Apa yang anda ketahui tentang nafsu manusia menurut Islam?

Menurut KH. Ali Usman, nafsu manusia terdiri dari 5 jenis, empat jenis nafsu yang harus dikendalikan dan satu jenis nafsu yang harus dipelihara. Empat nafsu yang harus dikendalikan, yaitu:

  1. Nafsu Amarah Bissu’, yaitu nafsu yang sering mendorong manusia untuk berbuat dosa dan kejahatan.

    Dan mereka menanyakan kepadamu: "Benarkah (azab yang dijanjikan) itu? Katakanlah: “Ya, demi Tuhanku, Sesungguhnya azab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya)”. QS. Yunus [10] : 532.

  2. Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu dengan jiwa yang amat menyesali diri sendiri seperti

    Dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri) QS. Al-Qiyamah [75] : 2

  3. Nafsu sawwamah, yaitu hawa nafsu yang sering kali menggambarkan dan menghiaskan sesuatu maksiat atau kejahatan menjadi indah dalam angan dan khayalmu.

  4. Nafsu Mulhamam, yaitu hawa nafsu yang sering mendorong tingkah laku kekafiran atau kedurhakaan atau ketaqwaan,

    Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, ,sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya" QS. Asy-Syams [91] : 8-10

Sedangkan nafsu yang harus dipelihara, yaitu Nafsu Mutmainnah, yaitu nafsu yang telah mendapatkan tuntunan dan pemelihara yang baik sehingga menjadi tentram, bersikap baik, dapat menolak perbuatan jahat, dan dapat mendorong manusia untuk berbuat kebajikan.

Bagaimana menurut anda ?

Menurut Drs. Totok Jumantoro dalam bukunya yang berjudul “Kamus Ilmu Tasawuf”, nafs diartikan dengan jiwa, diri, dan ego. Nafs adalah dimensi manusia yang berada di antara roh dan jasmani. Di kalangan ahli sufi, nafs diartikan sesuatu yang melahirkan sifat tercela. Al-Ghazali, misalnya menyebut nafs sebagai pusat potensi marah dan syahwat pada manusia dan sebagai pangkal dari segala sifat tercela.

Pengertian ini antara lain dipahami dari hadis, musuhmu yang paling berat adalah nafsumu.

Nafsu juga dimaknai dengan kehalusan rohani. Ia adalah manusia dalam arti kata yang sebenarnya dan juga merupakan jati diri dan substansi manusia. Nafsu juga dimaknai dengan substansi pada diri manusia yang berisikan potensi emosidan syahwat. Makna ini kebiasaannya digunakan oleh kalangan ahli tasawuf karena mereka memaknai nafsu sebagai sumber yang menghimpun sifat-sifat tercela dari manusia.

Dalam Al-Qur’an, kata nafs mempunyai berbagai makna yaitu:

1.Nafs yang diartikan sebagai diri atau seseorang,

Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya):

"Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. QS.,Ali-Imran (3): 61.

2. Nafs yang diartikan sebagai diri Tuhan

Katakanlah: “Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi”. Katakanlah: “Kepunyaan Allah”. Dia telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. Orang-orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman. QS.,Al-An’aam (6): 12.38

3. Nafs yang diartikan sebagai roh

Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu” QS.,Al-An’aam (6): 93.39

4. Nafs yang diartikan sebagai jiwa

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya) QS.,As-Syams (91): 7

5.Nafs yang diartikan sebagai totalitas manusia,

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. QS.,Al-Maidah (5): 32

6. Nafs, diartikan sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan tingkah laku,

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. QS.,Ar-Ra’d (13): 11.

A post was merged into an existing topic: Apa saja macam-macam nafsu menurut ajaran Islam?

Agama Islam menegaskan bahwa umat manusia itu diciptakan tidak untuk mengumbar hawa nafsunya di dunia, tanpa harus ada pertanggung jawaban kepada Allah swt.

Karena segala sesuatu yang telah diciptakan di dunia ini, untuk melaksanakan khidmah (layanan) demi kepentingan makhluk-Nya yang lain. Namun umat manusia tidak diciptakan untuk tunduk demi kepentingan sesuatu yang lain yang masih tergolong sebagai makhluk-makhluk-Nya.

Maka segala yang terdapat di bumi ini, sengaja disediakan dan ditundukkan oleh Allah swt, sebagai fasilitas paripurna untuk memenuhi segala kepentingan umat manusia. Allah swt berfirman :

“Tidaklah kalian perhatikan, Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) kalian, segala apayang ada di langit dan di bumi dan menyempurnakan untuk kalian nikmat-Nya lahir dan batin…”(QS. Luqman: 20).

