Apa yang anda ketahui tentang Merak Hijau?

Merak hijau (Pavo muticus) adalah salah satu burung dari tiga spesies merak. Seperti burung-burung lainnya yang ditemukan di suku Phasianidae, merak hijau mempunyai bulu yang indah. Bulu-bulunya berwarna hijau keemasan. Burung jantan dewasa berukuran sangat besar, panjangnya dapat mencapai 300 cm, dengan penutup ekor yang sangat panjang. Di atas kepalanya terdapat jambul tegak. Burung betina berukuran lebih kecil dari burung jantan. Bulu-bulunya kurang mengkilap, berwarna hijau keabu-abuan dan tanpa dihiasi bulu penutup ekor.

Populasi merak hijau tersebar di hutan terbuka dengan padang rumput di Republik Rakyat Tiongkok, Indocina dan Jawa, Indonesia. Sebelumnya merak hijau ditemukan juga di India, Bangladesh dan Malaysia, tetapi sekarang telah punah di sana. Walaupun berukuran sangat besar, merak hijau adalah burung yang pandai terbang.

Pada musim berbiak, burung jantan memamerkan bulu ekornya di depan burung betina. Bulu-bulu penutup ekor dibuka membentuk kipas dengan bintik berbentuk mata. Burung betina menetaskan tiga sampai enam telur.[butuh rujukan]

Pakan burung merak hijau terdiri dari aneka biji-bijian, pucuk rumput dan dedaunan, aneka serangga, serta berbagai jenis hewan kecil seperti laba-laba, cacing dan kadal kecil.[butuh rujukan]

Namun karena banyaknya habitat hutan yang hilang dan penangkapan liar yang terus berlanjut, serta daerah dimana burung ini ditemukan sangat terpencar, merak hijau dievaluasikan sebagai rentan di dalam IUCN Red List. Spesies ini didaftarkan dalam CITES Appendix

Merak hijau merupakan salah satu burung dari spesies merak Selain Merak India atau Merak Biru (Pavo cristatus) yang terdapat di India, Pakistan, Sri Lanka, Nepal dan Bhutan, dan Merak Kongo (Afropavo congensis) yang merupakan burung endemik di Republik Demokratik Kongo.

Populasi merak hijau semakin lama semakin berkurang. Hal ini diakibatkan oleh rusaknya habitat dan perburuan liar. Untuk menghindari kepunahan burung merak hijau telah dilindungi undang-undang. Di pulau jawa jumlah merak hijau diperkirakan tidak lebih dari 800 ekor saja.






Merak hijau merupakan salah satu jenis burung langka yang ada di Indonesia. Merak hijau terdapat di kepulauan jawa dan statusnya dilindungi oleh undang-undang. Perlindungan terhadap jenis burung merak hijau berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.66/KPTS/Um/2/1973; Keputusan Menteri Kehutanan No.301/ Kpts -II/1991 dan PP No. 7 tahun 1999.

Status burung merak hijau berdasarkan IUCN (2007) dikategorikan ke dalam vulnerable (rentan atau rawan punah) dengan penilaian A2cd+3cd dan C2a(i). Selanjutnya, menurut CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wildlife Fauna and Flora) dalam Departemen Kehutanan (2006), burung merak hijau dikategorikan ke dalam Appendix II, artinya perdagangan jenis burung ini harus dikendalikan, antara lain melalui sistem kuota dan pengawasan.

Merak hijau (Pavo muticus) termasuk dalam filum chordata dengan subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung yang masuk dalam ordo Galliformes dengan subordo Galli. Merak hijau termasuk dalam keluarga Phasianideae dan memiliki genus Pavo. Merak hijau merupakan burung yang memiliki spesies Pavo muticus Linneaus (Hernawan, 2003).

Berdasarkan laporan International Redlist pada International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 2015 status burung merak hijau dikategorikan ke dalam endangered (terancam punah) dan populasinya semakin menurun setiap tahunnya. Burung merak hijau (Pavo muticus) merupakan jenis burung langka yang daerah sebaran alaminya di Indonesia terdapat di Pulau Jawa dan statusnya dilindungi oleh undang-undang. Perlindungan terhadap jenis burung merak hijau berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.66/KPTS/Um/2/1973; Keputusan Menteri Kehutanan No.301/ Kpts-II/1991 dan PP No. 7 tahun 1999. Berdasarkan Convention on International Trade in Endangered Species of Wildlife Fauna and Flora (CITES), burung merak hijau dikategorikan ke dalam Appendix II, artinya perdagangan jenis burung ini harus dikendalikan, antara lain melalui sistem kuota dan pengawasan (Takandjandji dan Sawitri, 2011).

