Apa yang anda ketahui tentang Mpu Sindok ?

Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa atau Mpu Sindok. merupakan raja Mataram Hindu yang terakhir, setelah berhasil memindahkan kerajaan dari Jateng ke Jatim pada tahun 929 dan juga merupakan Masehiraja pertama Kerajaan Medang atau Mataram periode Jawa Timur sekaligus pendiri Wangsa Isana.

Apa yang anda ketahui tentang Mpu Sendok ?

Mpu Sindok adalah pendiri wangsa Isyana di Jawa Timur. Istilah wangsa Isyana ditemukan dalam prasasti Pucangan yang dikeluarkan oleh raja Airlangga tahun 963 saka (1041 masehi). Pada masa pemerintahan Rakai Layang dyah Tlodhong dan Rakai Sumba dyah Wawa berkedudukan sebagai rakryan mapatih i halu dan rakryan mapatih i hino . Kedudukan tersebut biasanya hanya dapat dijabat oleh kerabat dekat raja. Sehingga dapat diketahui bahwa Mpu Sindok adalah anggota wangsa Syailendra.

Mpu Sindok adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur yang bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmo tunggadewa. Mpu Sindok memiliki permaisuri yang bernama Sri Prameswari Dyah Kebi , putri dari Rakai Bawa. Menurut Poerbatjaraka, Rakai Bawa adalah Dyah Wawa. Maka Mpu Sindok sebagai menantu Dyah Wawa (Adji, 2012).

Kerajaan Mataram di Jawa Tengah mengalami kehancuran karena letusan Gunung Merapi yang mahadahsyat, sehingga dalam anggapan para pujangga hal itu dianggap sebagai pralaya . Sesuai dengan landasan kosmogonis kejaan-kerajaan kuno, maka harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula(Poesponegoro, 2008).

Kerajaan Medang periode Jawa Timur


Mpu Sindok memimpin penduduk Medang yang selamat pindah ke timur. Ia membangun ibu kota baru di daerah Tamwlang (prasasti Turyan, 929). Kemudian istana dipindahkan ke Watugaluh (prasasti Anjukladang, 937). Baik Tamwlang maupun Watugaluh diperkirakan berada di sekitar daerah Jombang sekarang.

Setelah Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, beliau mendapat serangan dari tentara melayu yaitu pasukan dari kerajaan Sriwijaya. Dalam peperangan tersebut Mpu Sindok dibantu oleh penduduk Anjuk Ladang sehingga berhasil memenangkan perang.

Sebagai ungkapan rasa terimakasih Mpu Sindok membangun sebuah tugu kemenangan Jayastamba beupa bangunan candi yang disebut Candi Lor. Prasasti Candi Lor sering disebut prasasti Anjuk Ladang. Prasasti ini merupakan sumber sejarah yang menjelaskan salah satu puncak peranan Nganjuk dalam mata rantai sejarah Indonesia. Prasasti Candi Lor dikeluarkan oleh Maharaja Mpu Sindok pada tahun ke sembilan masa pemerintahannya yaitu tahun 859 saka atau 937 masehi.


Gambar Candi Lor

Prasasti-prasasti Mpu Sindok


Beberapa prasasti yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Mpu Sindok antara lain sebagai berikut :

  • Prasasti Turyan tahun 929 berisi permohonan Dang Atu Mpu Sahitya terhadap tanah di barat sungai desa Turyan supaya dijadikan sebagai tempat bangunan suci.

  • Prasasti Linggasutan tahun 929 berisi tentang penetapan desa Linggasutan, wilayah Rakryan Hujung Mpu Madhura Lokaranjana, sebagai sima swatantra untuk menambah biaya pemujaan bathara di Walandit setiap tahunnya.

  • Prasasti Gulung-Gulung masih dari tahun 929 berisi tentang permohonan Rake Hujung Mpu Madhura agar sawah di desa Gulung-Gulung dijadikan sima bagi bangunan suci Mahaprasada di Himad.

  • Prasasti Cunggrang juga bertahun 929 berisi tentang penetapan desa Cunggrang sebagai sima swatantra untuk menrawat makam Rakryan Bawang Dyah Srawana, yang diduga sebagai ayah dari sang permaisuri Dyah Kebi.

  • Prasasti Jru-Jru tahun 930 berisi tentang permohonan Rake Hujung Mpu Madhura supaya desa Jru-Jru di daerah linggasutan dijadikan sima swatantra untuk merawat bangunan suci Sang Sala di Himad.

  • Prasasti Waharu tahun 931 berisi tentang anugerah untuk penduduk desa Waharu yang dipimpin Buyut Manggali, karena setia membantu negara melawan musuh.

  • Prasasti Sumbut juga bertahun 931 berisi tentang penetapan desa Sumbut sebagai sima swatantra karena kesetiaan Mapanji Jatu Ireng dan penduduk desa itu menhalau musuh negara.

  • Prasasti Wulig tanggal 8 Januari 935 berisi tentang peresmian bendungan di Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya yang dibangun para penduduk desa Wulig di bawah pimpinan Sang Pamgat Susuhan. Peresmian ini dilakukan oleh seorang istri Mpu Sindok bernama Rakryan Mangibil.

