut terjadi tahun 1016.

Setelah menghancurkan pusat kerajaan Dharmawangsa Teguh, Haji Wurawuri tak berniat duduk di atas takhtanya. Ia memilih kembali ke kerajaannya. Letak Wurawuri, menurut B. Schrieke, berada di daerah Banyumas sekarang, di sebelah seletan Karang Kobar.

Sungguh ironis, ketika Prabu Dharmmawangsa Teguh, yang begitu bersemangat untuk meluaskan kekuasannya hingga ke luar Jawa, ternyata harus mengalami keruntuhan di tangan raja bawahannya sendiri.

Pendharmaan


Menurut Prasasti Pucangan, setelah Mahapralaya Medang , Dharmmawangsa Teguh dicandikan di dharmma parhyangan, Wwatan, pada bulan Caitra tahun 939 S (antara 21 Maret dan 21 April 1017). Wwatan kini masih terdapat Desa Wotan di Kecamatan Maospati.

sampai saat ini, tidak ada berita mengenai penemuan sisa-sisa bangunan candi di Desa Wotan, sehingga belum cukup pasti bahwa desa tersebut dulunya adalah Wwatan seperti yang dinyatakan oleh prasasti itu (Poesponegoro, 2008).

Kondisi Ekonomi Pemerintahan Dharmmawangsa Teguh


Keterangan dari kronik Cina yang menyebutkan adanya utusan dari Jawa pada tahun 992 M, memberikan kita sebuah gambaran akan hasil-hasil bumi dari Jawa, khususnya dari Medang Mataram.

Tiga orang utusan ( T’o-Chan , P’u A Li , dan Li-t’o-na-chia-teng ) membawa upeti untuk Kaisar Ciba berupa: gading, mutiara, dan sutra yang disulam dengan bunga-bungaan dengan benang emas, sutra dari pelbagai warna, kayu cendana.

Barang-barang dari katun dengan pelbagai warna, kulit penyu, perangkat sirih-pinang, keris yang berhulukan cula badak dan emas, tikar rotan yang bergambar burung kakatua putih, dan sebuah model rumah-rumahan kecil dari kayu cendana, berhiaskan pelbagai barang beharga.

Daftar barang-barang ini, baik hasil bumi maupun kerajinan tangan, membuktikan bahwa masyarakat kerajaan Medang berprofesi sebagai pengrajin, petani, pelaut (nelayan), dan tukang tekstil. Barang-barang tersebut, oleh prabu Dharmmawangsa Teguh diminta untuk dijual keluar kerajaan (ekspor). Untuk melakukan perdagangan internasional tersebut, prabu Dharmmawangsa Teguh meminta untuk dibuatkan kapal laut sebanyak-banyaknya, yang didukung oleh banyaknya kayu jati di Jawa Timur, serta memerintahkan pasukannya untuk mengawal kapal-kapal pedagang agar tidak dirampok oleh bajak laut di tengah laut.

Peninggalan Prabu Dharmmawangsa Teguh


Sastra

Dalam bidang sastra, Prabu Dharmawangsa Teguh terkenal dari perintahnya untuk menerjemahkan wiracarita Mahabharata dari bahasa Sanskerta ke bahasa Jawa Kuna. Namanya disebut dalam kitab Wiracarita versi Jawa Kuna. Di sana ia disebut memberikan perintah untuk “menjawakan penglihatan Byasa, penulis Mahabharata”, atau yang terkenal dengan istilah "mangjawâknâ Byâsamata. Istilah “mangjawakěn byāsamata” bermakna membuat latar dalam cerita Mahabaratha tersebut seolah-olah berada di pulau Jawa.

Berikut petikan dari bagian akhir* Wirataparrwa :

Duli Baginda, Dharmawangsa Teguh Anantawikramotunggadewa, beginilah sejauh saya ingat. Kita mulai membaca cerita ini pada hari ke-15 bulan gelap dalam bulan Asuji; harinya Tungle, Kaliwon, Rabu, pada waktu Pahang dalam tahun 918 penanggalan Saka.

