Apa yang anda ketahui tentang Macan Tutul?

Macan tutul

Macan tutul (Panthera pardus) adalah salah satu dari empat kucing besar. Hewan ini dikenal juga dengan sebutan harimau dahan karena kemampuannya memanjat.Macan tutul berukuran besar, dengan panjang tubuh antara satu sampai dua meter. Spesies ini pada umumnya memiliki bulu berwarna kuning kecoklatan dengan bintik-bintik berwarna hitam. Bintik hitam dikepalanya berukuran lebih kecil. Macan tutul betina serupa, dan berukuran lebih kecil dari jantan.

Taksonomi Macan Tutul


Macan tutul Jawa termasuk binatang bertulang belakang dengan klasifikasi sebagai berikut (Gunawan, 1988; Anonim, 1978; dan McNeely, 1977) :

  • Kingdom : Animalia
  • Phylum : Chordata
  • Sub-phylum : Vertebrata
  • Class : Mammalia
  • Ordo : Karnivora
  • Sub Ordo : Fissipedia
  • Family : Felidae
  • Sub-family : Pantherinae
  • Genus : Panthera
  • Spesies : Panthera pardus Linnaeus, 1758

Morfologi Macan Tutul


Macan tutul di Pulau Jawa mengalami melanisme atau perbedaan morfologi warna rambut, yaitu adanya warna dasar tubuh coklat kekuningan dan warna dasar tubuh hitam pada satu badannya. Dikatakan lebih lanjut, warna dasar macan tutul umumnya adalah kekuning–kuningan atau coklat kekuningan dengan banyak tutul–tutul hitam yang tersusun dalam bentuk kembangan (rosette). Bentuk kembangan ini terbatas pada punggung dan rusuk, sedangkan tutul–tutul tunggal terdapat di kepala, kaki, telapak kaki, bagian bawah tubuh yang warna dasarnya putih atau abu–abu dan ekor yang sisi bawahnya berwarna putih. Macan kumbang
juga memiliki pola tutul–tutul akan tetapi hanya terlihat di bawah cahaya yang kuat (Lekagul dan McNeely, 1977 dalam Ahmad, 2007) Bentuk telinga macan tutul tegak dengan bagian luar berwarna kecoklatan dan bagian dalam agak keputihan. Macan tutul dapat bersuara keras dan
mengaum, tetapi tidak meraung–raung seperti harimau. Ekornya relatif panjang bila dibandingkan dengan badannya dan dimanfaatkan sebagai salah satu alat keseimbangan badan (Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, 1978).

Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam (1978) mengatakan bahwa panjang badan dengan ekor bisa mencapai 170 cm dan beratnya 45 kg. Diameter jejak kakinya adalah 7-9 cm.
Macan tutul mempunyai penunjukkan gejala perbedaan mendasar besar badan pada jenis kelamin yang berlainan (dimorphisme). Dalam hal ini yang jantan mempunyai ukuran lebih besar dari betina, termasuk perbedaan ukuran tengkoraknya (Lekagul dan McNeely, 1977).

Populasi dan Penyebaran Macan Tutul


Prater (1980) menjelaskan bahwa macan tutul merupakan jenis yang sukses dalam migrasi dari daerah aslinya, Asia Tenggara dan Asia Utara. Diantara jenis kucing besar yang ada, macan tutul memiliki daerah penyebaran yang paling luas (Lekagul dan McNeely, 1977). Macan tutul tersebar di benua Afrika, Asia bagian selatan dan timur sampai ke bagian Manchuria, menyebar ke Indonesia, Malaya, dan Pulau Jawa (Anonim, 1978). Macan tutul Jawa hanya terdapat di pulau Jawa dan Kangean (Madura). Di Jawa Barat macan tutul Jawa terdapat di Cirebon, Cianjur selatan, TN Gunung Gede Pangrango dan TN Ujung Kulon (Hoogerwerf, 1970). Daerah penyebaran macan tutul Jawa di Yogyakarta dan Jawa Tengah adalah sebagai berikut : Nusa Kambangan,
Batang,
Banjarnegara,
Kendal,
Cepu,
Sragen,
Notog,
Jati
Lawang,
Gunung Slamet,
Kebasan,
Gunung Muria,
Gunung Merapi,
Kulon Progo (Anonim, 1978).

