Apa yang anda ketahui tentang penyakit Babesiosis?

Apa yang dimaksud  penyakit Babesiosis?

Beberapa studi menunjukkan bahwa Babesiosis perlu dipertimbangkan sebagai salah satu penyakit protozoa darah sebagai penyebab terjadinya kematian pada sapi dan kerbau. Penyakit Babesiosis di Negara Asia bagian Timur dan Selatan diyakini tersebar melalui sapi import. Infestasi parasit ini menimbulkan kerugian ekonomis yang besar berupa pertumbuhan terhambat, penurunan berat badan, penurunan daya kerja dan reproduksi, termasuk biaya pembelian desinfektan serta vaksin.

PENGENALAN PENYAKIT

1. Gejala Klinis

Manifestasi klinis yang ditimbulkan akibat penyakit ini adalah demam, hewan kekurangan darah dan mengalami anemia. Penyakit ini sangat patogen pada sapi dewasa, tetapi anak sapi kurang dari satu tahun relatif lebih tahan. Masa inkubasi babesiosis antara 2-3 minggu pada infeksi alam, tetapi dapat berjalan lebih cepat jika dilakukan inokulsi di laboratorium, yaitu 4-5 hari (B.bigemina) dan 10-14 hari (B.bovis). Mula-mula sapi akan mengalami peningkatan suhu tubuh (demam) selama 2 minggu lebih, dan diikuti dengan anemia hebat, selaput lendir menjadi kuning dan kadangkadang terjadi haemoglobinuria (kencing berwarna merah darah = red water).

Gejala lain yang nampak pada sapi adalah bulu kusam, lesu, nafsu makan menurun, ruminasinya terhenti, pernafasan cepat dan sesak, kulit tipis dan iketrik, kadang-kadang teramati gejala syaraf, seperti berputar-putar dan konvulsi.

Secara garis besar, gejala klinis pada ternak (sapi Bos Taurus) yang mengalami babesiosis dapat digolongkan menjadi tiga katagori, yaitu :

  • Susceptible, yaitu hewan dengan gejala klinis dan membutuhkan pengobatan untuk mencegah kematian (hewan rentan).

  • Intermediate, yaitu hewan dengan gejala klinis parasitemia, penurunan packed cell volume (PCV) ≥ 21,5 % yang ditandai dengan meningkatnya suhu tubuh. Pada kelompok hewan ini, tidak memerlukan pengobatan dengan segera karena dapat seembuh dengan sendirinya.

  • Resistant, yaitu hewan yang tidak menunjukkan gejala klinis tetapi ditemukan B.bovis dalam preparat darah. Terjadi penurunan PCV < 21,5% dan hewan tidak mengalami peningkatan suhu tubuh yang nyata.

2. Patogenesis

Umumnya masa inkubasi pada infeksi yang disebabkan oleh B.bovis lebih lama dibandingkan dengan B.bigemina. Vektor yang menggigit inang akan menularkan parasit ini kedalam sirkluasi darah inang. Saat memasuki fase eksoeritrositik, inang tidak menunjukan gejala klinis. Selanjutnya parasit akan terus berkembang biak secara aseksual didalam butir darah merah hingga menjadi 2-4 tunas. Jika perkembangannya telah sempurna, maka parasit ini akan memecahkan butir darah merah dan menginfeksi butir darah merah yang baru, kemudian memulai siklus hidup yang baru. Kerusakan eritrosit ini akan menyebabkan gejala seperti hemoglobinemia, hemoglobinuria dan kuning (jaundice). Pada kasus babesiosis yang berlangsung menahun, parasit mampu mengubah spesifi sitas antigen di permukaan sel hingga berubah kepekaannya terhadap antibodi.