  • Prasasti Anjuk Ladang tahun 937 berisi tentang penetapan tanah sawah di desa Anjukladang sebagai sima swatantra dan persembahan kepada bathara di Sang Hyang Prasada, serta pembangunan sebuah jayastambha atau tugu kemenangan. Tugu ini sebagai peringatan atas kemenangan melawan serangan Kerajaan Sriwijaya yang mencapai daerah tersebut.

Kematian Mpu Sindok


Mpu Sindok meninggal dunia tahun 947 dan dicandikan di Isanabajra atau Isanabhawana. Meskipun dirinya seorang penganut Hindu aliran Siwa, namun tetap menaruh toleransi yang besar terdapat agama lain. Misalnya, ia menganugerahkan desa Wanjang sebagai sima swatantra kepada seorang pujangga bernama Sri Sambhara Suryawarana, yang telah berjasa menulis kitab Buddha aliran Tantrayana, berjudul Sang Hyang Kamahayanikan.

Menurut prasasti Pucangan, Mpu Sindok digantikan oleh putrinya yang bernama Sri Isana Tunggawijaya. Raja perempuan ini memerintah bersama suaminya yang bernama Sri Lokapala.

Mpu Sindok adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur yang memerintah sekitar tahun 929 – 947, bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa. Mpu Sindok dianggap sebagai pendiri dinasti baru bernama Wangsa Icana (dibaca : Isana).

Perpindahan Kerajaan Medang ke Jawa Timur


Perpindahan ibukota kerajaan sering kali terjadi pada kerajaan-kerajaan besar, hal ini dilakukan untuk menghindari serangan dari musuh maupun untuk memperluas daerah kekuasaannya. Salah satu kerajaan yang memindahkan pusat pemerintahannya adalah kerajaan Mataram yaitu semula pusat pemerintahannya di Jawa Tengah ke Jawa Timur.

Pada awal abad X pusat pemerintahan di Jawa Tengah dipindahkan ke Jawa Timur tetapi pada hakikatnya kedua periode itu masing-masing mempunyai sifat dan bentuk tersendiri, namun dengan naiknya tahta raja Sindok maka untuk selama kurang lebih 300 tahun Jawa Timur diperintah oleh dinasti baru yaitu Dinasti Icana yang diambil dari gelar resmi raja Sindok yaitu Mpu Sindok Cri Icanatunggadewawijaya.

Pada masa pemerintahan Jawa Tengah dipimpin oleh dua wangsa atau dinasti yaitu wangsa Sanjaya dan Syailendra, dinasti Sanjaya memerintah tahun 732 M. Berdasasrkan prasasti Canggal diketahui Sanjaya adalah penerus raja Sanna. Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh putranya dari Dewi Sudiwara yaitu Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran beralih agama dari Siwa menjadi penganut agama Buddha. Beralihnya keyakinan Rakai Panangkaran menjadi agama Buddha dapat diamati dari prasasti yang ditinggalkannya, seperti prasasti Kalasan pada tahun 779 M. Sejak saat itu Kerajaan Medang dikuasai oleh wangsa baru yaitu Syailendra. Sampai akhirnya seorang putri mahkota Syailendra menikah dengan Rakai Pikatan, seorang keturunan Sanjaya. Rakai Pikatan kemudian mewarisi tahta mertuanya, dengan demikian wangsa Sanjaya berkuasa kembali.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa pemimpin dari Kerajaan Medang silih berganti dari Sanjaya hingga Syailendra, diantaranya pendapat itu dari Slamet Muljana terhadap beberapa prasasti Kelurak, prasasti Nalanda, ataupun prasasti Kayumwungan menyimpulkan bahwa Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung adalah anggota wangsa Syailendra, sementara sisanya adalah wangsa Sanjaya, kemudian Dyah Balitung adalah Mpu Daksa yang memperkenalkan sebagai keturunan Sanjaya. Daksa digantikan oleh menantunya bernama Dyah Tulodhong.

Pemerintahan Tulodhong berakhir akibat pemberontakan Dyah Wawa yang akhirnya naik tahta, namun pemerintahan Dyah Wawa berakhir tiba-tiba yang diakibatkan serangan dari kerajaan Melayu dan juga bencana gempa bumi yang mahadahsyat sehingga terjadi pralaya (kehancuran). Sebagian anggota kerajaan dan pejabat tinggi, serta rakyat mengungsi ke daerah timur. Daerah itu dianggap sebagai dunia baru, tempat-tempat pemujaan baru, dan diperintah oleh wangsa yang baru. Dengan kepindahan pusat pemerintahan ke Jawa Timur berarti adanya wangsa baru yaitu wangsa Icana.

Istilah wangsa Icana dijumpai di dalam prasasti Pucangan, yang berbahasa Sansekerta, dan dikeluarkan oleh raja Airlangga pada tahun 963 Saka (1041 M). Isinya “Silsilah raja Airlangga, dimulai dari Sri Icanawikramadharmatungga atau Mpu Sindok yang mempunyai anak perempuan yang bernama Sri Icanatunggawijaya, Sri Icanatunggawijaya menikah dengan Lokapala dan mempunyai anak bernama Sri Makutawangsawardhana. Seperti yang dapat dilihat, dari silsilah tersebut maka pendiri wangsa ini adalah Mpu Sindok Sri Icanawikrama Dharmmotunggadewa.

