Apa yang anda ketahui tentang Pecking Order Theory?

Hutang

Teori pecking order menyarankan perusahaan memiliki preferensi dalam memilih sumber pendanaan dengan mempertimbangkan biaya termurah dan risiko paling kecil. Berdasarkan pecking order theory, tidak terdapat struktur modal yang optimal. Teori ini menyatakan bahwa perusahaan lebih menyukai penggunaan dana internal daripada eksternal dalam membiayai pengembangan usahanya

Teori ini mengatakan bahwa perusahaan lebih cenderung memilih pendanaan yang berasal dari internal dari pada eksternal perusahaan. Penggunaan dana internal lebih didahulukan dibandingkan dengan penggunaan dana yang bersumber dari eksternal. Penggunaan sumber pendanaan eksternal oleh perusahaan dilakukan apabila sumber internal tidak mencukupi.

Menurut Donaldson (1961), urutan pendanaan menurut pecking order theory
adalah:

  • Perusahaan lebih menyukai mempergunakan sumber pendanaan internal dalam keputusan pendanaannya seperti laba ditahan (retained earning).

  • Penetapan target rasio pembayaran deviden (dividen payout ratio) disesuaikan dengan peluang investasi serta menghindari perubahan deviden secara drastis.

  • Dividend is sticky", perusahaan tidak mau meningkatkan dan menurunkan pembayaran devidennya kecuali dengan alasan-alasan tertentu.

  • Apabila pendanaan eskternal diperlukan, perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman, mulai dari penerbitan hutang, convertible bond, dan yang terakhir penerbitan saham.

Ada dua alasan mengapa dana eksternal lebih disukai dalam bentuk hutang daripada modal sendiri, antara lain :

  • Pertama adalah pertimbangan biaya emisi. Biaya untuk mengeluarkan hutang/obligasi akan lebih murah dari biaya emisi saham baru. Hal ini disebabkan karena penerbitan saham baru akan menurunkan harga saham lama.

  • Kedua, manajer khawatir kalau penerbitan saham baru akan ditafsirkan sebagai kabar buruk oleh para pemodal dan membuat harga saham akan turun. Hal ini disebabkan antara lain oleh kemungkinan adanya asimetri informasi antara pihak manajer dengan pihak modal.

Teori ini kemudian diperkuat lagi dengan penelitian yang dilakukan oleh Sunder dan Myers (1984) yang mengatakan bahwa dalam bentuk yang paling sederhana, Pecking Order Model menjelaskan bahwa ketika arus kas internal perusahaan tidak cukup untuk mendanai investasi real dan deviden, perusahaan akan menerbitkan hutang. Saham tidak akan pernah diterbitkan, kecuali biaya financial distress perusahaan tinggi. Selain itu, Myers (1984) menemukan bahwa adanya penilaian negatif dari pemegang saham akibat penerbitan saham atau pengurangan leverage.

Pecking Order Theory diperkenalkan oleh Steward Myers pada 1984,menjelaskan fenomena bagaimana perusahaan menetapkan struktur modal yang diungkapkan oleh Gordon donalson.

  1. Perusahaan lebih senang menggunakan pendanaan internal sebagai sumber pendanaan

  2. Perusahaan menetapkan target rasio pembayaran dividen berdasarkan kesempatan investasi di masa depan dan cash flow yang akan diperoleh.

  3. Dividen bersifat “sticky”, perusahaan tidak menyukai menaikkan dividen kecuali mereka yakin akan terdapat peningkatan arus kas secara berkelanjutan sehingga terus dapat meningkatkan dividen di masa depan Perusahaan juga enggan menurunkan pembayaran dividen, kecuali memang terjadi hal yang mengharuskan penurunan dividen yang dibayarkan.

  4. Jika perusahaan memiliki dana internal untuk membiayai investasi maka apabila terjadi kelebihan dana akan diinvestasikan dalam modal investasi seperti kepada sekuritas, membeli saham, atau mengakuisisi perusahaan lain. Namun apabila jumlah dana internal lebih kecil dari pengeluaran maka perusahaan akan mendapatkannya dari portofolio sekuritas baru mencari sumber eksternal. Pendanaan eksternal yang dipilih adalah dari penerbitan utang, convertible bonds, baru kemudian saham.

Teori ini berdasarkan atas empat asumsi corporate financial behaviour,
Megginson (1997):

  1. Kebijakan dividen bersifat “sticky”, manajer berusaha mempertahankan dividen per lembar saham yang dibayarkan tetap stabil. Manajer tidak akan mengambil risiko menaikkan atau menurunkan dividen sebagai respon terhadap kenaikan atau penurunan profit yang bersifat sementara.

