Apa yang Anda ketahui tentang Perlawanan Saparua?

Kembalinya Belanda ke Maluku menyebabkan adanya perlawanan-perlawanan yaitu perlawanan Maluku (Saparua) yang dilakukan oleh rakyat Maluku dipimpin oleh Kapitan Pattimura.
Apa yang Anda ketahui tentang Perlawanan Saparua?

Berdasarkan Traktat London I tahun 1814 (antara Belanda dan Inggris), maka semua jajahan Belanda (kecuali Kaapkoloni dan Sri Lanka) dikembalikan kepada Belanda. Ini berarti jajahan Inggris di Indonesia, yang dulu direbut dari Belanda, harus dikembalikan kepada Belanda. Bertolak dari keputusan tersebut, maka Indonesia akan dijajah kembali oleh Belanda. Dengan demikian penindasan yang pernah dilakukan terhadap rakyat Indonesia juga akan dilakukan kembali, dan memang demikian. Itulah sebabnya, rakyat Indonesia lalu melakukan perlawanan-perlawanan, yang diawali dengan perlawanan rakyat Saparua dari Maluku.

Maluku sangat penting bagi Belanda karena daerah ini merupakan penghasil rempah-rempah. Hal itu sudah dilakukan ratusan tahun oleh Belanda sampai jatuhnya VOC tahun 1799 yang kemudian dikuasai oleh Inggris yang liberal. Ketika rakyat Maluku mendengar bahwa Belanda akan berkuasa kembali di Maluku, masyarakat Maluku trauma akan kembalinya sistem monopoli VOC dan Pelayaran Hongi.

Dengan adanya monopoli itu, maka harga rempah-rempah ditentukan oleh Belanda, yang biasanya sangat murah. Belanda melakukan pengawasan ketat terhadap penduduk dan tidak jarang menggunakan kekerasan. Perdagangan yang dilakukan oleh penduduk Maluku dengan pedagang Jawa, Melayu dan lain-lain dianggap perdagangan gelap. Karena itu kembalinya Belanda ke Maluku tahun 1816 dicurigai bahwa mereka akan mengembalikan sistem monopoli yang menakutkan itu.

Di samping monopoli rempah-rempah, rakyat Maluku juga trauma akan kembalinya Pelayaran Hongi. Untuk mencegah jangan sampai harga cengkeh di pasaran menurun karena kebanyakan produksi, maka Belanda memaksa rakyat untuk menebang pohon cengkehnya. Untuk itu, maka dilakukan Pelayaran Hongi yaitu pelayaran bersenjata untuk membasmi pohon rempah-rempah yang dianggap berlebih sekaligus untuk mencegah perdagangan gelap. Karena tindakan yang kejam itu rakyat kehilangan mata pencahariannya dan tenggelam ke dalam kesengsaraan dan kelaparan.

Pada masa pemerintahan Inggris di Maluku timbul harapan bagi rakyat. Untuk menarik hati rakyat, penguasa Inggris mengeluarkan peraturan yang meringankan beban-beban rakyat, penyerahan paksa dihapus, dan pekerjaan rodi dikurangi. Pemasukan barang-barang dagangan dilakukan. Tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama. Setelah daerah ini benar-benar kembali ke tangan Belanda, praktek-praktek lama dijalankan kembali.

Pemerintah Belanda lalu melakukan tekanan-tekanan yang berat, sehingga kembali membebani kehidupan rakyat. Selain sistem penyerahan paksa, masih terdapat beban kewajiban lain yang berat, antara lain kewajiban kerja blandong, penyerahan atap dan gaba-gaba, penyerahan ikan asin, dendeng dan kopi.

Akibat dari penderitaan rakyat itu maka rakyat Maluku pada tahun 1817 bangkit mengangkat senjata melawan kekuasaan Belanda. Perlawanan rakyat Maluku berkobar di Pulau Saparua. Tidak sedikit penduduk dari daerah pulau sekitarnya yang ikut serta dalam perlawanan itu, baik yang beragama Kristen maupun Islam bersatu padu melawan penjajah. Hal ini menunjukkan bahwa Perang Saparua mempunyai nada religius, karena Belanda mempersulit kehidupan beragama di daerah itu.