Merak jantan dewasa mempunyai jambul tegak di atas kepalanya dan dagu berwarna hijau kebiruan serta memiliki ciri-ciri yang khas yaitu adanya bulu hias yang tersusun dari 100 - 150 lembar bulu yang besar, panjang dan kuat. Warnanya adalah campuran antara hijau emas dan hijau perunggu sehingga terlihat berkilauan. Merak hijau betina dewasa mempunyai komposisi warna tubuh sama dengan jantan tetapi lebih lembut, tidak cerah, agak kusam dan tidak mempunyai bulu hias (Purwaningsih, 2012).

Tingkah Laku Reproduksi


Tingkah laku kawin unggas adalah aktivitas mulai pejantan dan betina melakukan persiapan saat dan setelah selesai kawin (Suryana dan Yasin, 2013). Setelah perkawinan merak hijau, merak hijau betina akan melakukan persiapan untuk membuat sarang dan bertelur (Ramadhan, 2009). Selama musim kawin merak hijau jantan akan lebih aktif bersuara. Hal ini diduga karena selama musim kawin bersuara adalah salah satu aktivitas dari merak hijau jantan untuk memikat merak hijau betina lain yang bukan termasuk dalam kelompoknya. Merak hijau melakukan aktivitas kawin pada tempat-tempat terbuka yang didahului dengan tarian merak atau display diantara waktu makan dan istirahat (Hernawan, 2003). Burung merak hijau melakukan perilaku kawin pada kawasan terbuka berpasir dan berdebu (Takandjandji dan Sawitri, 2011).

Proses berbiak merak hijau terdiri atas tiga tahap, yaitu pra kawin, kawin dan pasca kawin. Proses pra kawin ditandai dengan merak hijau jantan melakukan display dan suara khas musim berbiak yang dikeluarkannya (Ramadhan, 2009). Perilaku pra kopulasi pada dasarnya berfungsi sebagai proses sinkronisasi kondisi fisiologis diantara pejantan dan betina agar proses kopulasi dapat berlangsung optimal dan efektif. Faktor penting adalah kondisi hormonal seks di dalam tubuh satwa jantan dan betina (Masyud, 2007).

Proses kopulasi ditandai oleh naiknya merak hijau jantan ke atas punggung merak hijau betina hingga terjadinya kopulasi (Ramadhan, 2009). Perilaku kopulasi ditunjukkan dengan naiknya burung jantan ke atas punggung burung betina lalu memasukkan semen atau spermatozoa ke dalam saluran reproduksi betina, ditandai dengan terangkatnya bulu ekor burung betina (Masyud, 2007).

Perilaku pasca kopulasi adalah segera setelah kopulasi burung jantan turun dari punggung betina sambil mengepakkan sayap, diam sesaat kemudian melanjutkan aktivitas, begitupun dengan burung betina (Masyud, 2007). Merak hijau jantan akan merontokkan bulu hiasnya, merak hijau betina akan bertelur dan mengerami telurnya pada masa pasca kawin (Ramadhan, 2009).

Display jantan


Perilaku display merupakan ciri awal akan dimulainya perkawinan. Perilaku display dilakukan oleh merak hijau jantan saat bulu hiasnya mulai tumbuh. Perilaku ini bertujuan untuk menarik perhatian merak hijau betina dan menunjukkan kematangan secara seksual terhadap merak hijau maupun merak hijau lainnya (Ramadhan, 2009). Faktor yang mempengaruhi kematangan seksual merak hijau adalah karena faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah adanya kerja hormon LH dalam proses spermatogenesis, sedangkan faktor eksternal antara lain adalah faktor asupan pakan dengan kualitas dan keseimbangan gizi yang cukup (Masyud, 2007). Perkawinan merak hijau dimulai dengan adanya tarian merak dari merak jantan. Merak betina perlahan akan mendekati merak jantan. Merak hijau jantan menaikkan seluruh bulu hias dan didukung oleh bulu-bulu ekornya yang kaku dan membentuk sebuah kipas. Sayapnya diturunkan dan melangkah mendekati betina. Selanjutnya merak jantan tersebut membalik secara tiba-tiba dengan memiringkan tubuhnya melirik ke arah merak betina. Gerakan ini dilakukan secara berulang-ulang. Betina mengelilingi merak jantan berulang-ulang, sedangkan yang jantan sesekali mendekati betina sambil bulu hiasnya digetarkan (Purwaningsih, 2012).

