Apa yang anda ketahui tentang Metode Tahlili dalam Tafsir Al Quran?

Tafsir Al Quran

Apa yang anda ketahui tentang Metode Tahlili dalam Tafsir Al Quran?

Metode tahlili atau yang menurut Muhammad Baqir Sadr sebagai metode tajzi’i ( al-ittijah at-tajzi’iy ) adalah suatu metode penafsiran yang berusaha menjelaskan AI-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh AI-Qur’an. Seorang mufassir menafsirkan AI-Qur’an sesuai dengan tertib susunan AI-Qur’an mushaf Utsmani, menafsirkan ayat demi ayat kemudian surah demi surah dari awal surah al-Fatihah sampai akhir surah al-Nas.

Dalam metode ini seorang mufassir menafsirkan ayat-ayat AI-Qur’an, ayat demi ayat dan surah demi surah, sesuai dengan urutan dalam mushaf. la menguraikan kosa kata dan lafaz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur i’jaz , balagah dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diistinbatkan dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syari’, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, akidah atau tauhid, perintah, larangan, janji, ancaman haqiqat, majaz, kinayah, serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surah sebelum dan sesudahnya. Untuk itu semua, ia merujuk pada sebab-sebab turun ayat (asbab al-nuzul), hadits-hadits Rusulullah saw, dan riwayat dari para sahabat dan tabi’in.

Metode tahlili digunakan oleh penafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dilakukan dengan menempuh cara sebagai berikut :

  • Menyebutkan sejumlah ayat pada awal pembahasan

  • Menjelaskan arti kata-kata yang sulit

  • Memberikan garis besar maksud beberapa ayat

  • Menerangkan konteks ayat

  • Menerangkan sebab-sebab turunnya ayat jika memang ada asbabun nuzul nya

  • Memerhatikan keterangan-keterangan yang bersumber dari Nabi, sahabat, dan tabi’in

  • Memahami disiplin ilmu tertentu.

Aliran atau Corak Tafsir Metode Tahlili


Dalam metode tahlili ini, menurut al-Farmawi mencakup beberapa aliran atau corak tafsir, yaitu:

Tafsir bi al-ma’sur

Dikenal juga dengan tafsir bi al-riwayah atau tafsir bi al- manqul. Ulama telah membuat definisi yang beraneka ragam tentang pengertian tafsir jenis ini, yang secara tekstual memiliki perbedaan, namun memiliki pengertian yang sama. Muhammad ‘Abd al-Azim al-Zarqani mendefinisikan tafsir bi al-ma’sur dengan sesuatu yang terdapat dalam nas al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw; atau kalam sahabat sebagai penjelasan terhadap apa yang dikehendaki Allah swt dari kitab-Nya.

Muhammad Husain az-Zahabi mendefinisikan tafsir bi al-ma’sur dengan sesuatu yang bersumber dari nas al-Qur’an sendiri yang berfungsi menjelaskan, memerinci terhadap sebagian ayat lainnya, dan yang bersumber dari apa yang diriwayatkan dari Rasulullah, para sahabat, dan para tabi’in, semua itu merupakan penjelasan terhadap nas-nas al- Qur’an sebagaimana yang dikehendaki Allah swt.

Dari definisi-definisi yang disebutkan dapat dipahami bahwa tafsir bi al-ma’sur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nas-nas, baik nas al-Qur’an, sunnah Rasulullah, pendapat sahabat, ataupun perkataan tabi’in. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma’sur adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan ayat dengan sunnah, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendapat sahabat, atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan tabi’in .

Quraish Shihab dalam buku Membumikan al-Qur’an menyebutkan bahwa corak tafsir ini memiliki keistimewaan bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahannya yang luas.7 Sedangkan kelemahan dari jenis tafsir ini adalah banyaknya pemalsuan hadis yang akibatnya mempengaruhi pada kualitas riwayat yang digunakan dalam tafsir bi al- ma’sur, masuknya cerita Israiliyat, dan pembuangan sanad.

Di antara kitab tafsir bi al-ma’sur adalah kitab Jami’ al- Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibn Jarir at-Tabari dan Tafsir al-Qur’an al-Azim karya Ibn Kasir.

Tafsir bi ar-ra’yi

Disebut juga dengan tafsir bi ad-dirayah atau tafsir bi al-‘aql. Secara etimologis, lafaz ra’y bisa berarti al-I’tiqad, al-ijtihd, atau al- qiyas. Namun, dalam pembahasan ini yang dimaksud ra’y adalah al- ijtihad. Sedangkan menurut terminologis, az-Z|ahabi mendefinisikan tafsir bi ar-ra’y dengan suatu hasil penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan ijtihad setelah seorang mufassir memahami terhadap gaya bahasa Arab beserta aspek-aspeknya, memahami lafaz-lafaz bahasa Arab dan segi-segi dalalah nya, termasuk di dalamnya mengetahui syair orang Arab Jahiliyah, asbab an-nuzul, naskh dan mansukh, dan perangkat- perangkat lainnya.