Protes rakyat di bawah pimpinan Thomas Matualessi diawali dengan penyerahan daftar keluhan-keluhan kepada Belanda. Daftar itu ditandatangani oleh 21 penguasa orang kaya, patih, raja dari Saparua dan Nusa Laut. Beberapa pemimpin lain dalam perlawanan itu ialah Anthony Rhebok, Philip Latumahina, dan raja dari Siri Sori Sayat.

Perlawanan ini dipimpin oleh Thomas Matualessi yang kemudian termasyur dengan sebutan Pattimura. Saat itu benteng Durstede di pulau Saparua berhasil dihancurkan oleh pasukan Maluku. Residen Belanda yang bernama van den Berg, terbunuh dalam peristiwa itu. Pasukan Belanda tambahan kemudian didatangkan dari Ambon tetapi berhasil dikalahkan.

Perlawanan rakyat Saparua menjalar ke Ambon, Seram, dan pulau-pulau lainnya. Untuk memadamkan perlawanan rakyat Maluku ini, Belanda mendatangkan pasukan dari Jawa. Maluku diblokade oleh Belanda. Rakyat akhirnya menyerah karena kekurangan makanan. Untuk menyelamatkan rakyat dari kelaparan, maka Pattimura menyerahkan diri dan dikumum mati di tiang gantungan sebagai pahlawan yang tertindas oleh penjajah.

Pemimpin perlawanan rakyat Maluku digantikan oleh Khristina Martha Tiahahu, seorang pejuang wanita. Namun akhirnya ia ditangkap pula. Sewaktu akan diasingkan ke Pulau Jawa, ia meninggal di perjalanan. Akibat perlawanan rakyat Maluku ini, pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan ketat. Rakyat Maluku, terutama rakyat Saparua dihukum berat. Monopoli rempah-rempah diberlakukan kembali oleh pemerintah Belanda.

Latar Belakang

Awalnya, gerak-gerik bangsa Portugis di Maluku hanya sebatas kerja sama di bidang perdagangan terutama rempah-rempah. Namun, lambat laun Portugis malah melanggar kerja sama itu dengan melakukan monopoli dagang. Hal tersebut membuat Sultan Ternate, Sultan Hairun, menyerukan perlawanan terhadap Portugis kepada seluruh Maluku, bahkan Jawa dan Irian.Hingga akhirnya meletuslah perang Ternate-Portugis yang pertama pada tahun 1559-1567. Sultan Hairun pun mengutus putra-putranya untuk menjadi panglima.

Jalannya Perlawanan dan Akhir Perlawanan

Kami-pun tidak mendapat banyak info mengenai jalannya perlawanan pada perang Ternate-Portugis yang pertama ini. Tapi di Ternate, sejak 1550 kadang-kadang terjadi pertempuran yang berkembang menjadi perang. Dan selama perang inilah mencuat juga tokoh perlawanan muda bernama Pangeran Baab, selanjutnya Sultan Baabullah, putra dari Sultan Hairun yang begitu cakap sebagai panglima.

Di perang ini pula terjadi sebuah peristiwa yang mestinya selalu diingat.Dimana 3 kerajaan Islam terbesar kala itu (Aceh, Demak, Ternate) masing-masing dari Barat, Tengah, dan Timur Nusantara membentuk suatu front persatuan melawan Portugis yang terus bertahan sampai abad ke-15. Disinilah, pasca era Majapahit tercipta lagi sebuah front persatuan Nusantara yang berandil besar dalam tindak-tanduk Barat selama seabad lamanya di bumi Nusantara.

