Apa yang anda ketahui tentang perang Diponegoro ?

Perang Diponegoro

Perang Diponegoro adalah perang besar di jawa dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jenderal De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara, yang melibatkan seluruh wilayah Jawa, sehingga perang ini disebut sebagai Perang Jawa.

Apa yang anda ketahui tentang perang Diponegoro ?

Pergantian masa dari abad ke 18 ke abad ke 19 di Indonesia ditandai dengan berbagai perubahan besar. Di satu pihak, terlihat adanya gejala perluasan kekuasaan politik Barat secara ekstensif dan intensif atas wilayah Indonesia, yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai pengganti pemerintahan, VOC. Di lain pihak, sebaliknya, terjadi kemerosotan kekuasaan kerajaan-kerajaan tradisional sebagai akibat penetrasi politik kolonial Belanda. Wilayah teritorial, otonomi kekuasaan, kekuatan, militer. sumber ekonomi, kemerdekaan dan kedaulatan kerajaan-kerajaan di berbagai daerah Indonesia menjadi semakin kecil atau bahkan hilang seluruhnya karena jatuh ke tangan kekuasaan penjajah, yang berarti hapusnya suatu kerajaan.

Ada pula kerajaan yang pada lahiriyah tampak masih hidup, akan tetapi sebenarnya tidak lebih daripada sebuah boneka dari kekuasaan asing, karena sudah tidak memiliki kekuasaan dan kedaulatan yang berarti lagi. Selain gejala di atas, terdapat pula gejala kemunduran kehidupan ekonomi bagi semua lapisan masyarakat tanah jajahan sebagai akibat peningkatan proses ekstraksi ekonomis yang dibawa oleh penetrasi sistem ekonorni kapitalistis Barat.

Gejala kemerosotan kekuasaan politik dan kemunduran kehidupan ekonomi tersebut telah menyebabkan timbulnya gejala ketidakpuasan, ketegangan, kekrisuhan, perpecahan dan pertentangan, serta pergolakan. Berbagai gejala yang tersebut di atas, hampir semuanya terdapat di lingkungan kerajaan Mataram di Jawa. Secara umum kerajaan Mataram mengalami kemunduran besar, semenjak mangkatnya Sultan Agung pada pertengahan abad ke 17. Sedikit demi sedikit wilayah Mataram di P. Jawa jatuh ke tangan Belanda. bersama dengan pusat sumber kekayaan ekonominya. Daerah kekuasaan Mataram di Jawa Barat, daerah pesisir utara Jawa, sejumlah daerah di Jawa Timur, yang semuanya merupakan daerah potensial, secara berangsur-angsur jatuh ke tangan VOC. Akibatnya pada akhir abad ke 18 dan awal abad ke 19 wilayah kerajaan Mataram menjadi sempit, dan hanya terpusat pada wilayah Yogyakarta dan Surakarta serta beberapa daerah sekitarnya yang kurang potensial.

Sementara itu, pusat pemerintahan kerajaanpun telah terpecah-pecah menjadi beberapa bagian, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakana, Kadipalen Mangkunegaran dan Pakualaman, yang kesemuanya sudah bukan merupakan kerajaan yang memiliki kemerdekaan dan kedaulatan yang penuh, melainkan merupakan pemerimahan "boneka" dari Belanda.

Mengapa sampai terjadi kemerosotan yang demikian besar ?

Tidak lain karena pengganti Sultan Agung umumnya lemah, suka berkompromi dengan pihak Belanda, tidak ada ketegaran untuk menentang kehadiran kekuasaan seperti pendahulunya.

Terbagi-baginya kerajaan sering diawali dengan pertentangan dan pergolakan kekuasaan di antara para pemaris kerajaan. Karena itu kerajaan menjadi lemah, suram, kurang wibawa, banyak konflik, penuh intrik, persekongkelan, dan banyak perpecahan di antara golongan elite keraton yang berbeda-beda orientasi dan ideologinya. Suasana lingkungan kerajaan semacarn itu sangat mendukung bagi terjadinya pergolakan.

image

Kekuasaan pemerintah Belanda atas istana dan wilayah kerajaan, dilain pihak, cenderung makin kuat dan terpusat. Kekuasaan Belanda tidak hanya sangat menentukan dalam pengangkatan dan penobatan raja, dan pengangkatan para pejabat kerajaan, akan tetapi juga dalam memasukkan unsur-unsur gaya kehidupan Barat ke lingkungan kerajaan, seperti dalam segi-segi seremonial. etiket, tradisi pergaulan kemewahan dan adat-kebiasaan baru yang sering dianggap bertentangan dengan tradisi Jawa.

Di luar keraton, yaitu di daerah pedesaan, keadaan penduduk umumnya banyak mengalami hambatan dan kesulitan akibat dari berbagai penerapan sistem perekonomian yang cenderung membawa ekstraksi ekonomis seperti tersebut di atas. Berbagai sistem persewaan (verpachringren), penarikan bea cukai, bea toll dan tindakan pemerasan yang menurut sumber banyak dilakukan oleh orang-orang Cina atau golongan sosial lain, telah menyulitkan dan memerosotkan kehidupan ekonomi rakyat kecil. Kemerosotan kehidupan masyarakat kecil tidak hanya dalam segi ekonomi saja, tetapi di sana-sini juga terdapat kemerosotan segi moral, sebagai akibat dari meningkatnya perjudian, pemadatan, peminuman minuman keras. pelacuran, dan perbanditan.

Menurut tradisi lokal penyebab kemerosotan moral masyarakat lersebut sering dirujuk pada lima jenis penyakit sosial yang terkenal dengan sebutan Ma Lima (Jawa, Main, Madon, Minum, Madat, dan Maling). Sebenarnya gejala kemerosotan moral atau ”demoralisasi” bukan hanya terjadi di kalangan wong-cilik, melainkan juga melanda pada golongan priyayi, termasuk sementara anggota bangsawan keraton.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa selama periode 1812 — 1825 telah timbul ketidakpuasan dan kekisruhan di Jawa sebagai akibat dari hal-hal tersebut di atas. Peningkatan campur tangan Barat dalam urusan keraton terasa, terutama di keraton Yogyakarta. Demikian juga konflik, intrik dan korupsi makin meluas. Sementara itu penyewaan tanah-tanah penduduk di Jawa Tengah oleh pengusaha Barat dan Cina untuk perkebunan tebu, kopi dan indigo juga makin bertambah luas, terutama di daerah tanah lungguh (apanage) milik para bangsawan karena kebutuhan keuangan.

