Apa yang anda ketauhi tentang masa Iddah ?
Masa âiddah adalah istilah yang diambil dari bahasa arab yang bermakna perhitungan. Dinamakan demikian karena seorang menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya masa iddah. Menurut istilah para ulama, masa âiddah ialah sebutan atau nama suatu masa di mana seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quruâ, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.
Ada yang menyatakan, masa âiddah adalah istilah untuk masa tunggu seorang wanita untuk memastikan bahwa dia tidak hamil atau karena taâabbud atau untuk menghilangkan rasa sedih atas sang suami.
HIKMAH âIDDAH
Para ulama memberikan keterangan tentang hikmah pensyariatan masa âiddah, diantaranya:
- Untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang hamil atau tidak.
- Syariat Islam telah mensyariatkan masa âiddah untuk menghindari ketidakjelasan garis keturunan yang muncul jika seorang wanita ditekan untuk segera menikah.
- Masa âiddah disyariâatkan untuk menunjukkan betapa agung dan mulianya sebuah akad pernikahan.
- Masa âiddah disyariâatkan agar kaum pria dan wanita berpikir ulang jika hendak memutuskan tali kekeluargaan, terutama dalam kasus perceraian.
- Masa âiddah disyariâatkan untuk menjaga hak janin berupa nafkah dan lainnya apabila wanita yang dicerai sedang hamil.
Pengertian âIddah
Istilah âiddah sebenarnya sudah dikenal sejak zaman jahiliyah. Dimana orang-orang pada saat itu hampir tidak pernah meninggalkan kebiasaan âiddah ini. Kemudian ketika islam datang kebiasaan ini di akui daba dijalankan terus, karena ada beberapa kebaikan yang terkandung didalamnya, kemudian para ulama sepakat âiddah itu wajib hukumnya.
Secara etimologi, al-ââiddah diambil dari kata al-âadd dan al-hisab adalah masdar fiâil madhi( ï»ïșȘ ) yang artinya â menghitungâ.2 Jadi kata âiddah artinya menghitung, hitungan atau sesuatu yang terhitungkan. âiddah adalah merupakan masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya.
Sedangkan secara terminologi, para ulama telah merumuskan pengertian âiddah menjadi beberapa pengertian, seperti Ash Shonâani memberi defenisi âiddah sebagai berikut :
ââiddah ialah suatu nama bagi suatu masa tunggu yang wajib dilakukan oleh wanita untuk tidak melakukan perkawinan setelah kematian suaminya atau perceraian dengan suaminya itu, baik dengan melahirkan anaknya, atau beberapa kali suci/haid atau beberapa bulan tertentu.
Abu zahroh memberi defenisi âiddah sebagai berikut :
âiddah adalah sutau masa yang ditetapkan untuk mengakhiri pengeruh- pengaruh perkawinanâ
Lebih lanjur prof. Abu zahroh mengatakan :
âJika terjadi perceraian antar seorang lelaki dengan istrinya, tidaklah terputus secara tuntas ikatan suami istri itu dari segala seginya dengan semata-mata terjadi perceraian, melainkan istri wajib menunggu, tidak boleh kawin dengan laki-laki lain sampai habis masa tertentu yang telah ditentukan oleh syara â
Sedangkan menurut ulama Syafiâiyah âiddah diartikanya sebagai berikut :
âmasa yang harus dilalui oleh istri (yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suaminya) untuk mengetahui kesucian rahimya, mengabdi atau berbela sungkawa atas kematian suaminyaâ
Dasar Hukum âiddah
-
Al-Qurâan
âiddah diwajibkan secara syariat kepada perempuan, berdasarkan Al- Qurâan, Sunnah dan Ijmaâ.dalam al-qurâan banyak ayat yang menunjutkan kewajiban bagi perempuan untuk berâiddah, di antaranya dalam surat Al-Baqoroh ayat 228 :
â Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru â â . (Q.S. Al Baoroh 228).
