Apa yang Anda ketahui tentang mobilitas tenaga kerja?

Apa yang Anda ketahui tentang mobilitas tenaga kerja ?

Mobilitas Tenaga Kerja atau labor mobility yaitu kemudahan peralihan kerja , baik pada tingkat yang sama maupun ke tingkat yang lebih tinggi atau lebih rendah atau ke jenis pekerjaan yang berlainan. Apa yang Anda ketahui tentang mobilitas tenaga kerja ?

1 Like

Mobilitas Tenaga Kerja

Menurut Prijono Tjiptoherijanto, mobilitas penduduk merupakan bagian integral dari proses pembangunan secara keseluruhan, mobilitas telah menjadi penyebab dan penerima dampak dari perubahan dalam struktur ekonomi dan sosial suatu daerah.

Menurut Sumarsono (2009) pasar tenaga kerja akan membutuhkan bentuk individu yang layak untuk bekerja antara lain.; Pertama, Pegawai atau karyawan umumnya mempunyai tingkat pendidikan dan keterampilan yang tinggi. Kedua, Disiplin kerja yang tinggi. Ketiga, Produktivitas kerja yang tinggi dan Keempat, Memiliki etos kerja yang tinggi. Namun terkadang penempatan angkatan kerja dapat berpindah dikarenakan keinginan dari angkatan kerja sebagai penyedia tenaga kerja dan lapangan tenaga kerja sebagai permintaan tenaga kerja, serta perlu adanya keseimbangan dari kedua hal tersebut, sehingga akan timbulnya pemerataan pembangunan nasional.

Fenomena mobilitas tenaga kerja yang terjadi di Indonesia terdiri dari dua jenis, yaitu mobilitas tenaga kerja secara spasial dan mobilitas tenaga kerja non spasial. Mobilitas tenaga kerja secara spasial terdapat dua jenis, yaitu mobilitas secara permanen dan nonpermanen. Sementara mobilitas tenaga kerja non spasial merupakan perpindahan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, baik menurut sektornya maupun status pekerjaannya.

Yang membedakan mobilitas permanen dengan nonpermanen adalah masalah dimensi waktu dan tujuannya. Dikatakan permanen jika seseorang pindah ke tempat lain dengan tujuan menetap dalam waktu enam bulan atau lebih, selain dari itu merupakan mobilitas nonpermanen. Mobilitas nonpermanen sendiri dibedakan menjadi mobilitas ulang alik dan sirkuler. Pasar kerja yang fleksibel telah meningkatkan jumlah pekerja yang melakukan mobilitas nonpermanen.

Secara lebih terperinci ILO (2004) menyebutkan bahwa ada beberapa sebab mengapa mobilitas nonpermanen lebih banyak diminati, antara lain disebabkan karena jenis mobilitas seperti ini sangat cocok dengan partisipasi kerja di sektor informal di daerah tujuan karena komitmen waktu yang fleksibel yang memungkinkan untuk mudik ke kampung halaman lebih sering. Di samping itu, biaya hidup di daerah tujuan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah asal membuat para pekerja lebih memilih untuk nglaju. Tingkat upah yang lebih tinggi di daerah tujuan dengan standar hidup di daerah asal yang relatif lebih rendah merupakan suatu keuntungan bagi pekerja. Seperti telah disebutkan sebelumnya, sistem transportasi yang relatif terjangkau dan banyak jenisnya, memungkinkan pekerja kembali ke kampung halamannya dengan cepat, dan segera dapat melakukan diversifikasi pekerjaan di tempat asal.

Perpindahan dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain memiliki peran penting dalam perekonomian, karena menyangkut peningkatan kesejahteraan pekerja. Selain itu dengan adanya perpindahan pekerjaan, terjadi suatu penyesuaian antara perusahaan dan tenaga kerja, dimana pihak perusahaan menginginkan tenaga kerja yang berkualitas sementara di pihak pekerja mengharapkan upah yang tinggi. Ponzo (2009 dalam Rahayu 2010) menyatakan bahwa perpindahan tenaga kerja merupakan mekanisme yang digunakan pasar tenaga kerja untuk mengoreksi kesalahan tempat kerja dan dapat mengarah pada alokasi sumber daya manusia yang lebih baik dan efisien.