Semenlara itu dalam tahun 1816 — 1824 di Yogyakarta tercatat banyak terjadi kasus pemerasan dan penyelewengan yang dilakukan oleh para penarik pajak dan bea toll, terutama dari orang-orang Cina. Gangguan keamanan, pencurian, perbanditan dan kejahatan merajalela di daerah Yogyakarta dan sekitarnya selama periode yang sama, sebagai akibat kesulitan perekonomian.

image

Sementara itu para bangsawan banyak kehilangan tanah-tanah apanage dan pengurangan sumber kehidupan di samping banyak mendapat tekanan dari pihak Belanda. Keadaan semacam itu telah memasakkan situasi untuk meletusnya pergolakan. Pergolakan segera meletus, ketika seorang bangsawan terkemuka, Pangeran Diponegoro, yaitu putra tertua Sultan Hamengku Buwono III, melancarkan aksi penentangan terhadap campur tangan pemerintah Belanda terhadap keraton dan situasi korup di lingkungan punggawa keraton.

Pergolakan disulut dengan peristiwa bentrokan antara pengikut Diponegoro dengan pasukan keraton di bawah Patih Danurejo IV, musuh Diponegoro, sehubungan dengan pembuatan jalan yang menuju Tegalrejo, tempat kediaman Diponegoro, pada sekitar bulan Mei 1825. Bentrokan itu segera meluas dan meningkatkan ketegangan dan situasi konflik, dan mencapai puncaknya pada tanggal 20 Juli 1825 dengan berkobarnya perang melawan Belanda oleh Diponegoro di Tegalrejo. Penempuran pertama-tama meletus di Tegalrejo, dan segera meluas secara cepat ke berbagai wilayah Yogyakarta dan Surakarta, serta daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Diponegoro dan pasukannya segera keluar dari Tegalrejo untuk mengobarkan peperangan melawan Belanda dan kaki tangannya.

Demikianlah awal pecahnya Perang Jawa yang berlangsung sejak tahun 1825 hingga tahun 1830.

Perang Diponegoro atau Perang Jawa


Perlawanan Diponegoro mendapat sambutan luas dari berbagai pihak, baik dari kalangan rakyat pedesaan maupun para golongan bangsawan, pejabat. ulama. dan para pemuka rakyat lainnya. Dari 29 orang bangsawan terkemuka yang ada di keraton Yogyakarta, 15 di antaranya bergabung dengan Diponegoro. Selain itu 41 orang dari 88 orang Bupati senior, juga mendukung Diponegoro. Demikian pula para ulama dan kyai serta para santrinya di lingkungan pesamren ikut menjadi tulang punggungnya. Terutama tokoh ulama terkemuka Kyai Maja. Dukungan terhadap Diponegoro dapat dibuktikan pula dari luasnya peta daerah pertempuran. Apabila diperhatikan medan pertempuran menyebar secara ‘luas, tidak hanya di daerah pusat Yogyakarta — Surakarta, akan tetapi juga terjadi di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Kedu, Banyumas, Pekalongan, Semarang, Pati, Bojonegoro, Madiun. Kediri dan daerah sekitarnya. Peristiwa, medan dan jalannya penempuran yang terjadi selama pecahnya perang Diponegoro. kiranya cukup dapat diikuti dalam berbagai sumber historiografi perang Diponegoro. baik dari sumber Belan da maupun surnber lokal.

Dari sumber Belanda, misalnya, karya penting Louw dan Klerck (6 jilid). Ridder de Stuers, Weitzel, Hageman, di samping karya-karya lainnya termasuk tulisan Johan Fabricius. Sumber Iokal. kiranya cukup banyak, terutarna berupa karya Babad, baik yang ditulis oleh Pangeran Diponegoro sendiri sewaklu di pengasingan maupun yang ditulis oleh penulis lainnya, yang mencakup golongan yang pro dan kontra terhadap perang Diponegoro.

Peperangan berakhir ketika Pangeran Diponegoro terkecoh ke dalarn meja perundingan di Magelang pada bulan Mei 1830, karena perundingan yang direncanakan pihak Belanda hanyalah dipakai sebagai perangkap untuk menangkapnya. Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Menado, dan kemudian dipindahkan ke Makassar sampai akhir hayatnya (8 Januari 1855).

Perang Diponegoro yang ditujukan kepada Belanda dan keraton cukup banyak membawa korban dan biaya yang tidak sedikit bagi pihak Belanda. Menurut beberapa sumber, dari pihak Belanda, tidak kurang dari 8000 pasukan Eropa dan 7000 pasukan bumiputra meninggal, dan menghabiskan biaya tidak kurang dari 20 juta gulden. Demikian juga korban yang jatuh di pihak pasukan Diponegoro tidak terhitung jumlahnya. Menurut beberapa sumber disebutkan bahwa tidak kurang dari 200.000 orang Jawa meninggal, dan; hampir separuh penduduk Yogyakarta hilang. Dari keterangan di atas dapat dijelaskan bahwa Perang Diponegoro termasuk perang besar menurut ukuran jamannya. dan cukup besar pengaruhnya dalam kehidupan nasional pemerintah Belanda pada waktu itu.

Bagi pemerintah Belanda, Perang Diponegoro merupakan peperangan yang telah mengerahkan dana dan kekuatan militer secara besar-besaran. Perang itu tidak hanya telah melibatkan hampir seluruh kekuatan militer Belanda yang ada di Indonesia, tetapi juga telah menghabiskan dana keuangan yang tidak sedikit, yang kernudian menjadikan penyebab kemerosotan keuangan Belanda pada periode itu.

Mengapa Sistem Tanam Paksa (Kultuurstelsel) kemudian diterapkan pada masa sesudah Perang Diponegoro selesai ? Alasannya antara lain adalah untuk memperbaiki kebobrokan kas negara akibat banyak membiayai peperangan.

Hakekat Perang Diponegoro


Sekalipun Perang Diponegoro relatif berlangsung singkat, yaitu dalam tahun 1825-1830, akan tetapi memiliki makna yang luas. Secara politik peperangan Diponegoro merupakan manifestasi dari sikap penentangan dari kekuatan lokal terhadap kekuasaan Barat yang datang dari luar dan bersifat raksasa (massive), internasional, terorganisir rapi, dan lebih maju. Kehadiran kekuasaan Barat di kawasan Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya dapat dipandang sebagai kekuatan eksogen dan arus besar (mainstrams) yang mengancam eksistensi kemerdekaan dan kedaulatan politik negara tradisional di daerah-daerah Indonesia.

Ancaman kekuasaan Barat semacam ini sejak dini telah disadari oleh Sultan Agung pada abad ke 17. Akibat kekuasaan dari Barat memang telah terbukti membawa proses disintegrasi bagi kekuatan-kekuatan politik, sosial. dan kultural masyarakat di lingkungan kerajaan Jawa. Karena itu Perang Diponegoro pada dasarnya merupakan pencerminan reaksi terhadap kekuasaan eksogen yang bersifat destruktif dan disintegratif. Diponegoro dan para pendampingnya pada urnumnya sadar akan ancaman bahaya destruktif yang datang dari kekuasaan kolonial Belanda, karena itu gerakan perlawanannya juga bercorak sebagai gerakan protes yang dijiwai dengan semangat anti-kolonial.