Di Jawa Timur macan tutul Jawa dapat dijumpai di TN Meru Betiri, TN Baluran, Tuban, Ponorogo, Padangan, Saradan, Jember, Blitar, Jatirogo, Madiun, dan Gundih (Hoogerwerf, 1970). Walaupun Pulau Jawa telah kehilangan 90% vegetasi alaminya, namun keberadaan macan tutul terdeteksi pada 12 kawasan konservasi diantaranya taman nasional, cagar alam, hutan wisata dan taman buru. Hingga saat ini populasi macan tutul di seluruh Pulau Jawa tidak diketahui dengan pasti tapi masih berupa asumsi. Misalnya 1 individu per 10 km2 di habitat yang tidak terganggu dan satu individu per 5 km2 untuk habitat yang telah terganggu. Dengan menggunakan asumsi tersebut dan berdasarkan luasan habitat macan tutul yang tersisa di Pulau Jawa diperkirakan masih ada lebih kurang 350-700 ekor macan tutul (Santiapillai dan Ramono, 1992).

Macan tutul tidak terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan maupun Bali (Hoogerwerf, 1970). Macan dahan (Neofelis nebulosa) dan macan emas (Felis temminckii) di Sumatera yang mengalami melanisme sering dikira macan kumbang (Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, 1978).

###Perilaku Macan Tutul

Berikut ini beberapa perilaku macan tutul, diantaranya :

  • Perilaku Teritorial

    Macan tutul biasanya hidup menyendiri (soliter), kecuali pada musim kawin dan mengasuh anak. Macan tutul Jawa kurang suka menetap, namun ia tidak akan keluar dari daerah teritorinya jika makanan masih mencukupi (Ahmad, 2007). Eisenberg dan Lockhart (1972) mengatakan bahwa macan tutul jantan dan betina dapat mendiami daerah perburuan yang sama, tetapi hal ini tidak berlaku bagi individu–individu yang berjenis kelamin sama. Cara mempertahankan daerah teritori dilakukan dengan pengiriman tanda–tanda berupa suara, cakaran, maupun urine dan kotoran. Macan tutul jawa membuang kotoran tanpa disembunyikan, melainkan diletakkan di tempat–tempat yang terbuka (Medwey, 1975 dalam
    Gunawan, 1988).

  • Perilaku Berburu

    Macan tutul Jawa mulai berburu dengan cara mengintai mangsanya, dan kemudian menyergapnya dari belakang. Jika serangan pertama pada mangsa gagal, ia cenderung tidak meneruskan serangannya. Bagian yang pertama kali dimakan adalah bagian dalam tubuh, lalu daging sekitar dada, rusuk dan paha. Macan tutul juga mau memakan tulang mangsanya. Apabila ada sisa, macan tutul Jawa akan menyimpannya untuk suatu saat didatangi lagi. Untuk melindungi hasil buruannya dari pemangsa lain, macan tutul menyembunyikannya di atas pohon, atau menutupinya dengan daun, ranting, rumput atau serasah (Ahmad, 2007). Jenis mangsa yang dimakan adalah sigung, kelelawar, lutung (Anonim, 1978). Ada juga jenis surili, kijang, ayam hutan, merak, pelanduk dan kancil. Ditemukan juga tanah liat, remukan tulang dan rerumputan di dalam kotorannya. Berdasarkan ukuran tubuh mangsa, macan tutul lebih sering memangsa satwa dengan ukuran berat badan antara 25-50 kg, yaitu satwa yang memiliki ukuran badan setengah hingga sama dengan ukuran badan macan tutul (Seidensticker, 1976 dalam Gunawan, 1988).