-
Al Hadits
Dalam sunnah Nabi yang dijadikan sebagai dasar hukum tentang âiddah diantaranya :
diceritakan dari ibnu umar sesungguhnya dia menthalak istrinya dalam keadaan haid pada masa rasulullah SAW, umar bin khatab bertanya kepada rasulullah SAW mengenai hal itu. Kemudian Rasulullah SAW berkata kepada umar âperintahkanlah ia untuk merujuk istrinya, kemudian menahanya sehingga suci, haid dan suci lagi. Maka jika ingin tahanlah ia sesudah itu. Dan jika sudah ceraikanlah sebelum ia menyentuhnya. Demikianlah âiddah yang diperintahkan oleh Allah yaitu perempuan yang harus diceraikan pada iddhanyaâ (HR.Muslim)
Dalil-dalil diatas menunjukkan bahwa âiddah adalah masa menunggu bagi wanita yang dithalak suami (cerai hidup) atau ditinggal mati suami (cerai mati), perbedaan status ini menjadi penentu jenis âiddah yang dijalani oleh seorang istri. Adapun wanita yang suci (tidak hamil) yang di tinggal mati oleh suaminya âiddahnya empat bulan sepuluh hari. Ini berarti bahwa masa âiddah perempuan yang di thalak suaminya (cerai hidup) lebih pendek dari cerai mati, yaitu tiga kali suci bagi mereka yang berada pada masa âiddah, dan tiga bulan bagi wanita yang sudah putus haidnya (menopause).
-
Undang-undang (peraturan tertulis)
Selain dalam Al-Qurâan dan Al-Hadts âiddah juga diatur dalam undang- undang perkawinan, yaitu undang-undang No 1 tahun 1974 pasal 29 yang berbunyi :
Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam pasal 11 ayat 2 undang-undang ditentukan sebagai berikut :
- Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh ) hari.
- Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (kali) suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari.
- Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut sedang dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
- Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
- Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suaminya.
Referensi :
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, ter. Muh. Tholib (Bandung: Al-Maâarif, 1993), Cet. 2, Jilid 8.
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir , (Darul Maâarif, 1984)
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, ( Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. 6
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet. 3
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ahmad bin Mustafa Abu Zahrah. Lahir dikota al-Mahalla al-Kubro, mesir tahun 1898. Ia adalah seorang ulama, pejuang, mandiri, berwibawa, ahi fiqih, dan ijtiha, serta mengahabiskan umurnya untuk menyebarkan agama Islam. Syekh Abu Zahrah memilki madrasah yang meluluskan ribuan ulama di timur dan barat. Ia adalah orang yang pertama kali mengajar difakultas hukum Universitas Kairo sejak didiriaknya dan juga sebagai orang yang pertama yang membuka jurusan Syariah Islam difakultas tersebut, sekaligus mengajar tanpa gaji. Lihat dalam: Amirullah Kandu, Lc. Ensiklopedi Dunia Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010),
Departemen AgamaRI, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan tinggi Agama), Cet. II,
Abdul Rahman Al Jaziri, kitab Fiqih âala Madhahibil Ar Baâah, ( Darul Kutub Al âIlmiah, th), juz. IV
Departemen Agama RI, Al-Qurâan dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2006)
Imam Abi al-Husein, Shohi Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 1992)
Undang-Undang perkawinan, Bandung: Fokus Media, 2005
Menurut mazhab Syafiâiyyah iddah adalah masa menunggu bagi seorang wanita guna
mengetahui apakah di dalam rahimnya ada benih janin dari sang suami atau tidak.Iddah juga disimbolkan sebagai kesedihan seorang wanita atas kematian suami. Atau iddah merupakan konstruksi agama yang lebih menggambarkan nuansa ibadah (taâabbudi). Alasan taâabbudiini berlaku pada seorang istri yang masih kanak-kanak lalu ditalak atau ditinggal mati suaminya. Karena anak kecil belum waktunya untuk diajak bersenggama, maka mustahil rahimnya terisi benih. Kewajiban iddah bagi perempuan yang masih kanak-kanak ini tiada lain hanya untuk menghormati sebuah ikatan perkawinan. Sebab, tidak menutup kemungkinan setelah terjadi perceraian ada rasa sesal dari kedua belah pihak. Sehingga terbukakesempatan untuk kembali merajut tali kasih sesuai dengan waktu yang tersedia.