  1. Mendekat
    Perilaku display dimulai ketika merak hijau jantan melihat merak hijau betina. Sayap akan dinaikkan dengan ditopang oleh bulu ekor. Sayapnya kemudian akan diturunkan dan merak hijau jantan melangkah mendekati merak hijau betina (Ramadhan, 2009). Salah satu pola perkawinan merak hijau Jawa adalah adanya gerakan pada merak hijau jantan yang melakukan gerakan membalikkan badan secara tiba-tiba dengan memiringkan tubuhnya melirik ke arah betina secara berulang dan merak hijau jantan sesekali akan mendekati merak hijau betina sambil bulu hiasnya digetarkan (Purwaningsih, 2012).

  2. Mounting
    Salah satu pola berbiak dari merak hijau jantan adalah adanya aktivitas merak hijau jantan menaiki punggung merak hijau betina hingga terjadinya aktivitas kopulasi dan aktivitas merak hijau jantan menuruni punggung merak hijau betina (Ramadhan, 2009). Jika merak hijau betina menerima bujukan dari merak hijau jantan, maka merak hijau betina akan segera mendekam dan merak jantan segera naik ke punggung merak hijau betina dan kemudian perkawinan pun berlangsung (Purwaningsih, 2012).

  3. Mating
    Proses mating memiliki pola yang berbeda dengan pola courtship dimana terdiri dari internal dan eksternal fertilisasi yang memiliki proses yang khas dan menarik. Proses mating pada unggas sedikit berbeda dengan jenis ternak lainnya. Hal ini karena pada proses kopulasi sebagian besar spesies tidak menggunakan penis, sehingga sperma dari unggas jantan akan ditransferkan dari kelenjar kloaka pejantan pada unggas betina. Pada proses kopulasi, dua kelenjar kloaka akan bertemu dan disebut dengan ciuman kloaka (Dewsbury, 1978). Merak hijau betina akan mengangkat bulu ekornya dan merak hijau jantan akan menurunkan bulu ekor dan bulu hiasnya untuk menempelkan anus ke dubur merak hijau betina (kopulasi) dengan memiringkan badan ke kiri atau ke kanan. Faktor yang mempengaruhi proses perkawinan pada merak hijau Jawa adalah keadaan cuaca, kecepatan angin, aktivitas satwa lain, faktor internal merak hijau atau kesiapan kawin yaitu umur merak hijau, jumlah merak hijau betina, jumlah merak hijau jantan pengganggu, predator, ketidaksempurnaan fisik dan adanya gangguan aktivitas manusia (Ramadhan, 2009).

  4. Respon betina
    Aktivitas merak hijau pada saat merak hijau melakukan display bervariasi. Merak hijau betina yang tertarik pada tarian merak hijau jantan akan mendekatinya dengan berputar mengelilingi merak hijau jantan yang sedang display. Adapun merak hijau betina yang tidak tertarik akan melanjutkan aktivitasnya seperti makan, mandi debu, menelisik dan minum (Ramadhan, 2009). Merak betina yang menerima bujukan dari merak jantan akan segera mendekam dan merak jantan segera naik ke punggung merak betina dan perkawinan berlangsung. Jika merak betina tidak menyukai merak jantan, merak betina akan menjauhi merak jantan itu dan menuju pejantan lainnya dan pejantan baru mulai menari (Purwaningsih, 2012).

Umur Kawin


Merak hijau di penangkaran telah siap kawin pada umur 2,5 - 3 tahun (Hernawan, 2003). Merak hijau menjadi dewasa saat berumur 3 tahun dan mampu untuk bertelur (Ramadhan, 2009). Rata-rata umur merak hijau Jawa betina yang melakukan perkawinan adalah di atas 2 tahun dan merak hijau Jawa jantan berumur di atas 3 tahun. Keberhasilan budidaya merak hijau adalah berdasarkan tingkat reproduksinya, hal ini karena jika reproduksinya berhasil maka telur yang dihasilkan akan meningkat sehingga berpengaruh terhadap telur yang fertil, sehingga bibit anakan merak yang dihasilkan juga akan mengalami peningkatan. Keberhasilan dan kegagalan dalam penetasan telur adalah karena tidak adanya kandungan embrio di dalam telur merak hijau, hal ini karena faktor umur yang belum mencukupi (Purwaningsih, 2012). Faktor umur yang dapat mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan dalam penetasan adalah karena semakin muda umur merak hijau betina maka oviduknya belum berkembang dan matang sempurna. Hal ini dapat berpengaruh terhadap pematangan folikel dan pelepasan estrogen merak hijau betina yang akan mempengaruhi ovulasi dan pelepasan ovum. Faktor yang berhubungan dengan umur kawin merak hijau adalah karena kerja hormon reproduksi yang berakibat pada berkembangnya organ reproduksi, hormon reproduksi jantan dan betina.