  • Perilaku Reproduksi

    Macan tutul betina memiliki pola polyestrus, yaitu mengalami beberapa kali birahi dalam satu tahun. Di penangkaran, periode pematangan telur terjadi setiap tiga minggu sekali dengan masa subur selama 4-12 hari. Rata–rata masa buntingnya adalah 90-95 hari. Jumlah anak per kelahiran adalah 1-3 ekor. Anak–anak macan tutul sejak lahir sudah memiliki rambut, namun matanya belum berfungsi secara sempurna. Penyapihan akan dimulai ketika proses penyusuan
    sudah berlangsung antara tiga sampai empat bulan. Anakan akan mencapai kedewasaan pada umur 2,5-4 tahun. Di bawah pengawasan dan pemeliharaan macan tutul dapat hidup hingga usia dua puluh tiga tahun (Grzimek, 1975). Adapun usia macan tutul di alam diperkirakan antara tujuh sampai sembilan tahun (Guggisberg, 1975).

Habitat Macan Tutul


Habitat adalah suatu kesatuan kawasan yang terdiri dari beberapa komponen, baik fisik maupun biotik, yang digunakan oleh satwaliar sebagai tempat hidup dan berkembangbiak. Habitat memiliki fungsi dalam hal penyediaan makanan, air dan pelindung (Alikodra, 2002).
Habitat adalah suatu tempat dimana kelompok atau individu ditemukan. Suatu habitat merupakan hasil interaksi berbagai komponen, yaitu komponen fisik yang terdiri dari air, tanah, topografi, dan iklim (makro dan mikro), serta komponen biologis yang terdiri dari manusia, vegetasi dan satwa (Smiet, 1981).

Makanan bagi satwa liar merupakan faktor pembatas. Makanan harus selalu tersedia dengan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, jika tidak maka akan terjadi perpindahan satwaliar untuk mencari daerah baru yang banyak makanannya (Alikodra, 2002). Air merupakan komponen yang penting pula bagi satwa dan tidak hanya air tawar, tetapi juga air yang mengandung garam terlarut. Alikodra (1990) mengemukakan bahwa terdapat empat kelompok satwaliar dilihat dari ketergantungan terhadap air, yaitu :

  • Satwaliar perairan
  • Satwaliar yang sangat memerlukan air setiap harinya untuk proses pencernaan
  • Satwaliar yang relatif tahan hidup dalam kondisi iklim tanpa air
  • Satwaliar yang jarang memakai air dalam hidupnya.

Elton (1966) mengemukakan bahwa vegetasi mempunyai peranan utama dalam habitat, yaitu sebagai bagian dari makanan dan tempat berlindung satwaliar. Vegetasi sebagai cover mempunyai peranan penting untuk hidup dan berkembang biak, disamping itu berperan pula sebagai tempat berlindung satwaliar dari serangan predator atau bahaya lainnya. Giles (1971) menyatakan bahwa vegetasi merupakan aspek lingkungan yang paling penting untuk satwaliar dan merupakan indikator dari kondisi suatu habitat. Vegetasi dominan pada suatu habitat dapat dipergunakan untuk evaluasi kondisi habitat sebagai indikator keadaan iklim, tanah, kelembaban, gangguan yang terjadi di masa lampau dan potensi pertanian. Habitat merupakan suatu bagian dari ekosistem, sehingga untuk menjamin kelestarian habitat berarti kelangsungan dari setiap hubungan di dalam sistem harus dipertahankan. Rusaknya hubungan dalam suatu sistem akan mempengaruhi sistem lain sehingga secara langsung atau tidak langsung akan merusak habitat.

