Apa yang anda ketahui tentang Lao Tzu, Lao Zi atau Lao Tze?

image

Seorang pemimpin adalah seseorang yang jarang diketahui orang banyak dan ketika ada sebuah pekerjaan dan tujuan yang berhasil diselesaikan, dia akan menjawab: “Kami melakukannya bersama-sama”

Siapakah Lao Tzu ?

Lao Tzu

Sangat sedikit yang bisa kita ketahui tentang filsuf Tiongkok Lao Tzu (kadang-kadang juga dikenal sebagai Lao Zi atau Lao Tze). Beliau merupakan tokoh penuntun dalam Taoisme, praktik spiritual yang masih populer. Dia dikatakan sebagai penjaga catatan di istana Dinasti Zhou Tiongkok tengah pada abad ke-6 SM, dan seorang kontemporer Konfusius.

Terdapat beberapa legenda terkait Lao Tzu, bahwa ia dikandung ketika ibunya melihat bintang jatuh, atau dikandung ibunya selama 62 tahun dan terlahir sebagai orang tua dengan telinga yang sangat panjang, hidup selama 990 tahun.

Ketika bekerja sebagai hakim, Lao Tzu merasa bosan dengan kehidupan di pengadilan Zhou karena pengadilan tersebut semakin korup secara moral. Jadi dia pergi dan naik kerbau ke perbatasan barat kekaisaran Cina. Meskipun ia berpakaian sebagai petani, pejabat perbatasan mengenalinya dan memintanya untuk menuliskan kebijaksanaannya.

Menurut legenda, apa yang ditulis Lao Tzu menjadi teks suci yang disebut Tao Te Ching. Setelah menulis ini, Lao Tzu dikatakan telah melintasi perbatasan dan menghilang dari sejarah, mungkin menjadi seorang pertapa. Tao Te Ching kemungkinan merupakan kompilasi karya banyak penulis dari waktu ke waktu. Tetapi kisah-kisah tentang Lao Tzu dan Tao Te Ching telah diturunkan melalui berbagai sekolah filsafat Tiongkok selama lebih dari dua ribu tahun dan proses tersebut membuat Tao Te Ching menjadi sangat menakjubkan.

Saat ini setidaknya ada dua puluh juta Daois, dan mungkin bahkan setengah miliar, tinggal di seluruh dunia, terutama di Cina dan Taiwan. Mereka berlatih meditasi, melantunkan kitab suci, dan menyembah berbagai dewa dan dewi di kuil-kuil yang dijalankan oleh para imam. Para penganut Tao juga melakukan ziarah ke lima gunung suci di Cina timur untuk berdoa di kuil-kuil dan menyerap energi spiritual dari tempat-tempat suci ini

Taoisme sangat terkait dengan cabang pemikiran lain seperti Konfusianisme dan Budha. Konfusius sering diyakini sebagai murid Lao Tzu. Demikian pula, beberapa orang percaya bahwa ketika Lao Tzu menghilang, ia pergi ke India dan Nepal dan mengajar atau menjadi Buddha. Praktek Konfusianisme sampai hari ini tidak hanya menghormati Lao Tzu sebagai filsuf besar tetapi juga mencoba mengikuti banyak ajarannya.

Lao Tzu
Lukisan Dinasti Song abad ke-12 berjudul ‘Konfusianisme, Taoisme, dan Budha adalah satu’ adalah bukti artistik dari cara ketiga filosofi ini bercampur dari waktu ke waktu, dan sering diyakini sepenuhnya.

Ada sebuah kisah tentang tiga pemimpin spiritual besar Asia (Lao Tzu, Konfusius, dan Buddha). Semua dimaksudkan untuk mencicipi cuka. Konfusius menganggapnya masam, sama seperti ia menemukan dunia yang penuh dengan orang-orang yang merosot moralnya, dan Buddha menganggapnya pahit, seperti ia menemukan dunia penuh dengan penderitaan. Tapi Lao Tzu menganggap dunia ini manis. Ini memberi makna bahwa ajaran Lao Tzu cenderung melihat perselisihan yang tampak di dunia dan melihat harmoni mendasar yang dipandu oleh sesuatu yang disebut ‘Dao’.

The Tao Te Ching memberikan instruksi (kadang-kadang samar dan umumnya terbuka untuk beberapa interpretasi) tentang bagaimana menjalani kehidupan yang baik. The Tao Te Ching membahas tentang “Dao,” atau “jalan” dunia, yang juga merupakan jalan menuju kebajikan, kebahagiaan, dan harmoni. “Cara” ini secara inheren tidak membingungkan atau sulit.

Lao Tzu menulis,

“Dao yang agung itu sangat merata (adil), tetapi orang-orang suka mengambil jalan pintas.”

Dalam pandangan Lao Tzu masalah dengan kebajikan bukanlah bahwa itu sulit atau tidak wajar, tetapi sederhananya adalah kita menentang jalan yang sangat sederhana yang mungkin jalan sederhana tersebut membuat kita merasa paling puas. Untuk mengikuti Dao, kita perlu lebih dari sekadar membaca dan memikirkannya. Sebaliknya, kita harus belajar wu wei (“mengalir” atau “tindakan tanpa usaha”), semacam penerimaan yang disengaja dari jalan Dao dan hidup selaras dengannya. Ini mungkin tampak tinggi dan aneh, tetapi sebagian besar saran Lao Tzu sebenarnya sangat sederhana. Seorang abadi (di sini berjalan di atas air) sudah pasti menguasai wu wei, hidup selaras dengan Dao

  • Pertama, kita harus mengambil lebih banyak waktu untuk keheningan. “Ketika pikiran kita menjadi diam,” kata Lao Tzu, “seluruh alam semesta akan menyerah.” Kita perlu melepaskan kekhawatiran dan pemikiran kompleks kita untuk sementara waktu dan hanya sekedar menikmati dunia. Kita menghabiskan begitu banyak waktu dengan bergegas dari satu tempat ke tempat lain dalam kehidupan. Lao Tzu mengingatkan kita bahwa “alam tidak terburu-buru, namun semuanya tercapai.” Sangat penting bagi kita untuk mengingat bahwa hal-hal tertentu — berduka, tumbuh lebih bijaksana, mengembangkan hubungan baru — hanya terjadi sesuai jadwal mereka sendiri, seperti perubahan daun pada musim gugur atau mekarnya umbi yang kita tanam beberapa bulan yang lalu.