Pergerakan tenaga kerja yang lebih dikenal dengan labor turnover atau labor mobility banyak terjadi di pasar kerja. Menurut Schettkat (1996) dalam Rahayu (2010) pergerakan tenaga kerja itu dapat terjadi:

  1. dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain
  2. dari satu majikan ke majikan lain
  3. dari satu industri ke industri lain
  4. dari satu wilayah ke wilayah lain
  5. dari bekerja menjadi pengangguran
  6. dari bekerja menjadi bukan angkatan kerja.

Hasil penelitian empiris yang dilakukan oleh Rahayu (2010) menunjukkan bahwa keputusan tenaga kerja untuk pindah kerja dipengaruhi oleh karakteristik sosial demografi individu dan faktor ekonomi, seperti kesenjangan penghasilan, umur, tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan, status perkawinan, keberadaan ART lain yang bekerja, status pekerjaan, lapangan usaha, serta jenis pekerjaan. Semakin besar gap penghasilan maka peluang pekerja untuk pindah pekerjaan akan semakin besar.

Rahayu (2010) juga menemukan bahwa pekerja di lapangan usaha manufaktur memiliki peluang lebih besar untuk pindah pekerjaan dibanding pekerja pada lapangan usaha jasa dan pertanian. Sedangkan pekerja yang memiliki peluang pindah kerja yang paling rendah adalah pekerja di lapangan usaha pertanian.

Referensi

Sulistyono, S W. 2011. MOBILITAS TENAGA KERJA DARI SEKTOR PERTANIAN KE SEKTOR NON PERTANIAN DI KECAMATAN LAWANG KABUPATEN MALANG. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol 9 (2) : 134-155.

https://bulelengkab.go.id/assets/instansikab/126/bankdata/analisis-mobilitas-tenaga-kerja-indonesia-berdasarkan-hasil-survei-angkatan-kerja-nasional-2012-18.pdf

Fenomena mobilitas tenaga kerja yang terjadi di Indonesia terdiri dari dua jenis, yaitu mobilitas tenaga kerja secara spasial dan mobilitas tenaga kerja nonspasial. Mobilitas tenaga kerja secara spasial juga terdapat dua jenis, yaitu mobilitas secara permanen dan nonpermanen. Sementara mobilitas tenaga kerja nonspasial merupakan perpindahan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, baik menurut sektornya maupun status pekerjaannya.

Sejalan dengan teori migrasi, hasil olahan menunjukkan bahwa migrasi selektif terhadap jenis kelamin, status perkawinan dan pendidikan yang ditamatkan. Laki-laki cenderung lebih banyak melakukan migrasi daripada perempuan. Ditinjau dari status perkawinan, pekerja berstatus migran yang belum kawin proporsinya lebih besar dibandingkan mereka yang berstatus kawin dan cerai. Selain itu, pekerja yang berstatus migran sebagian besar didominasi oleh mereka yang berpendidikan SMA ke atas. Pekerja migran paling banyak bekerja di sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi, dan perawatan mobil. Diikuti kemudian dengan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan dan sektor industri pengolahan. Tiga puluh persen pekerja migran bekerja sebagai tenaga produksi, operator alat angkutan, dan pekerja kasar. Sementara yang merupakan tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan hanya sekitar satu persen.

