Apa yang anda ketahui tentang khitan atau sunat dalam Islam?

Khitan (sunat) adalah salah satu sunnah fitrah yang muakkadah (sangat dianjurkan). Sebagian ulama berpendapat hukumnya adalah wajib. Apa yang anda ketahui tentang khitan atau sunat dalam Islam?

Ibnu Qoyyim rahimahullah telah menulis kitab yang sangat bagus terkait dengan hukum bayi lahir yang dinamakan ‘Tuhfatul Maudud Fi Ahkami Al-Maulud’ dalam kitab ini ditulis bab khusus berbicara tentang khitan dan hukumnya. Ini ringkasannya disertai tambahan dari para ahli ilmu lainnya.

Makna Khitan

Ibnu Qoyyim mengatakan,

“Khitan adalah nama dari prilaku orang yang sunat. Ia adalah masdar (kata benda) seperti kata ‘Nizal dan Qital’ dinamakan juga tempat berkhitan.

Maka ada hadits,

“Ketika bertemu dua khitan (kemaluan maksudnya jima’), maka dia harus mandi.”

Kalau untuk wanita dinamakan ‘Khifdhon’. Dikatakan ‘Khotantu algulam khitanan dan Khofidhtul jariyah khifdhon (anak kecil laki-laki dikhitan dan anak kecil perempuan disunat). Bagi lelaki juga dinamakan ‘I’dzaran’ sementara orang yang ghoiru ma’dhur dinamakan ‘Aglaf dan Aqlaf (belum berkhitan). ‘Tuhfatul Maulud (1/152).

Khitan adalah sunnahnya Nabi Ibrohim dan para nabi setelahnya.

Telah diriwayatkan Bukhori, (6298) dan Muslim, (2370) dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Ibrohim alaihis salam berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun dan berkhitan dengan kapak.”

Kata ‘Al-Qodum’ adalah alat tukang kayu, (pendapat lain) dikatakan ia adalah tempat di Syam.

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,

“Yang kuat, maksud dalam hadits adalah alat (kapak). Telah diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari jalam Ali bin Rabah berkata, “Ibrohim diperintahkan untuk berkhitan. Maka beliau berkhitan dengan kapak, sehingga merasakan kesakitan. Maka Allah mewahyukan kepadanya agar dipercepat sebelum diperintahkan kepadanya. Dan beliau mengatakan, “Wahai Tuhanku, saya tidak suka mengakhirkan perintahMu.”

Ibnu Qoyyim berkata,

“Khitan termasuk perangai yang Allah Subhanahu ujikan kepada Ibrohim kekasih-Nya, dan beliau melaksanakan dan menyempurnakan sehingga dia dijadian sebagai Imam untuk seluruh manusia. Telah diriwayatkan bahwa beliau yang pertama kali berkhitan seperti yang telah disebutkan. Yang ada dalam shoheh, Ibrohim berkhitan ketika berumur delapan puluh tahun. Dan khitan berlanjut pada para rasul dan para pengikutnya. Sampai Masih (Isa) juga berkhitan. Dan orang Kresten mengakui akan hal itu tidak menolaknya. Sebagaimana mereka juga mengakui keharaman daging babi. “Tuhfatul Al-Maudud, hal. 158-159.

Dari sini, maka para ulama’ rahimahumullah berbeda pendapat tentang hukum khitan.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan,

“Pendapat yang terdekat adalah ia adalah wajib bagi lelaki dan sunnah bagi para wanita. Sisi pembeda diantara keduanya adalah. Bagi lelaki ada kebaikan yang akan kembali dari syarat diantara syarat-syarat shalat yaitu bersuci. Karena kulit (kulup) ini masih ada, kalau air seni itu keluar dari lubang kulup (masih) tetap ada dan terkumpul. Sehingga menjadi sebab adanya pembengkakan setiap kali bergerak, atau sulit keluarnya air seni dan hal itu menjadikan najis.

Sementara bagi wanita, faedah yang paling maksimal adalah mengurangi syahwatnya. Dan ini untuk kesempurnaan bukan menghilangkan sakit. “As-Syarkhu Al-Mumti’ (1/133, 134).