  • Ledua, ketika kita berada dalam posisi “diam” dan sabar, pada saat yang sama kita juga harus berpikiran terbuka. Diri kita perlu diingatkan untuk selalu mengosongkan diri kita dari pikiran-pikiran sembrono sehingga kita dapat mengamati apa yang benar-benar penting. “Kegunaan pot berasal dari kekosongannya.” Lao Tzu berkata. “Kosongkan dirimu dari segalanya, biarkan pikiranmu menjadi tenang.” Jika kita terlalu sibuk, terlalu sibuk dengan kecemasan atau ambisi, kita akan kehilangan ribuan momen dari pengalaman manusia yang merupakan warisan alami kita. Kita harus sadar akan bagaimana cahaya memantul dari riak-riak di kolam dan merasakan angin bermain dengan rambut kita. Pengalaman-pengalaman ini akan menghubungkan kembali antara kita dengan bagian-bagian dari diri kita.

  • Ketiga, dimana ini adalah poin kunci dari tulisan Lao Tzu: kita harus berhubungan dengan diri kita yang sebenarnya. Kita menghabiskan banyak waktu mengkhawatirkan tentang siapa kita seharusnya, tetapi kita harus meluangkan waktu untuk menjadi diri kita yang sebenarnya. Kita mungkin akan menemukan kembali hati kita yang murah hati, atau sisi menyenangkan dari hati kita yang telah kita lupakan, atau sekadar rasa kasih sayang yang ada didalam hati. Ego kita sering menghalangi diri sejati kita. Kita harus menerima dunia luar yang ada dan jangan terlalu berfokus pada citra internal yang ambisius. “Ketika saya melepaskan diri saya,” tulis Lao Tzu, “saya akan menjadi seperti apa saya yang semestinya.”

Lao Tzu
Lao Tzu tampak damai karena dia tahu siapa dia sebenarnya. Sebuah patung dari antara abad ke-8 dan ke-11.

Apa buku terbaik tentang filsafat yang bisa dilihat?

Bagi Lao Tzu, buku terbaik adalah buku alam. Dunia alami, air, batu, pohon, dan awan, yang memberi kita pelajaran kebijaksanaan dan ketenangan yang terus-menerus - jika saja kita ingat untuk lebih sering memperhatikan.

Di mata Lao Tzu, sebagian besar yang salah dengan kita berasal dari kegagalan kita untuk hidup ‘sesuai dengan alam’. Kecemburuan kita, kemarahan kita, ambisi kita, rasa frustrasi kita terhadap hak, semua itu berasal dari kegagalan kita untuk hidup seperti yang disarankan oleh alam. Tentu saja, ‘alam’ memiliki banyak suasana hati dan seseorang dapat melihatnya di dalamnya hampir semua hal yang disukai tergantung pada perspektif seseorang.

Tetapi ketika Lao Tzu mengacu pada alam, ia memikirkan beberapa aspek yang sangat khusus dari dunia alam; dia memusatkan perhatian pada berbagai “sikap perilaku” yang dia lihat di dalamnya, dimana jika kita memanifestasikannya lebih teratur dalam kehidupan kita sendiri, akan membantu kita menemukan ketenangan dan kepuasan.

Lao Tzu suka membandingkan berbagai bagian alam dengan kebajikan yang berbeda. Dia berkata,

“Orang-orang terbaik seperti air, mereka memberikan manfaat bagi semua hal dan tidak bersaing dengan mereka. Mereka tinggal di tempat-tempat yang rendah dimana orang lain menolak untuk tinggal di tempat tersebut. Inilah sebabnya mengapa sangat mirip dengan Jalan (Dao)."

Bagaimana kita belajar dari sebuah pohon ?

Kalau anda lihat, pohon secara terus-menerus disiksa oleh berbagai unsur-unsur yang ada, namun karena mereka adalah campuran antara kenyal dan tangguh, mereka dapat merespons masalah yang ada tanpa menggunakan kekakuan dan pertahanan yang biasa kita lakukan. Karena itulah, pohon dapat bertahan dan berkembang dengan cara yang sering tidak dapat kita lakukan.

Pohon juga merupakan gambaran kesabaran, karena mereka duduk berhari-hari dan malam tanpa keluhan, menyesuaikan diri dengan lambatnya pergantian musim - tidak menunjukkan kemarahan dalam badai, tidak ada keinginan untuk berkeliaran dari tempat mereka untuk melakukan perjalanan yang terburu-buru; mereka puas untuk menjaga jari-jari mereka yang ramping jauh di dalam tanah yang lembap, dan jauh dari daun tertinggi yang menahan air hujan di telapak tangan mereka.

Air adalah sumber kebijaksanaan, karena lunak dan tampaknya lembut, namun, ketika diberikan waktu yang cukup, maka air dapat membentuk batu terkeras sekalipun.

Gagasan bahwa perenungan terhadap alam adalah sumber perspektif dan ketenangan sudah dikenal dalam berbagai teori, tetapi begitu mudah untuk dilupakan karena kita menerima begitu saja tanpa memikirkannya lebih dalam. Seringkali kepala kita dipenuhi dengan ungkapan dan gagasan yang tidak membantu: hal-hal yang telah menyusup ke dalam imajinasi kita dan, dengan secara tidak sadar akan membangkitkan kecemasan, mempersulit kita untuk mengatasinya. Misalnya, ‘Milikilah keberanian untuk mewujudkan impian Anda,’ ‘Jangan pernah kompromi,’ ‘Berjuanglah sampai Anda menang …’ Ini dapat (dalam kasus tertentu) dapat menjadi sejenis racun.

Referensi

https://www.theschooloflife.com/thebookoflife/the-great-eastern-philosophers-lao-tzu/

Lao Tzu atau Lao Tse dilahirkan di provinsi Honan, di ibu kota Loyang, negara Chu. Sebagian ahli berpendapat bahwa Lao Tse hidup sekitar 640 tahun SM atau abad ke 4 SM. Ajaran Lao Tse banyak dikenal oleh ahli filsafat di Tiongkok.

Banyak sarjana yang berbeda pendapat tentang kelahiran Lao Tzu. Ada yang mengatakan 570 SM, 640 SM dan ada juga yang mengatakan bukan 640 SM melainkan 604 SM

Lao Tzu adalah nama gelar atau nama panggilan buat guru suci, Lao Tzu berarti “Guru Tua”. Menurut Sma chien dalam shi ci (catatan histori) menjelaskan nama asli Lao Tse adalah Li Erh. Kemudian ketika Lao Tse dewasa namanya menjadi Lao Chun, T’ai Shang Lao Chun, atau T’ai Shang Hsuan Yuan Huang Ti, atau juga disebut Lao Tuna atau Lao Tan.