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan tafsir bi ar-ra’y adalah suatu metode penafsiran al- Qur’an yang pola pemahamannya dilakukan melalui ijtihad setelah seorang mufassir ar-ra’y mengetahui beberapa syaratnya, seperti pola-pola bahasa Arab, kata-kata Arab dan maknanya serta menguasai ilmu-ilmu al- Qur’an seperti asbab an-nuzul, naskh dan mansukh muhkam dan mutasyabih, dan lain-lain.

Menurut as-SuyutI dengan mengutip pendapat Imam al- Zarkasyi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi seorang mufassir bi ar-ra’y. Pertama, berpegang teguh kepada hadis yang berasal dari Rasulullah dengan berusaha menjauhi riwayat-riwayat zaif (lemah) dan yang palsu. Kedua, berpegang teguh pada perkataan para sahabat, karena apa yang mereka katakana dihukumi sebagai marfu’ secara mutlak, khususnya yang berkaitan asbab an-nuzul dan beberapa hal lainnya yang tidak dapat dicampuri dengan ar-ra’y. Ketiga, berpegang teguh pada kaidah bahasa Arab dan harus tetap berhati-hati hingga tidak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an menyimpang dari yang semestinya. Keempat, berpegang teguh pada sesuatu yang dimaksud oleh ayat al-Qur’an dan harus sesuai dengan ketentuan syara’.

Berdasarkan hal di atas, maka corak tafsir bi ar-ra’y terbagi dua macam, yaitu pertama, tafsir mahmud (terpuji) yaitu apabila seorang mufassir bi ar-ra’y dalam penafsirannya telah memenuhi syarat-syarat yang dimaksud; kedua, tafsir mazmum (tercela), yaitu menafsirkan al- Qur’an yang tidak dilandasi oleh ilmu pengetahuan dan berdasarkan hawa nafsu. Oleh karena itu, seorang mufassir ar-ra’y harus menjauhkan diri dari hal-hal berikut:

  • Memaksakan diri untuk menjelaskan firman Allah dengan minimnya pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa Arab dan dasar-dasar agama ( usul syari’ah ) serta tidak memenuhi syarat-syarat sebagai seorang mufassir

  • Memaksakan diri menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang hanya diketahui oleh Allah, seperti ayat-ayat mutasyabihat

  • Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang didasari oleh hawa nafsu dan sangkaan-sangkaan yang dianggap baik

  • Melegitimasi firman Allah sebagai pembenaran terhadap paham-paham yang sesat

  • Mengklaim bahwa yang dikehendaki Allah dalam firman-Nya adalah begini dan begitu tanpa didasari argumen yang kuat.

Adapun ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir bi ar-ra’yi agar terhindar dari kesalahan, menurut az-Zahabi adalah sebagai berikut:

  • Ilmu bahasa, karena dengan ilmu ini dapat dijelaskan kedudukan kata- kata mufradat beserta dalihnya.

  • Ilmu nahwu (tata bahasa) , karena dengan ilmu ini dapat diketahui perubahan makna yang disebabkan oleh adanya perubahan i’rab.

  • Ilmu saraf, dengan ilmu ini dapat diketahui lafaz-lafaz yang bina’ dan yang sigat, karena dengan men tasrif suatu lafaz akan diketahui sumber lafaz tersebut.

  • Ilmu isytiqaq (pembentukan kata), karena suatu kata benda jika pembentukan katanya dari dua akar kata yang berbeda maka akan berbeda pula maknanya, sesuai dengan perbedaan asal katanya.

  • Ilmu ma’ani, untuk mengetahui kekhususan susunan kalimat ditinjau dari segi faedah maknanya.

  • Ilmu bayan, untuk mengetahui kekhususan susunan kalimat ditinjau dari segi jelas dan tidaknya kandungan maknanya.

  • Ilmu badi’, untuk mengetahui bentuk keindahan kalimat dan ilmu ini sangat dibutuhkan.

  • Ilmu qira’at, dengan ilmu ini dapat diketahui bentuk kandungan pengertian makna yang lebih benar.

  • Ilmu usuluddin (ilmu kalam), dengannya seorang mufassir dapat menunjukkan dalil-dalil dari sifat wajib, jaiz, mustahil bagi Allah, juga tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan kenabian, hari akhir dan lainnya.

  • Ilmu usul fiqh, dengan ilmu ini dapat diketahui tentang cara pengambilan hokum, menentukan mana yang masih mujmal, mubayyan, ‘am, khas, mutlaq, dan yang muqayyad, perintah dan larangan, serta yang lainnya.

  • Ilmu asbab an-nuzul, dengan ilmu ini dapat membantu dalam menjelaskan dan memahami maksud dan kandungan ayat al-Qur’an.