Jika dilihat dari status pekerjaan, lebih dari separuh pekerja migran berstatus sebagai buruh/karyawan/pegawai. Kemudian pekerja migran yang bekerja di tiap sektor ekonomi sebagian besar bekerja pada jam kerja normal. Dalam lingkup provinsi, Jawa Barat merupakan provinsi dengan persentase pekerja migran paling besar, diikuti kemudian dengan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hampir di seluruh provinsi di Indonesia didominasi oleh penduduk yang berasal dari provinsi-provinsi di Pulau Jawa. Provinsi-provinsi yang dimaksud yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sakernas 2018 menunjukkan bahwa terdapat pola yang sama antara mobilitas ulang-alik dan mobilitas sirkuler menurut gender. Pekerja laki-laki lebih banyak melakukan kedua mobilitas nonpermanen tersebut dibandingkan pekerja perempuan. Perempuan cenderung menjadi stayers yaitu bekerja di lokasi yang sama dengan lokasi tempat tinggalnya.

Menurut pendidikan, proporsi terbesar pelaku mobilitas ulang-alik adalah pekerja berpendidikan SMA ke atas dan sebaliknya untuk mobilitas sirkuler adalah pekerja dengan pendidikan di bawah SMA. Dari aspek wilayah, pekerja yang tinggal di perkotaan lebih mobile daripada pekerja yang tinggal di perdesaan. Pekerja yang tinggal di perkotaan memiliki peluang yang lebih besar untuk melakukan mobilitas ulang-alik, dan sebaliknya pekerja yang tinggal di perdesaan mempunyai peluang lebih besar untuk melakukan mobilitas sirkuler. Berdasarkan status perkawinannya, mereka yang tidak/belum menikah cenderung melakukan mobilitas ulang-alik, sebaliknya mereka yang sudah menikah berpeluang lebih besar untuk melakukan mobilitas sirkuler. Mobilitas nonpermanen lebih banyak terjadi pada kelompok usia 20-49 tahun. Kelompok usia pekerja pelaku mobilitas nonpermanen membentuk pola ā€œUā€ terbalik dengan puncaknya pada kelompok umur 25-49 tahun. Pekerja komuter lebih banyak berada pada usia muda, sebaliknya pekerja sirkuler lebih banyak pada usia diatas 30 tahun. Semakin tua, semakin kecil kecenderungan pekerja melakukan mobilitas nonpermanen. Mereka lebih memilih bekerja di kabupaten/kota yang sama dengan tempat tinggal mereka.

Komuter paling banyak bekerja di sektor sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi dan perawatan mobil dan sektor industri pengolahan, kemudian diikuti dengan sektor konstruksi. Sementara itu, pekerja sirkuler paling banyak terserap pada sektor sektor konstruksi, sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi dan perawatan mobil serta sektor industri pengolahan. Kegiatan mobilitas didasari oleh motivasi ekonomi untuk mendapatkan tingkat penghasilan yang lebih baik, sehingga banyak pekerja yang memilih untuk meninggalkan sektor pertanian dan melakukan mobilitas nonpermanen ke kabupaten/ kota lain dengan bekerja di sektor lain seperti industri, perdagangan, atau jasa-jasa yang dapat memberikan upah yang lebih tinggi dibandingkan mereka harus bekerja sebagai pekerja sektor pertanian. Baik pekerja komuter maupun pekerja sirkuler paling banyak bekerja sebagai tenaga kerja produksi, operasional alat angkutan, dan pekerja kasar. Selain itu, pekerja komuter maupun pekerja sirkuler sebagian besar berstatus buruh/ karyawan/pegawai.

Secara umum, pekerja komuter maupun pekerja sirkuler telah bekerja dengan jam kerja normal, hanya sebagian kecil saja yang masih bekerja di bawah jam kerja normal. Besarnya proporsi yang bekerja sesuai jam kerja normal ini terjadi karena mayoritas pekerja komuter maupun pekerja sirkuler berstatus sebagai buruh/karyawan/pegawai. Sebagian besar pekerja komuter maupun sirkuler merupakan pekerja sektor upahan atau biasa disebut pekerja sektor formal. Ketika dirinci menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan, terdapat pola yang menggambarkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan pekerja semakin besar pula kecenderungan mereka masuk dalam pekerjaan formal. Mayoritas pekerja komuter membutuhkan waktu tempuh antara setengah sampai satu jam menuju tempat kerjanya. Hanya sedikit yang memakan waktu di atas dua jam. Berdasarkan moda transportasi yang digunakan, pekerja komuter yang memanfaatkan transportasi umum, bersama, dan pribadi sebagian besar menghabiskan waktu tempuh antara setengah sampai satu jam. Pekerja Indonesia lebih banyak yang bekerja di lokasi yang sama dengan lokasi tempat tinggalnya yaitu dalam satu kabupaten/kota ( stayers ).