Menurut Sma Chien dalam catatan histori atau shih chi menjelaskan riwayat Lao Tse pada bagian ke 63 dalam shih chi, pada abad pertama SM. Dalam kitab ini menjelaskan bahwa Lao Tse tinggal di desa Chu ren, kecamatan Lai, kabupaten Khu, negara Chou. Sekarang dikenal dengan sebutan Loyang terletak di bagian Timur propinsi Honan.

Sedangkan menurut kabanyakan pendapat masyarakat China, nama keluarganya adalah Li, sedangkan namanya sendiri Erh, kemudian nama panggilannya Tan. Lao Tse diangkat menjadi shih di kerajaan Chou. Pada zaman China kuno. Shih artinya adalah sarjana yang tugasnya adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada di kerajaan seperti, astrologi, ramalan dan bertanggung jawab mengurus kitab-kitab suci, shih kalau diartikan pada zaman sekarang artinya adalah sejarawan.

Kerajaan Chou, berdiri pada abad ke 12 atau 11 SM, dan berlangsung hingga tahun 256 SM

Pemikiran Lao Tse sangat popular, dimana pemikirannya ditulis didalam kitab Tao Te Ching. Kitab Tao Te Ching ditulis seperti puisi, tidak tersusun dengan sistematis tentang suatu pandangan hidup, mirip kitab Lun ju dari Konfusius. Namun dalam kitab Tao Te Ching kita bisa mengetahui pandang ketuhanan Taoisme.

Setelah begitu lama tinggal di negara Chou dan banyak menyaksikan kemerosotan moral di negara Chou yang sudah rusak parah dana tidak bisa diperbaiki lagi, ketika itu Lao Tse kira-kira berumur 90 tahun, Lao Tse memutuskan untuk meninggalkan kerajaan Chou.

Lao Tse pergi ke arah Barat, yang sekarang daerah tersebut dikenal dengan Tibet (lembah hankao). Dilembah Hankao dia bertemu dengan seorang penjaga pintu gerbang bernama Yin Si, melarangnya pergi, dan usaha penjaga untuk melarang Lao Tse untuk tidak pergi tidak berasil. Karena Lao Tse memaksa pergi, akhirnya Lao Tse diperkenankan pergi oleh penjaga gerbang, tetapi dengan syarat harus meninggalkan sebuah kitab agar dapat dipelajari orang banyak. Dengan penuh keikhlasan akhirnya Lao Tse menyanggupi persyaratan itu, kemudian dia bermalam tiga hari untuk menuliskan pikiran-pikirannya dalam sebuah buku yang dikenal sebagai Kitab Tao Te Ching, dalam dua bagian kitab Tao Te Ching menguraikan arti “kesaktian” yang sesuai dengan “Jalan”, kitab Tao Te Ching berisikan kurang lebih 500.000 kata, terbagi dalam 81 syair-syair pendek. Lao Tse menyerahkan buku itu kepada Yan Si dan ajaran-ajaran Lao Tse masih tetap ada sampai sekarang.

Lao Tzu

Tao Te Ching


Mencoba memahami ajaran Taoisme, mau tidak mau orang harus paham tentang apakah yang dimaksud dengan istilah Tao itu. Istilah “ Tao ” sendiri secara harfiah berarti “jalan”, satu cara bertindak. Konfusius memakai istilah ini sebagai pengertian kefilsafatan yang mencerminkan cara bertindak yang benar dalam bidang moral, sosial, dan politik (Creel, 1989). Tao merupakan petunjuk bagi manusia dalam usahanya mencapai kebahagiaan universal , yaitu jalan yang tidak kaku, akan tetapi yang memberi kesempatan kepada manusia untuk mengubahnya menurut seleranya masing-masing dan menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi (Lasiyo, 1983). Jadi, dalam Konfusianisme, Tao lebih merupakan istilah yang dipergunakan dalam bidang etis, dan bukan istilah metafisik.

Dalam Taoisme, istilah “Tao” lebih berbobot metafisik. Para penganut Taoisme menggunakan istilah Tao mengacu kepada keseluruhan segala sesuatu yang setara dengan apa yang oleh sejumlah filsuf Barat disebut “ Yang-Mutlak ”. Tao merupakan bahan dasar yang menyusun segala sesuatu. Tao bersifat sederhana, tanpa bentuk, tanpa hasrat, tanpa upaya, berpuas diri sepenuhnya. Tao sudah ada sebelum adanya langit dan bumi (Creel, 1989). Tao mengandung segala-galanya, bahkan yang bertentangan pun dicakupnya dan diselaraskannya, seperti terang dan gelap, diam dan gerak, ada dan tiada. Tao berjalan sebagai kodrat alam; keluar sampai puncaknya dan kembali ke permulaannya (Tan Tjoe Som, 1962).

Tao adalah prinsip segala sesuatu, tetapi Tao pada dirinya sendiri bukanlah sesuatu. Semua yang ada di bumi ini merupakan sesuatu, tetapi Tao bukanlah sesuatu objek sebagaimana objek- objek yang ada. Tao adalah Yang Tidak Ada, tetapi Tao adalah yang mengadakan segala sesuatu, maka serentak Tao disebut juga Yang Ada. Yang Tak Ada merupakan hakikatnya, sedangkan Yang Ada merupakan fungsinya. Karena itu Tao, baik Yang Ada maupun Yang Tak Ada; Yang Bernama maupun Yang Tak Bernama (Yosef Umarhadi, 1993). Kitab Tao Te Ching bab 1 menyebutkan:

“Tao yang bisa dikatakan bukanlah Tao yang kekal; Nama yang dapat dinamakan bukanlah nama yang kekal. Yang tak bernama adalah asal-usul Surga dan Bumi; Yang bernama adalah ibu dari segala sesuatu. Karena itu selalu ada Yang Tidak Ada sedemikian rupa, sehingga kita bisa melihat seluk-beluknya. Dan selalu ada Yang Ada sehingga kita bisa melihat akibatnya. Keduanya adalah sama. Tetapi setelah dihasilkan, mereka mempunyai nama yang berbeda. Keduanya disebut dalam dan tinggi. Lebih dalam dan lebih tinggi, pintu segala seluk beluk” (Yosef Umarhadi, 1993; Bdk. Fung Yu-Lan, 1952; dan Tan tjoe Som, 1962.

Dua buku terakhir ini mempunyai nuansa terjemahan yang agak berbeda, terutama pada baris-baris terakhir. Fung Yu- Lan menulis: “… It is the Mystery of Mysteries, the Doorway of all secret essence”. Tan Tjoe Som menerjemahkan: “…lebih gaib dari pada gaib, pintu semua rahasia”).