  2. Perusahaan lebih menyukai sumber pendanaan internal (laba ditahan dan depresiasi), daripada pendanaan eksternal.

  3. Jika perusahaan harus menggunakan pendanaan eksternal, maka perusahaan akan memilih yang paling aman.

  4. Jika perusahaan membutuhkan lebih banyak pendanaan eksternal maka akan memilih sesuai pecking order, yaitu yang paling aman terlebih dahulu dilanjutkan dengan hutang yang lebih berisiko, convertible securities, preffered stock, baru common stock sebagai pilihan terakhir.

Dari teori ini dapat disimpulkan bahwa perusahaan lebih menyukai pendanaan internal, apabila harus mengunakan pendanaan eksternal maka akan dipilih yang paling aman terlebih dahulu, equity sebagai pilihan terakhir. Penyebabnya adalah assymetric information yang dapat menimbulkan adverse selection.

Teori ini lebih berfokus pada motivasi manajer yang melandasi pemilihan pendanaan yang digunakan perusahaan daripada prinsip valuasi dalam pasar modal.

Teori ini ditolak oleh modern economist karena tindakan yang irrasional dan dapat mengurangi nilai perusahaan. Teori ini juga masih mengasumsikan adanya pasar yang tidak sempurna dengan masih adanya informasi yang asimetris dan manajer yang tidak sensitif terhadap valuasi pasar saham, sehingga tidak mencerminkan pasar modal yang telah modern yang tidak lagi terhambat oleh adanya informasi yang tidak sempurna.

Sebagai tanggapan Myers dan Majluf (1984) membuat dua asumsi tentang perilaku manajer:

  1. Manajer dalam perusahaan lebih mengetahui mengenai laba ditahan dan kesempatan investasi daripada investor

  2. Manajer bertindak demi kepentingan pemegang saham

Asumsi ini penting untuk menjelaskan tindakan manajer sehingga tidak lagi bersifat irrasional. Dari asumsi pertama disimpulkan bahwa ketika manajer mengetahui suatu kesempatan investasi yang bernilai NPV positif maka ia tidak akan memberitahu investor luar karena dianggap sebagai interest party yang berkepentingan menaikkan nilai perusahaan sehingga tidak akan dipercaya oleh investor. Adanya informasi asimetris ini yang menyebabkan investor akan menurunkan nilai perusahaan dan hanya membeli saham ketika dijual dengan harga discount yang besar dari harga equlibrium. Dalam beberapa kasus, manajer akan menolak investai dengan NPV positif jika harus mengeluarkan saham baru yang akan banyak menguntungkan pemegang saham baru namun mengorbankan pemegang saham lama.

Dari asumsi kedua disimpulkan, bahwa manajer akan menyimpan financial slack untuk digunakan membiayai investasi yang memiliki NPV positif.

Kelemahan dari teori adalah tidak mampu menjelaskan pengaruh pajak, biaya kebangkrutan, security issuance costs, dan individual firm’s investment opportunity set, yang mempengaruhi rasio hutang perusahaan. Teori ini juga mengabaikan kemungkinan terjadinya agency problem sebagai akibat akumulasi financial slack, yang akan dapat menimbulkan dua masalah :

  1. Manajer menjadi kurang disiplin dan kurang bijak dalam penggunaan sumber daya

  2. Manajer akan cenderung menjadi risk averse dalam mencari proyek dan kesempatan investasi yang menguntungkan.

Terdapat dua kemungkinan bentuk Pecking order theory ( Chirinko dan Singha, 2000), yaitu

  1. Strong form
    Dalam bentuk kuat, perusahaan tidak akan pernah menerbitkan saham, hanya menggunakan pembiayaan internal dan debt.

  2. Semi strong form atau Weak form
    Dalam bentuk ini memungkinkan penerbitan saham dalam pada level tertentu.

Teori pecking order tidak menutup kemungkinan penerbitan saham baru, yang dapat terjadi pada dua situasi spesifik, yang tidak bertentangan dengan teori ini.

  1. when the firm needs a financial fund for future events not yet forecasted (Myers, 1984, Myers and Majluf, 1984, Shyam-Sunder and Myers, 1999, Frank and Goyal, 2003a).

  2. When the information asymmetry ceases for some reason temporarily to exist, permitting the firm to take advantage of this and to issue new stock at a fair price (Myers, 1984).

Kesimpulannya, teori ini tidak menetapkan suatu optimal leverage tetapi lebih mempertimbangkan tingkat assymetric information dan pengaruh financial slack. Sehingga melalui teori ini dapat disimpulkan pengaruh beberapa variabel terhadap leverage.