Silsilah wangsa Isana
Gambar Silsilah wangsa Isana

Pemerintahan Mpu Sindok


Pemerintahan Mpu Sindok terhitung mulai tahun 929 M sampai 948 M. Pada pemerintahan Mpu Sindok ini didapatkan sekitar 30 prasasti yang sebagian besar tertulis di atas batu yang tersebar di Jawa Tengah dan terbanyak di daerah Jawa Timur. Sebagian besar prasasti Mpu Sindok berkenaan dengan penetapan sima bagi suatu bangunan suci, kebanyakan atas permintaan pejabat atau rakyat suatu desa.
yang artinya daerah ini diberikan kepada Wahuta Wungkal, Cunggrang disebut juga sebagai Watek Bawang, yang artinya daerah Cunggrang adalah daerah milik rakryan Bawang, yang berkewajiban melakukan kerjabakti senilai 2 kupang, pajak tanah senilai 15 suwarna emas yang dibayarkan setiap bulannya sebelum dijadikan sebagai sima . Pembayaran pajak tanah diberikan kepada pemegang kekuasaan sebagai gajinya, tetapi apabila tanah dijadikan sima maka pajak tidak diserahkan kepada pemegang kekuasaan, tetapi diberikan kepada penerima sima atau perdikan.

Sejak awal kekuasaan raja Sindok banyak meninggalkan prasasti yang berbeda dari pemerintahan di Jawa Tengah yang banyak ditemukan bangunan suci maupun candi-candi sebagai bukti nyata pemerintahan. Ia banyak meninggalkan prasasti, tetapi peristiwa-peristiwa sejarahnya kurang didapat. Hal ini, karena prasasti yang ditinggalkan banyak berisi pembebasan tanah dari pajak untuk keperluan bangunan-bangunan suci. Usaha-usaha sosialnya itu memberikan kesan, bahwa pemerintahan Sindok berlangsung dengan aman dan sejahtera.

Wilayah Kekuasaan dan Birokrasi Pemerintahan Mpu Sindok


Wilayah kekuasaan dinasti Icana dapat direkonstruksi berdasarkan prasasti yang diketemukan pada wilayah itu :

Disebelah barat : Nganjuk
Disebelah timur : Pasuruan
Disebelah utara : Surabaya
Disebelah selatan : Malang

image
Gambar Daerah kekuasaan Kerajaan Medang Periode Jawa Tengah dan Jawa Timur

Dilihat dari strukturnya, sistem birokrasi kerajaan Mataram menganut pada birokrasi tradisional yang dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu birokrasi tingkat tinggi (pusat), birokrasi tingkat menengah yang terdapat pada wilayah mancanegara atau pesisir (wateg), terakhir birokrasi tingkat rendah atau desa (wanua).

Birokrasi Pemerintahan Tingkat Pusat

Kerajaan Mataram kuno adalah kerajaan Hindu yang banyak meninggalkan jejak sejarah melalui prasasti yang ditemukan. Sejak abad 10 kerajaan Mataram kuno berpindah ke Jawa Timur yang dikuasai oleh dinasti baru yaitu wangsa Icana dan dipimpin oleh seorang raja yang bernama Mpu Sindok.

Dalam struktur birokrasi pemerintahan pada kerajaan Mataram Sri Maharaja ialah penguasa tertinggi. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia, yang mendapatkan gelar abhiseka. Mpu Sindok mendapatkan gelar abhiseka dharmma yang menandakan bahwa ia naik tahta melalui perkawinan, yaitu Sri Maharaja Rake Hino Mpu Sindok Icanawikramadharmmotunggadewa.

Dalam menjalankan tugasnya, raja dibantu oleh putra mahkota (rakryan mahamantri/mapatih i hino), tiga putra yang lain (rakryan mapatih i halu, rakryan mapatih i sirikan, dan rakryan mapatih i wka) serta seorang pejabat keagamaan yang bergelar sam pamgat/samgat tiruan .

Para rakai dan pamgat pejabat tinggi kerajaan yang berkedudukan di ibukota kerajaan, dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh patih yang biasa mengurus masalah administrasi pemerintahan yaitu parujar (juru bicara), pituntun/pihujun (bertugas menyiarkan hal-hal yang harus diketahui oleh rakyat), citralekha (juru tulis), dan panuran (mengurusi perpajakan).

Pamgat atau pamegat ialah nama jabatan pemuka agama (pendeta) / pemimpin upacara penetapan daerah perdikan (sima)

Birokrasi Pemerintahan Tingkat Watek

Kerajaan Mataram kuna terdiri dari daerah pusat kerajaan yaitu ibukota kerajaan, daerah- daerah watek dan wanua. Pada daerah-daerah watek dipimpin oleh seorang rakai atau para pamgat dan wanua , yaitu desa-desa yang diperintah oleh para pejabat desa ( rama ).

