Apa yang anda ketahui tentang penyakit Sleepy Grouper Disease (SGD) yang menyerang ikan kerapu ?

ikan kerapu

Penyakit sleepy grouper disease (SGD) adalah salah satu penyakit yang cukup mendapat perhatian terkait komoditas air laut, khususnya pada ikan kerapu. Penyakit ini disebabkan oleh grouper iridovirus (GIV).

Beberapa ikan yang diinfeksi adalah yellow grouper (Epinephelus awoara), brown-spotted grouper (Epinephelus tauvina), dan nursing grouper (Epinephelus malabaricus).

Infeksi iridovirus diketahui sebagai suatu penyakit yang mematikan pada budidaya ikan laut. Infeksi pada ikan dapat menyebabkan pergerakan ikan menjadi ekstrim dan terjadi perubahan warna kulit ikan menjadi kegelapan. Di Indonesia, penyakit SGD pertama kali ditemukan menyerang ikan kerapu lumpur (E. tauvina) di wilayah Sumatera utara. Peristiwa tersebut menyebabkan kematian massal hingga 80%. Sedangkan di negara lain, serangan Iridovirus dilaporkan juga terjadi di negara Taiwan, Thailand, dan Jepang dengan tingkat mortalitas 80-90%.

Apa yang anda ketahui tentang penyakit Sleepy Grouper Disease (SGD) yang menyerang ikan kerapu ?

1 Like

Pelaksanaan pembangunan sektor budidaya ikan laut pada dasarnya dapat dilakukan dengan cepat, efektif dan menguntungkan karena memiliki berbagai kekuatan, peluang dan akses pasar yang cukup luas. Secara fisik, Kusumastanto (2003), menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi yang melimpah untuk pembangunan industri perikanan budidaya. Potensi tersebut meliputi wilayah perairan nasional seluas 3,1 juta km2 , luas Zona Ekonomi Eksklusif sekitar 2.8 juta km2 , panjang garis pantai mencapai 81.000 km dan memiliki jumlah pulau sebanyak 17.499 buah yang dapat digunakan untuk penguatan kapasitas produksi budidaya ikan laut. Berdasarkan data statistik KKP (2009), pemanfaatan potensi budidaya laut masih berkisar 0,3% dengan 12,502,396 Ha lahan potensi yang masih dapat dikembangkan. Kenaikan rata-rata produksi budidaya ikan laut dalam kurun waktu 2009-2010 juga meningkat sekitar 20% dengan nilai produksi mencapai 10,3 Triliun (KKP, 2009). Kondisi ini menunjukkan bahwa peluang investasi dan pengembangan industri budidaya ikan laut di Indonesia cukup menjanjikan.

Pembangunan budidaya ikan laut menjadi sangat penting karena selain didukung oleh data potensi juga didasari oleh fakta bahwa kondisi sumberdaya perikanan Indonesia khususnya perikanan tangkap, telah mengalami over fishing pada beberapa daerah yang berakibat kepada adanya tren penurunan jumlah produksi. Untuk memperkuat kapasitas dan mempercepat proses peningkatan produksi, telah dilakukan program revitalisasi perikanan budidaya melalui kegiatan pengembangan kawasan minapolitan, komoditas unggulan dan penguatan modal yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing melalui pemberdayaan usaha budidaya kepada masyarakat dan perbaikan mutu hasil perikanan budidaya. Seluruh program ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dan sinergi terhadap produktivitas sektor perikanan budidaya sehingga kebutuhan pangan (food security) khususnya bagi masyarakat Indonesia dapat terpenuhi.

Salah satu hambatan utama dalam keberlanjutan produksi budidaya adalah kematian yang diakibatkan oleh infeksi mikroorganisme patogen dan degradasi kualitas lingkungan. Kondisi ini berkorelasi positif dengan semakin intensifnya sistem budidaya yang dikembangkan (Cao et al., 2007). Secara global, potensi kerugian ekonomi akibat wabah penyakit yang ditimbulkan oleh infeksi mikroorganisme patogen cukup signifikan dan berdampak kepada jumlah produksi, keuntungan dan keberlanjutan sistem budidaya. Kerugian ekonomi pada industri budidaya akibat wabah penyakit diperkirakan mencapai US$ 9 miliar per tahun (Subasinghe et al., 2001) dan berdampak kepada penurunan jumlah produksi ikan budidaya di seluruh dunia (Hill, 2005). Di Indonesia, Zafran et al., (1997) menyatakan bahwa infeksi oleh parasit Benedenia, Neobedenia, Diplectanum, Pseudorhabdosynochus, Haliotrema, Trichodina, Lepeophtheirus, dan Cryptocaryon irritans telah menjadi wabah umum pada ikan Kerapu. Sementara, infeksi yang disebabkan oleh iridovirus (Fris Johnny dan Des Roza, 2009) dan Nervous Necrosis Virus (NNV) (Sukadi, 2004) telah menjadi hambatan tersendiri bagi peningkatan jumlah produksi. Kondisi ini membuktikan bahwa masalah penyakit dalam perkembangan budidaya ikan laut memerlukan perhatian yang sangat serius.

Secara umum, jenis penyakit pada budidaya ikan laut dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yakni penyakit infeksius dan non-infeksius (Subasinghe, 2009). Penyakit infeksius disebabkan oleh organisme patogen dan mampu menyebar melalui pergerakan inang yang telah terinfeksi. Secara rinci, kelompok penyakit ini dapat dibedakan menjadi 4 golongan, yaitu penyakit parasitik, bacterial, viral dan mikotik. Sementara penyakit non-infeksius umumnya disebabkan oleh kondisi lingkungan, defisiensi nutrient, genetik, pengelolaan aktivitas budidaya yang buruk dan kontaminasi dari senyawa yang bersifat toksik. Disamping hal tersebut, organisme yang ada di lingkungan budidaya dan digolongkan sebagai “hama” pada kegiatan budidaya ikan laut juga dapat digolongkan sebagai penyebab penyakit non-infeksius.