Dan dengan front itu pula, perang dimenangkan Ternate. Wilayah Ambon direbut.Dan Portugis terpaksa memohon damai.Hal ini disambut dengan baik oleh Sultan Hairun.Portugis tetap diizinkan berdangan di Ternate dan bersaing dengan pedagang-pedagang lain secara bebas.Dan hak-hak istimewa mereka terkait monopoli dagang dicabut.

Perlawanan Kedua Dibawah Pimpinan Sultan Baabullah

*Gambar Sultan Baabullah tidak dapat saya temukan. Namun gambar dibawah ini sering dikatakan sebagai gambarnya, meski ada yang mengatakan sebagai gambar Sultan Mudaffar Syah II

Perlawanan Terhadap Portugis

Namun rupanya, permohonan damai Portugis hanyalah kedok untuk meruntuhkan Ternate.Mereka masih menginginkan segala kekayaan rempah-rempah di Maluku.Namun kekuatan yang belum cukup membuat mereka mengulur waktu selama masa damai. Dibalik layar, rupanya Portugis tengah mengatur rencana yang cerdik dan licik dengan sabar. Terbukti, pada 1570 Portugis melakukan sebuah langkah penjebakan yang begitu licik. Beralasan untuk merayakan hubungan Ternate-Portugis yang makin membaik, Sultan Hairun diundang ke benteng Sau Paulo pada 25 Februari 1570 oleh gubernur Portugis Lopez de Mesquita.

Sultan Hairun yang sudah percaya pada Portugis pun datang tanpa pengawal. Tak disangka, sesampainya disana ia langsung dibunuh dan mati dengan mengenaskan. Kematian Sultan Hairun ini dipercaya akan menjadi kehilangan besar bagi rakyat Maluku atas pemimpin yang hebat.

Maka pecahlah sudah kemarahan rakyat Maluku

Tapi tentu saja, dengan kematian Sultan Hairun akan ada posisi lowong pada kepemimpinan Maluku. Untuk menghimpun persatuan melawan Portugis, rakyat mesti memiliki pemimpin yang bisa mengatur rakyat. Maka Dewan Kerajaan atas dukungan dari rakyat pun memilih Pangeran Baabullah, anak Sultan Hairun yang selanjutnya bergelar Sultan Baabullah Datu Syah, sebagai pemimpin.

Tak tanggung-tanggung, ia bersumpah akan berjuang untuk menegakkan panji-panji Islam di bumi Maluku, menjadikan Kesultanan Ternate sebagai kerajaan yang besar, dan melakukan balasan untuk mengusir Portugis dari wilayahnya. Perang Jihad pun diumumkan diseluruh Nusantara Timur.Suku-suku yang berbeda akarnya dipersatukan.Kerjaaan-kerajaan di Indonesia Timur melupakan persaingan.Semata-mata demi persatuan dalam melawan Portugis.

Persatuan dengan Tidore diperkukuh dengan pernikahan antara Sultan Baabullah dengan adik dari Sultan Tidore. Panglima-panglima diangkat : Raja Jailolo Katarabumi, Gubernur Sula Kapita Kapalaya, Gubernur Ambon Kapita Kalakinka, dan Kapita Rubuhongi. Semuanya bersatu dibawah pimpinan Sultan Baabullah.Dan membuat suatu persatuan yang begitu hebat.Dengan 2000 kora-kora dan 120000 prajurit, pasukan Jihad menyerang Portugis.

Sementara di pihak Portugis, keadaan justru sedang buruk.Mereka tidak mampu mendapat bala bantuan dari luar karena daerah kekuasaan mereka, Malaka, sedang dikepung oleh Kesultanan Aceh. Dengan keadaan yang bertolak belakang ini, maka pasukan Jihad Sultan Baabullah mampu meraih keunggulan.Satu persatu benteng-benteng Portugis jatuh ke tangan Ternate.Hingga tinggal menyisakan satu benteng, yaitu Sau Paulo tempat kediaman gubernur Portugis Lopez de Mesquita.