Dan sekarang ialah Mawulu, Wage, Kamis dalam wuku Madangkungan, pada hari ke-14 paro petang dalam bulan Karttika. Jadi waktunya genap satu bulan kurang satu hari.

Pada hari kelima Baginda tidak menitahkan diadakannya suatu pertemuan, karena Baginda terhalang oleh urusan lain. Menerjemahkan cerita ini ke dalam bahasa Jawa kuno minta waktu yang cukup banyak.

Duli mengharapkan, agar pembawaan tidak melampaui kesabaran Baginda dan tidak dianggap terlalu panjang.

Yang menarik adalah untuk kali pertama, sejauh data yang didapat, raja, para kawi (sastrawan), dan rakyat duduk bersama-sama dalam satu ruang mendengarkan naskah dibacakan. Acara ini berlangsung berhari-hari, sejak 14 Oktober hingga 12 November 996 M.

Peristiwa pembacaan naskah rontal yang diselenggarakan negara untuk diperdengarkan bersama-sama dengan kaum jelata menandai sebuah pencerahan budaya.

Bila pada masa-masa sebelumnya karya sastra ( serat atau kakawin ) hanya diperuntukkan bagi kaum brahmana/pandita dan raja, maka pada masa Teguh karya sastra diusahakan agar “memasyarakat”.

Peristiwa pembacaan serat itu tentu diwarnai upacara khusus untuk meminta restu para dewa. Acaranya sendiri berlangsung selama satu bulan (sepurnama).

Dengan begitu, hari pertama pembacaan Wirataparrwa (14 Oktober) di alun-alun itu bisa dijadikan sebagai “Hari Aksara” di Nusantara, karena memiliki kaitan historis yang nyata.

Prasasti

Terdapat tiga prasasti yang tercatat sebagai peninggalan masa Dharmmawangsa Teguh, yakni :

  • Prasasti Hara-Hara (Prasasti Trowulan VI) bertahun 888 Saka (966 M).

    Prasasti Hara-Hara berisi keterangan mengenai pemberian sima oleh Pu Mano, yang telah diwarisinya dari nenek moyangnya, yang terletak di Desa Hara-Hara, di selatan perumahannya, kepada Mpungku di Susuk Pager dan Mpungku di Nairanjana yang bernama Mpu Buddhiwala, sebagai lokasi bangunan suci ( kuti ).

    Maka dari itu, sebagai sumber pembiayaan pemeliharaan dan biaya upacara dalam bangunan suci itu, ditebuslah sawah yang terletak di selatannya seluas 3 tampah , yang telah digadai oleh Mpungku Susuk Pager dan Mpungku di Nairanjana.

  • Prasasti Kawambang Kulwan bertarikh 913 Saka (992 M),

    Prasasti Kawambang Kuwlan, teksnya ditulis melingkar, yang hingga kini belum ditransliterasikan secara lengkap, hanya sebagian saja oleh Brandes, hanya permulaannya, merupakan prasasti yang memuat anugerah raja.

    … kepada Samgat Kanuruhan Pu Burung berupa sima di Desa Kawambang Kuwlan, agar Sang Samgat Kanuruhan mendirikan suatu bangunan suci pemujaan dewa ( an padamla parhyangan ).

  • Prasasti Lucem bertarikh 934 Saka (1012-13 M).

    Prasasti Lucem ditulis dengan huruf kuadrat yang besar-besar dan terpahat pada batu alam yang besar, yang menceritakan perbaikan jalan oleh Samgat Lucem Pu Ghek (atau Lok) serta penamaan pohon beringin oleh Sang Apanji Tepet.

    Penanaman pohon beringin ini dimaksudkan untuk tempat berteduh para pejalan kaki atau pengendara gerobak atau kereta dan pastinya untuk memperindah jalan bersangkutan.

Sumber :