Klasifikasi Lutung
Lutung dalam bahasa lain disebut Langur tergolong ke dalam genus Trachypithecus . Lutung merupakan salah satu primata endemik pulau Jawa (Supriatna dan Wahyono, 2000). Klasifikasi Lutung Jawa menurut Grove (2001) adalah sebagai berikut :
Morfologi Lutung
Menurut Supriatna dan Wahyono (2000) Lutung Jawa mempunyai panjang tubuh dari ujung kepala hingga tungging, jantan dan betina dewasa rata-rata 517 mm, dan panjang ekornya rata-rata 742 mm. Sedangkan berat tubuhnya rata-rata 6,3 kg. Warna rambut hitam, diselingi dengan warna keperak-perakan. Bagian ventral, berwarna kelabu pucat dan kepala mempunyai jambul. Anak Lutung Jawa yang baru lahir berwarna kuning jingga dan tidak berjambul. Setelah meningkat dewasa warnanya berubah menjadi hitam kelabu.
Perbedaan antara Lutung Jawa jantan dan betina secara morfologi terletak pada perkembangan alat kelamin sekunder, sedangkan untuk kelompok umur pada Lutung Jawa dibedakan berdasarkan ukuran tubuh dan aktivitas hariannya. Pada jantan dewasa mempunyai ukuran tubuh relatif besar sedangkan pada betina dewasa memiliki ukuran tubuh lebih kecil atau hampir sama dengan ukuran jantan dewasa. Pada Lutung Jawa betina rambut bagian punggung lebih hitam dari pada warna punggung Lutung Jawa jantan (Nugraha, 2011).
Berdasarkan sumber: Ruhiyat (1983); Dewi (2005); Carissa (2014) ukuran tubuh dan perkembangan perilakunya dapat dibedakan dalam empat kelas umur, yaitu :
Habitat Lutung
Pengertian umum habitat menurut Alikodra (1990), adalah sebuah kawasan yang terdiri dari komponen fisik maupun abiotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar, habitat suatu jenis satwa liar merupakan sistem yang terbentuk dari interaksi antar komponen fisik dan biotik serta dapat mengendalikan kehidupan satwa liar yang hidup di dalamnya untuk mendukung kehidupannya, karena habitat mempunyai fungsi menyediakan makanan, air dan pelindung.
Terdapat keragaman jenis dan struktur fisik hutan sebagai habitat, secara terpisah dan bersama-sama menyediakan berbagai relung ( niche ) yang potensial dalam sebaran satwa (Bismark, 1994). Struktur fisik hutan sebagai habitat yang terbentuk oleh adanya perbedaan tinggi pohon menurut jenis, umur, maupun sifat tumbuhnya membentuk statifikasi yang menciptakan relung ekologi tertentu seperti adanya perbedaan ketinggian makan primata pada pohon (Oates, 1977).
Pada lingkungan dengan kondisi fisik yang ekstrim, aktivitas biologi relatif kurang berkembang. Sedangkan pada lingkungan yang kondisi fisiknya sesuai, interaksi dalam ekosistem dan habitat secara efektif akan membatasi pertumbuhan populasi satwaliar. Suatu habitat yang digemari oleh suatu jenis satwa belum tentu sesuai untuk kehidupan jenis satwa yang lain karena pada dasarnya setiap jenis satwa memiliki preferensi habitat yang berbeda-beda. Berkurangnya habitat disebabkan karena beberapa faktor. Ada tiga faktor utama yang dinilai sangat mempengaruhi terhadap perubahan habitat, yaitu :
- Aktivitas manusia,
- Satwa liar
- Bencana alam seperti gunung meletus (Irwanto 2006).
Penggunaan habitat oleh primata tergantung kepada banyaknya pakan yang tersedia, penyebaran sumber pakan, dan interval musim, jumlah pakan yang tersedia berpengaruh secara langsung terhadap besarnya kelompok (Fitriani, 2006). Pada habitat alaminya, Lutung mumpunyai jalur-jalur tertentu dalam menempuh perjalanan harian, mencari makan dan tempat tidurnya. Pemilihan habitat dan distribusi suatu individu cenderung dipengaruhi oleh perilaku individu tersebut (Krebs, 1985). Lutung mulai tersebar dari rendah hingga daratan tinggi, baik hutan primer maupun sekunder, daerah perkebunan, pesisir maupun hutan mangrove (Supriatna dan Wahyono., 2000).