Ini adalah madzhab Imam Ahmad rahimahullah. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam ‘Al-Mugni (1/15):

“Sementara khitan itu wajib bagi lelaki. Dan suatu kehormatan bagi para wanita. Tidak wajib baginya.”

Tempatnya

Ibnu Qoyyib rahimahullah mengatakan,

“Abu Barokat mengatakan dalam kitabnya ‘Al-Ghoyah’: “Pada khitan lelaki diambil kulit kulupnya. Kalau sekiranya mengambil lebih banyak (kulitnya) tidak mengapa. Dianjurkan ketika mengkhitan anak wanita agar tidak seluruhnya. Diceritakan dari Umar beliau mengatakan untuk wanita yang dikhitan, “Biarkan sedikit (dagingnya) ketika mengkhitan. Al-Khollal mengatakan dalam kitab ‘Jami’ disebutkan apa yang dipotong dalam berkhitan, saya diberitahu Muhammad bin Husain bahwa Fadl bin Ziyad memberitahukan kepada mereka dan mengatakan, “Ahmad ditanya, “Berapa (batasan) dalam berkhitan? Beliau menjawab, “Sampai kelihatan ujung kemaluannya.” Kata ‘الحشفة " adalah ujung kemaluan, sebagaimana yang disebutkan dalam lisanul arab, (9/47).

Ibnu Sobbag mengatakan dalam ‘As-Syamil’:

“Yang wajib bagi lelaki adalah memotong kulit yang ada di kulup sampai kelihatan semuanya. Sementara wanita, dipotong daging seperti jambul ayam jantan di bagian atas kemaluan diantara dua katup, kalau dipotong, maka akan tetap (masih ada) aslinya seperti bijian.

Nawawi rahimahullah mengatakan,

“Yang kuat dan terkenal bahwa harus memotong semua (kulit) yang menutupi kulupnya.” Selesai ‘Al-Majmu’ (1/351).

Al-Juwaini mengatakan,

“Batasan yang tepat bagi para wanita, apa yang sesuai dengan penamaannya. Beliau berkata,

“Dalam hadits ada yang menunjukkan perintah untuk menyedikitkan (dalam memotong). Berkata, “Potong sedikit dan jangan dipotong semuanya. Maksudnya biarkan tempat yang agak menonjol. ‘Tuhfatul Maudud, (190-192).

Kesimpulannya bahwa dalam mengkhitan lelaki adalah memotong semua kulit yang menutupi kulup. Dalam mengkhitan wanita, memotong bagian dari kulit yang seperti jambul ayam jantan yang ada di atas kemaluan.

Hikmah diperintahkan berkhitan

Sementara bagi lelaki, karena tidak memungkinkan bersuci dari kencing kecuali dengan berkhitan. Karena sisa air seni berkumpul di bawah kulit (kemaluan), maka tidak aman ketika keluar, sehingga pakaian dan badannya menjadi najis. Oleh karena itu biasanya Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhuma sangat ketat terkait dengan masalah khitan. Imam Ahmad mengatakan,

“Dahulu Ibnu Umar sangat ketat dalam masalah ini. Diriwayatkan darinya, dia tidak diperbolehkan berhaji dan shalat. Maksudnya kalau dia belum berkhitan. Selesai ‘Al-Mgni, (1/115).

Sementara hikmah khitan bagi wanita, agar seimbang syahwatnya sehingga menjadi pertengahan. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang wanita, apakah dia dikhitan atau tidak?

Maka beliau menjawab, “Alhamdulillah, ya dikhitan. Dan khitannya adalah memotong kulit atas seperti jambul ayam jantan. Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda bagi wanita yang dikhitan:

“Potonglah sedikit dan jangan dipotong semuanya, karena ia lebih memancarkan diwajah dan lebih nikmat bagi suaminya.”