Sedangkan menurut kalangan mazhab Hanabilah, iddah adalah masa menunggu bagi wanita yang ditentukan oleh agama. kelompok ini sama sekali tidak pernah menyinggung mengapa harus ada waktu menunggu bagi seorang wanita setelah ditalak atau ditinggal mati suaminya.
Larangan dalam Masa Iddah
Syariâat Islam telah menentukan tiga larangan yang tidak boleh dilanggar oleh perempuan saat menjalani masa iddah. Ketiga larangan tersebut sekaligus tidak berlaku lagiketika masa iddah telah selesai. Ketiga larangan tersebut adalah sebagai berikut:
-
Haram menikah dengan laki-laki lain Seorang perempuan yang sedang menjalani iddah baik karena dicerai, fasakh maupun ditinggal mati oleh suami tidak boleh menikah dengan selain dengan laki-laki yang meninggalkan atau menceraikannya itu. Jika ia menikah maka pernikahannya dianggap tidak sah, dan jika ia melakukan hubungan badan maka dia terkena hukuman al-hadd. Meminang dengan sindiran kepada perempuan yang sedang menjalani masa iddah juga dilarang (haram) baik sindiran itu berasal dari sang perempuan maupun laki-laki lain. Tapi perlu diingat, ketentuan ini hanya berlaku bagi perempuan yang menjalani masa iddah karena perceraian atau fasakh, bukan karena kematian suami. Adapun meminang secara terang-terangan terhadap perempuan yang sedang menjalani masa iddah, apapun sebabnya hukumnya haram. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 235 :
Artinya
" dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran36atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang maâruf. Dan janganlah kamu berâazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimumaka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." -
Haram keluar rumah kecuali karena alasan darurat Perempuan yang sedang menjalani masa âiddah tidak boleh keluar dari rumah yang ditinggalibersama suaminya sebelum bercerai. Dia baru boleh keluar jika ada keperluan mendesak, seperti membeli kebutuhan pokok atau obat-obatan. Selain itu, sang suami juga tidak boleh memaksanya keluar rumah kecuali jika dia telah melakukan perbuatan terlarang seperti perzinaan.
Fuqahaâ memang berbeda pendapat mengenai keluarnya istri yang ditalak dari rumah padasaat menjalani masa iddahnya. Para ulama penganut madzhab Hanafi berpendapat, bahwasanya tidak diperbolehkan agi seorang istri yang dithalak rajâi maupun baâin keluar dari rumah pada siang maupun malam hari. Sedangkan bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya boleh keluar siang hari dan sore hari. Ulama penganut madzhab hanbalmemperbolehkanya keluar pada siang hari, baik karena dithalak maupun ditinggalmati oleh suaminya. Sedangkan Ibnu Qudamah berpendapat: âbagi istri yang sedang menjalani masa iddah boleh keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya pada siang hari, baik itu karena ditalak maupun karena ditinggal mati oleh suaminyaâ
Allah Swtberfirman dalam surat Al-Thalaq ayat 1:
Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)45dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudahitu sesuatu hal yang baru.
-
Wajib melakukan ihdadPerempuan yang ditinggal mati suaminyawajib melakukan ihdad(menahan diri) sampai habis masa iddahnya. Kata ihdad berarti tidak memakai perhiasan, wewangian, pakaian bermotif, pacar dan celak mata.