Perhatian terhadap masalah penyakit ikan semakin meningkat sejalan dengan perubahan pola sistem budidaya yang menuju kearah intensifikasi. Informasi mengenai jenis, sumber dan siklus hidup penyakit yang sering menyerang ikan laut selain sangat membantu dalam upaya pengobatan juga bermanfaat dalam menentukan tindakan pencegahan yang harus dilakukan oleh para pembudidaya ikan untuk mencegah timbulnya wabah penyakit (Afrianto dan Liviawaty, 1992). Namun, informasi mengenai penyakit ikan laut secara ilmiah di Indonesia masih sangat terbatas dan hanya terdokumentasi secara parsial dalam laporan penelitian, jurnal, maupun buku-buku hasil kegiatan pemantauan penyakit ikan dan lingkungan. Menurut Mangunsuwiryo (1990), kurangnya informasi ini utamanya disebabkan oleh berbagai keterbatasan seperti kekurangan pakar mengenai penyakit ikan, fasilitas laboratorium, dan penyebaran informasi penyakit ke tingkat petambak/petani ikan. Hal ini menyebabkan informasi mengenai permasalahan penyakit secara lengkap dan terkini sulit diperoleh baik oleh masyarakat petani ikan, praktisi perikanan, dinas/lembaga terkait maupun para peneliti. Terbatasnya penyebaran informasi mengenai penyakit ikan ke tingkat petambak/petani ikan atau bahkan ke para pelaku bisnis ataupun praktisi bidang perikanan menyebabkan kesulitan dalam melakukan tindakan penanggulangan maupun cara pengobatan atau terapinya.

Penyakit Virus

Virus merupakan agensia infeksi non seluler dan hanya dapat melakukan multiplikasi dalam sel inang. Virus berukuran sangat kecil yaitu bervariasi dari 18-200 nm (Smail dan Munro, 1989), sehingga hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop electron. Untuk dapat bertahan hidup dilingkungan, virus harus mampu berpindah dari inang satu ke inang lainnya, menginfeksi dan replikasi pada inang yang sesuai. Sejumlah virus dapat berada dalam tubuh inang dalam waktu lama tanpa melakukan replikasi. Pada keadaan tersebut, genom virus dapat terintegrasi dalam kromosom inang. Dengan kondisi yang demikian, maka kehadiran virus dapat bersifat laten dan akan meledak sebagai wabah manakala ikan dalam kondisi lemah (Irianto, 2005).

  • Iridovirus

Iridovirus merupakan famili virus yang memiliki ukuran 130-300 nm, materi genetiknya berupa DNA dan dengan kapsid berbentuk ikosahedral (berisi 20). Iridovirus dijumpai pada beragam spesies ikan laut dan dapat ditemukan di limpa dan jaringan intestinal ikan yang sakit atau sekarat dengan tanda-tanda penyakit sistemik. Tingkat mortalitas ikan yang terinfeksi mulai dari rendah (0,5 – 10%) hingga sedang (50%) dan umumnya dapat menyebabkan kematian dalam kurun waktu 24-48 jam setelah munculnya gejala-gejala infeksi. Tanda-tanda klinis ditunjukkan oleh melanosis (warna tubuh gelap) dan letargik (sekarat, dengan gerakan lemah). Seringkali ikan kehilangan nafsu makan, pembengkakan abdomen, limpa membesar, saluran pencernaan memerah karena pendarahan (hemoragik) dan terdapat cairan keruh dalam rongga tubuh. Salah satu contohnya adalah penyakit Sleepy Grouper Disease (SGD).

  • Sleepy Grouper Disease (SGD).

Agen penyebab penyakit ini memiliki ukuran 130 – 160 nm. Penyakit ini pertama kali dilaporkan terjadi pada ikan Kerapu Epinephelus tauvina ukuran 100 – 200 g dan 2 – 4 kg di Singapura dan Malaysia. Ikan yang terinfeksi akan menunjukkan gejala klinis luka yang akut, nafsu makan berkurang dan berenang baik sendirian atau mengapung di permukaan air atau tetap berada di dasar bak (Lio-Po Dan de la Pena, 2004).

Identifikasi virus dan penyakit viral memerlukan keahlian, pelatihan dan peralatan khusus. Penyakit viral tidak dapat dikontrol dengan obat-obatan atau antibiotika karena virus menggunakan sel inangnya untuk proses reproduksi dan bertahan hidup. Dengan demikian pilihan terbaik untuk menghindari terjadinya wabah penyakit viral ini adalah dengan menghindari kondisi media pemeliharaan menjadi lebih berat dan mencegah terjadinya infeksi sekunder yang akan memperparah wabah. Usaha tersebut dapat dilakukan dengan penerapan manajemen pemeliharaan yang baik antara lain dengan meningkatkan kualitas air media pemeliharaan, perbaikan kualitas pakan, pengurangan padat tebar, sanitasi lingkungan, penerapan standar karantina bagi ikan yang menunjukkan gejala terserang penyakit atau dengan memusnahkan ikan yang sudah positif terinfeksi oleh penyakit viral ini. Aplikasi vaksin juga dapat dilakukan, namun fakta bahwa ikan bersifat poikilotermal, menjadikan respon imun terhadap vaksin tidak dapat diprediksi sehingga vaksinasi harus lebih sering dilakukan.