Apa yang anda ketahui tentang kerajaan Bima ?

Apa yang anda ketahui tentang kerajaan Bima ?

Kerajaan Bima terletak di pantai timur pulau Sumbawa. Asal mula kerajaan ini diperkirakan telah ada sejak periode Hindu. Namun, sayang sekali, data sejarah berkenaan dengan kerajaan ini pada masa Hindu sangat minim. Data sejarah tertulis yang tersedia hanya pada fase Bima telah konversi ke Islam pada tahun 1620 M. Sumber sejarah Bima adalah artefak, prasasti dan manuskrip. Sumber-sumber tersebut menceritakan tentang fase sejarah sejak masa prasejarah hingga masuknya Islam. Ada dua prasasti yang ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu berbahasa Sanskerta dan satunya lagi berbahasa Jawa kuno. Ini menunjukkan bahwa, kedua bahasa tersebut ternyata juga pernah berkembang di Bima. Selain prasasti, juga banyak terdapat naskah-naskah kuno yang ditulis di era Islam, sehingga bisa digunakan untuk mengungkap sejarah di era tersebut. Naskah kuno berbahasa Melayu tersebut menceritakan kehidupan sejak abad ke-17 hingga 20 M. Selain bahasa Melayu, sebenarnya bahasa Bima juga cukup berkembang, namun, bahasa ini belum mencapai taraf bahasa tulis.

Bo Sangaji Kai, sebuah naskah kuno milik Kerajaan Bima yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu menceritakan bahwa, sejarah Bima dimulai pada abad ke-14 M. Ketika itu, pulau Sumbawa diperintah oleh kepala suku yang disebut Ncuhi. Pulau Sumbawa tersebut terbagi dalam lima wilayah kekuasaan Ncuhi: selatan, barat, utara, timur, dan tengah. Ncuhi terkuat adalah Ncuhi Dara, wilayahnya disebut Kampung Dara. Struktur Ncuhi mulai mengalami perubahan, ketika Indra Zamrud, anak Sang Bima diangkat menjadi Raja Bima pertama. Selanjutnya, Indra Zamrud menggunakan nama ayahnya, yaitu Bima untuk menyebut kawasan yang meliputi pulau Sumbawa tersebut.

Berkenaan dengan Zamrud, kisahnya dimulai pada masa kanak-kanak, ketika ia dikirim ayahnya ke Pulau Sumbawa dengan keranjang bambu. Indra Zamrud sampai dan mendarat di Danau Satonda, dekat Tambora. Ncuhi Dara sudah mendengar berita kedatangan Indra ini, karena itu ia datang untuk menyambut dan mengangkatnya sebagai anak. Ketika Indra dewasa, lima Ncuhi di Sumbawa sepakat mengangkatnya menjadi raja, sedangkan para Ncuhi tersebut menjadi menteri. Dengan kepemimpinan mereka, Kerajaan Bima terus berkembang dan menjadi pelabuhan dagang yang cukup diperhitungkan. Kenyataan ini sejalan dengan catatan yang terdapat dalam Kitab Negarakertagama yang menyebutkan bahwa, Kerajaan Bima sudah memiliki pelabuhan besar pada tahun 1365 M. Jadi, kisah dalam Bo Sangaji Kai ini sesuai dengan catatan Negarakertagama.

Kerajaan Gowa-Tallo memegang peranan penting dalam proses konversi Bima ke Islam. Saat itu, pada abad ke 17 M, Belanda telah menguasai sebagian besar jalur perdagangan bagian barat. Untuk mencegah jalur timur direbut Belanda, maka, kemudian Gowa mengirim ekspedisi untuk menaklukkan kerajaan pada pantai timur yang meliputi Lombok dan Bima. Kerajaan-kerajaan ini berhasil ditaklukan dan diislamkan oleh Gowa pada tahun 1609 M. Seiring dengan masuknya Islam, maka, peradaban tulis juga berkembang. Oleh karena itu, data sejarah tertulis yang tersedia banyak berkaitan dengan fase pasca masuknya Bima ke Islam.