Meski pun terdapat nuansa yang sedikit berbeda di antara tiga penulis, namun kiranya makna pokoknya tetap tertangkap, yakni bahwa Tao merupakan sumber segala sesuatu, bersifat misterius, dan padanyalah pintu masuk segala hakikat rahasia. Agaknya, nama “Tao” sendiri tidaklah terlalu penting. Bahkan pada bab 25 kitab Tao Te Ching dikatakan:

There is a thing, formless yet complete. Before Heaven and Earth it existed. Without sound, without substance, it stands alone without changing. It is all pervading and unfailing. One may think of it as the mother of all beneath Heaven. We do not know its name, but we term it Tao . Forced to give an appellation to it, I should say it was Great” (Fung Yu-Lan, 1952; Bdk. Tan Tjoe Som, 1962 dan Yosef Umarhadi, 1993)

Kutipan di atas makin memperjelas pemahaman kita akan Tao, yakni bahwa Tao itu sumber dari segala sesuatu, tetapi ia sendiri bukan merupakan buah dari satu sumber yang lain. Segala-galanya berasal darinya, tetapi ia sendiri tidak diasalkan. Ia juga merupakan misteri, yang tak terandaikan (Jawa: tan kena kinaya ngapa ), tak terumpamakan, bahkan sebenarnya tak “ternamakan”.

Namun harus juga dicatat, bahwa Tao bukanlah sesuatu yang “berpribadi”, atau “yang berkehendak atas kuasanya”, karena ia “impersonal”: tanpa kehendak, tanpa suara, ia polos…, lugu, murni. Kadang Tao diibaratkan sebagai : Bersifat abadi, tak bernama , “Balok Belum Terukir”…segera setelah balok itu terukir, maka terdapatlah nama- nama ( Tao Te Ching bab 32). Dalam Tao Te Ching bab 41 disebut: Tao yang tersembunyi tidak bernama (Fung Yu-Lan, 1990).

Dalam sistem Taoisme terdapat pemilahan antara yu (yang- ada) dan wu (bukan yang-ada), dan antara yu ming (yang mempunyai nama, yang dapat diberi nama) dan wu ming (yang tidak mempunyai nama, yang tidak dapat diberi nama). Dua macam pemilahan ini pada kenyataannya hanyalah merupakan satu macam pemilahan, karena yu dan wu sebenarnya merupakan sekadar istilah ringkasan dari yu ming dan wu ming .

Langit dan bumi beserta segala sesuatu dapat diberi nama. Demikianlah, langit bernama langit, bumi bernama bumi, dan masing-masing jenis barang sesuatu mempunyai nama sesuai dengan jenisnya. Karena ada langit, bumi, dan segala sesuatu, maka akibatnya terdapat nama langit, bumi, dan segala sesuatu; sebagaimana dikatakan oleh Lao Tzu: “ Segera setelah Balok terukir, maka terdapatlah nama-nama ”. Akan tetapi Tao sendiri tidak dapat diberi nama; sekaligus ia merupakan sesuatu yang menyebabkan segala hal yang dapat diberi nama menjadi ada. Itulah sebabnya Lao Tzu berkata:

“Yang Tak Dapat Diberi Nama merupakan awal pemula Langit dan Bumi; yang dapat diberi nama merupakan induk dari segala sesuatu” (Fung Yu-Lan, 1990).

Jadi, dalam penghayatan para pengikut Taoisme, Tao itu sesungguhnya tidak dapat diberi nama. Akan tetapi karena orang ingin berbicara tentangnya, maka terpaksalah diberi sejenis acuan dengan menyebutnya Tao . Jadi, sebutan itu sekadar acuan, atau dengan menggunakan ungkapan yang lazim dalam Filsafat Cina: Tao adalah sebuah nama yang bukan nama . Dalam Tao Te Ching bab 21 disebutkan bahwa “sejak dahulu kala hingga kini, namanya (nama Tao) terus-menerus ada, dan menyaksikan keadaan awal (segala barang sesuatu)”. Tao adalah sesuatu yang menyebabkan adanya segala barang sesuatu. Karena senantiasa terdapat barang sesuatu, maka Tao terus-menerus ada. Nama yang terus-menerus ada merupakan nama kekal; dan, nama seperti itu sama sekali bukanlah nama. Itulah sebabnya dikatakan: “ Nama yang dapat disebut dengan nama bukanlah nama yang kekal ” (Fung Yu- Lan,1990).

Di depan juga telah disinggung bahwa Tao merupakan asal dari segala sesuatu. Dalam Tao Te Ching bab 42 kita dapati uraian sebagai berikut:

Tao produced Oneness. Oneness produced duality. Duality evolved trinity, and trinity evolved into the ten thousand (i.e., infinite number of) things. The ten thousand things support the yin and embrace the yang . It is on the blending of the breaths (of the yin and the yang ) that their harmony depends (Fung Yu-Lan, 1952; Bdk. Tan Tjoe Som, 1962).

Timbul pertanyaan, lantas adakah yang menggerakkan atau menjadi motor bagi Tao?

Dalam Tao Te Ching bab 25 dikatakan bahwa manusia berpedoman pada Bumi, Bumi berpedoman pada Langit/Sorga, Langit berpedoman pada Tao, dan Tao berpedoman pada “spontanitas” ( tzu jan ) (Fung Yu-Lan, 1952; Yosef Umarhadi, 1993; Bdk. Tan Tjoe Som, 1962. Tan menerjemahkan tzu jan sebagai “kodrat alam”). Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa “gerak” Tao itu merupakan aktivitas yang spontan, yang sudah menjadi kodratnya, dan tidak karena digerakkan oleh pihak lain, pun pula bukan karena Tao sendiri yang menghendaki untuk mengadakan aktivitas. Segala-galanya bergerak dan berlaku begitu saja, karena kodratnya memang harus demikian. Maka, agak sulit pula kalau kita mengatakan tentang bagaimana terjadinya atau bagaimana proses genesis kenyataan.

Kalau dijajaki dari segi kuantitas, maka Tao lebih menampakkan asas monistik daripada pluralistik, karena di samping ia dipandang sebagai asal-muasal dari segala sesuatu, semua sesuatu juga dalam rengkuhannya, dan semua akan kembali kepadanya.

Di dalam sistem Taoisme dikenal semacam “hukum pembalikan” dan juga “kenisbian”. Apakah yang dimaksud dengan hukum pembalikan atau gerak balik itu?