Di sisi lain peperangan ini juga menggambarkan suatu reaksi terhadap golongan penguasa kraton yang telah mantap, tetapi tidak memiliki tanggungjawab sosial dan bertindak sewenang-wenang. Maka dari itu peperangan Diponegoro juga cenderung bersifat anti-birokrat dan anti- kraton.

Sejak Daendels berkuasa, maka wilayah kekuasaan raja-raja Jawa, terutama Yogyakarta dan Surakarta, makin dipersempit. Hal ini disebabkan karena banyak daerah yang diberikan kepada Belanda sebagai imbalan atas bantuannya. Adapun daerah yang diinginkan Belanda adalah daerah pantai utara Jawa. Karena itu daerah-daerah tersebut berangsur-angsur diambil-alih oleh Belanda. Daerah Kerawang dan Semarang dikuasai oleh Belanda pada tahun 1677, dan pada tahun 1743 daerah Cirebon, Rembang, Jepara, Surabaya, Pasuruan dan Madura. Dengan hilangnya daerah-daerah pesisir, kerajaan Mataram makin melepaskan kegiatan pelayaran dan perdagangannya, dan memusatkan kegiatannya pada bidang pertanian.

Di samping makin sempitnya wilayah kerajaan yang bisa memperkecil kekuasaan raja, juga dapat menyebabkan kecilnya penghasilan kerajaan. Raja makin lama makin tergantung kepada Belanda. Untuk membiayai pemerintahan kerajaan saja ia semakin tergantung pada uang pengganti dari Belanda di samping dari hasil pajak penghasilan dari daerah yang masih dikuasainya.

Untuk menambah penghasilan, banyak dilakukan penarikan cukai sebagai sumber penghasilan tertentu yang diborongkan kepada orang Cina. Pemborongan itu misalnya terjadi pada cukai jalan, jembatan dan sarang burung. Akibat dari sistem pemborongan ini beban rakyat makin berat. Pemborong banyak melakukan penyalahgunaan kekuasaan, sehingga pemungutan pajak sering dilakukan secara sewenang-wenang.

Jembatan-jembatan, pasar dan sebagainya terdapat gerbang cukai. Orang-orang yang melalui gerbang itu harus membayar cukai. Hal ini sangat menyusahkan lalu lintas, meninggikan harga barang dan menyusahkan kehidupan rakyat. Juga gerbang-gerbang ini disewakan kepada orang Cina dengan akibat-akibatnya yang tak menyenangkan. Pemerintah Belanda tidak mau menghapuskan gerbang-gerbang itu, lantaran gerbang-gerbang mendatangkan penghasilan yang bukan sedikit bagi pemerintah.

Pada tahun 1823 Gubernur Jenderal van der Capellen memerintahkan agar tanah-tanah yang disewa dari kaum bangsawan dikembalikan lagi kepada yang empunya, dengan perjanjian, bahwa uang sewa dan biaya lainnya harus dibayar kembali kepada si penyewa. Dengan demikian beban para bangsawan juga sangat berat karena uang sewa itu sudah dibelanjakan.

Perpecahan di kalangan keluarga kerajaan di Mataram tidak saja melemahkan kerajaan, tetapi juga menyebabkan pengaruh Belanda makin menjadi kuat. Setiap pertentangan antar keluarga bangsawan di kraton akan mengundang campur tangan pihak Belanda, yang pada akhirnya merugikan kerajaan itu sendiri sebagai keseluruhan.

Pada masa Daendels terdapat usaha mencampuri urusan tatacara di istana. Misalnya, Daendels menghendaki persamaan derajat dengan Sultan pada waktu upacara kunjungan resmi diadakan di kraton. Dalam upacara tersebut pembesar Belanda supaya diijinkan duduk sejajar dengan raja, dan sajian sirih supaya dihapuskan. Raffles juga meneruskan usaha yang sama terhadap kehidupan kraton.

Kondisi seperti itu menimbulkan rasa kekecewaan dan ketidak- senangan di antara beberapa golongan bangsawan. Mereka menganggap bahwa martabat kerajaan menjadi merosot akibat tindakan Belanda tersebut. Tambahan lagi setelah kebiasaan minim-minuman keras beredar di kalangan kaum bangsawan atau rakyat umum, kekhawatiran dan kekecewaan di kalangan golongan agama di istana makin meningkat.

Kekecewaan di kalangan kraton dan semakin beratnya beban rakyat menyebabkan sebagian besar rakyat merasa tertekan hidupnya. Ibarat api dalam sekam, kebencian rakyat sewaktu-waktu dapat meledak, bila sumbu letupnya sudah terbakar. Suasana pada umumnya gelisah dan jika ada seseorang saja yang dapat menyusun tenaga rakyat, niscaya akan meletus api pemberontakan yang besar.

Pada saat segenting itu muncullah seorang pemimpin besar, yang dapat membimbing rakyat, yaitu Pangeran Diponegoro. Ia adalah putra sulung Sultan Hamengku Buwono (HB) III dari garwa ampeyan. Dilahirkan pada tanggal 11 November 1785 dengan nama kecil Raden Mas Ontowiryo. Sejak kecil beliau dididik oleh neneknya, Kanjeng Ratu Ageng di Tegalrejo, terkenal sebagai orang yang amat saleh. Buah usahanya ternyata sekali pada diri Diponegoro. Beliau selalu berusaha memperdalam soal agama.

Untuk memperkuat imannya, beliau sering mengasingkan diri di tempat-tempat yang jauh, bertapa dan mengembara, sehingga dengan sendirinya banyak orang tertarik oleh kepribadiannya. Sebagai orang yang sangat saleh, beliau tidak mementingkan keduniawian, dan selalu mengingat kepentingan umum. Terdesak oleh keadaan maka beliau bertindak untuk mempertahankan kedudukan para bangsawan dan membela nasib rakyat kecil.

Sewaktu Inggris masih berkuasa, Sultan Hamengku Buwono III dan Raffles pernah menjanjikan kepada Pangeran Diponegoro akan naik tahta sebagai pengganti ayahnya. Namun setelah Sultan Hamengku Buwono III wafat tahun 1814, yang menggantikan bukan Diponegoro tetapi adiknya yakni Mas Jarot dengan gelar Sultan Hamengku Buwono IV (HB IV), sedang Pangeran Diponegoro diangkat sebagai penasehatnya.

Pengaruh Pangeran Diponegoro terhadap Sultan HB IV besar sekali. Atas desakan Pangeran Diponegoro, Sultan HB IV pernah mencabut keputusannya yang telah disampaikannya kepada residen Belanda. Karena kehidupan HB IV yang kebarat-baratan, maka wafatnya yang tiba-tiba tahun 1822, dianggap oleh Diponegoro sebagai kutukan. Sepeninggal HB IV, yang diangkat sebagai Sultan bukan Pangeran Diponegoro tetapi Raden Mas Menol dengan gelar Sultan HB.