Aktivitas Harian
Aktivitas harian menggambarkan suatu pola penggunaan waktu dan ruang dalam melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti makan, sosial, reproduksi, dan istirahat mulai dari pagi hingga sore hari. Primata memiliki variasi interspesifik yang luas dalam aktivitas hariannya (Stanford, 1991). Lutung Jawa memulai aktivitasnya sejak dari bangun tidur yaitu sekitar pukul 05:30 WIB, kemudian berpindah untuk makan di pohon sumber pakan di sekitar pohon tempat tidur. Akhir dari aktivitas harian ditandai dengan adanya aktivitas berpindah memasuki pohon tempat tidur, untuk memasuki pohon tempat tidurnya yaitu sekitar pukul 18.00 WIB (Andriansyah, 2007).
Lutung Jawa mempunyai jalur-jalur tertentu dalam menempuh perjalanan harian, mencari makan dan tempat tidurnya, tiga strata pohon secara vertikal untuk tempat tidurnya yaitu bagian pucuk kanopi, ditengah-tengah pohon dan di bawah pohon, sedangkan untuk aktivitas perjalanan harian dan mencari makan, ruang habitat secara vertikal dibagi empat strata yaitu puncak kanopi, tengah- tengah pohon, dibawah pohon dan di lantai hutan (Nugraha, 2011).
Lutung merupakan satwa arboreal yang aktif pada siang hari (Hendratmoko, 2009). Aktivitas Lutung dimulai pada pukul 05.30 WIB – 17.30 WIB dengan presentase 49% istirahat, 23% makan, 22% berjalan, 10% tidur dan 3% bersuara (Ambarwati, 1999). Tingginya aktivitas pada pagi hari sangat terkait dengan stimulasi faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang penting adalah kebutuhan energi dan pengaturan suhu tubuh. Pemenuhan kebutuhan energi diperoleh dari asupan pakan yang nantinya dirubah menjadi energi (kalori) melalui proses pencernaan. Faktor eksternal yang berpengaruh adalah suhu dan kelembaban. Nadler., dkk (2002) menyatakan bahwa pada suhu 10-30oC Lutung Jawa cenderung untuk berkumpul dan makan. Prayogo (2006) menyatakan bahwa kegiatan istirahat pada primata termasuk Lutung umumnya dipengaruhi oleh tingkat suhu dan kelembaban. Suhu yang relatif tinggi pada siang hari menyebabkan Lutung Jawa banyak beristirahat dengan cara berteduh di bawah kerimbunan tajuk pohon.
Organisasi Sosial Lutung Jawa (Trachypithecus auratus)
Bangsa Primata merupakan salah satu Bangsa dalam Kelas Mammalia yang hidup dalam suatu kelompok sosial. Hidup bersosial memberikan beberapa keuntungan untuk akses terhadap pakan, proteksi terhadap predator, akses untuk kawin, dan mempermudah dalam pemencaran keturunan (Collinge, 1993). Suatu Kelompok Sosial tersusun dari satwa-satwa yang berinteraksi pada suatu basis reguler. Primata mampu mengenal satu dengan yang lain dan menggunakan lebih banyak waktu dengan anggota kelompoknya. Struktur Sosial menunjukkan bentuk fisik kelompok berkaitan dengan kelompok umur dan jenis kelamin, serta hubungan interaksi satu dengan lainnya. Organisasi Sosial merupakan ekspresi yang lebih inklusif yang secara umum digunakan untuk mendeskripsikan beberapa aspek kelompok sosial, yang meliputi distribusi spasial, komposisi kelompok, serta hubungan sosial dan fisik di dalam kelompok. Perbedaan utama struktur sosial dan organisasi sosial, bahwa organisasi sosial juga mencakup komponen tingkah laku.