Adapun juga para rakai atau pamgat yang merupakan penguasa daerah di tingkat watek dan bukan pejabat ditingkat pusat yang mempunyai bawahan patih juru/tuhan nin kanayakan (pejabat pemerintah), wahuta (pemegang lungguh/tuan tanah), citralekha (juru tulis), dan matanda (pembawa cap pejabat rakai atau pamgat). Patih membawahi parujar , tungu durun (penunggu lumbung padi), dan prataya (pejabat yang mengurusi pendapatan) ; tuhan nin kanayakan membawahi juru/tuha nin wadwa ratai (pemimpin para pemuda), juru/tuha nin kalula (pemimpin para abdi), juru/tuha nin manrakat/manapal (pemimpin pemain tari topeng), juru/tuhan nin mawuat haji (pemimpin para pekerja kepentingan kerajaan ataupun umum) ; dan wahuta membawahi pituntun, wahuta lampuran dan wahuta winkas wkas .

Birokrasi Pemerintahan Tingkat Wanua/Desa

Dinasti Icana di Jawa Timur memerintah bagian dari sebuah kerajaan besar dengan struktur pemerintahan yang diadopsi dari penguasa sebelumnya di Jawa Tengah. Pada pemerintahan Mpu Sindok struktur pemerintahannya sudah sampai hingga lapisan terendah atau tingkat desa. Hal ini, dibuktikan dengan berbagai prasasti yang salah satunya pada prasasti Cunggrang menunjukkan adanya struktur pemerintahan sampai pada tingkat desa. Dari prasasti Cunggrang tahun 929 M daerah Cunggrang dipercayakan kepada seorang wahuta.

Pada pemerintahan dinasti Icana memiliki struktur pemerintahan yang hampir sama tetapi dilengkapi oleh Mpu Sindok dengan struktur tingkat perdikan atau desa yang dipercayakan pada pejabat dengan gelar wahuta yang bekerja langsung di bawah rakryan .

Dengan pendekatan sejarah lokal, sejak jaman Mataram kuno masyarakat sudah mengenal susunan pemerintahan. Prasasti Cunggrang yang berisi penetapan sima menunjukkan sebuah struktur pemerintahan tingkat desa. Dari prasasti Cunggrang inilah kita dapat mengetahui beberapa pejabat di tingkat desa yang diantaranya ada :

  • gusti : orang kasta ketiga, waisya

  • kalan atau tuha kalan : tukang kayu

  • wkas : tujuan atau pesan (yang menyebarkan berita kerajaan)

  • tuha banua : tetua desa atau pemangku desa

  • parujar : juru bicara

  • hulair : pejabat pengairan

  • wariga : ahli perbintangan (ahli nujum)

  • tuhalas : pejabat yang mengurusi hasil hutan dan perburuan

  • tuha warah : yang mengurusi pemuda pemudi (karang taruna)

  • hulu wras : yang mengurusi lumbung padi

Politik


Perpindahan pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur memiliki beberapa faktor guna mendirikan kerajaan baru atau dinasti baru. Salah satu penyebab perpindahan pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dikarenakan runtuhnya kerajaan Mataram yang disebabkan oleh krisis politik. Perebutan tahta kerajaan ini menimbulkan peperangan antar anggota kerajaan yang menimbulkam kekacauan dan kehancuran bagi kerajaan Mataram. Jawa Timur yang menjadi tempat berkumpulnya para cendekiawan sebagai pilihan Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahannya ke timur, dilihat dari ditemukannya tempat mandala di lereng gunung penanggungan dalam prasasti Cunggrang.

Pada masa pemerintahan Mpu Sindok keadaan politik kerajaan Mataram berjalan dengan damai dan aman. Hal ini dibuktikan dalam prasasti Cunggrang dan prasasti Anjukladang disebutkan pembagian struktur pemerintahan dibagi dengan adil dan berjalan dengan damai.

Pada umumnya, struktur pemerintahan hanya terjadi pada pemerintahan pusat yang mengelilingi istana raja, namun pada masa pemerintahan Mpu Sindok sudah sampai hingga tingkat desa. Selain pejabat pemerintahan ada juga pejabat keagamaan yang saling mengiringi dalam lajunya kerajaan.

Mpu Sindok yang merupakan raja pertama pada wangsa Icana dengan gelar Sri Icanawikramadharmatungga. Dalam pemerintahannya Mpu Sindok dibantu oleh permaisurinya yang bernama Sri wardhani Pu Kbi. Mpu Sindok dikenal sebagai raja adil dan bijaksana. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan Mpu Sindok sangat bagus diantaranya membangun bendungan untuk pengairan, melarang rakyat menangkap ikan pada siang hari untuk menjaga sumber daya alam, Mpu Sindok juga menaruh perhatiannya pada bidang sastra yang dibuktikan dengan memperhatikan pengubahan kitab Buddha Mahayana menjadi kitab Sang Hyang Kahayanikan (kitab Buddha Tantrisme).