Di kalangan Bangsa Cina terdapat ucapan populer: “Bila barang sesuatu telah mencapai satu titik yang mengujung, maka ia akan berbalik dari titik tersebut”. Fung Yu-Lan memastikan bahwa gagasan dasar dari ucapan itu tentu datang dari Lao Tzu. Di dalam Tao Te Ching , Lao Tzu berkata (Fung Yu-Lan, 1990, Tan Tjoe Som, 1962) :

“pembalikan merupakan gerakan Tao “ (bab 40).

“Bergerak semakin lama semakin jauh berarti berbalik kembali” (bab 25).

“Hal-hal yang paling liat di dunia akan mengatasi hal-hal yang paling tegar“ (bab 43).

“Kurangilah barang sesuatu, maka ia akan bertambah. Tambahlah barang sesuatu, maka ia akan berkurang” (bab 43).

“Angin taufan tak akan pernah berlangsung sepanjang pagi, juga hujan angin takkan berlangsung sepanjang hari” (bab 23)

“…segala benda yang berkembang bersama dapat kami lihat berbaliknya. Benda itu setelah bekerja dengan giatnya, masing-masing pulang kepada asalnya. Pulang kepada asalnya berarti menjadi tenang kembali. Menjadi tenang kembali berarti mengembalikan tugas. Mengembalikan tugas berarti menepati hukum alam…”

Petikan bait-bait Tao Te Ching itu menunjukkan bahwa realitas yang kasat mata menampakkan sosok yang berubah-ubah, namun semua akan kembali kepada keadaan semula, terjadi satu “pembalikan”. Inilah hukum kodrat alam. Yang berubah adalah fenomena, akan tetapi hukum yang mengaturnya tetap tak berubah. Tao sebagai prinsip dasar realitas yang “merembesi” dan merangkum alam semesta (termasuk manusia, tentunya) dengan spontan telah menjaga keseimbangan segala-galanya, harmoni dari

segala sesuatu dan yang sekaligus mencakupnya dalam ketunggalan.

Pemahaman Taoisme tentang realitas dapat dirumuskan sebagai berikut:

”Realitas itu sendiri tidak lain adalah manifestasi dari Tao sendiri. Keberanekaragaman fenomena sebenarnya hanyalah kenisbian sementara; karena sesungguhnya tiada pluralitas, tiada pertentangan. Segala sesuatu beraktivitas sebagaimana adanya, spontan, tanpa tujuan, tanpa beban, tanpa target, semua “mengalir” begitu saja, sesuai dengan hukum alam yang polos, alamiah, naluriah. Tidak ada yang mengatur, tidak ada yang mencegah, semua berlangsung sebagai suatu hukum kosmik yang memang telah begitu adanya. Setiap hal bukannya bercerai- berai dan “berjalan” sendiri-sendiri, melainkan setiap hal “berpartisipasi” sesuai dengan bawaan kodratnya. Konsekuensinya, tidak ada yang berlebih, tidak ada yang berkekurangan; tidak ada yang lebih unggul, tidak ada pula yang lebih rendah.”

Itulah mengapa, dalam Taoisme dikenal “kenisbian”.

Kebanyakan manusia suka membanding-bandingkan antara dua hal atau lebih, dan biasanya orang mengadakan penilaian yang menghasilkan kesimpulan “yang ini” lebih …dari pada “yang itu”. Keadaan sedemikian itu disangkal oleh Taoisme. Buku Chuang Tzu bab 2 mengatakan:

“Jika seseorang tidur di tempat yang basah, maka ketika bangun ia merasa punggungnya sakit, dan merasa setengah mati; tetapi apakah demikian juga halnya dengan seekor belut? Jika seseorang mencoba hidup di atas pohon, maka ia akan tidak sadarkan diri karena ketakutan; akan tetapi apakah demikian pula halnya dengan seekor monyet? Manusia makan daging; rusa makan rumput; kelabang menyukai ular; burung hantu dan burung gagak gemar makan tikus. Dapatkah anda mengatakan kepadaku, manakah di antara empat hal itu yang mempunyai selera yang betul? … Mao Ch’iang dan Li Chi sebagai wanita yang paling menarik, namun begitu melihat mereka, ikan- ikan menyelam jauh ke dalam air, burung-burung beterbangan tinggi ke udara, dan rusa-rusa berlarian. Manakah di antara empat hal ini yang mempunyai tolok ukur yang betul tentang keindahan? (Creel, 1989; Fung Yu-Lan, 1952; Bdk. Lasiyo 1982).

Jadi, pada kenyataannya, tidak ada sesuatu yang mutlak; segalanya relatif, segalanya bergantung kepada kodrat dan naluri alamiahnya. Dengan demikian, yang nyata ialah kenisbian, relativitas .

“Manusia bukannya “mengorek” Alam dengan akalbudinya, melainkan menghayatinya dalam kesatuan mistik: ”Alam semesta, aku dan segala benda, semuanya sama dan menyatu dalam Tao” (Creel, 1989; Bdk. Enny Aryati, 1991).

Kodrat manusia dalam Taoisme

Dalam Taoisme, manusia tidak ditempatkan sebagai pengada eksklusif yang dipandang begitu unggul dibanding pengada-pengada yang lain. Dengan perkataan lain, manusia bukan ditempatkan sebagai “pusat” dan “ukuran” segala-galanya sebagaimana kebanyakan dalam sistem Filsafat Barat. Pusat realitas ialah keseluruhan alam semesta sebagai manifestasi dari Tao sendiri. Akibatnya, manusia ditempatkan sejajar dengan benda- benda lain sebagai bagian dari alam. Tidak ada perbedaan asasi antara manusia dan alam, demikian pula tidak ada pemisahan antara jiwa dan raga (Ali Mudhofir, 1988).

Dalam Tao Te Ching bab 25 Lao Tzu berkata:

“Langit adalah besar; Bumi adalah besar; Tao adalah besar; Manusia adalah besar; di semesta alam terdapat empat besar; di antaranya manusia menduduki satu tempat” (Tan Tjoe Som, 1962).

Ucapan ini menunjukkan bahwa tidak ada pembedaan antara manusia dan segala sesuatu. Semua sama, sama-sama diliputi dan dirembesi oleh Tao. Manusia tidak ditempatkan sebagai pengada “unggul”, tetapi

di lain pihak tidak dapat juga dikatakan bahwa dalam konsep ini manusia “dibendakan” ( reifikasi ). Konsep reifikasi tidak dikenal dalam sistem Taoisme. Reifikasi hanya mungkin diterapkan dalam semangat saintisme yang mengambil jarak terhadap barang sesuatu untuk dikaji. Si subjek berdiri berhadap-hadapan dengan objek; dan manusia dipandang sebagai objek yang diperlakukan secara objektif. Pada Taoisme tidak ada pemisahan antara subjek dan objek. Konsekuensinya, manusia juga tidak ditempatkan berhadap-hadapan dengan segala sesuatu. Sekali lagi, manusia merupakan bagian dari keseluruhan alam semesta.