Karena raja tersebut baru berusia tiga tahun, maka pemerintah Belanda mengangkat beberapa orang wali yaitu Pangeran Diponegoro, Pangeran Mangkubumi, Ibu dan Nenek Sultan. Dengan kedudukannya itu, pengaruh Pangeran Diponegoro semakin bertambah besar.

Melihat pengaruh Diponegoro yang sebesar itu, baik di kalangan istana maupun di segala lapisan masyarakat, sebetulnya pemerintah Belanda menyesal memilih beliau sebagai wali Sultan. Dari sebab itu diaturnya supaya wali-wali tersebut jangan sampai ikut campur dalam pemerintahan.

Melihat kondisi Kesultanan dinilai mengancam kekuasaan Belanda, maka Belanda menetapkan bahwa pemerintahan diserahkan kepada Patih Danurejo dan di bawah pengawasan residen. Pangeran Diponegoro yang menyadari maksud dan tujuan siasat Belanda itu menganggap bahwa kedudukannya sebagai wali Sultan bertentangan dengan aturan-aturan agama sehingga ia menolak pengangkatan tersebut. Lebih-lebih karena Pangeran Diponegoro melihat sendiri tindakan-tindakan pegawai pemerintah Belanda yang benar-benar menyakitkan hati, misalnya:

  1. Residen Nahuys memasukkan adat-istiadat dan pakaian Eropa di kraton.
  2. Makin banyak tanah disewakan kepada orang-orang Eropa, bahkan Nahuys sendiri membuka kebun yang luas.
  3. Tindakan-tindakan pegawai pemerintah Belanda yang bersikap mengejek terhadap Pangeran Diponegoro.

Kebijaksanaan lain yang dianggap melecehkan Diponegoro adalah perbuatan residen dan patih yang selalu mengambil keputusan- keputusan dengan tidak dirundingkan terlebih dahulu dengan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi. Misalnya, mengangkat seorang penghulu itu adalah hak Sultan. Tetapi waktu penghulu Rachmanudin berhenti lantaran berbeda pendapat dengan patih, maka residen dan patih mengangkat penggantinya tidak dengan persetujuan para wali. Pangeran Diponegoro menganggap pengangkatan itu tidak sah.

Sekali peristiwa Pangeran Diponegoro diperlakukan tidak pantas oleh dua orang pegawai Belanda, dalam pesta di rumah patih. Beliau terus meninggalkan perayaan tersebut, lalu mengasingkan diri di Tegalrejo. Pada waktu residen dan patih menyuruh menyambung jalan dari kota ke Tegalrejo (Jalan Notoyudan) yang akan melalui tempat yang dianggap keramat oleh Diponegoro, maka Diponegoro menentangnya. Di samping akan melalui tempat yang keramat dan tidak dirundingkan lebih dahulu, Pangeran Diponegoro menilai bahwa jalan tersebut akan digunakan untuk memperlancar serangan Belanda ke Tegalrejo.

Peristiwa tersebut menyebabkan Pangeran Diponegoro tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Beliau meminta agar patih dipecat, tetapi ditolak oleh residen. Karena itu Pangeran Diponegoro menyuruh mengganti tonggak-tonggak pemancang jalan yang akan dibuat dicabut diganti dengan bambu runcing.

Pemerintah Belanda mengutus Pangeran Mangkubumi ke Tegalrejo untuk memanggil Diponegoro mempertanyakan tindakan- tindakan Diponegoro itu. Beliau tahu bahwa beliau akan ditangkap jika beliau mengabulkan panggilan itu. Pangeran Mangkubumi sendiri akhirnya tidak mau pulang ke kota. Akibatnya pasukan Belanda menyerbu ke Tegalrejo sehingga akhirnya pada tanggal 25 Juli 1825 berkobarlah perlawanan Diponegoro. Dalam pertempuran tersebut, Pangeran Diponegoro bersama keluarganya berhasil melepaskan diri dari serbuan Belanda itu.

Setelah pertempuran di Tegalrejo ini, Diponegoro dengan pasukannya menyingkir ke Gua Selarong, sekitar 15 km sebelah barat daya kota Yogyakarta, guna mengatur siasat perang selanjutnya. Keluarga Pangeran Diponegoro diungsikan ke Dekso (Kulon Progo) .
Kabar mengenai meletusnya perlawanan Diponegoro terhadap Belanda meluas ke berbagai daerah. Rakyat petani yang telah lama menderita dalam kehidupannya, banyak yang segera datang untuk ikut serta dalam perlawanan. Demikian pula para ulama dan bangsawan yang kecewa terhadap Belanda bergabung dengan Diponegoro. Daerah- daerah lain juga menyambut perlawanan Diponegoro dengan melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Kyai Mojo, seorang ulama dari daerah Surakarta, datang untuk bergabung dengan Diponegoro. Bersama dengan Kyai ini dibentuklah kelompok pasukan. Semboyan Perang Sabil dikumandangkan ke segenap pengikutnya, baik yang ada di daerah Selarong maupun yang ada di daerah lain. Malahan seorang Kyai yang bernama Hasan Besari diutus Diponegoro untuk menyebarkan Perang Sabil di daerah Kedu.

Di samping para tokoh ulama, Diponegoro juga mendapat dukungan para bupati Monconegoro. Di antaranya yang terkenal adalah Alibasya Sentot Prawirodirjo dari Madiun yang kemudian menjadi Panglima Perang Diponegoro. Itulah sebabnya pada tahun-tahun pertama pertempuran dengan cepat meluas sampai ke daerah Pacitan, Purwodadi, Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang, Kertosono dan Madiun.
Sementara itu tokoh-tokoh yang memihak Belanda untuk menentang perlawanan Diponegoro antara lain Patih Danurejo, Sunan Surakarta, raja-raja dari Madura.

Dalam pertempuran di Kertosono, rakyat dipimpin langsung oleh Bupati Kertosono, pertempuran di Banyumas, rakyat dipimpin oleh Pangeran Suriatmojo, perlawanan di Madiun dipimpin oleh Bupati Kertodirjo dan Pangeran Serang, sedang perlawanan di Plered dipimpin oleh Kertopengalasan. Dalam pertempuran di daerah Lengkong (1826), Belanda dipukul mundur, seorang letnan Belanda tewas dan dua orang bangsawan gugur.

Dalam pertempuran-pertempuran dari tahun 1825 sampai 1826 kemenangan ada di pihak Diponegoro. Hal ini disebabkan (1) semangat perang pasukan Diponegoro masih tinggi, (2) siasat gerilya yang dilakukan Diponegoro belum tertandingi, dan (3) sebagian pasukan Belanda masih berada di Sumatera Barat dalam rangka Perang Padri. Karena itu tawaran Belanda untuk melakukan perdamaian selalu ditolak oleh Diponegoro.