  • Ilmu sejarah, dengan mengetahui sejarah secara terperinci dapat membantu menjelaskan ayat-ayat yang sifatnya masih umum.

  • Ilmu nasikh mansukh, dengan ilmu ini dapat diketahui mana ayat- ayat yang muhkam , karena ayat itulah yang menghapus ayat yang turun sebelumnya.

  • Ilmu tentang hadis-hadis, yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang mujmal dan mubham yang dapat membantu menjelaskan ayat-ayat yang masih musykil.

  • Ilmu al-mauhibah, yaitu ilmu yang khusus diberikan Allah kepada orang-orang tertentu, yang orang tersebut beramalsesuai dengan ilmunya itu.

Adapun mengenai kelebihan dari tafsir bercorak bi ar-ra’yi adalah lebih tertutupnya peluang untuk masuknya Israiliyat karena tafsir ini tidak akan memakai sumber yang tidak jelas sumbernya dan yang tidak masuk akal. Selain itu, tafsir bi ar-ra’yi terlihat lebih dapat dipahami bila dikaitkan dengan masa kekinian, karena tafsir ini akan terus berubah sesuai dengan corak pemikiran dan zaman. Sedangkan kekurangan tafsir bi ar-ra’yi adalah meskipun mufassir telah berusaha untuk obyektif, tapi tafsir yang dihasilkan bersifat subyektif.

Subyektif di sini bukanlah dalam artian ta’asub (fanatik), tapi subyektif dalam maksud bahwa para mufassir mempunyai latar belakang keilmuan dan kemampuan rasio yang berbeda-beda yang menyebabkan tafsir mufassir yang satu bisa berbeda dengan mufassir lainnya.

Di antara kitab tafsir bi ar-ra’yi adalah kitab Madarik at-Tanzil wa Haqa’iq at-Tanwil karya Mahmud an-Nasafy dan Mafatih al-Gaib karya Fakhr ar-Razi.

Tafsir Sufi

Adalah penafsiran yang dilakukan oleh para sufi yang lebih menitikberatkan kajiannya pada makna batin dan bersifat alegoris. Contohnya adalah tafsir al-Qur’an al-‘Azim karya at-Tusturi, Ruh al- Ma’ani karya al-Alusy.

Tafsir fiqhi

Adalah corak penafsiran al-Qur’an yang menitikberatkan bahasan dan tinjauannya pada aspek hukum dari al-Qur’an. Salah satu contohnya adalah kitab Ahkam al-Qur’an karya al-Jasas dan Ahkam al-Qur’an karya Ibn al-‘Arabi.

Tafsir falsafi

Yakni penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan filosofis, baik yang berusaha untuk mengadakan sintesis dan sinkretisasi antara teori-teori filsafat dengan ayat-ayat al-Qur’an maupun berusaha menghilangkan segala pertentangan di antara keduanya. Salah satu contohnya adalah kitab Mafatih al-Gaib karya Fakhr ar-Razi.

Tafsir ilmi

Aliran tafsir ini mencoba menafsirkan ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an dengan mengaitkannya dengan ilmu pengetahuan modern. Di antaranya adalah kitab al-Jawahir fi tafsir al-Qur’an al- Karim karya Tantawi Jauhari.

Tafsir adabi al-ijtima’i

Yaitu corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara pertama dan utama mengemukakan ungkapan-ungkapan al- Qur’an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur’an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik. Contohnya adalah tafsir al-Maragi karya al-Maragi dan tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh yang disusun muridnya, Rasyid Rida.

Kelebihan dan Kekurangan Metode Tahlili


Adapun kelebihan dari metode tahlili adalah ruang lingkupnya yang luas dan komprehensif, serta memuat ide-ide. Menurut Hassan Hanafi, kelebihan metode ini adalah mampu menyediakan informasi yang maksimal meliputi lingkungan sosial, linguistik, dan sejarah dari teks. Penafsiran dengan metode ini membantu pembaca untuk memahami mentalitas para mufasir klasik, sumber pengetahuan, situasi historis dan tingkat pemahaman mereka. Penafsiran dengan metode ini juga membantu melacak semangat zaman, kondisi seni dan periode sejarah.

Sedangkan kekurangannya adalah masuknya pemikiran Israiliyat. Menafsirkan Qur’an dengan metode ini tidak menyelesaikan satu pokok masalah (bahasan), karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat lain. Selain itu, metode ini melahirkan gagasan dan konsepsi al-Qur’an yang beraneka ragam dan terpisah-pisah serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam. Kelemahan lainnya adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai “mengikat” generasi berikut karena sifat penafsirannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat.

Referensi :

  • Ahmad Syukri Saleh, Metode Tafsir al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta : Gaung Persada, 2007)
  • Akhmad Arif Junaidi, Pembaruan Metodologi Tafsir al-Qur’an (Studi atas Pemikiran Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman) , (Semarang : Gunung Jati, 2001)
  • Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
  • M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996).