Maksudnya jangan berlebih-lebihan dalam memotong. Hal itu karena maksud khitan bagi lelaki adalah membersihkan najis yang tertahan di kulup. Sementara maksud dari khitan wanita adalah agar menyeimbangkan syahwatnya. Karena kalau dia belum dikhitan, maka kuat syahwatnya. Sehingga dikatakan kepada wanita yang belum berkhitan,

“Wahai wanita yang belum dikhitan, sesungguhnya wanita yang belum dikhitan itu lebih sering mencari lelaki. Oleh karena itu, didapati kefakhisan (kerusakan) pada wanita Tartar dan wanita kulit sawo (asing) lebih banyak dibandingkan dengan wanita muslimah. Kalau terlalu berlebihan ketika menghkhitannya, maka syahwatnya melemah, sehingga tidak sempurna keinginan suami. Kalau dipotong tidak berlebihan, maka didapatkan keinginannya (syahwatnya) secara seimbang.

Diperbolehkan membayar uang kepada tukang khitan.

Ibnu Qudamah mengatakan,

“Diperbolehkan menyewa untuk berkhitan dan berobat. Kami tidak dapati perbedaan akan hal itu. Karena ia adalah pekerjaan yang dibutuhkan dan diizinkan oleh agama. Maka diperbolehkan menyewanya sebagaimana pekerjaan mubah lainnya. ‘Al-Mugni, (5/314).

Secara etimologis, khitan berasal dari bahasa Arab khatana yang berarti “memotong”. Dalam ensiklopedi islam kata khatana berarti memotong atau “mengerat”. Menurut Ibnu Hajar bahwa al-khitan adalah isim masdar dari kata khatana yang berarti “memotong”, khatn yang berarti “memotong sebagian benda yang khusus dari anggota badan yang khusus pula”.

Kata “memotong” dalam hal ini mempunyai makna dan batasan-batasan khusus. Maksudnya, bahwa makna dasar kata khitan adalah bagian kemaluan yang harus dipotong.

Secara terminologis khitan adalah membuka atau memotong kulit (quluf) yang menutupi ujung kemaluan dengan tujuan agar bersih dari najis.

Berikut pengertian khitan atau sunat menurut beberapa ulama :

  • Abdullah Nasih Ulwan, khitan adalah “memotong yaitu tempat pemotongan penis, yang merupakan timbulnya konsekuensi hukum-hukum syara’”.

  • Imam al-Mawardi mendefinisikan khitan sebagai berikut: “Khitan adalah pemotongan kulit yang menutupi kepala penis ( hashafah ), yang baik adalah mencakup memotongan pangkal kulit dan pangkal kepala penis ( hashafah ), minimal tidak ada lagi kulit yang menutupinya”.

  • Imam Haramain mendefinisikan sebagai berikut: “Khitan adalah memotong qulfah , yaitu kulit yang menutupi kepala penis sehingga tidak ada lagi sisa kulit yang menjulur.”

  • Abu Bakar Usman al-Bakri mendefinisikan khitan sebagai berikut: “Khitan adalah memotong bagian yang menutupi hashafah (kepala kemaluan) sehingga kelihatan semuanya, apabila kulit yang menutupi hashafah tumbuh kembali maka tidak ada lagi kewajiban untuk memotongnya kembali”.9

  • Dalam Fiqh al-Sunnah, Sayyid Sabiq mendefiniskan khitan sebagai berikut: “Khitan untuk laki-laki adalah pemotongan kulit kemaluan yang menutupi hashafah agar tidak menyimpan kotoran, mudah dibersihkan setelah membuang air kecil dan dapat merasakan jima’ dengan tidak berkurang”.

Dalam pelaksanaan khitan biasanya digunakan untuk laki-laki atau istilah orang jawa disebut sunnatan, dalam ilmu kedokteran disebut circumcisio, yaitu pemotongan kulit yang menutupi kepala penis (praeputium glandis) .

Qulfah atau qhurlah adalah bagian kulit yang dipotong saat dikhitan (disebut pula kuluf). Yang dikhitan dari seorang laki-laki adalah bagian kulit yang melingkar dibawah ujung kemaluan. Itulah kulit kemaluan yang diperintahkan untuk dipotong.

Hukum Khitan


Para ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan. Akan tetapi, mereka sepakat bahwa khitan telah disyariatkan agama. Mereka mengatakan hukum khitan wajib sedang yang lain mengatakan sunnah. Sehubungan dengan hal itu, maka perlu dipelajari masing-masing pendapat tersebut baik yang mengatakan wajib maupun yang sunnah.