3. Patologi

Hewan yang menderita babesiosis secara akut, akan mengalami pembesaran limpa dan pulpanya berwarna merah kehitaman, serta konsistensinya lembek, sedangkan pada kasus kronis berwarna kekuningan dan terjadi penonjolan (splenic corpuscles). Organ hati mengalami pembengkakan, pucat kekuningan dengan kantong empedu berisi cairan kental kehitaman. Pada jantung dijumpai adanya bintik-bintik merah didaerah endokardium dan epikardium serta perikardium berisi eksudat bercampur darah. Paru penderita babesiosis mengalami busung, dengan ginjal yang membesar, berwarna coklat serta adanya jaringan lemak disekelilingnya yang juga mengalami busung. Kemih berwarna kemerahan atau kecoklatan.

Mukosa usus menebal, mengalami odema dan ikterik serta terjadi gastroenteritis.

4. Diagnosa

Diagnosa penegakan Penyakit babesiosis dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain :

  • Pemeriksaan mikroskopis melalui preparat ulas darah tipis dari ujung telinga sapi. Ulas darah dapat difi ksasi menggunakan methyl alcohol dan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa selama 45 menit. Setelah dicuci dengan air, preparat dikeringkan dalam suhu ruang. Pemeriksaan parasit ini menggunakan mikrsoskop cahaya dengan pembesaran 1000 X. Gambaran parasit di dalam sel darah merah berbentuk ring mirip dengan morfologi tropozoit pada Plasmodium malaria, hanya saja pada Babesia tidak menunjukkan adanya pigmen.

  • Metode lain adalah dengan cara Indirect Immunofl ourescent Antibody Assay. Metode ini lebih banyak digunakan untuk manusia.

  • Diagnosa juga dapat dilakukan dengan teknik Polymerase Chains Reaction (PCR), tetapi tehnik tidak mampu membedakan infestasi yang terjadi secara akut atau kronis.

  • Enzim Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mendiagnosa B.

Bovis menggunakan antigen seluruh merozoite sedangkan ELISA untuk B. bigemina belum memberikan hasil yang baik karena antibodi terhadap B. bigemina dilaporkan kurang sensitif. Adapun metode ELISA untuk B.

divergens belum divalidasi.

  • PCR – ELISA dilaporkan setidaknya 1000 kali lebih sentisitif daripada preparat ulas darah.

  • Tidak disarankan untuk melakukan inokulasi parasit ini pada hewan percobaan.

5. Diagnosa Banding

Trypanosomiasis, Anaplasmosis, Theileriasis, Bacillary haemoglobinuria, Leptospirosis, Eperythrozoonosis, Rapeseed poisoning dan Chronic copper poisoning.

6. Pengambilan dan Pengiriman spesimen

Beberapa caplak dan pembuatan preparat ulas darah tipis yang dibuat dari darah telinga atau ekor dikoleksi pada hewan yang menunjukkan gejala demam atau pada fase akut. Preparat ulas darah difi ksasi dalam ethanol absolut selama 1 menit dan dilakukan pewarnaan menggunakan 10% Giemsa selama 20-30 menit. Preparat ulas darah yang belum diwarnai, dianjurkan untuk tidak menyimpannya didekat larutan formalin karena akan mempengaruhi hasil pewarnaan.

Jika pembuatan slide tidak memungkinkan, maka dilakukan koleksi darah pada tabung yang mengandung antilkoagulan seperti EDTA. Heparin tidak disarankan untuk digunakan karena akan berpengaruh terhadap hasil pewarnaan. Sampel darah harus disimpan dalam keadaan dingin (4-5oC) sampai dilakukan pengiriman ke laboratorium. Pembuatan slide harus telah dilakukan dalam waktu 2-3 jam setelah koleksi darah. Umumnya B. bovis lebih banyak ditemukan pada darah kapiler, sedangkan B. bigemina dan B.

divergens secara tidak teratur terdistribusi pada darah vaskularis.

Sampel dari hewan yang telah mati, dapat dibuat preparat ulas darah tipis termasuk melakukan smear pada organ-organnya, seperti kortek cerebral, ginjal, hati, limpa dan sumsum tulang belakang.