Hormon reproduksi jantan


Perkembangan organ reproduksi burung untuk mencapai tahap fungsional ditandai oleh adanya produksi sperma dan aktivitas perkawinan yang dipengaruhi oleh banyak faktor baik faktor internal maupun eksternal. Faktor internal adalah adanya kerja hormon LH dalam proses spermatogenesis, sedangkan faktor eksternal antara lain adalah faktor asupan pakan dengan kualitas dan keseimbangan gizi yang cukup (Masyud, 2007).

Bertambahnya umur akan berpengaruh pada meningkatnya hormon androgen yang membuat aktivitas seksual terutama pembentukan sperma akan meningkat. Hormon androgen (testosteron) berfungsi dalam proses spermatogenesis (Suharyati, 2006). Kadar hormon testosteron yang meningkat dapat mempengaruhi tanda-tanda berahi. Unggas jantan akan lebih sering bersuara merdu, frekuensi mendekati unggas betina lebih tinggi dan warna bulu semakin mengkilat. Testosteron merupakan hormon terpenting dalam perkembangan organ reproduksi hewan jantan. Testosteron berfungsi dalam proses spermatogenesis, selain itu juga mampu memperpanjang daya hidup spermatozoa di dalam epididimis, mempengaruhi perkembangan alat reproduksi luar dan memelihara perkembangan alat kelamin sekunder pada hewan jantan. Hormon testosteron disintesis dari kolesterol, dan prosesnya berlangsung dalam sel Leydig dan kelenjar adrenal (Isnaeni et al., 2010).

Rontoknya bulu pada ternak unggas jantan adalah akibat dari berkurangnya hormon tiroksin yang diikuti dengan organ reproduksi yang mengalami penurunan. Hormon tiroksin yang menurun tersebut akan membuat aktivitas metabolisme meningkat. Peningkatan aktivitas metabolisme dipacu oleh pengaruh rontok bulu, melalui aktivitas metabolisme energi yang dihasilkan sebagian besar digunakan untuk menjaga suhu tubuh yang seimbang (Purba et al., 2005).

Hormon reproduksi betina


Umur unggas akan berpengaruh pada jumlah ovum yang dihasilkan sehingga akan mempengaruhi kerja organ reproduksi dan produksi. Fungsi organ reproduksi dipengaruhi oleh hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh hipofisa anterior yang terdiri dari Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH). Hormon FSH berfungsi untuk merangsang folikel ovarium sehingga ovarium berkembang dan ukuran folikel bertambah. Hormon LH berperan pada ovulasi pada folikel yang sudah masak serta merangsang sekresi androgen yaitu hormon yang mempengaruhi sekresi albumen oleh oviduk. Semakin bertambahnya umur ternak maka kemampuan fisiologis alat reproduksi juga akan menurun (Istinganah, 2013).

Perkembangan organ reproduksi dipengaruhi oleh hormon-hormon reproduksi. Hormon reproduksi yang berperan dalam sistem reproduksi unggas diantaranya adalah FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone) yang disekresikan oleh kelenjar hipofisa. Pelepasan FSH dan LH oleh kelenjar hipofisa distimulasi oleh GnRH (Gonadotrophin Releasing Hormone) yang disekresikan oleh hipotalamus. FSH merupakan hormon yang menstimulasi pemasakan ovarium, sedangkan LH menginduksi ovulasi ovum yang telah masak (Solang, 2011).

Siklus ovulasi diatur oleh mekanisme hormonal. Hormon estrogen merupakan salah satu hormon steroid reproduksi. Sintesis hormon estrogen terjadi di dalam sel theka dan sel-sel granulosa ovarium. Prekursor hormon steroid adalah kolesterol, yang pembentukannya melalui serangkaian reaksi enzimatik (Saraswati, 2015). Semakin bertambahnya umur dan status reproduksi burung maka akan membuat ukuran setiap folikel serta berat ovarium lebih besar dan jumlah folikel yang lebih banyak (Masyud, 2007).