Hukum wajib

Al-Shafi’i mengatakan bahwasanya khitan hukumnya wajib, dengan alasan:

  • Nabi diperintahkan mengikuti shariat Nabi Ibrahim (al-Qur’an. al-Nahl ayat 123) dan salah satu shariatnya adalah khitan.

  • Sekiranya khitan tidak wajib, mengapa orang yang dikhitan membuka aurat yang diharamkan.

Al-Nawawi berpendapat ini adalah pendapat shahih dan mashhur yang ditetapkan oleh al-Shafi’i dan disepakati oleh sebagian besar ulama. Dalil dari pendapat ini adalah firman Allah swt. :

Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif. (al-Qur’an. al-Nahl : 123).

Menurut ayat di atas, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengikuti shariat Nabi Ibrahim as. Hal ini menunjukkan bahwa segala ajaran beliau wajib kita ikuti, misalnya melaksanakan khitan. Orang yang quluf -nya tidak dikhitan itu bisa membatalkan wudu dan salatnya. Qulfah yang menutupi dhakar secara keseluruhan bisa menghalangi air untuk membersihkan sisa air kencing yang masih menempel didalamnya.

Atas dasar itu maka banyak dian tara ulama’ salaf dan khalaf melarang menjadikan orang yang tidak dikhitan sebagai imam. Ulama lain yang mengatakan khitan wajib adalah Malik dan Ahmad Ibn Hanbal, mereka berpendapat bahwa orang yang tidak berkhitan tidak sah menjadi imam dan tidak diterima shahadatnya.

Jadi, begitu wajibnya khitan sehingga orang yang tidak dikhitan tidak bisa menjadi imam. Menurut Al-Khitaby, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah berkata bahwa hukum khitan adalah wajib, selain itu Al-Ata’ berkata “Apabila orang dewasa masuk Islam belum dianggap sempurna Islamnya sebelum dikhitan”.

Ada beberapa hal yang mereka jadikan alasan kenapa khitan itu wajib, antara lain:

3 Ahmad Ma’ruf Asrori dan Suheri Ismail, Khitan dan Aqiqah: Upaya Pembentukan Generasi

Qur’ani (Surabaya: Al Miftah, 1998), 11.

Khitan hukumnya wajib karena salah satu bentuk shiar Islam yang dapat membedakan antara muslim dan non muslim. Sehingga ketika mendapatkan Jenazah ditengah peperangan melawan non muslim, dapat dipastikan sebagai jenazah muslim jika ia berkhitan. Kemudian jenazahnya bisa diurus secara Islam.

Hukum Sunnah

Apabila diamati kebiasaan masyarakat, ada yang mengistilahkan khitan ini dengan istilah “sunnat”. Hal ini menunjukkan bahwa hukum khitan adalah sunnah.20 Pendapat ini merupakan pengikut Abi Hanifah. Alasan bahwa hukum khitan itu sunnah adalah sebagai berikut :

Adanya Hadith riwayat al-Baihaqi

Dari Ibnu Abbas dari Nabi saw., bersabda : “Khitan itu sunnah untuk laki-laki dan mukarramah bagi kaum perempuan “(HR. al-Baihaqi).

Adanya Hadith masalah fitrah yang diriwayatkan oleh Ibn Majah

Dari Abu Hurairah ra. berkata: “Rasulullah saw. bersabda: “fitrah itu ada lima macam: atau lima macam dari fitrah : yaitu berkhitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan memotong kumis. (HR. Ibn Majah).

Dalam hadith tersebut Nabi mensejajarkan khitan dengan memotong kumis, mencabut bulu ketiak, memotong bulu kemaluan dan memotong kuku sehingga khitan bukan perkara wajib.

Sejarah Khitan


Mengenai masalah khitan yang diyakini sebagai ajaran Islam masih menimbulkan perdebatan di kalangan ulama, ilmuwan dan peneliti. Mereka mengatakan bahwa khitan adalah ajaran Islam, sedang yang lain mengatakan bahwa khitan bukan ajaran Islam.