Meskipun demikian persentase pelaku mobilitas nonpermanen mengalami peningkatan. Dalam lingkup provinsi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, dan Bali merupakan provinsi-provinsi dengan persentase pelaku mobilitas nonpermanen terbesar. Dukungan sarana dan prasarana transportasi yang memadai, memudahkan pekerja melakukan mobilitas nonpermanen baik harian, mingguan, ataupun bulanan. Penyumbang komuter terbesar di Indonesia adalah provinsi-provinsi di pulau Jawa yang mencapai angka 76,5 persen. Hal ini wajar karena memang kota-kota besar di Indonesia kebanyakan berada di Pulau Jawa. Jawa Barat merupakan provinsi dengan persentase pekerja komuter yang paling besar. Mobilitas pekerjaan merupakan suatu bentuk perpindahan non fisik tenaga kerja. Berbeda dengan mobilitas spasial yang memperhatikan dimensi geografis, mobilitas pekerjaan memberikan perhatian pada perubahan lapangan pekerjaan dan status pekerjaan tenaga kerja.

Temuan menunjukkan bahwa pekerja laki-laki cenderung pernah pindah pekerjaan dibandingkan pekerja perempuan. Sementara jika dilihat menurut daerah tempat tinggal, pekerja di perkotaan juga lebih banyak yang pernah pindah pekerjaan daripada pekerja yang tinggal di perdesaan. Secara umum terlihat bahwa semakin tinggi umur pekerja maka akan semakin kecil kecenderungan untuk pindah dari tempat kerja. Tingginya kecenderungan turn over pada kelompok umur produktif (15-24, 25-34, dan 35-44 tahun) mengindikasikan dinamisnya pasar kerja di Indonesia. Perpindahan pekerjaan paling besar terjadi karena alasan internal. Pada kelompok umur muda, perpindahan pekerjaan lebih banyak disebabkan karena alasan internal. Semakin tua umur pekerja, semakin kecil kecenderungan untuk pindah pekerjaan yang disebabkan karena faktor internal. Sektor yang termasuk banyak diantara pekerjanya yang pindah pekerjaan adalah sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi dan perawatan mobil. Namun, sebagian besar dari mereka melakukan perpindahan pekerjaan masih dalam sektor yang sama.

Apabila dilihat menurut status pekerjaan sebelum pindah, yang paling banyak melakukan perpindahan pekerjaan adalah mereka yang berstatus buruh/ karyawan/pegawai. Pengalaman bekerja di luar negeri akan memberi nilai tambah tersendiri bagi mereka yang mengalaminya. Sayangnya, dari seluruh penduduk berusia 15 tahun ke atas, hanya sekitar 1 (satu) persen saja yang pernah mengenyam pengalaman bekerja di luar negeri, dan sebagian besar dari mereka pernah bekerja di Malaysia. Mayoritas dari mereka yang pernah bekerja di Malaysia, Arab Saudi, dan Taiwan mempunyai latar belakang pendidikan di bawah SMA. Di sisi lain, mereka yang pernah bekerja di negara-negara maju seperti Korea Selatan dan Jepang ternyata didominasi oleh mereka yang berpendidikan SMA ke atas. Hal tersebut menunjukkan bahwa akses untuk menembus pasar tenaga kerja di negara-negara tersebut membutuhkan keahlian yang tinggi.

Sumber

Badan Pusat Statistik