Kerusakan habitat dapat disebabkan beberapa hal, antara lain oleh aktifitas manusia, satwaliar atau bencana alam (Alikodra, 2002). Tempat hidup macan tutul adalah hutan rimba yang lebat, tetapi biasa pula mendatangi perkampungan dan perkebunan. Macan tutul mampu hidup sampai ketinggian + 2500 m di atas permukaan laut. Macan tutul sangat tidak selektif dalam menentukan habitatnya, mereka hanya menggunakan wilayah hutan yang memiliki kecukupan akan ketersediaan sumber makanan, air dan shelter (Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, 1978).

Harimau loreng, ajag, dan macan tutul tidak saling toleran satu sama lain, tetapi tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk menggunakan habitat secara bersama–sama (Hoogerwerf, 1970). Macan tutul kadang–kadang masuk ke perkampungan di sekitar hutan dan memangsa ternak, apabila persediaan makanan di dalam habitatnya sudah berkurang (Anonim, 1978 dalam Sudiana, 1991). Prater (1980) menyatakan bahwa macan tutul dengan bentuk fisik dan perilakunya menjadikannya mempunyai kemampuan yang luas untuk memilih daerah
huniannya.

Macan tutul di pulau Jawa terdapat di seluruh daerah, mulai dari pantai hingga daerah pegunungan tinggi (Veever-Carter, 1978). Macan tutul juga dijumpai di daerah terbuka yang berbatu–batu dengan semak belukar yang kering. Macan tutul memang lebih toleran terhadap panas dibandingkan harimau loreng (Panthera tigris) dan mampu tinggal di daerah yang jauh dari air (Lekagul dan McNeely, 1977). Macan tutul juga sering muncul di hutan–hutan jati, lahan
pertanian dan bahkan berani masuk ke tengah desa atau kota. Hal semacam ini menunjukkan daya adaptasinya yang tinggi (Hoogerwerf, 1970). Macan tutul umumnya tinggal dekat perkampungan, menempati gua–gua, lubang yang digali atau celah–celah batu (Sankhala, 1977 dalam Sudiana, 1991). Mereka juga bersembunyi di semak–semak lebat, padang rumput dengan tegakan pohon berkelompok dan formasi batu–batuan atau gua–gua (Anonim, 1978 dalam Sudiana, 1991). Tempat untuk memelihara anak biasanya di gua–gua, lubang atau rongga batu besar dan tempat tersembunyi lainnya yang memiliki ruangan gelap (Hoogerwerf, 1970).

Seleksi Habitat Macan Tutul


Satwaliar mungkin menilai dan memilih habitatnya yang cocok (sesuai sehingga dapat bertahan hidup dan berkembangbiak yang terbaik) dengan melihat faktor–faktor nutrisi dan struktural. Meskipun demikian kebanyakan studi tentang mekanisme seleksi habitat menitikberatkan pada respon satwa terhadap faktor–faktor struktural. (Bailey, 1984 dalam Gunawan, 2000). Seleksi habitat bermanfaat untuk menunjukkan bagaimana gigihnya suatu
jenis satwa setia pada pilihannya terhadap struktur habitat tertentu. Meskipun belajar, kesan terhadap tempat lahirnya mungkin mempengaruhi preferensi habitat, preferensi ini sangat mungkin adalah bawaan sejak lahir (Bailey, 1984; Robinson dan Bolen, 1984 dalam Gunawan, 2000).

Dalam seleksi habitat, beberapa vertebrata lebih mementingkan life form atau fisiognomi habitat mereka, daripada keberadaan spesies tumbuhan tertentu. Satwaliar mungkin hanya tergantung pada kebutuhan cover (aspek struktural dari lingkungannya) seperti halnya ketergantungannya pada kebutuhan mereka akan makanan tertentu. Beberapa spesies adalah generalis, tak terbatasi oleh ketersediaan bentuk–bentuk cover, sedangkan jenis lainnya spesialis, memiliki kebutuhan cover tertentu saja (Bailey, 1984 dalam Gunawan, 2000).

1 Like