Keberadaan nafsu sangatlah mempengaruhi manusia, segala tingkah laku, tindakan, perbuatan maupun sifat dipengaruhi oleh nafsu yang ada di dalam diri manusia. Al-ghazali menjelaskan nafsu dalam dua artian
-
Nafsu adalah arti dalam menghimpun kekuatan, marah dan nafsu syahwat pada manusia.
Dalam pemakaian artian ini adalah yang biasa menurut para ahli tasawuf karena sesungguhnya mereka maksudkan dengan nafsu adalah pokok yang menghimpun sifat-sifat yang tercela dari manusia, lalu mereka (para ahli tasawuf) mengatakan bahwa tidak boleh tidak melawan nafsu (hawa nafsu) dan memecahkannya, kepada perkataan mereka (para ahli tasawuf) diisyaratkan dengan sabda Rasulullah saw:
Paling berat musuhmu adalah nafsumu yang berada di antara kedua lambungmu12
-
Nafsu adalah pada hakekatnya dialah manusia, yaitu, diri manusia dan dzat nya.
Nafsu itu disifati dengan sifat-sifat yang bermacam-macam menurut keadaannya. Apabila nafsu itu tenang di bawah perintah dan senantiasa menuntut kepada kebaikan disebabkan menentang nafsu syahwat maka disebut dengan nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang)
Allah Ta’ala berfirman :
Artinya : Hai jiwa yang tenang ,Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”.(Q.S. Al-Fajar 27-28.)
Nafsu dengan artian yang pertama itu tidak dapat digambarkan kembalinya kepada Allah Ta’ala. Karena kecenderungannya kepada sifat-sifat tercela yang membawa manusia gemar kepada berbuat maksiat, sesungguhnya nafsu itu menjauh dari Allah dan dia itu adalah tentara syaitan.
Dan apabila tidak sempurna ketenangannya, tetapi dia menjadi pendorong bagi nafsu syahwat dan penentang atasnya, maka disebut nafsu Lawwammah karena dia mencaci pemiliknya. Ketika ia teledor dalam beribadah kepada Tuhannya.
Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Qiyamah ayat 2.
Artinya : Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri) (Q.S. Al-Qiyamah. 2.)
Kalau nafsu itu meninggalkan tantangan, tunduk dan taat kepada tuntutan nafsu syahwat dan dorongan-dorongan syaitan, maka dinamakan nafsu amarah (yang mendorong) kepada kejahatan. Allah Ta‟ala berfirman untuk menceritakan tentang Yusuf as atau isteri Al-aziz:
Artinya : Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (Q.S. Yusuf. 53.)
Kadang-kadang boleh dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “selalu menyuruh kepada kejahatan” adalah nafsu dengan artian yang pertama. Jadi, nafsu dengan arti yang pertama adalah sangat tercela dan dengan arti yang kedua adalah terpuji karena dia adalah diri manusia yakni dzatnya dan hakikatnya yang mengerti Allah Ta‟ala dan pengetahuan-pengetahuan lainnya.
Sebagaimana diketahui nafsu bisa berubah-ubah, dari nafsu amarah yakni nafsu yang senantiasa mengajak kepada kejahatan kepada nafsu muthama’innah yaitu nafsu yang tenang daripada keinginan kejahatan dan selalu mengarah kepada kebaikan. Maka seseorang dituntut untuk memperbaiki nafsunya dengan memanajemenkannya yaitu mengendalikan, mengatur dan mengarahkan nafsunya untuk taat dan patuh pada perintah agama.
Oleh sebab itu, menjadi keharusan untuk memanajemenkan nafsu dalam artian yang pertama tersebut. Perjuangan mengendalikan dan melawan hawa nafsu adalah yang terberat, karena manusia tidak mungkin melepaskan diri daripadanya, karena keberadaannya yang melekat pada dirinya. Manusia tidak mungkin dapat mengalahkan nafsu hanya dengan sekali perlawanan. Karena nafsu juga merupakan kendaraan dan alat bagi manusia, untuk meraih maksud dan tujuan dalam menjalankan kebaikan dan ibadah. Namun tidak boleh memperturutkan kemauan dan keinginan hawa nafsu. Karena wataknya yang selalu melawan kebaikan dan mengajak pada kejahatan, seperti main-main dan memperturutkan kemauan jahatnya.
Dengan demikian, maka seseorang perlu memanajemenkan nafsunya dengan kendali takwa, agar keberadaan nafsu tetap ada. namun tunduk dan berguna bagi dirinya di dalam menjalankan kebaikan dan meraih petunjuk, juga dapat mencegah dari kebinasaan dan kehancuran.19 Karenanya, seseorang dituntut untuk dapat mengatur dan mengendalikan nafsu dengan memohon pertolongan kepada Allah SWT dalam menghadapi hal tersebut.
Dalam manajemen nafsu, perlu kerja keras penuh, kewaspadaan dan terus memperhatikannya. Dan dalam hal ini Al-Ghazali telah menjelaskan bahwa dalam menajemen nafsu, perlu upaya dalam mengekang dan mengendalikannya dengan kendali takwa dan sifat wara’ , agar dapat mengatur dan mengarahkan tabiat nafsu menuju arah yang senantiasa melakukan kebaikan.
Jika ditanya, nafsu itu bagaikan kuda binal, liar dan tidak mau dikendalikan, lalu bagaimana caranya untuk mengalahkan dan menguasainya? Maka para ulama mengatakan, bahwa untuk mengalahkannya nafsu terdapat tiga cara, yaitu:
-
Mencegah keinginana nafsu (syahwat). Karena kuda binal itu akan melemah bila dikurangi makanan kesukaannya.
-
Memperberat beban muatannya dengan berbagai ibadah, karena keledai jika ditambah muatannya dan dikurangi makannya akan menjadi tunduk dan menurut.
-
Memohon pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla, merapat dan mendekat dengan penuh ketundukan kepada-Nya, agar Ia menolong anda, jika tidak, maka Anda tidak akan bisa terlepas dan terbebas daripadanya. Bukankah Anda telah mendengar perkataan Nabi Yusuf as. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an:
Artinya : Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (Q.S. Yusuf: 53).
Apabila sesorang membiasakan mengerjakan tiga hal tersebut, tentu nafsu binal itu akan menurut, dengan izin Allah SWT. Dengan demikian, seseorang akan terbebas dan selamat dari kejahatan nafsunya.
Apabila manusia dikuasai oleh hawa nafsunya, ia akan terjatuh kedalam tingkatan yang terendah, sehingga tidak ada tempat lagi selain bersama hewan. Tetapi apabila mampu mengatasinya, maka akan mudah untuk mengatur dan mengendalikannya.
Referensi :
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin , jilid IV, Terj. Moh. Zuhri, dkk (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994)
Al-Ghazali, Minhajul Abidin 7 Tahapan Menuju Puncak Ibadah , Terj. Moh. Syamsi Hasan (Surabaya: Amelia, 2006).