Tabel Pengaruh variabel terhadap leverage dalam Pecking order theory

Variabel leverage
SIZE -
GROWTH +
DIV +
ROA -

Analisis dari tabel diatas, yaitu Semakin besar laba perusahaan maka semakin besar retained earning, sehingga akan mengurangi leverage. Semakin besar perusahaan maka assymetric information akan semakin besar maka akan mengurangi keinginan manajer untuk menggunakan hutang, sedangkan semakin tinggi jumlah dividen maka akan membutuhkan dana eksternal untuk menggantikan dana yang hilang,dan hutang yang diprioritaskan. Pertumbuhan akan meningkatkan kebutuhan perusahaan terhadap hutang untuk menunjang kebutuhan modal.

Pecking order theory merupakan pengembangan dari signaling theory. Teori tersebut adalah teori struktur pendanaan yang menawarkan alternatif lain dalam pengambilan keputusan pendanaan. Pemilihan pendanaan bedasarkan risiko merupakan konsep pecking order theory yang diperkenalkan oleh Myers (1984).

Perilaku manajemen yang tidak mengikuti urutan pendanaan menurut pecking order theory merupakan suatu sinyal yang buruk mengenai prospek perusahaan dimasa yang akan datang.

Pecking order theory mengacu pada teori perusahaan yang bertujuan memaksimumkan kemakmuran pemilik perusahaan.

Konsep ini berbeda dengan agency theory walaupun memiliki asumsi yang sama dalam hal asimetri informasi. Pecking order theory memprediksi bahwa pendanaan utang eksternal didasarkan pada defisit pendanaan internal.

  • Perusahaan lebih memilih untuk menggunakan sumber dana dari dalam atau pendanaan internal daripada pendanaan eksternal. Dana internal tersebut diperoleh dari laba ditahan yang dihasilkan dari kegiatan operasional perusahaan.

  • Jika pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan memilih pertama kali mulai dari sekuritas yang paling aman, yaitu hutang yang paling rendah risikonya, turun ke hutang yang lebih berisiko, sekuritas hybrid seperti obligasi konversi, saham preferen, dan yang terakhir saham biasa.

  • Terdapat kebijakan dividen yang konstan, yaitu perusahaan akan menetapkan jumlah pembayaran dividen yang konstan, tidak terpengaruh seberapa besarnya perusahaan tersebut untung atau rugi.

  • Untuk mengantisipasi kekurangan persediaan kas karena adanya kebijakan dividen yang konstan dan fluktuasi dari tingkat keuntungan, serta kesempatan bertumbuh, maka perusahaan akan mengambil portofolio investasi yang lancar tersedia.

Dana internal lebih disukai daripada dana eksternal karena dana internal memungkinkan perusahaan untuk tidak perlu “membuka diri lagi” dari sorotan pemodal luar. Di samping itu pengaruh asimetrik informasi dan biaya penerbitan saham cenderung mendorong perilaku pecking order.

Perusahaan lebih menyukai penggunaan pendanaan dari modal internal yaitu dana yang berasal dari aliran kas, laba ditahan, dan depresiasi (Ghazouani, 2013). Dana eksternal dalam bentuk hutang lebih disukai daripada modal sendiri karena dua alasan,

  • Pertama adalah adanya pertimbangan biaya emisi. Biaya emisi obligasi lebih murah daripada biaya emisi saham baru (Brigham dan Houston, 2013).

  • Kedua adalah adanya kemungkinan asimetrik informasi antara pihak manajemen dengan pihak pemodal. Manajer khawatir apabila penerbitan saham baru akan ditafsirkan sebagai kabar buruk oleh para pemodal, sehingga membuat harga saham mengalami penurunan (Weston dan Copeland, 2010).

Pecking order theory tidak mengindikasikan target struktur modal. Pecking order theory menjelaskan urut-urutan pendanaan. Manajer keuangan tidak memperhitungkan tingkat hutang yang optimal. Kebutuhan dana ditentukan oleh kebutuhan investasi. Pecking order theory ini dapat menjelaskan mengapa perusahaan yang mempunyai tingkat keuntungan yang tinggi justru mempunyai tingkat hutang yang kecil.