Khitan sebetulnya suatu ajaran yang sudah ada dalam syariat Nabi Ibrahim as. Dalam kitab Mughni al-Muhtaj dikatakan bahwa laki-laki yang pertama melakukan khitan adalah Nabi Ibrahim as. Kemudian Nabi Ibrahim mengkhitan anaknya Nabi Ishaq as. pada hari ketujuh setelah kelahirannya dan mengkhitan Nabi Ismail as. pada saat aqil baligh.

Tradisi khitan ini diteruskan sampai pada masa kelahiran Arab pra Islam saat kelahiran Nabi Muhammad saw. mengenai khitan Nabi Muhammad saw. para ulama berbeda pendapat yakni pertama, sesungguhnya Jibril mengkhitan Nabi Muhammad saw. pada saat membersihkan hatinya, dan kedua, bahwa yang mengkhitan Nabi Muhammad adalah kakek beliau, yakni Abd al-Muttalib yang mengkhitan Nabi Muhammad pada hari ketujuh kelahirannya dengan berkorban dan memberi nama Muhammad. Kemudian Nabi mengkhitan cucunya Hasan dan Husain pada hari kelahirannya. Pada hari tersebut banyak acara yang dilakukan antara lain aqiqah, mencukur rambut, memberi nama anak (tasmiyah).

Bangsa Arab membanggakan dirinya sebagai umat yang berkhitan. Abu Sufyan meriwayatkan bahwa pada suatu hari, Heraklius (Raja Romawi) sangat sedih. Pasalnya, pada suatu malam ia melihat bintang di langit membentuk satu gugusan yang menurut tafsiran para ahli Nujum merupakan isyarat kejatuhan bangsa Romawi dan berpindahnya kekuasaan mereka kepada bangsa yang berkhitan. Melihat raja mereka bersedih para pembesar istana Romawi merasa gelisah dan akhirnya menanyakan permasalahan yang dihadapi oleh raja. Heraklius mengisahkan

“pada suatu malam, saya melihat suatu gugusan bintang yang menjadi pertanda bahwa raja dari umat yang berkhitan, akan muncul dan meraih kemenangan”.

Lalu ia bertanya,

“siapakah di antara rakyatku yang berkhitan?”

mereka menjawab,

“tidak ada yang berkhitan selain kaum Yahudi. Janganlah engkau gundah karena mereka. Tulislah surat kepada para pembesar negeri agar mereka membunuh kaum Yahudi.”

Heraklius pun melaksanakan anjuran tersebut sehingga banyak orang Yahudi yang menjadi korban. Ketika itulah seorang utusan Raja Ghassan (dari Basrah) mendatangi Heraklius dan memberitahu tentang munculnya seorang Nabi (Muhammad saw.).

Heraklius segera mengutus beberapa orang ke Arab untuk mencari informasi apakah Nabi tersebut berkhitan. Orang-orang yang diutus itu kemudian melaporkan kepada Heraklius bahwa Nabi Muhammad memang berkhitan. Selanjutnya Heraklius menayakan apakah bangsa yang dipimpin Nabi tersebut berkhitan. Mereka menjawab,

“Ya”.

Dalam akhir cerita ini Heraklius berkomenatar,

“Inilah Raja dari umat yang berkhitan. Ia telah datang dan akan menang”.

Khitan atau sunnat merupakan tradisi yang sudah ada dalam sejarah. Tradisi itu sudah dikenal oleh penduduk kuno Meksiko, demikian juga oleh suku-suku bangsa Benua Afrika. Sejarah menyebutkan, tradisi khitan sudah berlaku di kalangan Bangsa Mesir Kuno. Tujuannya, sebagai langkah untuk memelihara kesehatan dari baksil-baksil yang dapat menyerang alat kelamin, karena adanya kulup yang bisa di hilangkan kotoranya dengan khitan.