Sebenarnya dia bisa saja langsung menguasai benteng tersebut dengan jalan kekerasan.Namun Sultan Baabullah tidak tega karena di benteng tersebut banyak terdapat rakyat Maluku yang menetap karena menikah dengan orang Portugis. Tapi selain itu, Sultan Baabullah sama sekali tidak berhenti melakukan penyerangan. Segala fasilitas Sultan Hairun pada Portugis dicabut. Perang Soya-Soya (pembebasan negeri) dikobarkan. Portugis digempur habis-habisan.Kekuasaannya makin menipis. Tahun 1571 pasukan dengan 30 juanga dan berkekuatan 3000 prajurit dibawah pimpinan Kapita Kalakinda berhasil menguasai Ambon. Pulau Buru pun berhasil direbut setelah 2 kali serangan. Meski ada sedikit halangan dari pasukan pribumi kristen.

Demikianlah sampai tahun 1575 seluruh kekuatan Portugis dan pendukungnya berhasil ditundukkan

Namun benteng Sau Paulo masih dalam pengepungan sejak 1570. Selama lima tahun lamanya orang-orang disana menderita karena terputusnya hubungan dengan dunia luar. Sebuah balasan atas penghianatan mereka. Namun pada 1575, Sultan Baabullah memberi ultimatum untuk meninggalkan Ternate dalam waktu 24 jam.Namun, mereka yang memiliki istri pribumi diperbolehkan tinggal asalkan menjadi kawula kerajaan.Akhirnya, tanggal 15 Juli 1575, Portugis pergi secara memalukan dari Ternate.Hebatnya, tak ada kekerasan dari pihak Ternate.Malah mereka diberi kesempatan untuk menetap di Ambon sampai 1576.

Selanjutnya, sebagian orang Portugis pergi ke Malaka dan sebagian lagi ke Timor. Sementara Ternate mengalami masa kejayaan bersama Sultan Baabullah dan tetap memelihara persatuan dan kerja sama dengan kerajaan Demak dan Aceh sebagai poros Nusantara untuk menolak kolonialisme Barat.

Demikianlah perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis yang berakhir dengan kemenangan besar. Hal ini membuktikan jika persatuan Nusantara akan mampu mengalahkan bangsa Barat. Dan juga sebagai teladan akan kebaikan hati para pemimpin yang tidak melakukan kekejaman pada musuh seberapapun kejamnya mereka sebelumnya.

Perlawanan Terhadap VOC dan Belanda

Setelah kemenangan besar melawan Portugis, bersama Sultan Baabullah Ternate pada khususnya dan Maluku pada umumnya mengalami masa keemasan. Tapi setelah wafatnya pada 1583 yang meninggalkan luka mendalam, tak ada lagi pemimpin sekaliber dia yang memimpin Maluku. Krisis pemimpin ini membuat Maluku pelan-pelan mengalami kemunduran.Maka tak heran jika kemudian datang lagi musuh lama, yaitu Portugis yang masih saja mencoba menguasai bumi Maluku.

Penyerangan Portugis-Spanyol dan Bantuan Menyesatkan Belanda

Seperti yang telah dijelaskan diatas, Portugis bersama Spanyol mencoba menguasai Maluku.Dan segala upaya mereka tak mampu dibendung oleh Kesultanan Ternate dan Maluku disekitarnya. Bahkan, Sultan Ternate dibuang.Hal ini, membuat Ternate mau-tidak-mau harus meminta bantuan dari luar. Dan Belanda dengan armada-nya pun bersedia menolong, tapi dengan bayaran mahal yang akan disesali.

Ya, armada Portugis berhasil ditumpas.Tapi disinilah awal monopoli Belanda (VOC) dimulai.Hal itu diawali dengan perjanjian kontrak monopoli dagang VOC atas imbalan bantuan mereka pada 1607. Setelah itu, lebih dari 300 tahun lamanya bangsa Belanda menguasai tanah Maluku.Semakin lama pengaruh Belanda makin kuat.Lewat perintah sultan Belanda/VOC dapat dengan leluasa membuat peraturan yang merugikan rakyat.