Ekonomi


Perpindahan pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur membawa dampak yang menguntungkan karena secara tidak langsung Jawa Timur dimasukkan ke dalam jaring-jaring perdagangan yang membentang dari Indonesia Timur hingga selat Malaka. Selain itu wilayah di Jawa Timur dekat dua aliran sungai yaitu sungai Brantas dan sungai Bengawan Solo yang sangat penting artinya dalam jalur perdagangan dari daerah-daerah pedalaman ke daerah-daerah pesisir maupun sebaliknya. Sungai Brantas yang bermuara di Gunung Penanggungan. Karena hal itulah, sungai Brantas dapat diarungi hingga ke pedalaman. Cabang sungai Brantas sebelah kanan adalah sungai Porong, sungai ini mengalir ke arah tenggara dan bermuara di daerah Surabaya dan Bangil. Cabang sebelah kiri adalah sungai Mas atau Kali Mas yang mengalir ke arah timur laut, melintasi kota Surabaya dan bermuara di selat Madura. Sedangkan sungai Bengawan Solo bermula di bukit sebelah selatan Surakarta. Sungai ini melalui Sukowati, Jagaraga, Madiun, Jipang, Blora, Tuban, Sedayu, dan bermuara di Gresik.

Penduduk desa ditepi sungai Brantas dan Bengawan Solo dapat membawa para pedagang dan dagangannya dengan perahu, sekaligus dapat berhubungan dengan pedagang dari luar Jawa. Jenis-jenis komoditi yang diperdagangkan di pasar adalah hasil bumi seperti padi/beras, buah-buahan, sirih, pinang, bawan, merica/lada, cabai, kelapa, kemukus, kapulaga, mengkudu, bunga, dan hewan ternak.

Selain perdagangan, masa pemerintahan Mpu Sindok mengandalkan pertanian. Dapat di lihat wilayah kekuasaan Mpu Sindok berada di tepian sungai Brantas dan di lereng Gunung Penanggungan, dimana pada daerah itu tanahnya sangat subur untuk bercocok tanam. Hasil bumi di daratan tepian sungai Brantas yang utama adalah padi. Dalam prasasti Kamalagyan 1.037 M disebutkan bahwa dibangun sebuah waduk untuk membendung air ketika musim hujan dan dialirkan untuk pengairan pada musim kemarau. Selain itu, dalam prasasti Harinjing menyebutkan dibangun pula sebuah bendungan untuk menghindari banjir yaitu :

Bunyi prasasti Harinjing tahun 804 M

“…la Bhagawanta Bārī i Culanggi sumaks han gawainira kali i Hariñjing hana ta ḷmaḥ ḍapu bhī sang apatih a yakan sīmaniran mula ḍawu tuha kāmbah deni kali hinêlyan ḷmaḥ satamwah de Bhagawanta Bārī pa…”

Terjemahan

“…seorang pendeta agung [Bhagawanta] bernama Bārī dari Culanggi menyaksikan penetapan tanah sīmanya [tanah bebas pajak/perdikan] diperoleh dari pembuatan tanggul sungai di Hariñjing pada tanah milik Ḍapu Bhī seorang patih (tetua/sepuh) yang tergenang aliran [air] sungai yang mengalir [seluas] satu tamwah oleh Bhagawanta Bārī…”

Sosial


Dalam bidang sosial, terdapat kemajuan yang disebabkan perpindahan pusat pemerintahan. Dalam cara berpikir, makan, tempat tinggal, hingga hiburan dan sebagainya. Di dalam prasasti Cunggrang tampak sekali masyarakatnya bergotong royong untuk merawat desa Cunggrang. Selain itu, pada masa pemerintahan Mpu Sindok sikap toleransi terjalin dengan baik. Hal ini di tunjukkan dengan adanya keinginan Mpu Sindok menyusun kitab Sanghyang Kamahayanikan (Kitab Suci Agama Buddha), padahal Mpu Sindok sendiri beragama Hindu. Pada prasasti Kamalagyan 1.037 M dan prasasti Harinjing 804 M juga meneyebutkan dalam hidup bermasyarakat haruslah gotong royong, seperti pembuatan tanggul-tanggul sungai untuk menghindari banjir musiman maka masyarakat sekitar tanah perdikan bergotong royong membuat tanggul.

Selain itu, pelapisan masyarakatnya masih berdasarkan struktur masyarakat yang menimbulkan stratifikasi sosial yang ditandai dengan adanya maharaja , watek (tuha-tuha/buyut), dan juga wanua (raka/rakai). Struktur pemerintahannyapun sudah jelas di pusat pemerintahan dipegang oleh seorang sri maharaja yang berkuasa penuh atas kerajaannya yang dibantu oleh mahamantri i hino ataupun mahamantri i halu. Pada tingkat watek dipegang oleh seorang rakai tau pamgat. Di tingkat wanua di perintah oleh seorang rama .

Pada masa wangsa Icana kondisi masyarakatnya banyak yang berprofesi sebagai petani, pedagang, dan juga peternak. Hal ini disebabkan pada wilayah Jawa Timur menguntungkan sebagai pertumbuhan ekonomi masyarakatnya dan juga di dukung oleh beberapa faktor, diantaranya :

  • Pada sektor pertanian sangat cocok karena wilayah Jawa Timur berada di dataran rendah dan juga memiliki struktur tanah yang subur sehingga sangat cocok untuk dijadikan lahan pertanian. Pada periode ini pertanian berkembang cukup pesat hingga bisa memasarkan sampai ke Maluku hingga Sulawesi.