Tiadanya pembedaan antara manusia dan segala sesuatu juga tampak dalam berbagai contoh yang dikemukakan Chuang Tzu dalam rangka menggambarkan kenisbian sebagaimana telah dikutip di depan. Di situ manusia disejajarkan dengan belut, monyet, ikan, dan burung. Apa yang dipilih untuk dilakukan manusia dengan berbagi hewan itu tidak dapat dikatakan yang satu lebih benar daripada yang lain. Semua pengada hanyalah mengada sesuai dengan kodratnya, sesuai dengan nalurinya, sesuai dengan sifat alamiahnya. Pada dasarnya memang tidak ada perbedaan asasi antara berbagai pengada itu. Semua berlangsung sebagaimana adanya, sebagaimana bawaan kodratnya. Jadi, manusia bukanlah pengada istimewa, bukan makhluk yang unggul. Semua makhluk (kalau saja istilah “makhluk” dianggap bisa digunakan dalam konteks ini) sama-sama mendapat Te dari Tao sebagai sumber segala pengada.

Menurut Lao Tzu, terdapat sesuatu yang menyebabkan terjadinya atau adanya segala sesuatu. Di dalam proses menjadi ada ini, masing-masing barang sesuatu satu demi satu memperoleh sesuatu dari Tao yang universal, dan sesuatu itu disebut Te . Fung Yu-Lan (1990) mengartikan Te sebagai “daya” atau “kebajikan”. Tan Tjoe Som (1962) mengartikan Te sebagai “sakti”, “kesaktian”, yakni daya Tao, perbawa atau pengaruh yang keluar dari Tao. Lebih lanjut Tan Tjoe Som mengatakan bahwa Te ini terdapat dalam segala benda, termasuk manusia, yang dapat memupuk wan-wu (segala sesuatu, termasuk manusia) menyatukan atau menyesuaikan diri dengan Tao.

Te merupakan “diri” Tao yang merembesi segala benda, termasuk manusia. Maka, setiap benda memiliki, atau lebih baik dikatakan “diresapi”, oleh Te. Te adalah sesuatu yang menyebabkan segala sesuatu berupa seperti keadaannya. Dan, Te segala sesuatu adalah apa yang secara kodrati merupakan barang sesuatu itu (Fung Yu-Lan, 1990).

Sejumlah besar filsuf Barat menandai manusia dengan sebutan seperti animal rationale, homo mensura , dan sederet sebutan yang menggambarkan ciri hakiki manusia sebagai pengada istimewa. Pada Taoisme sebutan semacam itu sama sekali tidak berlaku. Manusia adalah bagian dari keseluruhan alam, yang dirinya sendiri tidaklah “ex-sistere” . Manusia bukanlah ekslusif terhadap pengada lain, melainkan inklusif. Pandangan kodrat manusia seperti ini tentu saja mengandung implikasi etis tertentu sebagaimana akan dipaparkan berikut ini.

Perilaku manusia bijaksana

Dalam sistem Taoisme, konsep Te sebenarnya bukan hanya terminologi ontologik/metafisik melainkan merupakan terminologi etis. Sebagaimana kutipan dari Fung Yu-Lan di atas, di samping Te diartikan sebagai “daya”, ia juga diartikan sebagai “kebajikan”. Akan tetapi hendaklah dipahami, bahwa arti kebajikan di sini bukanlah merupakan lawan dari “keburukan”. Kebajikan di sini lebih mengacu pada makna “kesederhanaan”, “kewajaran”, “kepolosan”, “kemurnian”, “kealamiahan”. Hidup yang bijak ialah menuruti Te -nya . Dengan demikian, hendaknya orang menempatkan kesederhanaan sebagai prinsip hidupnya. Kesederhanan ( p’u ) merupakan gagasan penting dalam Taoisme.

Tao sendiri, oleh Lao Tzu, digambarkasn sebagai “Balok Yang Belum Terukir” (p’u): polos, lugu, sederhana. Tiada sesuatu pun yang lebih sederhana dibanding Tao. Te adalah sesuatu yang paling sederhana berikutnya, dan orang yang mengikuti Te-nya haruslah menjalani hidup sesederhana mungkin (Fung Yu-Lan, 1990).

Dalam khasanah etika Taoisme, konsep Te sebenarnya mengatasi perbedaan baik buruk. Dalam Tao Te Ching bab 2, Lao Tzu menulis:

“Apabila seluruh umat manusia di dunia mengetahui bahwa keindahan adalah keindahan, maka pada waktu itu sudah terdapat kejelekan. Apabila seluruh umat manusia mengetahui bahwa kebaikan adalah kebaikan, maka pada saat itu sudah terdapat keburukan.

Selanjutnya, dalam bab 38 Lao Tzu menulis:

“Bila Tao hilang, ada Te. Bila Te hilang, ada perikemanusiaan. Bila perikemanusiaan hilang, ada (kebaikan) peri keadilan. Bila peri keadilan hilang, ada ketentuan upacara. Ketentuan upacara merupakan cermin kemerosotan martabat kesetiaan serta sikap saling mempercayai, dan merupakan awal kekacauan dunia”.

Bagi Taoisme, semua kebajikan yang direkayasa itu palsu , dan oleh karenanya sia-sia belaka. Ini terjadi karena kebanyakan manusia kehilangan Te aslinya. Te aslinya hilang, karena manusia terlampau banyak keinginan dan terlalu banyak pengetahuan. Celakanya, manusia menganggap bahwa dengan memenuhi semua keinginan dan memuaskannya, ia akan menjadi bahagia. Pandangan yang demikian itu, bagi Taoisme, merupakan pandangan yang menyesatkan.

Lao Tzu mengatakan:

“Kelima macam warna membutakan mata. Kelima macam jenis bunyi memekakkan telinga. Kelima ragam citarasa meletihkan mulut. Menunggang kuda serta berburu menggilakan pikiran. Benda-benda berharga yang langka menghalangi perilaku yang betul” (Fung Yu-Lan, 1990; Bdk. Tan Tjoe Som, 1962.

Tan Tjoe Som menuliskan ujung kalimat terakhir itu dengan ungkapan: “…dapat membuat kelakuan jadi curang” .