Melihat semakin kuatnya Diponegoro dan semakin meluasnya medan pertempuran, maka Belanda menilai bahwa perlawanan Diponegoro sangat membahayakan kedudukan Belanda di Indonesia. Itulah sebabnya Belanda lalu menggelar berbagai siasat untuk menumpas atau menghentikan perlawanan Diponegoro itu.
Dalam rangka untuk menghadapi perlawanan Diponegoro itu, Belanda melakukan siasat-siasat sebagai berkut:

  1. Sultan HB II (Sultan Sepuh) yang dibuang Raffles ke Pulau Penang, dikembalikan ke Yogyakarta dengan tujuan mendatangkan perdamaian sehingga para bangsawan yang memihak Diponegoro diharapkan kembali ke kraton. Usaha tersebut gagal karena Sultan Sepuh kurang berwibawa lagi bahkan tidak lama kemudian terus wafat sehingga para bangsawan tetap melakukan perlawanan.

  2. Jenderal de Kock berusaha memecah belah pengikut Diponegoro. Para bangsawan dibujuknya supaya pulang ke ibu kota. Mereka tidak akan dituntut. Juga kedudukan, uang dan sebagainya kerapkali dipergunakan sebagai pemikat hati. Usaha de Kock ini rupanya berhasil juga, sebab Kyai Mojo, Pangeran Kusumonegoro, Sentot dan lain-lain meninggalkan Diponegoro, sehingga akhirnya beliau tinggal seorang diri. Kyai Mojo diasingkan ke Minahasa, sedang Sentot dikirim ke Sumatera untuk memerangi kaum Padri, namun akhirnya ditangkap lagi dan dibuang ke Bangkahulu.

  3. Untuk mempersempit ruang-gerak Diponegoro, Jenderal de Kock menggunakan taktik bentengstelsel (perbentengan), yaitu mendirikan benteng-genteng di tiap daerah yang direbut dan kemudian dijaga oleh sepasukan prajurit, dan benteng itu saling berhubungan. Penduduk daerah itu tetap tenang dan tidak ikut bertempur. Benteng-benteng tersebut dibangun di Gombong, Purworejo, Magelang, Ambarawa dan Salatiga.

  4. Sesudah Diponegoro semakin terjepit, Belanda melakukan pendekatan agar Diponegoro mau diajak untuk melakukan perundingan perdamaian. Perundingan semacam itu pernah di Klaten tahun 1827, tetapi gagal.

Karena bala bantuan Belanda terus berdatangan, maka posisi tentara Pangeran Diponegoro semakin terjepit sehingga sering terjadi pertempuran terbuka. Akibatnya pengikut-pengikut setianya semakin kecil sebab Pangeran Suryomataram dan Prangwadono tertangkap, sedangkan Pangeran Serang dan Pangeran Notoprojo menyerah. Pangeran Ario Papak dan Sosrodilogo (Rembang) juga menyerah.

Pada tahun 1829 Pangeran Mangkubumi dan Alibasya Sentot Prawirodirjo mengambil keputusan menyerahkan diri sebelum dikalahkan. Sampai tahun 1829 tersebut kira-kira 200 ribu pasukan Diponegoro telah gugur. Oleh karena kondisinya yang semakin terdesak dan melihat kedudukannya yang sudah tidak ada harapan lagi, maka Diponegoro bersedia untuk melakukan perundingan.

Melalui Kolonel Kleerens, pada tanggal 16 Pebruari 1830 Diponegoro mau melakukan pertemuan di desa Romo Kamal. Dalam pertemuan itu dibuat syarat-syarat perundingan sebagai berikut:

  1. Bilamana dasar perundingan tidak dapat disetujui oleh Diponegoro, beliau boleh kembali secara bebas.
  2. Dalam perundingan itu Diponegoro harus jauh dari tentaranya, sedang tentaranya tidak boleh membawa senjata.

Rencana perundingan perdamaian itu dilakukan di kota Magelang. Karena pada saat itu kebetulan bulan Puasa, maka perundingan itu ditunda. Dalam pada itu bertambah pengikut Diponegoro yang masuk kota Magelang. Sehabis Puasa Jenderal de Kock mengajak melakukan perundingan. Namun Diponegoro belum bersedia karena masih dalam suasana Lebaran.

Setelah berunding, Jenderal de Kock mendesak Diponegoro mengemukakan tuntutan-tuntutannya. Pada saat itu Diponegoro menghendaki menjadi kepala agama Islam (Panatagama) di Jawa agar supaya dapat memelihara kerohanian rakyat. Tuntutan itu ditolak oleh pemerintah Belanda.

De Kock takut kalau-kalau Diponegoro akan menyerang lantaran pengikutnya kian hari kian banyak yang masuk kota Magelang. Sementara pemerintah Negeri Belanda mendesak de Kock agar segera menghentikan perlawanan dengan cara apapun agar melapangkan jalan bagi pelaksanaan Culturstelsel. Di samping itu, de Kock juga terancam dipecat jika Diponegoro sampai lepas kembali.

Dengan berbagai alasan tersebut, Pangeran Diponegoro ditangkap di tempat perundingan tersebut. Diponegoro kemudian dibawa ke Menado dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makasar dan di sana beliau wafat pada tanggal 8 Januari 1855. Makam beliau hingga kini menjadi tempat ziarah bangsa Indonesia.

Perlawanan Pangeran Diponegoro membawa akibat yang cukup berat. Korban di pihak Belanda sebanyak 15000 tentara, terdiri dari 8000 ribu orang Eropa, dan 7000 orang serdadu pribumi. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai perang itu tidak kurang dari 20 juta gulden. Di samping itu, tidak sedikit perkebunan-perkebunan swasta asing yang rusak. Kemakmuran rakyat lenyap sama sekali.

Akibat perlawanan Diponegoro, maka batas-batas Surakarta dan Yogyakarta diubah, daerahnya diperkecil. Berhubungan dengan tindakan ini, maka Sunan Paku Buwono VI merasa kecewa sekali, lalu meninggalkan ibu kota. Pemerintah Belanda menaruh curiga, lalu Sunan ditangkap dan dibuang ke Ambon (1849) . Dengan demikian maka berakhirlah perlawanan penghabisan dari raja-raja Jawa.

Latar Belakang Perang

Perang Jawa juga terkenal dengan sebutan perang diponegoro. Perang melawan penjajahan di Jawa Tengah dan Timur yang berlangsung antara tahun 1825 sampai dengan 1830. Perjuangan ini ditujukan pada kekuasaan asing, yaitu penguasa Hindia Belanda yang selalu ikut campur dalam urusan pemerintah Yogyakarta, yang menjadi pemimpin peperangan adalah putra Sultan Hamengku Buwono III dari selirnya yang bernama Pangeran Diponegoro.