  • Banyaknya masyarakat pada kerajaan Mataram Kuno yang berdagang karena didukung adanya wilayah yang strategis. Wilayah Jawa Timur berada pada dua aliran sungai yang mengalir hingga laut serta sungai Brantas dan sungai Bengawan Solo ini lebar dan cukup dalam bisa di ewati kapal-kapal hingga pedalaman. Selain itu, di Jawa Timur adanya pelabuhan yang berfungsi sehingga banyak pedagang dari Nusantara yang berlabuh dan menimbulkan interaksi.

  • Berada di wilayah yang subur sangat memungkinkan tumbuhnya berbagai jenis tumbuhan mulai dari pertanian hingga tumbuhan lainnya dan di dataran rendah sangat cocok untuk berternak mulai dari ayam, kambing hingga sapi. Peternakan mulai berkembang pesat sebab didukung beberapa faktor, seperti pangan ternak tercukupi dan lahan peternakan cukup luas.

Kebudayaan


Perpindahan pusat pemerintahan ke Jawa Timur maka ikut pula para seniman seperti pelukis, penyair, tukang pahat dan sebagainya. Keadaan inilah memungkinkan di Jawa Timur dihasilkan karya-karya seniman yang termashur. Selain itu juga berdirinya pusat literasi bagi masyarakat yaitu suatu mandala di lereng gunung penanggungan. Begitu pula seni wayang berkembang dengan baik, ceritanya diambil dari karya sastra Mahabharata yang ditulis ulang dan dipadukan dengan budaya Jawa. Selain kesenian wayang kulit, terdapat pula yang ikut berkembang yaitu hasil karya sastra berupa teks Mahabarata dan juga teks Arjunawiwaha.

Selain pertunjukan wayang kulit dan petilan wayang orang, ada lagi pertunjukan lawak ( mamirus dan mabanol ). Pertunjukkan lawak selalu dijumpai pada upacara penetapan sima. Dalam relief-relief candi juga banyak melukiskan pelawak itu, yang mungkin prototipe tokoh-tokoh panakawan pada relief candi-candi di Jawa Timur. Hasil kebudayaan fisik yang berupa candi yang masih terjaga hingga sekarang adalah candi Gunung Gangsir, candi Songgoriti, candi Belahan, Candi Jalatunda, dan candi Lor.

Pelbagai macam tontonan itu tidak hanya dipertontonkan pada upacara penetapan Sima . Ada dalang, penabuh gamelan, penari, dan pelawak yang memperoleh penghasilan dari profesinya itu. Seperti yang dikatakan diatas para seniman masuk ke dalam kelompok wargga kilalan . Dengan dihapuskannya pajak oleh Mpu Sindok membuat para seniman tidak terbebani lagi sehingga bisa terus berkarya dan juga bisa menghibur. Tidak hanya para seniman tetapi para pedagang, petani, dan peternak juga merasakannya sehingga masyarakat merasa nyaman dan sejahtera tidak terbebani lagi.

Namun, sebagai gantinya dihapuskan pajak Mpu Sindok meminta para warga untuk merawat bangunan suci disekitar mereka. Maka dengan adanya upacara merawat bangunan suci itu telah berjalan turun temurun hingga sekarang dan menjadikan sebuah kebudayaan yang telah melekat pada masyarakat. Contohnya, bersih desa atau ruwat desa, mebersihkan bangunan suci pada hari tertentu, dan merawat makam leluhur yang dikeramatkan.

Religi


Salah satu gelar resmi dari raja Sindok adalah Mpu Sindok Icanawikrama Dharmattunggadewa yang artinya gelar ini dan juga berdasarkan isi prasastinya nyatalah bahwa raja Sindok beragama Ciwa. Hal lain yang menunjukkan Mpu Sindok beragama Hindu-Siwa yaitu dibangunnya sebuah pertapaan di lereng gunung Penanggungan, sebab ciri Hindu-siwa ialah banyak melakukan tapa brata, bersembahyang di kuil dan melakukan yoga untuk berjuang menyatu dengan siwa.

Dibawah pemerintahan Mpu Sindok dikarang pula kitab Sang Hyang Kamahayanikan oleh Sambhara Suryawarana yang merupakan sebuah kitab tentang ajaran-ajaran agama Budha Tantrisme. Buddha Tantrisme adalah ajaran yang melakukan pencapaian sebagai Bodhisattva. Bodhisattva dalam ajaran agama Buddha adalah manusia yang mendedikasikan dirinya demi kebahagiaan orang lain di alam semesta ini (calon Buddha). Buddha Tantra yang berkembang dari ajaran Buddha Mahayana tetapi ada perbedaan dalam hal praktik, bukan dalam hal filosofi. Dalam ajaran Tantra, latihan meditasi sering di barengi dengan visualisasi.

Selain itu Mpu sindok Mendirikan sebuah bangunan suci yang dijadikan sebagai dharmaan ayah Pu Dyah Kbi yaitu Prasada Silunglung. Tidak hanya itu, Mpu Sindok juga merawat sebuah Patapan yang disebutkan dalam prasasti Cunggrang, dimana Patapan itu dibuat untuk para Rsi atau para Brahmana ingin melakukan bertapa. Dengan adanya prasada dan patapan (rsi) dapat diperkirakan pada masa Mpu Sindok yaitu terdapat juga agama rsi dan juga bagawan.