Apabila kita cermati, perkataan Lao Tzu itu bermaksud menyadarkan manusia agar tidak semata-mata mengejar “kelezatan”, “kenikmatan”, karena semua itu dapat menyesatkan.

Lao Tzu juga menekankan agar manusia mempunyai sedikit pengetahuan saja. Pengetahuan itu sendiri merupakan objek keinginan . Dari lain pihak, pengetahuan itu juga memungkinkan manusia mengetahui lebih banyak tentang objek keinginan dan sekaligus menjadi sarana untuk mendapatkan objek keinginan itu. Dengan demikian, pengetahuan merupakan majikan dan sekaligus

budak keinginan. Bagaikan lingkaran setan, semakin banyak pengetahuan, semakin banyak keinginan; begitu pula, semakin banyak keinginan, kian banyak pula pengusahaan pengetahuan, sehingga orang tidak tahu lagi kapan merasa puas, dan di mana harus berhenti. (Fung Yu-Lan, 1990; Fung Yu-Lan, 1952).

“When intelligence and knowledge appeared, the Great Artifice ( ta wei ) began” , bab 18.

Agar kehidupan tidak disesaki oleh ta wei , maka manusia hendaklah memahami dan menghayati wu wei . Istilah wu wei dapat diterjemahkan sebagai “ tanpa bertindak ” (Tan Tjoe Som,1962) atau “ jangan berbuat apa pun ” (Creel, 1989) atau “ tidak mempunyai kegiatan ”, “ tidak berbuat ” (Fung Yu-Lan, 1990), bisa juga diartikan “ jangan mencampuri ” (Yosef Umarhadi, 1993).

Meski pun para penulis yang dikutip itu mengekspresikan nuansa kata yang bervariasi untuk memaknai wu wei , namun agaknya semua sepakat bahwa hendaknya dipahami bahwa dalam pengertiannya yang tepat wu wei bukanlah seruan untuk sama sekali pasif.

Wu wei sebenarnya menganjurkan manusia agar berbuat sesuai dengan kodratnya, secara wajar, alamiah, tanpa dibuat-buat, tanpa rekayasa, dan tanpa tujuan pemuasan keinginan. Konsekuensinya, kewajaran satu tindakan ialah tidak melakukan “agresi” terhadap apa pun (Yosef Umarhadi, 1993).

Segala-galanya dibiarkan “berlangsung” menurut apa adanya; jangan “dicampuri”, jangan direkayasa, jangan dibuat-buat, jangan disiasati. Jadi, secara paradoks dapat dikatakan: bertindak dengan tanpa tindakan .

Kebijaksanaan wu wei sering ditamsilkan dengan contoh seperti air, kayu yang belum terukir, wanita, dan jabang bayi. Dalam Tao Te Ching bab 78 dikatakan:

“Tiada benda yang lebih lemah dari air. Tetapi tidak satu pun yang lebih kuat dari padanya dalam mengalahkan kekerasan. Untuk ini tidak ada yang bisa menggantikan. Bahwa kelemahan mengalahkan kekerasan. Dan kelembutan mengalahkan kekakuan. Semua orang tahu itu, tetapi tidak ada yang dapat melaksanakannya” (To Thi Anh, 1984; Bdk. Tan Tjoe Som,1962).

Dalam bab 43 dikatakan pula:

“Yang terlembut di kolong langit dapat menembus yang terkeras di kolong langit; berasal dari yang tak berwujud ia dapat memasuki barang yang tak bersela-sela; inilah sebabnya: tidak bertindak ada gunanya. Mengajar tanpa kata, berguna tanpa bertindak…” (Tan

Tjoe Som, 1962:81).

Tampaklah bahwa “kelemahan”, atau lebih tepat disebut “kelembutan”, lebih diutamakan dalam Taoisme. Dengan kelembutannya, air mengalahkan kekerasan; tetapi dengan kelembutannya pula, air memberi kehidupan.

Tao Te Ching bab 8:

“Kecerdikan tertinggi adalah seperti air; air itu cerdik memberikan faedah kepada segala benda tanpa berebutan dengannya, berdiam pada tempat yang tak disukai orang, maka dengan demikian mendekati Tao. Cerdik memilih kediaman yang rendah, cerdik menenangkan hatinya, cerdik menjalankan peri kemanusiaan, cerdik berkata dengan kejujuran, cerdik memerintah dengan aturan, cerdik menggunakan kemampuan dalam urusannya, cerdik menunggu waktu dalam gerakannya. Justru tidak berebutan, maka tidak membuat kesalahan” (Tan Tjoe Som, 1962).

Watak air yang lemah-lembut dan menyukai tempat rendah ternyata memberi faedah dan tanpa meminta imbalan; tidak berebut, tidak saling bertabrakan kepentingan, senantiasa harmonis dengan irama kehidupan. Ia tidak berbuat atas satu target tertentu, pun pula tidak berkeinginan, tidak bertujuan, tidak berpamrih, ia hanya “mengalir” sesuai dengan watak alamiahnya, sesuai kodratnya. Dengan meneladani air, manusia diharapkan jauh dari pamrih kepentingan, keserakahan, keangkaramurkaan. Keserakahan dan keangkaramurkaan adalah bentuk kekerasan yang harus dihindari.

Di depan telah dikatakan, kebijaksanaan wu wei ditamsilkan dengan perempuan dan jabang bayi. Inilah perkataan Lao Tzu dalam Tao Te Ching bab 38:

“Siapa yang mengetahui kejantanannya, tapi mempertahankan keperempuanannya, menjadi budak dunia; yang menjadi budak dunia, kesaktiannya yang kekal takkan hilang; ia akan menjadi bayi lagi (Tan Tjoe Som, 1962).

Di bagian lain, Lao Tzu mengatakan:

“Ketika manusia dilahirkan, ia lembut dan lemah. Waktu mati, ia menjadi keras dan kaku. Ketika benda-benda dan tumbuhan masih hidup, mereka begitu lembut dan gemulai. Bila mati, mereka menjadi rapuh dan kering. Karena itu kekerasan dan kekakuan merupakan teman kematian. Kelembutan dan kehalusan adalah teman kehidupan” (To Thi Anh, 1984).

Sekali lagi, kelemahlembutan amat diutamakan, karena itulah wujud kehidupan. Di samping itu, tampak pula pengutamaan sikap takluk dan berserah diri sebagaimana dilambangkan dengan

watak perempuan. Orang hendaknya takluk dan berserah diri pada alam, menjadi “budak” dunia. Ini amat kontras dengan kebanyakan pemikiran Barat yang justru menempatkan manusia berhadap- hadapan dan menaklukkan dunia, menaklukkan alam, menguasainya, dan mengeksploitasinya. Dalam Taoisme, orang justru harus hidup selaras dan menyatu dengan alam, menghormati segala isinya, mencintainya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.