Pemberontakan-Pemberontakan Terhadap Belanda (VOC)

Hal itupun menimbul kekecewaan rakyat.Dan akhirnya terjadilah pemberontakan-pemberontakan sepanjang abad ke-15.Seperti pemberontakan Salahakan Hulu pada 1635 dan Sultan Sibori pada 1675. Tapi semua hal itu dapat ditumpas dan puncaknya, pada 1683 Sultan Sibori dengan terpaksa mengakhiri masa Kesultanan Ternate sebagai negara berdaulat, diganti dengan kerajaan independen Belanda.

Segala hal ini pun Maluku tak lagi berkutik. Memang ada pemberontakan, tapi dengan pengawasan Belanda hanya bisa dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan dampak yang tidak besar. Sampai Indonesia merdeka.

Perlawanan Rakyat Dibawah Pimpinan Kapitan Pattimura

  • Kapitan Pattimura alias Tomas Matulessy

Tapi perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC (Belanda) yang selalu diingat adalah perjuangan Kapitan Pattimura (Thomas Matulessi) yang sempat menyusahkan Belanda.

Pattimura berhasil menjadi pemimpin rakyat Maluku untuk melawan Belanda. Faktor perlawanan ini adalah kesengsaraan rakyat sudah begitu memuncak karena kebijakan-kebijakan Belanda : pemberlakuan kerja wajib, pemberlakuan uang kertas, dan pengangkatan pemuda Maluku menjadi serdadu Belanda. Pattimura pun mengajukan daftar keluhan rakyat atas kebijakan semena-mena tersebut.Namun tidak ditanggapi oleh pemerintah Belanda.

Akhirnya, pemberontakan dilakukan.Dengan mempersatukan rakyat, pasukan Pattimura mampu unggul.Ditandai dengan terbunuhnya Residen Belanda, Van Der Bergh.Tapi perlahan-lahan, kekuatan Belanda mulai pulih seiring bantuan dari Batavia. Pasukan Pattimura dipaksa untuk bergerilya dan akhirnya harus menyerah dan dihukum gantung di Ambon. Di depan benteng New Victoria pada tanggal 16 Desember 1817.

Disini juga lahir pahlawan-pahlawan lain seperti Anthonie Rhebok, Thomas Pattiweal, Lucas Latumahina, dan Johanes Matulessi.

Perlawanan Rakyat Maluku terhadap VOC

Pada tahun 1635 muncul perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC di bawah pimpinan Kakiali, Kapten Hitu. Perlawanan segera meluas ke berbagai daerah. Oleh karena kedudukan VOC terancam, maka Gubernur Jederal Van Diemen dari Batavia dua kali datang ke Maluku (1637 dan 1638) untuk menegakkan kekuasaan Kompeni. Untuk mematahkan perlawanan rakyat Maluku, Kompeni menjanjikan akan memberikan hadiah besar kepada siapa saja yang dapat membunuh Kakiali. Akhirnya seorang pengkhianat berhasil membunuh Kakiali.

Dengan gugurnya Kakiali, untuk sementara Belanda berhasil mematahkan perlawanan rakyat Maluku, sebab setelah itu muncul lagi perlawanan sengit dari orang-orang Hitu di bawah pimpinan Telukabesi. Perlawanan ini baru dapat dipadamkan pada tahun 1646. Pada tahun 1650 muncul perlawanan di Ambon yang dipimpin oleh Saidi. Perlawanan meluas ke daerah lain, seperti Seram, Maluku, dan Saparua. Pihak Belanda agak terdesak, kemudian minta bantuan ke Batavia. Pada bulan Juli 1655 bala bantuan datang di bawah pimpinan Vlaming van Oasthoom dan terjadilah pertempuran sengit di Howamohel. Pasukan rakyat terdesak, Saidi tertangkap dan dihukum mati, maka patahlah perlawanan rakyat Maluku.