Referensi

http://wiki.isikhnas.com/images/b/b9/Manual_Penyakit_Hewan_Mamalia.pdf

Babesiosis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh Babesia sp dan terdisistribusi di dalam sirkulasi darah. Babesia sp berbentuk seperti buah pear yang berada di dalam butiran darah merah yang terinfeksi. Kasus babesiosis umumnya disebabkan oleh B. Bovis dan B. bigemina. Babesiosis ditularkan melalui caplak dan tungau yang terinfeksi Babesia sp.

image
Gambar Babesia bovis

image
Gambar Babesia bigemina

Gejala penyakit Babesiosis yaitu demam, anemia, bulu kusam, lesu, ruminasinya terhenti, pernafasan cepat dan sesak, kulit tipis dan iketrik (menguning), nafsu makan menurun dan kencing berwarna merah darah.

Cara pengendalian penyakit Babesiosis yaitu:

  1. Hewan yang menderita babesiosis dapat diobati dengan diminazene diacturate, imidocarb, dan amicarbalide.

  2. Menghindari kontak dengan hewan yang terjangkit penyakit.

  3. Jaga kebersihan hewan ternak dan kandang dengan cara menyemprotkan insektisida.

  4. Berikan vaksinisasi pada sapi yang berumur 6-9 bulan.

Babesiosis merupakan infeksi oleh parasit intraeritrosit yang disebabkan oleh Babesia sp. Penyakit ini sering ditemukan di daerah yang beriklim tropis, subtropis, dan beriklim sedang. Patogenitas dari spesies Babesia di seluruh dunia beragam seiring dengan vektor biologisnya yang tersebar secara luas.

Etiologi

Babesiosis disebabkan oleh protoza darah intraseluler dari Babesia sp. Nama Babesia sendiri diambil dari penemunya, yaitu Victor Babes yang mengidentifikasi organisme didalam sel darah merah pada tahun 1888. Selanjutnya, pada tahun 1893, Victor Babes kembali menemukan protozoa intra eritotrosit pada penderita sapi yang mengalami haemoglobinuria. Adapun kasus Babesiosis pada manusia pertama kali ditemukan pada peternak sapi di daerah Yugoslavia pada tahun 1957.

Berdasarkan taksonominya, Babesia sp. tergolong dalam Filum Apicomplexa, Sub-kelas Piroplasma, Ordo Piroplasmida, Famili Babesiidae dan Genus Babesia (Delfi et all, 2000). Babesiosis pada anjing disebabkan oleh B. canis dan B. gibsoni.B. canis adalah parasit protozoa darah yang menyerang eritrosit serta penularannya melalui gigitan caplak.

B. canis pertama kali diidentifikasi oleh Pinna dan Galli Valerio tahun 1895 di Italia (Ressang,1984). Secara morfologi parasit darah ini menyerupai B. bigemina yang menyerang sapi dengan vektor caplak Dermacentor marginatus dan Rhipicephalus sanguineus.

Patogenesis

Patogenitas parasit tidak membedakan umur hospes, baik itu anak anjing maupun dewasa. Parasitemia yang berlangsung selamna 3-4 hari, diikuti periode hilangnya parasit dari peredaran darah perifer selama lebih kurang 10 hari. Dalam waktu 2 minggu pascainfeksi akan terjadi parasitemia kedua, dengan jumlah parasit yang lebih banyak di sel darah merah, sebagai hasil perbanyakan secara pembelahan (Subronto, 2010).

Adanya infeksi babesia di peredaran darah khususnya pada eritrosit akan memacu respon imun dari hospes seperti peningkatan sitokin yang menimbulkan demam. Selain itu, sitokin yang berlebih dapat menyebabkan kerusakan sel dan eritrosit menjadi pecah. Perkembangan protozoa ini di eritrosit juga menyebabkan eitrosit menjadi pecah sehingga terjadi anemia (Irawan, 2015). Dua sindrom yang dapat terlihat pada infeksi Babesia sp. adalah ditandai dengan anemia hemolitik dan terjadinya beberapa disfungsi organ yang dapat menjelaskan sebagian dari tanda-tanda klinis yang diamati pada hewan yang terinfeksi babesiosis.