Seluruh alam semesta beserta isinya, sengaja diciptakan oleh Allah swt untuk memfasilitasi kehidupan umat manusia. Sedangkan, umat manusia itu sendiri diciptakan oleh Allah swt untuk bermakrifat dan beribadah hanya kepada Allah swt, serta melaksanakan amanat-Nya di muka bumi. Cukuplah dengan menjalankan maksud penciptaan atas dirinya, maka manusia akan memperoleh kemuliaan dan terhormat di hadapan Allah swt. Manusia adalah sayyid (penguasa) di dalam alam universum yang tugasnya hanya untuk melakukan pengabdian kepada-Nya. Sedangkan puncak pengabdian itu sendiri adalah bersyukur kepada Allah swt.

Dalam agama Islam ada jihad dan perang melawan musuh, namun tujuannya adalah :
“…Supaya jangan ada fitnah dan supaya agama islam itu semata-mata bagi Allah… ”(QS. Al Anfal: 39).

Dalam agama islam ada himbauan untuk berjalan menyusuri segala pelosok bumi, guna mencari rizeki-Nya yang halal lagi baik. Dengan tujuan untuk mensyukuri nikmat Allah swt dan melaksanakan hak-Nya.

“Makanlah oleh kalian dari rizeki yang (dianugerahkan) Rabb kalian, dan bersyukurlah kalian kepada-Nya. (negeri kalian) adalah negeri yang baik, dan (Rabb kalian) adalah yang Maha Pengampun.”(QS. Saba’: 15).

Bahkan, hakekat penciptaan seluruh alam semesta beserta isinya ini adalah supaya umat manusia mengetahui bahwa Rabb itu Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Inilah sebuah pengetahuan yang merupakan pintu utama dari setiap kebenaran dan kunci dari setiap kebaikan.
“Allah- lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kalian mengetahui bahwasanya Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya Allah itu ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.”(QS. Ath-Thalaaq: 12).

Inilah hakekat kebenaran yang diproklamirkan kepada segenap umat manusia, oleh Rasulullah Muhammad saw atas perintah Allah swt :

“Katakanlah ! Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Dan, demikian itulah yang diperintahkan kepadaku. Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”(QS. Al-An’aam: 162-163).

Secara etimologi nafsu berasal dari bahasa Arab yaitu nafs yang bermakna jiwa, ruh, jasad, orang, diri sendiri, semangat, hasrat dan kehendak. Istilah nafsu adalah kosakata bahasa Arab yang banyak dipakai dalam al-Qur’an. Nafsu dalam al-Qur’an diartikan sebagai sesuatu yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tindakan. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, nafsu adalah kecenderungan tabiat kepada sesuatu yang dirasa cocok. Kecenderungan ini merupakan satu bentuk ciptaan yang ada dalam diri manusia, sebagai urgensi kelangsungan hidupnya. Nafsu mendorong manusia kepada sesuatu yang dikehendakinya.

Sementara itu, para ahli tasawwuf mengungkapkan bahwa, makna pertama nafsu merupakan cakupan makna dari kekuatan amarah dan syahwat (nafsu birahi) dalam diri manusia. Nafsu merupakan dasar cakupan sifat-sifat tercela. Makna kedua, bahwa nafsu adalah perasaan halus (lathifah).

Nafsu adalah hakikat manusia. Nafsu adalah jiwa manusia dan hakikatnya.

Syaikh Syihabuddin Umar Suhrawardi mengungkapkan bahwa nafsu memiliki dua makna, yaitu:

  • Nafs-i-syay’ (nafsu dari sesuatu) yang berupa esensi (dzat) dan hakikat sesuatu. Dengan demikian, dinyatakan bahwa dengan nafsunya sendiri sesuatu bisa berdiri.

  • Nafs-i-nathiqa-i-insani (nafsu rasional manusia) yang merupakan abstrak dari berbagai anugerah dalam tubuh, yang disebut fitrah manusia dan suatu kecemerlangan yang dianugerahkan kepadanya dari kemuliaan jiwa manusia yang dengan kecemerlangannya tubuh menjadi tempat pengungkapan kedekatan dan kesalihan.

Makna nafsu pada dasarnya merupakan salah satu fitrah yang diciptakan Allah dalam diri manusia yang bersifat halus, yang dapat dijadikan sumber dorongan dalam kelangsungan hidup manusia. Namun, sewaktu-waktu nafsu juga dapat berubah dari dorongan yang baik yang bersifat positif menjadi dorongan yang mengarah pada sifat-sifat tercela (negatif). Nafsu juga diibarat seperti berhala, maka barangsiapa yang mengabdi kepada nafsu, berarti ia mengabdi kepada berhala. Tetapi barangsiapa yang mengabdi kepada Allah dengan penuh keilkhlasan, maka berarti dia telah mengalahkan hawa nafsunya.