Berbagai suku bangsa dipedalaman Afrika seperti suku Musawy (Afrika Timur) dan suku Nandi menjadikan khitan sebagai inisiasi (upacara aqil baligh) bagi para pemuda mereka. Setelah khitan barulah para pemuda diakui secara adat dan berstatus sebagai orang dewasa. Para pemuda yang dikhitan akan di kalungkan potongan qulfah hingga sembuh. Khitan sangat erat kaitannya dengan budaya Semitik (Yahudi, Kristen dan Islam). Sampai saat ini khitan masih dilaksanakan oleh penganut Yahudi dan sebagian penganut Kristen dari Sekte Koptik.

Dengan adanya khitan ini bangsa Yahudi berpindah jejak pada jejak lain. Mereka telah keluar dari Negara Palestina dan mengembara ke berbagai kawasan dunia dan hidup dengan berbagai manusia. Untuk membedakan dengan yang lain, mereka lestarikan tradisi khitan itu sebagai kewajiban dan rasa setia kepada bangsa mereka. Khitan menjadi identitas mereka dengan yang lain.

Khitan menurut tradisi asalnya bukanlah suatu proses bedah kulit yang bersifat fisik semata. Membuka kulit dilambangkan sebagai membuka tabir kebenaran yang selama ini diliputi kabut tebal. Oleh karena itu, istilah “buka” kulit yang berarti membuka kebenaran, kita jumpai dalam istilah para sufi Islam yakni al-fath al-Rabbani yang artinya adalah anugerah penyingkapan rahasia Tuhan.

Demikian gambaran singkat mengenai sejarah khitan. Di dalam Islam khitan merupakan tugas yang diwajibkan kepada orang Islam. Ini terkait adanya ibadah yang mensyaratklan adanya kebersihan dan kesucian, apabila tidak khitan praktek membersihkan bagian dalam kelamin akan sulit.

Waktu Pelaksanaan Khitan


Menyimak pendapat para ulama tentang waktu pelaksanan khitan dapat dikelompokan dalam tiga waktu yaitu waktu wajib, sunnah, dan makruh.

Waktu wajib

Menurut keterangan Abu Bakar bin Muhammad Shata al- Dimyati dalam kitab I’anah al-Talibin bahwa khitan diwajibkan bagi laki- laki baligh, berakal dan berfisik sehat.

Keterangan ini menunjukkan bahwa wajibnya khitan adalah saat datang waktu baligh (dewasa) bagi anak laki-laki yang berakal sehat dan berfisik sehat. Jadi sekalipun ia sehat akal dan telah berusia baligh namun bila belum memiliki fisik yang sehat maka ia tidak berkewajiban khitan. Dengan demikian, hal di atas merupakan syarat wajib untuk dikhitan. Sementara madzhab al-Shafi’i berpendapat bahwa waktu khitan sudah aqil baligh, karena sebelum aqil baligh seorang anak tidak wajib menjalankan syariat agama.

Kewajiban dalam menjalankan syariat Islam ketika anak sudah baligh yaitu wajib menjalankan ibadah, misal shalat, puasa dan lain sebagainya. Usia baligh merupakan batas usia taklif (pembebanan hukum syar’i). Sejak usia baligh itulah seorang anak tergolong mukallaf (terbebani hukum syar’i). Apa yang diwajibkan syariat kepada muslim wajib dilaksa- nakannya, sedang yang diharamkan wajib dijauhinya.

Satu hal yang diwajibkan syara’ kepada anak berusia aqil baligh ialah menunaikan shalat lima waktu sehari semalam. Sedang khitan merupakan syarat sahnya shalat, sehingga ketika anak menginjak usia baligh maka ia wajib dikhitan agar kewajiban ibadah dapat ditunaikan. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa khitan itu wajib dilaksanakan ketika anak mendekati masa aqil baligh.

Dengan harapan bahwa anak itu siap menjadi mukallaf yang akan memikul tanggung jawab dalam melaksakan hukum-hukum syariat. Ketika memasuki masa baligh ia telah dikhitan sehingga ibadahnya sah seperti yang digariskan dan diterangkan Islam. Ketentuan balighnya seorang anak dalam khitan ini selain ketentuan fiqh yang menyatakan bahwa usia baligh bagi anak laki-laki maksimum genap berusia 15 tahun atau minimum sudah bermimpi basah, tentunya itu adalah batas usia maksimum anak harus melaksanakan shalat.