Munculnya Yogyakarta sebagai suatu kekuasaan baru merupakan hasil perjanjian Gianti (1755) antara Raja Mataram dengan pihak VOC. Hubungan yang berlangsung antara kekuasaan kerajaan Mataram di Jawa Tengah dengan kekuasaan VOC, membawa akibat makin merosotnya kekuasaan bumiputra tersebut. Daerah-daerah pantai wilayah negara berangsur-angsur dianeksasi oleh Belanda, seperti: Krawang, Semarang (1677), Cirebon, Rembang, Jepara, Surabaya, Pasuruan, dan Madura(1743). Oleh karenanya pusat negara makin dipisahkan dari pantai.

Kerajaan Mataram kembali ke dalam kegiatan agraris dan mulai melepaskan tradisi perdagangan-pelayaran. Kekuasaan raja yang kuat seperti pada masa Sultan Agung (1623-1645), sejak masa pemerintahan penggantinya (Amangkurat I, 1645-1677), terus-menerus berkurang. Sebaliknya wilayah kekuasaan kompeni Belanda semakin luas, sedangkan di bidang politik pengaruhnya pada Mataram juga semakin besar.

Makin sempitnya wilayah Mataram dan berkurangnya kekuasaan raja membawa akibat makin sempitnya orientasi politik penguasa kerajaan. Selain di bidang politik, di bidang ekonomi pun pengaruh Belanda cukup besar. Makin meluasnya pengaruh Belanda dalam urusan tata pemerintahan Mataram, sebenarnya tidak terlepas dari faktor intern dalam negara Mataram sendiri, yaitu adanya gejala pertentangan antar-bangsawan.

Terpecahnya wilayah negara setelah Perjanjian Gianti pada tahun 1755 menjadi Surakarta dan Yogyakarta, kemudian pada tahun 1757 dengan perjanjian Salatiga ditambah dengan munculnya kekuasaan Mangkunegara dan akhirnya pada tahun 1813 dengan munculnya kekuasaan Pakualam, lebih mempermudah pihak Belanda untuk mengawasi dan mempengaruhi negara-negara yang terpecah-pecah itu. Dengan demikian sejak tahun 1755 nama kerajaan Mataram sudah tidak ada lagi.

Pada awalnya, perang ini hanya bersumber dari persoalan intern keraton. Pada Juli, 1825, Patih Danureja IV yang merupakan antek Belanda yang setia, telah memerintah para pejabat Kesultanan Yogyakarta untuk membuat jalan. Pembuatan jalan tersebut ternyata menembus tanah milik Diponegoro, yang juga masih kerabat Kesultanan Yogyakarta, dan neneknya di Tegalrejo. Bahkan, tanpa sepengetahuannya, pembuatan jalan tersebut sampai menggusur pemakaman milik keluarga Diponegoro. Hal ini jelas mendapat perlawanan keras dari Diponegoro.

Untuk itu, Diponegoro kemudian memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mencabut semua tonggak yang dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan Patih Danureja IV. Tidak hanya itu, Diponegoro juga mengemukakan protes keras dan menuntut supaya Patih Danureja IV dipecat dari jabatannya. Tetapi, A.H. Smisaert, selaku Residen Belanda di Yogyakarta, menolak dan menekan sultan untuk tetap mempertahankan Patih Danureja IV. Suasana tegang inilah yang menjadi pemicu meletusnya Perang Jawa.

Biografi Pangeran Diponegoro

Lahir 11 Nopember 1785 dari ayah Sultan Hamengkubuwono III. Sejak kecil diasuh oleh neneknya Ratu Ageng, Permaisuri Hamengkubuwono I, pendiri kerajaan Yogyakarta yang menetap. Berkat wanita bijaksana tersebut, ia tumbuh menjadi orang alim, sederhana dan dekat dengan rakyat.

Sementara Diponegoro tumbuh dewasa, di keraton Yogyakarta terjadi kericuhan yang disebabkan campur tangan pemerintah Belanda. Pengangkatan dan pemberhentian raja atau patih ditentukan oleh Belanda. Di samping itu penindasan terhadap rakyat meningkat pula. Hasil tersebut menimbulkan sikap antipati Diponegoro terhadap Belanda.

Tanggal 20 Juni 1825, seorang utusan Belanda mengantar surat ke Tegalrejo untuk menanyakan maksud Diponegoro. Saat itu paman dari Diponegoro (Mangkubumi) dan Dewan Perwalian Kerajaan Yogyakarta sedang di Tegalrejo. Baru beberapa kalimat disusun, sudah terdengar tembakan meriam. Penduduk memberi perlawanan, namun kekuatan tidak seimbang. Mereka terpaksa mengundurkan diri. Tegalrejo diduduki Belanda. Tempat tinggal Diponegoro, masjid dan bangunan lain dibakar oleh Belanda.

Ia memerintahkan rakyat menyingkir ke Selarong dan bersama Pangeran Mangkubumi, ia menuju Kali Saka sambil menghunus pedang. Ia berkata pada Mangkubumi “lihatlah paman, rumah dan mesjid sudah terbakar, saya tidak mempunyai apa-apa lagi di dunia ini”.

Dari kali Saka, ia bersama Mangkubumi, menuju ke Selarong. Ia diangkat menjadi pimpinan tertinggi. Mangkubumi sebagai penasehat dan Pangeran Angabei penasehat khusus saat perang. Kemudian muncul Sentot Prawirodirjo yang berusia 16 tahun dan Kyai Mojo yang memberikan corak Islam kepada perjuangan.

Maklumat perang dilakukan di berbagai tempat, Jawa Barat, Jawa Timur, Rembang, Tuban, Bojonegoro, Madiun dan Pacitan. Seruan ini disambut rakyat karena merasa sudah lama tertindas penjajahan Belanda.

Pasukan Belanda yang dipimpin Kumesius berangkat dari Semarang dengan membawa empat pucuk meriam, uang dan pakaian serta perbekalan. Di sebelah Barat Laut Yogyakarta ia dekat Pisang desa Tempet, pasukan ini disergap pasukan Diponegoro. Sebanyak 27 orang Belanda dibunuh, senjata, pakaian dan uang 50.000 gulden jatuh di tangan pasukan Diponegoro. Pasukan Diponegoro mengepung Yogyakarta dari berbagai penjuru, bahkan makanan di blokir, tidak boleh masuk kota.

Kolonel Van Jett, mengirim pasukan untuk menyerang Selarong namun gagal. Tiga bulan kemudian Diponegoro memindahkan markasnya ke Dekso. Di tempat ini ia dinobatkan sebagai Sultan dengan gelar Sultan Ngabdulkamid Herucokro Mukmini Panoto Gomo Jowo.

Selama tahun 1825 dan 1826 pasukan Diponegoro banyak memperoleh kemenangan. Bulan Agustus 1826 Sentot berhasil menyergap pasukan Belanda, semua tewas kecuali Komandan Van Green. Dalam pertempuran di Lenkong pasukan Diponegoro dapat membunuh seorang letnan dan Pangeran Murdaningrat serta Pangeran Ponular. Kedua pangeran ini pengganti Diponegoro dan Mangkubumi di Dewan Perwalian. Di Sadegan pasukan Diponegoro dapat membunuuh beberapa perwira Belanda dan seorang Bupati.