Larangan Mengikuti Hawa Nafsu Dalam Al-Qur’an


Hawa nafsu mampu membentuk prilaku manusia. Oleh sebab itu, Allah SWT mengkaitkan banyak masalah penting kehidupan dengan hawa nafsu karena hawa nafsu ialah potensi yang disimpan Allah pada diri setiap manusia. Manusia akan mengeluarkannya bila dibutuhkan. Seperti juga Allah telah meletakkan berbagai energi dalam perut bumi untuk bahan makanan, pakaian dan beragam prasarana kehidupan lainnya. Begitu pula dengan air dan oksigen yang sangat dibutuhkan manusia.
Namun hawa nafsu sebagai daya yang mutlak dengan tuntutan yang mutlak juga memiliki kemampuan luar biasa untuk merusak jiwa manusia.

Allah SWT berfirman didalam Al-Qur’an:

Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?.(Q.S. Al-Jatsiah 23.)

Hawa nafsu senantiasa mengajak diri manusia kepada berbuat jahat. Maka, jika mampu mengatasi ajakkan tersebut, selamatlah dari tipu muslihatnya. Dan jika tak kuasa menolak ajakkan nafsu, celakalah karena Allah SWT mengancam tidak akan memberi pertunjuk bagi orang-orang yang mengikuti kehendak hawa nafsunya.

Allah berfirman:

Artinya : Maka jika mereka tidak Menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.(Q.S. Al-Qashash 50.)

Mengikuti hawa nafsu akan menyebabkan tertutupnya jendela-jendela hati untuk menerima (kehadiran) Allah. Dan hilanglah sudah arah hidupnya karena mengikuti hawa nafsunya dan tersesat.

Allah berfirman:

Artinya : Kemudian, datanglah setelah mereka pengganti yang mengabaikan shalat dan mengikuti keinginannya, maka mereka kelak akan tersesat. (Q.S. Maryam 59.)

Dan dalam surah Shad ayat 26

Artinya : …dan janganlah engkau meingikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat di jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (Q.S. Shad 26.)

Ayat-ayat diatas menjadi dalil tentang keburukan nafsu dan larangan mengikuti hawa nafsu, karena nafsu senantiasa membawa manusia kejalan kegelapan dan pernuh tipu daya sehingga manusia tersesat. Maka manusia senanatiasa dituntut untuk dapat mengendalikan nafsunya, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Keberadaan nafsu sangatlah mempengaruhi manusia, segala tingkah laku, tindakan, perbuatan maupun sifat dipengaruhi oleh nafsu yang ada di dalam diri manusia. Al-ghazali menjelaskan nafsu dalam dua artian

  • Nafsu adalah arti dalam menghimpun kekuatan, marah dan nafsu syahwat pada manusia.

    Dalam pemakaian artian ini adalah yang biasa menurut para ahli tasawuf karena sesungguhnya mereka maksudkan dengan nafsu adalah pokok yang menghimpun sifat-sifat yang tercela dari manusia, lalu mereka (para ahli tasawuf) mengatakan bahwa tidak boleh tidak melawan nafsu (hawa nafsu) dan memecahkannya, kepada perkataan mereka (para ahli tasawuf) diisyaratkan dengan sabda Rasulullah saw:

    Paling berat musuhmu adalah nafsumu yang berada di antara kedua lambungmu12

  • Nafsu adalah pada hakekatnya dialah manusia, yaitu, diri manusia dan dzat nya.

    Nafsu itu disifati dengan sifat-sifat yang bermacam-macam menurut keadaannya. Apabila nafsu itu tenang di bawah perintah dan senantiasa menuntut kepada kebaikan disebabkan menentang nafsu syahwat maka disebut dengan nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang)

    Allah Ta’ala berfirman :

    Artinya : Hai jiwa yang tenang ,Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”.(Q.S. Al-Fajar 27-28.)

Nafsu dengan artian yang pertama itu tidak dapat digambarkan kembalinya kepada Allah Ta’ala. Karena kecenderungannya kepada sifat-sifat tercela yang membawa manusia gemar kepada berbuat maksiat, sesungguhnya nafsu itu menjauh dari Allah dan dia itu adalah tentara syaitan.

Dan apabila tidak sempurna ketenangannya, tetapi dia menjadi pendorong bagi nafsu syahwat dan penentang atasnya, maka disebut nafsu Lawwammah karena dia mencaci pemiliknya. Ketika ia teledor dalam beribadah kepada Tuhannya.

Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Qiyamah ayat 2.

Artinya : Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri) (Q.S. Al-Qiyamah. 2.)