Menurut VSSF (2005) Protozoa Babesia sp. umumnya ditularkan oleh kutu dan mencapai aliran darah ketika kutu menghisap darah inang. Setelah masuk ke dalam tubuh inang, parasit menempel ke eritrosit, kemudian masuk kedalam eritrosis melalui proses endositosis, mengalami pematangan, dan kemudian mulai bereproduksi melalui reproduksi aseksual, yang menghasilkan merozoit. Eritrosit yang terinfeksi akhirnya pecah dan merozoit dirilis menyerang eritrosit lain.

Patogenesis utama yang terkait dengan Babesiosis adalah anemia hemolitik. Anemia hemolitik adalah hasil dari cedera eritrosit langsung yang disebabkan oleh parasit dan juga oleh mekanisme imun. Selain itu, sebagian besar anjing dengan Babesiosis memiliki trombositopenia. Gejala klinis yang timbul dari penyakit ini antara anak anjing umumnya lebih rentan terhadap Babesiosis dan dan memiliki risiko terbesar dari penyakit ini dan dapat menimbulkan kematian. Pada kasus anemia progresif dapat menyebabkan terjadinya hemoglobinemia, hemogloinuria, bilirubinemia dan icterus.

Gejala Klinis

Gejala klinis yang dapat timbul akibat penyakit ini antara lain demam, anoreksia, malaise, hemoglobinuria,splenomegali, dan hemolisis darah yang sering kali menyebabkan kematian (Arai, 1998).Kematian hewan yang terinfeksi dapat meningkat jika infeksi tersebut tidak dikendalikan khususnya pada anak anjing.

Pada kasus kronis kadang terjadi kondisi anemia dan haemoglobinuria. Dilaporkan bahwa kejadian babesia umumnya berlangsung subklinis.Penyakit ini dapat menyebabkan terjadinya anemia hemolitik, trombositopenia, dan splenomegali. Tanda lainya yang dapat menunjukkan adanya infeksi babesia adalah pucat gusi dan lidah, urin berwarna merah atau orange, penyakit kuning (semburat kuning pada kulit, gusi, putih mata, dll), pembesaran kelenjar getah bening, dan pembesaran limpa (Boozer & Macintire 2005).

Pada infeksi yang berat babesia dapat menyebabkan adanya anemia hemolitik yang berat.Selain itu, pada infeksi yang kronis anjing biasanya memperlihatkan anemia dan demam dengan hiperplasia limfoid dan 25 limfositosis.Anjing yang terinfeksi babesiosis dapat menghasilkan kekebalan yang bertahan seumur hidup terhadap penyakit ini (OIE 2010).

Diagnosis

Diagnosa pada babesiosis dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis yang ada, seperti pada daerah yang endemic, anjing yang mengalami demam tinggi, anemia apalagi sampai ikterus perlu dicurigai menderita babesiosis. Parasit kadang-kadang tidak selalu ditemukan dalam preparat darah. Parasit dapat ditemukan dalam preparat darah yang dibuat dari tetes pertama dari kapiler di daun telinga anjing.

Selain itu, adanya splenomegali, meningkatnya waktu darah mengucur (bleeding time), kenaikan laju endapan darah dan meningkatnya bilirubin darah merupakan temuan penting dalam diagnosis babesiosis (Subronto, 2010). Mikroskopi merupakan tes diagnostik yang sederhana dan paling mudah untuk dokter hewan mengidentifikasi babesiosis dengan menggunakan pewarnaan giemsa.

Selain itu pemeriksaan pada babesiosis dapat menggunakan PCR dan ELISA. Meskipun PCR merupakan alat diagnosis yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinngi. Namun penggunaannya untuk mendiagnosa Babesiosis masih terbatas dan belum digunakan secara luas. Penggunaan PCR dilakukan di Australia untuk membedakan B. vogeli dan B. gibsoni. Sebagian besar negara eropa menggunakan PCR untuk membedakan antara spesies B. canis, B. gibsoni, dan B. vogeli (Birkenheuer, 2003).