Tahun 1827 Belanda mulai melipat gandakan kekuatan dengan cara membuat “Benteng Stelsel” dan usaha perundingan seperti perundingan di Sombiroto, di Miangi, yang diwakili Kyai Mojo, namun gagal.

Saat Kyai Mojo bersama 600 prajurit “Bukilyo”, Kyai Mojo diikuti Belanda dan ditangkap serta diasingkan ke Menado hingga wafat.

Perundingan dengan Sentot gagal, kemudian Belanda menggunakan Bupati Madiun yang masih kerabat Sentot, untuk membujuk. Tanggal 24 Oktober 1829, Sentot menyerah dengan syarat, boleh memeluk agama Islam dan memimpin pasukannya. Belanda mengirim ke Sumatra Barat agar memerangi pasukan Padri, tapi Sentot berbalik menyerang Belanda. Ia ditangkap dan dibuang ke Cianjur, kemudian ke Bengkulu dan wafat tahun 1855 dan dimakamkan di sana.

Meskipun ditinggalkan pembantu-pembantu dekatnya, Diponegoro tidak mau menyerah. Dalam perjalanan dari Manoreh ia dikepung Belanda, Diponegoro terjun ke jurang berhasil meloloskan diri. Setelah kejadian ini, ia diiringi oleh Roso dan Banteng Wareng meneruskan pembaharuan perangnya.

Karena Belanda sulit menangkap Diponegoro, maka Belanda mengumumkan bagi siapa yang dapat menangkap akan diberi hadiah 50.000 gulden, tanah dan kedudukan…

Tanggal 16 Februari 1830 ia bersedia menerima utusan Belanda, Kolonel Cleerens. Waktu itu menjelang bulan puasa, ia tidak bersedia berunding di bulan suci.

Tanggal 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal De Kock di Magelang, didampingi Basah Martonegoro, Kyai Badarudin dan puteranya Diponegoro Anom. Di sini ia ditangkap, dibawa ke Semarang, kemudian ke Jakarta dan di buang ke Menado. Tahun 1834, ia dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Ujung Pandang. Selama 25 tahun ia dikurung. Kisah perjuangannya, ditulis dalam “Babad Diponegoro” dalam Bahasa Jawa setebal 700 halaman.

Makam Pangeran Diponegoro

Tanggal 8 Juni 1855 ia meninggal dan dimakamkan di Ujung Pandang. Pemerintah memberinya gelar Pangeran Diponegoro sebagai Pahlawan Nasional.

Motif Dan Tujuan

  • Melakukan perlawanan terhadap Belanda yang ikut campur dalam urusan pemerintahan.
  • Meng-Islamkan tanah Jawa.
  • Menentang penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas rakyat.
  • Para bangsawan merasa dirugikan karena pada tahun 1823 Belanda menghentikan sistem hak sewa tanah para bangsawan oleh pengusaha swasta. Akibatnya para bangsawan harus mengembalikan uang sewa yang telah diterimanya.
  • Banyaknya macam pajak yang membebani rakyat misalnya pajak tanah, pajak rumah, pajak ternak.

Narasi Perang

Pada tanggal 29 Juli 1825 Gubernur Jenderal Van der Capellen mengirimkan Letnan Jenderal Hendrik Marcus de Kock ke Surakarta. Di Surakarta, Sunan Paku Buwono ternyata tidak memihak Diponegoro. Melalui Sunan, Belanda mendapatkan keterangan keadaan Yogyakarta. Dalam pasukan Diponegoro pun masuk seorang ulama terkenal dari desa Mojo, daerah Surakarta. Dasar keagamaan segera ditanamkan di kalangan pengikut.

Perang sabil disiarkan, baik di kalangan mereka yang telah berkumpul di Selarong, maupun mereka yang berada di daerah-daerah. Pada permulaan perang, pasukan Diponegoro berhasil bergerak maju merebut beberapa daerah, seperti misalnya Pacitan pada tanggal 6 Agustus 1825 dan Purwodadi pada tanggal 28 Agustus 1825. Pada awal perang kekuatan militer Belanda tidak begitu besar.

Di daerah Kedu terjadi pertempuran sengit di desa Dinoyo. Di sini pasukan Diponegoro menghadapi lawan yang besar sekarang jumlahnya. Mereka terdiri dari 2000 orang, yaitu gabungan antara pasukan Belanda dan pasukan Tumenggung Danuningrat, bupati Kedu yang memihak pada Belanda. Seconegoro dan Kertonegoro segera minta bantuan ke Selarong. Dari Selarong dikirim bantuan prajurit Bulkiya.

Bulkiya adalah nama salah satu kesatuan prajurit Diponegoro yang terkenal berani. Pasukan Bulkiya ini dipimpin Haji Usman Alibasah dan Haji Abdulkadir. Seconegoro memimpin barisan sayap kanan, sedang Kertonegoro memimpin barisan sayap kiri. Akhirnya pasukan Belanda dapat dipukul mundur dan bupati Kedu, Tumenggung Danuningrat tewas dalam pertempuran ini. Pasukan Bulkiya berhasil merampas beberapa pucuk senapan dan meriam serta pelurunya.

Dalam pertempuran di daerah Semarang tanggal 11 September 1825 Pangeran Serang berhadapan dengan Belanda. Untuk menumpas perlawanan rakyat ini, Jenderal de Kock mengerahkan semua kekuatan pasukan Belanda. Jenderal van Geen yang bertugas di Bone tiba di Semarang pada awal bulan September 1825. Jenderal ini kemudian ditugaskan menumpas perlawanan Pangeran Serang di Semarang.

Semarang akhirnya jatuh, akan tetapi Pangeran Serang berhasil meloloskan diri ke daerah Sukowati dan terus mengadakan perlawanan bersama Tumenggung Kartodirjo. Rembang, Blora, Rajegwasi (Bojonegoro) dan Sukowati dengan perlawanan keras akhirnya dapat dikuasai Belanda. Pada pertempuran tanggal 9 Desember 1825, Madiun jatuh ke tangan Belanda, sehingga Pangeran Serang bersama-sama dengan Pangeran Sukur, mundur ke Yogyakarta untuk menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro.

Perlawanan di berbagai daerah tersebut merupakan penghalang kekuatan untuk menyerbu markas besar Diponegoro di Serang. Belanda harus menumpas perlawanan di banyak daerah ini satu persatu. Secara tiba-tiba Belanda melakukan serangan umum ke Selarong pada tanggal 2 Oktober 1825. Akan tetapi Selarong didapati kosong; ternyata pasukan Diponegoro telah memindahkan markas besarnya ke Dekso, sebelah barat laut Yogyakarta. Di markas baru ini, Diponegoro mengangkat lagi pemimpin –pemimpin pasukan untuk memperkuat barisan.