Kalau nafsu itu meninggalkan tantangan, tunduk dan taat kepada tuntutan nafsu syahwat dan dorongan-dorongan syaitan, maka dinamakan nafsu amarah (yang mendorong) kepada kejahatan. Allah Ta‟ala berfirman untuk menceritakan tentang Yusuf as atau isteri Al-aziz:

Artinya : Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (Q.S. Yusuf. 53.)

Kadang-kadang boleh dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “selalu menyuruh kepada kejahatan” adalah nafsu dengan artian yang pertama. Jadi, nafsu dengan arti yang pertama adalah sangat tercela dan dengan arti yang kedua adalah terpuji karena dia adalah diri manusia yakni dzatnya dan hakikatnya yang mengerti Allah Ta‟ala dan pengetahuan-pengetahuan lainnya.

Sebagaimana diketahui nafsu bisa berubah-ubah, dari nafsu amarah yakni nafsu yang senantiasa mengajak kepada kejahatan kepada nafsu muthama’innah yaitu nafsu yang tenang daripada keinginan kejahatan dan selalu mengarah kepada kebaikan. Maka seseorang dituntut untuk memperbaiki nafsunya dengan memanajemenkannya yaitu mengendalikan, mengatur dan mengarahkan nafsunya untuk taat dan patuh pada perintah agama.

Oleh sebab itu, menjadi keharusan untuk memanajemenkan nafsu dalam artian yang pertama tersebut. Perjuangan mengendalikan dan melawan hawa nafsu adalah yang terberat, karena manusia tidak mungkin melepaskan diri daripadanya, karena keberadaannya yang melekat pada dirinya. Manusia tidak mungkin dapat mengalahkan nafsu hanya dengan sekali perlawanan. Karena nafsu juga merupakan kendaraan dan alat bagi manusia, untuk meraih maksud dan tujuan dalam menjalankan kebaikan dan ibadah. Namun tidak boleh memperturutkan kemauan dan keinginan hawa nafsu. Karena wataknya yang selalu melawan kebaikan dan mengajak pada kejahatan, seperti main-main dan memperturutkan kemauan jahatnya.

Dengan demikian, maka seseorang perlu memanajemenkan nafsunya dengan kendali takwa, agar keberadaan nafsu tetap ada. namun tunduk dan berguna bagi dirinya di dalam menjalankan kebaikan dan meraih petunjuk, juga dapat mencegah dari kebinasaan dan kehancuran.19 Karenanya, seseorang dituntut untuk dapat mengatur dan mengendalikan nafsu dengan memohon pertolongan kepada Allah SWT dalam menghadapi hal tersebut.

Dalam manajemen nafsu, perlu kerja keras penuh, kewaspadaan dan terus memperhatikannya. Dan dalam hal ini Al-Ghazali telah menjelaskan bahwa dalam menajemen nafsu, perlu upaya dalam mengekang dan mengendalikannya dengan kendali takwa dan sifat wara’ , agar dapat mengatur dan mengarahkan tabiat nafsu menuju arah yang senantiasa melakukan kebaikan.

Jika ditanya, nafsu itu bagaikan kuda binal, liar dan tidak mau dikendalikan, lalu bagaimana caranya untuk mengalahkan dan menguasainya? Maka para ulama mengatakan, bahwa untuk mengalahkannya nafsu terdapat tiga cara, yaitu:

  • Mencegah keinginana nafsu (syahwat). Karena kuda binal itu akan melemah bila dikurangi makanan kesukaannya.

  • Memperberat beban muatannya dengan berbagai ibadah, karena keledai jika ditambah muatannya dan dikurangi makannya akan menjadi tunduk dan menurut.

  • Memohon pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla, merapat dan mendekat dengan penuh ketundukan kepada-Nya, agar Ia menolong anda, jika tidak, maka Anda tidak akan bisa terlepas dan terbebas daripadanya. Bukankah Anda telah mendengar perkataan Nabi Yusuf as. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an:

    Artinya : Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (Q.S. Yusuf: 53).

Apabila sesorang membiasakan mengerjakan tiga hal tersebut, tentu nafsu binal itu akan menurut, dengan izin Allah SWT. Dengan demikian, seseorang akan terbebas dan selamat dari kejahatan nafsunya.

Apabila manusia dikuasai oleh hawa nafsunya, ia akan terjatuh kedalam tingkatan yang terendah, sehingga tidak ada tempat lagi selain bersama hewan. Tetapi apabila mampu mengatasinya, maka akan mudah untuk mengatur dan mengendalikannya.

Referensi :

Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin , jilid IV, Terj. Moh. Zuhri, dkk (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994)
Al-Ghazali, Minhajul Abidin 7 Tahapan Menuju Puncak Ibadah , Terj. Moh. Syamsi Hasan (Surabaya: Amelia, 2006).