Peninggalan Mpu Sindok


Berdirinya sebuah kerajaan tak pernah lepas dari sebuah peninggalan-peninggalan sejarah, yang menjadi bukti akan adanya kerajaan itu. Peninggalan-peninggalan itupun beragam diantaranya ada candi, prasasti, benda-benda bersejarah, dan sebagainya.

Peninggalan-peninggalan masa dinasti Icana hanya diambil pada wilayah-wilayah sebagai batas kekuasaan dinasti Icana, diantaranya pada sisi barat ada candi Lor, timur ada prasasti Cunggrang yang memuat tentang penetapan sima untuk merawat daerah Pawitra (candi Jolotundo dan candi Belahan), selatan ada candi Songgoriti, dan wilayah utara ada prasasti Waharu IV.

Candi Lor

image

Candi Lor terletak di Desa Candirejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. Laporan tertua mengenai candi Lor ditulis oleh Raffles pada tahun 1817, yang mencatat bahwa pada daerah Anjukladang terdapat sebuah bangunan suci yang berdiri dengan sangat bagus mirip dengan candi Jabung di Probolinggo. Bangunan candi Lor tidak memiliki ornamen dan pintu masuknya berada disebelah barat. Di tempat ini banyak juga ditemukan arca yang sudah cacat, diantaranya Ganesha dan Nandi yang pada bulan Juli tahun 1986 dibawa ke Kediri.

Situs candi Lor dikenal sebagai tempat pertapaan tokoh Gentiri. Di halaman candi Lor terdapat sebuah prasasti yaitu prasasti Anjukladang yang berisi tentang bahwa candi Lor berdiri pada tahun 937 M, dan prasasti ini menjelaskan bahwa Mpu Sindok telah mengalahkan serangan dari kerajaan Melayu, sehingga Mpu Sindok memebrikan daerah Anjukladang sebagai sima swatantra.

Candi Belahan

image

Candi Belahan terletak pada ketinggian 700 mdpl yang merupakan sebuah petirthaan dari masa Airlangga. Petirthaan Belahan terletak di sisi timur gunung Penanggungan, tepatnya di wilayah Wonosonyo, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Petirthaan Belahan terdiri atas sebuah kolam berbentuk persegi dan berukuran 6X4 m, dengan bekas bangunan dari batu bata merah di sisi selatannya. Bagian yang masih utuh menampilkan dua arca dewi dalam posisi berdiri, masing-masing ditempatkan di relung.

Arca di kedua relung itu arca dewi Sri dan dewi Laksmi. Arca-arca itu sebenarnya berjumlah tiga buah, yaitu arca Airlangga yang menggambarkan dewa wisnu yang sedang menaiki garuda dan sekarang disimpan di museum Mojokerto.

Di sebelah utara bangunan candi Belahan sekitar 500 meter, terdapat peninggalan utama yaitu dua buah Gapura candi serta fondasi candi, yang semuanya terbuat dari batu bata merah. Terlihat juga sisa tembok serta berbagai objek lepas, seperti batu umpak, lumpang, dan lain-lain. Dapat direkontruksi bahwa peninggalan candi Belahan dahulu merupakan dari suatu kompleks bangunan besar yang dulu dikelilingi tembok.

Candi Gunung Gangsir

Candi Gunung Gangsir

Candi Gunung Gangsir yang berada di Dusun Kebon Candi, Desa Gunung Gangsir, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan. Nama candi ini sangat unik, yang berasal dari kata “gunung” dan “gangsir” yang memiliki mitos tersendiri bagi penduduk sekitar. Kata Gunung diambil dari keberadaan bangunan candi ini di masa lampau yang dikelilingi oleh gunung. Sedangkan kata Gangsir (Jawa : nggangsir) berarti menggali lubang di bawah permukaan tanah. Penduduk setempat memberikan nama ini karena dahulu ada seorang yang berusaha “menggangsir” gunung ini demi memperoleh harta benda yang berharga dari dalam bangunan candi.

Di bagian depan terdapat pintu yang relatif kecil sehingga cukup sulit untuk masuk. Bangunan candi ini terbuat dari batu bata merah, memiliki empat lantai, dengan dua lantai dasar yang merupakan tubuh dan atap candi yang sebenarnya. Denah lantai dasar merupakan segi empat dengan sebuah tonjolan pada sisi timur, berlawanan arah dengan letak tangga. Denah tubuh dan atap candi juga segi empat, tetapi pada bagian keempat sisi dinding tubuh candi memiliki sebuah bidang tonjolan yang ramping. Sekarang kondisi candi berupa reruntuhan dan hampir semua sudut pada lantai-lantai dalam keadaan rusak, sedangkan diberi hiasan vas bunga dan tumbuhan sulu-sulur. Bagian tubuh terdapat relung-relung yang dulunya merupakan tempat arca.