Kebijaksanaan wu wei yang lain ialah kerendahan hati (To Thi Anh, 1984). Dengan tepat To Thi Anh mengutip perkataan Lao Tzu dalam Tao Te Ching sebagai berikut:

“Tunjukkan dirimu yang sederhana; rangkullah kodratmu yang asli; tahanlah rasa ingat dirimu; batasi keinginanmu” (bab 19).

“Saya mempunyai tiga harta, jaga dan peliharalah mereka: Yang pertama adalah cinta, Yang kedua ialah kesederhanaan; Yang ketiga ialah Tak pernah menjadi yang pertama di dunia“ (bab 67).

“Tidak ada kutukan yang lebih besar daripada merasa kurang puas. Tidak ada dosa yang lebih besar dari pada selalu ingin memiliki” (bab 46).

Semua ucapan Lao Tzu tadi tidak lain merupakan “fatwa” agar orang berendah hati. Tetapi harus diingat, bahwa kerendahan hati di sini bukanlah satu “kehendak” untuk mencapai tujuan agar menjadi “begini” atau “begitu”. Ini sama sekali bukan satu “upaya” agar orang menjadi lebih “suci” atau lebih “mulia”. Ini semata-mata hanya memurnikan Te pada diri manusia sendiri, agar ia tetap dalam kemurnian kodratnya sesuai dengan Tao.

Chuang Tzu mengatakan:

“Mereka yang memahami keadaan kehidupan tidak akan mengupayakan sesuatu yang tidak dapat diberikan oleh kehidupan. Mereka yang memahami akan nasib tidak akan mengupayakan sesuatu yang berada di luar jangkauan pengetahuan” (Creel, 1989).

Dengan demikian, kerendahan hati, sikap bersahaja, prasaja , itu tidak lain merupakan watak asli Te yang meresap pada tiap-tiap barang sesuatu. Dan, manusia sebagai salah satu “barang sesuatu”, ia harus terus-menerus menjaga kemurnian Te ini.

Kebersahajaan dan sikap yang tidak pernah ingin menjadi yang nomor satu di dunia menunjukkan bahwa dalam ajaran Taoisme dihindari watak ambisius. Dalam Tao Te Ching bab 7 Lao Tzu berkata:

“Dengan menempatkan dirinya di belakang layar, maka manusia bijaksana senantiasa mengemuka. Sambil berada di luar, ia senantiasa hadir. Bukankah justru karena ia tidak mengupayakan sesuatu tujuan pribadi, maka segenap tujuan

pribadinya tercapai?”.

Dalam bab 22 dikatakan pula:

“Ia tidak menampakkan diri; karenanya ia terlihat di mana-mana. Ia tidak memberikan batasan tentang dirinya sendiri, karenanya ia berbeda. Ia tidak menonjolkan diri; karenanya ia berhasil. Ia tidak membanggakan karyanya; karenanya ia tetap tegak. Ia tidak bertengkar, dan justru karena itulah tidak ada orang di dunia dapat bertengkar dengan dia” (Fung Yu-Lan, 1990).

Kutipan kata-kata Lao Tzu itu menunjukkan bahwa manusia bijaksana itu tidak pernah manonjolkan diri, tidak pula membangun ambisi, apalagi dengan cara mengorbankan pihak lain. Apa yang diperbuatnya tidak lain merupakan ekspresi kemurnian Te semata- mata.

Barang siapa menyimpan ambisi, maka ia memperkosa kodrat; dan siapa yang memperkosa kodrat, dia pasti gagal. Dalam kitab Chung Tzu dituturkan bahwa apabila pemanah yang membidik sasaran akan diberi hadiah tidak lebih daripada sebuah pinggan tembikar, maka ia akan acuh tak acuh, dan justru dapat menunjukkan kemahirannya yang paling besar. Tetapi cobalah ditawarkan kepadanya hadiah gesper kuningan bila ia dapat menembak sasarannya dengan tepat, maka ia akan memanah secara berhati-hati dan hasilnya justru kurang baik. Dan, tawarkanlah kepadanya hadiah emas, maka ia akan menjadi tegang, dan akibatnya justru akan sama sekali hilang kemahirannya (Creel, 1989).

Kegagalanlah buah tindakan yang didasari oleh keinginan untuk memiliki, ambisi memetik, dan hasrat mendapatkan. Tindakan yang bijak ialah tanpa target, tanpa keinginan memiliki, entah harta, kedudukan, atau kemasyhuran. Pendek kata, bertindaklah tanpa beban, tanpa rekayasa, tanpa siasat; biarlah tindakan itu alamiah, wajar, dan spontan. Kemampuan tertinggi justru terjadi pada taraf “tanpa sadar”. Dengan demikian, orang tidak memperkosa kodrat, tidak “memaksakan diri”. Itulah cermin kemurnian Te, sakti yang dirembeskan oleh Tao kepada semua hal, termasuk manusia.

Referensi
  • Muhamad Zazuli, 60 Tokoh Dunia sepanjang zaman, Narasa, Yogyakarta, 2009
  • Trevor Ling, A History of Religion Eat and West, The Machillion Press Ltd, London
  • Lao Tse, Tao Te Ching-81, Filsafat Hidup Tao, New Diglossia, Yogyakarta
  • Creel, H.G., 1989, Alam Pikiran Cina: Sejak Confucius sampai Mao Ze Dong, Terj. Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta.
  • Fung Yu-Lan, 1952, A History of Chinese Philosophy, Vol. I, Trans. By Derk Bodde, Princeton University Press, Princeton.
  • Fung Yu-Lan, 1990, Sejarah Ringkas Filsafat Cina, Terj. Soejono Soemargono, Liberty, Yogyajkarta.
  • Lasiyo, 1994, Filsafat Lao Tzu, Yayasan Pembina Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
  • Tan Tjoe Som, 1962, Tao Te Tjing, Bharata, Jakarta.
  • To Thi Anh, 1984, Nilai Budaya Timur dan Barat: Konflik atau Harmoni?, Terj. John Yap Pariera, PT. Gramedia, Jakarta.
  • Yosef Umarhadi, 1993, “Taoisme” dalam Tim Redaksi Driyarkara, Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
  • Djoko Pitoyo, 2006, Manusia bijaksana menurut Taoisme, Jurnal Filsafat Vol. 16, Nomor 3