Sampai akhir abad ke-17 tidak ada lagi perlawanan menentang VOC. Pada akhir abad ke-18, muncul lagi perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Jamaluddin, namun segera dapat ditangkap dan diasingkan ke Sailan (Sri Langka). Menjelang akhir abad ke-18 (1797) muncullah perlawanan besar rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Nuku dari Tidore. Sultan Nuku berhasil merebut kembali Tidore dari tangan VOC. Akan tetapi setelah Sultan Nuku meninggal (1805), VOC dapat menguasai kembali wilayah Tidore.

Tidakan sewenang-wenang yang dilakukan VOC di Maluku kembali dilanjutkan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda setelah berkuasa kembali pada tahun 1816 dengan berakhirnya pemerintah Inggris di Indonesia tahun 1811-1816. Berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda di bawah ini menyebabkan timbulnya perlawanan rakyat Maluku. Hal-hal tersebut adalah :

  1. Penduduk wajib kerja paksa untuk kepentingan Belanda misalnya di perkebunan-perkebunan dan membuat garam.
  2. Penyerahan wajib berupa ikan asin, dendeng dan kopi.
  3. Banyak guru dan pegawai pemerintah diberhentikan dan sekolah hanya dibuka di kota-kotabesar saja.
  4. Jumlah pendeta dikurangi sehingga kegaitan menjalankan ibadah menjadi terhalang.
  5. Secara khusus yang menyebabkan kemarahan rakyat adalah penolakan Residen Van den Berg terhadap tuntutan rakyat untuk membayar harga perahu yang dipisah sesuai dengan harga sebenarnya.

Tahun 1817 rakyat Saparua mengadakan pertemuan dan menyepakati untuk memilih Thomas Matulessy (Kapitan Pattimura) untuk memimpin perlawanan. Keesokan harinya mereka berhasil merebut benteng Duurstede di Saparua sehingga residen Van den Berg tewas. Selain Pattimura tokoh lainnya adalah Paulus Tiahahu dan puterinya Christina Martha Tiahahu. Anthoni Reoak, Phillip Lattumahina, Said Perintah dan lain-lain. Perlawanan juga berkobar di pulau-pulau lain yaitu Hitu, Nusalaut dan Haruku penduduk berusaha merebut benteng Zeeeland.

Untuk merebut kembali benteng Duurstede, pasukan Belanda didatangkan dari Ambon dibawah pimpinan Mayor Beetjes namun pendaratannya digagalkan oleh penduduk dan mayor Beetjes tewas. Pada bulan Nopember 1817 Belanda mengerahkan tentara besar-besaran dan melakukan sergapan pada malam hari Pattimura dan kawan-kawannya tertangkap. Mereka menjalani hukuman gantung pada bulan Desember 1817 di Ambon. Paulus Tiahahu tertangkap dan menjalani hukuman gantung di Nusalaut. Christina Martha Tiahahu dibuang ke pulau Jawa. Selama perjalanan ia tutup mulut dan mogok makan yang menyebabkan sakit dan meninggal dunia dalam pelayaran pada awal Januari tahun 1818.

Perang ini disebabkan oleh Belanda yang sewenang-wenang terhadap Maluku

Perang ini berlangsung pada tahun 1817. Tokoh-tokohnya antara lain: Thomas Matulessy / Kapitan Pattimura, Christina Martha Tiahahu, Kapitan Paulus Tiahahu.

Perang ini Disertai dengan perebutan benteng Duurstde yang mengakibatkan kematian Jendral Van Den Berg. Karena adanya bantuan Inggris, Kapten Pattimura terdesak masuk hutan dan benteng-bentengnya direbut kembali pemerintah. Rakyat nusa laut menyerah tanggal 10 November 1817 setelah pimpinannya Kapiten Paulus Tiahahu serta putrinya Kristina Martha Tiahahu. Tanggal 12 November 1817 Kapitan Pattimura ditangkap dan bersama tiga penglimanya dijatuhi hukuman mati di Niuew Victoria di Ambon.