Rasulullah saw. telah mengajarkan bahwa anak berusia 15 tahun harus mulai dilatih shalat dan ketika berusia 10 tahun mereka harus mulai disiplin shalat sebagimana dijelaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:

Dari Umar Ibn Shuaib dari bapaknya dari kakeknya dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Suruhlah anak-anak kalian berlatih salat sejak mereka berusia 7 tahun dan pukulah mereka jika meninggalkan shalat pada usia 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka (sejak usia 10 tahun)”. (HR. Abi Dawud).

Waktu sunnah

Tentang waktu yang disunnahkan mayoritas ulama sepakat bahwa waktu yang dimaksud adalah sebelum aqil baligh. Kategori waktu sunnah dalam khitan yang ditentukan dalam rentang waktu (masa) persiapan menyongsong usia mukallaf. Pada usia tujuh tahun anak dilatih melaksanakan salat karena sudah memasuki usia pra baligh.

Hal ini untuk mengajarkan anak agar terbiasa dan siap menjadi anak shaleh yang didambakan keluarga. Sementara pengikut Abi Hanifah dan Malik menentukan bahwa waktu khitan yang disunnahkan adalah masa kanak-kanak, yakni pada usia 9 atau 10 tahun atau anak mampu menahan sakit bila dikhitan.

Al-Shafi’i menekankan keutamaan khitan ketika anak masih kecil. Memang agaknya jika kita merujuk Rasulullah saw. saat mengkhitankan cucunya Hasan dan Husain pada usia bayi yakni baru berusia tujuh hari sebagaimana disebutkan dalam Hadith Nabi saw. bahwasannya ‘Aisyah ra. mengatakan:

Dari ‘Aisyah ra., Sesungguhnya Nabi saw. mengkhitankan Hasan dan Husain ketika berusai tujuh hari dari kelahiranya. (HR. al-Hakim)

Jika memang demikian, maka hari ketujuh dari kelahiran anak merupakan hari istimewa bagi orang tua. Pasalnya, mereka harus mengerjakan banyak hal yakni mengaqiqahkan, mencukur rambut, menamai dan sekaligus mengkhitankan anaknya.

Kembali pada waktu sunnah pelaksanaan khitan, Zain al-Din Ibn Abd al-Aziz al-Malibari memberikan keterangan yang fleksibel sebagai berikut:

  • Pelaksanaan khitan di sunnahkan pada usia bayi 7 hari mengikuti jejak Rasul (ittiba’ al-Rasul).

  • Jika pada usia tujuh hari abelum terlaksana, maka disunnahkan pada usia 40 hari.

  • Jika pada usia 40 hari belum terlaksana, mak disunnahkan pada usia 7 tahun, karena pada usia ini anak harus dilatih melaksanakan salat.

Waktu makruh

Waktu makruh melaksanakan khitan yakni dimana fisik anak kurang memungkinkan menanggung rasa sakit untuk berkhitan, waktu yang dimaksud adalah bayi kurang dari umur 7 hari. Adapun menurut keterangan lain khitan pada waktu anak berusia kurang dari tujuh hari semenjak kelahirannya dimakruhkan karena selain fisiknya lemah, juga di sinyalir menyerupai perbuatan orang Yahudi.

Referensi :

  • M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Kesalehan Anak (Akikah, Pemberian Nama, Khitan dan Maknanya) (Jakarta: Pustaka Amani, 2001)
  • Harun Nasution, et. al, Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Sabdodadi, 1992)
  • Muhammad Ali Hasan, Masail al-Fiqhiyah al-Hadithah: Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)
  • Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, “ Tuhfah al-Maudud bi Ahkam alMaulud ” Penerj. Fauzi Bahreisy, Mengantar Balita Menuju Dewasa (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002)
  • Sa’ad al-Marshafy, “ Hadith al-Khitan Hujjiyatuhu wa Fiqhuhu ” Penerj. Amir Zain Zakariya, Khitan (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
  • Muhammad al-Khatib al-Sharbiny, Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifat al-Ma’ani al-Fad al-Minhaj, Juz V (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995).