Candi Jalatunda

image

Candi Jalatunda yang biasanya dikenal sebagai petirthaan Jalatunda , berlokasi di lereng sebelah barat gunung Penanggungan, tepatnya berada di Dsn. Balekambang, Kel. Seloliman, Kec. Trawas, Kab. Mojokerto. Candi yang terbuat dari batu andesit terletak pada ketinggian 525 mdpl, dan berada di kawasan hutan lindung. Situs Jalatunda yang berlatar agama Hindu telah tertata rapi, indah, bersih, dan nyaman.

Pada masa lalu candi Jalatunda berfungsi sebagai patirthan, atau sumber air keramat. Maka dari itu, candi Jalatunda lebih dikenal sebagai petirthaan Jalatunda yang berfungsi sebagai kolam pemandian yang airnya berasal dari gunung Penangggungan. Sumber air tersebut dilairkan melalui tiga saluran dinding belakang yang menempel pada kaki gunung. Sebuah pancuran di tengah dinding dan dua lainnya terdapat disebelah kanan dan kiri. Pancuran di sebelah kiri (utara) berbentuk kepala garuda, sedangkan di sebelah kanan (selatan) berbentuk kepala naga, dan yang ditengah berupa pancuran biasa yang dihias.

Bangunan utama candi Jalatunda berbetuk kolam yang terbuat dari batu andesit, berukuran 16X13 m. Dibagian tengah terdapat sebuah teras yang berelief episode kisah Mahabarata.21 Selain bangunan utama, ada juga dua buah bangunan pemandian disamping kanan dan kiri yang biasanya dibuaut mandi pengunjung.

Candi Jalatunda selain sebagai bangunan purbakala juga sebagai tempat beribadah umat Hindu. Ditandai dengan banyaknya masyarakat Hindu yang beribadah di candi ini.

Candi Songgoriti

image

Candi Songgoriti berlokasi di Dusun Songgoriti, Desa Songgokerto, Kota Batu, tepatnya di lembah yang memisahkan lereng gunung Arjuno dan lereng gunung Kawi. Candi yang dibangun pada sekitar abad IX Masehi pada masa puncak candinya telah hilang. Bagian kaki candi pemerintahan Mpu Sindok yang berdasarkan prasasti Sanggurann yang ditemukan tidak jauh dari lokasi candi.

Candi Songgoriti digolongkan sebagai candi tertua di Jawa Timur karena hiasannya berlanggam Jawa Tengah. Candi Songgoriti menurut sifat keagamaannya berlatar belakang Hindu Siva. Hal ini diketahui pada saat di pugar pada tahun 1936 dan 1946 ditemukan empat buah peti antara lain berisi Lingga dari bahan emas, Yoni dari bahan perunggu, mata uang, dan juga kepingan emas yang bertuliskan nama dewa.

Bagian kaki dan tubuh candi masih merupakan susunan asli di sisi utara, timur, dan barat. Sedangkan, bagian selatan sudah hilang. Pada bagian utara candi terdapat tiga buah pancuran air yang dulu berfungsi sebagai petirthaan. Ketiga sumber air pancuran tersebut terletak berdampingan. Selain itu, candi Songgoriti memiliki keunikan tersendiri yaitu tidak adanya tangga yang menuju bilik tengah candi. Bilik induk dirancang untuk tidak dapat dimasuki karena ukurannya yang kecil dan sempit. Candi ini menghadap ke timur karena pintu utama candi berada di sisi timur yang mengarah pada ruang induk. Di bawah ruang induk terdapat sumber air panas yang mengalir dengan sendirinya.

Candi Songgoriti dibangun atas petunjuk Mpu Sindok dengan tujuan sebagai bangunan suci dan petirthaan bagi para pandai logam ( kajurugusalyan ) di Mananjung. Sehingga candiini sengaja dibangun di atas sumber mata air panas yang memancar dari tanah.23

Sumber : Sri Widiah, Studi historis prasasti cunggrang sebagai sumber sejarah pada masa mpu sindok tahun 929-947 M, Universitas Negeri Surabaya

Referensi
  • R. Pitono. 1961. Sedjarah Indonesia Lama. Malang : Lembaga Penertiban Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
  • Eko Praptanto. 2010. Sejarah Indonesia Zaman Sejarah Kuno . Jakarta : PT Bina Sumber Daya Mipa.
  • Marwati Djoned Poesponegoro. 2009. Sejarah Nasional Indonesia II . Jakarta : Balai Pustaka.
  • LPM Universitas Negeri Malang. 2007. Babad Pasoeroean . The HQ Center & BPSDD : Kab. Pasuruan.
  • Boechari. 2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.
  • Titi Surti N. 2003. Pasar Di Jawa Pada Masa Mataram Kuna . Jakarta : Dunia Pustaka Jaya.
  • Didik Hermawan. 2010. Jejak Candi Nusantara . Lumine Books : Yogyakarta.
  • Moh. Fadli dan Jazim Hamidi. 2014. Sejarah Candi Dan Sumber Mata Air Panas Songgoriti . Malang : Universitas Brawijaya Press.
  • Tim Ekspedisi Penanggungan Ubaya. 2013. Mengenal Situs Purbakala Di Gunung Penanggungan. Surabya : Ubaya Press.
  • Renvile Siagian.—. Candi Sebagai Warisan Seni dan Budaya Indonesia . Yogyakarta : Gajah Mada University Press.