Pecking order theory berfokus pada motivasi manajer korporat bukan pada prinsip-prinsip penilaian pasar modal. Pecking order theory mendasarkan pada asimetri informasi. Para manajer mempunyai informasi superior. Para manajer diyakini mempunyai informasi awal yang lebih baik. Oleh karena itu pasar mempelajari perilaku manajer. Asumsi asimetrik informasi menyiratkan bahwa para manajer mengembangkan dan menemukan kesempatan baru investasi yang menarik dengan Net Present Value (NPV) positif, namun mereka tidak dapat menyampaikan informasi tersebut dengan baik kepada pemegang saham luar karena pernyataan manajer tidak dipercaya oleh investor.

Pecking order theory menjelaskan mengapa perusahaan yang sangat menguntungkan pada umumnya mempunyai hutang yang lebih sedikit. Hal ini terjadi bukan karena perusahaan tersebut mempunyai target debt ratio yang rendah, tetapi disebabkan karena perusahaan memang tidak membutuhkan dana dari pihak eksternal.

Referensi :

  • Ghazouani, Tarek. 2013, The Capital Structure Through The Trade off Theory : Evidence from Tunisian Firm. International Journal of Economic and Financial Issues. 3 (3): 625-636.
  • Brigham dan Houston. 2013. Fundamentals of Financial Management. Terjemahan. Edisi 11, Salemba Empat. Jakarta.
  • Weston dan Copeland. 2010. Managerial Finance. Edisi Kesembilan, Binarupa Aksara. Jakarta.

Menurut Myers (1984), pecking order theory menyatakan bahwa perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi justru tingkat utangnya rendah, dikarenakan perusahaan yang profitabilitasnya tinggi memiliki sumber dana internal yang berlimpah.

Pecking order theory menjelaskan mengapa perusahaan-perusahaan yang profitable umumnya meminjam dalam jumlah yang sedikit. Hal tersebut bukan disebabkan karena mereka memiliki target debt ratio yang rendah, tetapi karena perusahaan-perusahaan tersebut tidak memerlukan pendanaan dari luar perusahaan (Hanafi, 2004).

Sedangkan perusahaan yang kurang profitable akan cenderung memiliki utang yang lebih besar karena dana internalnya tidak cukup untuk melakukan kegiatan operasional perusahaan dan utang merupakan sumber pendanaan dari luar yang lebih disukai.

Dana internal lebih disukai daripada dana eksternal, karena dana internal memungkinkan perusahaan tidak perlu “membuka diri lagi” dari sorotan pemodal luar. Hal tersebut dikarenakan dengan penggunaan dana internal tidak mengharuskan perusahaan untuk mengungkapkan informasi baru kepada pemodal yang akan berdampak pada turunnya harga saham.

Dana eksternal lebih disukai dalam bentuk utang daripada penerbitan saham baru, karena biaya emisi untuk pengeluaran saham baru akan lebih besar daripada biaya utang. Hal ini disebabkan karena penerbitan saham baru akan menurunkan harga saham. Selain itu, manajer khawatir kalau penerbitan saham baru akan ditafsirkan sebagai kabar buruk oleh investor, sehingga akan membuat harga saham akan turun (Atmaja, 2008).

Secara ringkas, teori pecking order menyatakan sebagai berikut (Hanafi, 2004):

  1. Perusahaan lebih menyukai internal financing (dana internal). Dana internal tersebut diperoleh dari laba yang dihasilkan dari kegiatan operasional perusahaan.
  2. Perusahaan menghitung target dividen payout ratio terhadap peluang investasi mereka, sementara mereka menghindari perubahan dividen secara drastis.
  3. Pembayaran dividen yang cenderung konstan dan fluktuasi laba yang tidak bisa diprediksi, mengakibatkan dana internal kadang-kadang berlebih atau kurang untuk investasi.
  4. Apabila pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan surat berharga yang paling aman terlebih dahulu. Perusahaan akan memulai dengan utang, kemudian obligasi konvertibel, dan menerbitkan saham baru sebagai pilihan terakhir.

Ada empat alasan yang mendasari Myers dalam pecking order theory yang memprediksi perusahaan lebih mengutamakan utang saat pendanaan eksternal dibutuhkan (Joni dan Lina, 2010):

  1. Pasar menderita kerugian karena adanya asimetri informasi antara manajer dengan pasar. Manajemen cenderung tertarik untuk menerbitkan saham baru saat overpriced, sedangkan penerbitan saham baru akan menyebabkan harga saham mengalami penurunan.
  2. Utang dan saham sama-sama membutuhkan biaya, tetapi biaya utang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan saham.
  3. Perusahaan mendapatkan manfaat pajak, karena penggunaan utang akan menimbulkan biaya bunga yang dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
  4. Kontrol manajemen, dalam hal ini insider ownership, yaitu kepemilikan oleh manajemen dapat dipertahankan apabila perusahaan menggunakan utang.