Peperangan terus berjalan. Gunung kidul dibawah pimpinan Pangeran Singosari jatuh. Pangeran Singosari mundur dan bergabung dengan Syeh Dullah Kaji Muda di Imogiri. Sementara itu pertempuran sengit yang terjadi pada tanggal 30 Juli 1826 di dekat Lengkong membawa akibat tewasnya seorang Letnan Belanda dan dua orang wali dari Sultan Hamengku Buwono V, ialah Pangeran Murdaningrat dan Pangeran Panular.

Penyebab Perang Diponegoro

Secara umum dalam sebuah sumber dikatakan beberapa sebab terjadinya perang diponegoro yaitu:

  1. Diponegoro kecewa Dia tidak diangkat menjadi Sultan
  2. Peristiwa penyewaan tanah.
  3. Wilayah-wilayah Jawa yang berkurang akibat politik anexasi yang dilakukan Belanda
  4. Tekanan yang merugikan rakyat yang dilakukan pemungut cukai orang tionghoa.
  5. Merosotnya Budaya dalam kehidupan orang jawa, juga budi pekertinya.
  6. Ketidakcakapan para residen dan pegawai Belanda yang di Jogjakarta.

Puncaknya adalah ketika tanah nenek moyang Diponegoro di Tegalrejo, hendak dijadikan jalan oleh Belanda tanpa meminta persetujuan kepada Diponegoro, dengan kata lain Jalan yang akan dibuat melintasi tanah leluhur Diponegoro, ini terjadi pada tanggal 20 juli 1825, Belanda memasang tonggak-tonggak yang menjadi tanda proyek pembuatan jalan,

Diponegoro yang tetap mempertahankan apa yang menjadi hak miliknya telah menambah suasana menjadi sedemikian panas, namun hal ini sebenarnya telah diantisipasi oleh Masyarakat, yang sejak ditancapkannya tonggak-tonggak itu, oleh Belanda atas perantara Patih DanurejaIV, rakyat Tegal Rejo mendukung penuh Diponegoro, bahkan mereka memepertanyakan apa kira-kira yang akan menjadi tanda jika perang itu memang harsu terjadi, Diponegoro menjawab setelah adanya suara meriam. Pada tanggal 20 juli 1825, sekitar jam 5 petang, terdengarlah oleh rakyat suara meriam Belanda.

Akhir Perang

Tahun 1828, Kiai Mojo salah satu penguasa pendukung Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap oleh Belanda dan di asingkan ke Minahasa sampai wafatnya. Setahun kemudian, Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda dan bersama pasukannya dikirim ke Sumatera Barat untuk memadamkan perlawanan Tuanku Imam Bonjol. Namun Sentot Prawirodirjo akhirnya ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Bengkulu sampai akhir hayatnya karena ia dan pasukannya malah memihak kepada Tuanku Imam Bonjol.

Meskipun terus terdesak, Pangeran Diponegoro bersama para pendukung fanatiknya terus melakukan perlawanan meski pemerintah Belanda menjanjikan uang sebesar 20.000 ringgit bagi siapa saja yang berhasil menangkapnya hidup atau mati. Jendral De Kock sebagai panglima tertinggi pasukan Belanda terus berupaya membujuk Pangeran Diponegoro agar mau berunding dengan Belanda. Akhirnya Pangeran Diponegoro menerima tawaran tersebut dan perundingan dilaksanakan di Magelang, tanggal 28 Maret 1830.

Namun ketika proses perundingan sedang berlangsung, secara licik Belanda menangkap Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro kemudian dibawa ke Batavia, kemudian diasingkan lagi ka Manado, lalu dipindahkan ke Makassar sampai beliau wafat pada tanggal 8 Januari 1855. Sejak penangkapan Pangeran Diponegoro secara licik oleh Belanda tersebut, maka berakhir pulalah sejarah panjang Perang Diponegoro yang sangat legendaris tersebut.

Taktik Dan Strategi Perang

Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya.

Jalur-jalur Iogistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Selain itu, dari pihak Belanda menggunakan siasat Benteng Stelsel atau Sistem Benteng . Sistem ini mulai dilaksanakan oleh Jenderal De Kock dalam periode perang sejak tahun 1827.

Tujuan dari Benteng Stelsel adalah untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro dengan jalan mendirikan pusat-pusat pertahanan berupa benteng-benteng di daerah-daerah yang telah dikuasai Belanda. Pelaksanaan Benteng Stelsel juga dimaksud untuk mengadakan tekanan pada Diponegoro agar bersedia segera menghentikan perlawanan.

Usaha Belanda untuk mempercepat selesainya perang antara lain juga dilakukan dengan cara pengumuman pemberian hadiah sebanyak 20.000 ringgit kepada siapa pun yang dapat menangkap Diponegoro. Pengumuman yang telah dikeluarkan sejak tanggal 21 September 1829 hingga akhir tahun itu masih belum berhasil.

Sedangkan dari pihak Diponegoro menggunakan strategi perang gerilya dan memusatkan pertahanannya di Goa Selarong. Penggunaan strategi perang gerilya ini terbukti cukup berhasil karena pasukan Diponegoro mampu mendesak Belanda hingga ke daerah Pacitan.

Teknologi Perang

Pihak Blanda jauh lebih unggul dari segi persenjataan dibanding pangeran Diponegoro dan pengikutnya. Belanda sudah menggunakan berbagai model senapan, meriam, serta mortir.

Sebaliknya Pangeran Diponegoro dan pengikutnya hanya menggunakan tombak, keris, serta senapan klasik. Tetapi yang paling menonjol dari siasat Pangeran Dipoegoro adalah penggunaan telik sandi untuk mendapatkan informasi tentang musuh, yaitu Belanda.

Riwayat Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro yang lahir pada tahun 1785 dengan nama kecilnya yakni Antawirya, yang merupakan putera sulung Sultan Hamengkubuwono III dari selir. Saat remaja diasuh oleh Ratu Ageng ( janda Sultan Hamengkubuwono I ) di Tegalrejo, kira-kira 1 km disebelah barat stasiun Yogyakarta. Semasa hidupnya beliau berusaha memperdalam agama islam, sering bertapa di gua Langse dan sangat mementingkan masalah-masalah rohaniah. Sikapnya terhadap rakyat amat baik dan selalu memperhatikan nasibnya. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono V ( Mas Menol ), Pangeran Diponegoro diangkat menjadi wali raja, karena pada saat itu Sultan Hamengkubuwono V masih dibawah umur.

Pangeran Diponegoro mengangkat senjata melawan imperialis Belanda pada tahun 1825-1830 dan wafat pada tanggal 8 Januari 1855, sebagai penghargaan perjuangannya, pemerintah Indonesia mengangkat Pangeran Diponegoro sebagai pahlawan nasional, rumah kediaman beliau di Tegalrejo dibangun dijadikan sebuah Monumen Diponegoro, nama Diponegoro diabadikan menjadi nama kesatuan Divisi Jawa Tengah.