Walaupun Bima telah berhasil diislamkan oleh Gowa, Raja Ruma-ta Mantau Bata Wadu La KaI gagal mengajak keluarga dan rakyatnya untuk ikut memeluk Islam. Akibatnya, ketika tentara Gowa ditarik dari Bima pada tahun 1632 M, keluarga raja dan rakyatnya bangkit menentang raja, dan berhasil menurunkannya dari tahta. Untuk mengatasi kemelut ini, pada tahun 1633 M, Gowa kembali mengirimkan pasukan ke Bima. Setelah melalui pertempuran berdarah, Gowa berhasil merestorasi kekuasaan pemeritahan Islam. Sejak saat itu, gelar raja diganti dengan sultan, dan Islam secara resmi menjadi agama kerajaan. Ketika berkuasa, para raja juga menggunakan nama-nama Arab untuk menunjukkan keislamannya.

Relasi dengan Kerajaan Gowa sangat dekat dan berlangsung selama hampir satu abad setengah. Ketika Gowa kalah di tangan Belanda, maka Bima akhirnya juga ikut menjadi daerah taklukan Belanda. Peristiwa ini terjadi pada akhir abad ke-18 M (1792 M), di masa Sultan Abdul Hamid Muhammad Shah berkuasa di Bima. Saat itu, Sultan Abdul Hamid dipaksa oleh Belanda agar Bima menjadi salah satu wilayah protektorat Belanda.

Dalam relasi Belanda-Bima, Belanda cenderung untuk tidak terlalu ketat menanamkan pengaruh dan kekuasaannya, sehingga relasi tersebut berlangsung cukup berimbang. Belanda tidak mencampuri urusan pergantian kekuasaan di Bima, dan tidak seorangpun sultan Bima diasingkan oleh Belanda ke tempat lain. Ketika Jepang masuk ke Bima, relasi juga berlangsung cukup baik dan hampir tanpa insiden. Ada yang berpendapat bahwa, relas harmonis ini berhasil diraih karena orang-orang Bima telah banyak belajar dari pengalaman mereka selama berada di bawah kekuasaan Gowa.

Kesultanan Bima berakhir ketika Indonesia berhasil meraih kemerdekaan pada tahun 1945. Saat itu, Sultan Muhammad Salahuddin, raja terakhir Bima, lebih memilih untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Siti Maryam, salah seorang putri Sultan, menyerahkan bangunan kerajaan kepada pemerintah dan kini dijadikan museum. Di antara peninggalan yang masih bisa dilihat adalah mahkota, pedang dan furnitur.

Sejarah Singkat Kerajaan Bima


Kerajaan Bima dalam bahasa daerahnya adalah Dana Mbojo, merupakan salah satu kerajaan Swapraja selama lima atau enam abad sebelum lahirnya republik Indonesia.12 Kerajaan Bima merupakan salah satu diantara enam Kerajaan yang pernah ada di Pulau Sumbawa diantaranya yaitu kerajaan dompu, Kerajaan Sanggar, Kerajaan Tambora, Kerajaan Pekat, Kerajaan Sumbawa dan Kerajaan Bima. Sejak kapan dan dimana Kerajaan Bima didirikan dan oleh siapa ? Belum ada sumber yang jelas dan pasti. Namun dalam kitab Nagara Kartagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca tahun 1365 M, disebutkan bahwa Taliwang, Dompo, Sape, Sanghyang Api, Bhima, Sheram atau Seran, Hutan Kadali termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Meskipun ahli-ahli Arkeologi dan sejarah berpendapat bahwa nama-nama tersebut berlokasi di Sumbawa ataukah sebagai tempat singgahan (pelabuhan) para pelaut yang kemudian ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit, Namun yang jelas Dompo (sekarang Dompu), Seram (sekarang Seran), dan Hutan Kedai (sekarang Utan) lokasinya agak jauh dari pantai sehingga tidak mungkin disingahi para pelaut.

Wilayah kerajaan Bima dibagian timur Pulau Sumbawa, disebelah Utara berbatasan dengan laut Jawa, sebelah Timur dengan Selat Sape, sebelah Selatan dengan Laut Hindia, dan di sebelah Selatan berbatasan dengan kerajaan Dompu. Wilayah kerajaan Bima di Pulau Sumbawa dibagi kedalam tiga distrik : Belo, Bolo dan Sape, masing-masing diperintah oleh Galarang rendahan dan kepala kampong. 14 Menurut sejarah batas Kerajaan Bima disebelah Timur termasuk sebelah barat Pulau Flores yang dikenal dengan nama Manggarai dan termasuk semua Pulau-Pulau yang ada di selat Sape. Itulah sebabnya dalam perjanjian dengan kompeni atau pemerintah hindia Belanda dahulu dinyatakan bahawa batas Kerajaan Bima disebelah timur berbatasan dengan keresiden Timor yang terletak di Pulau Flores.

Pernyataan di atas dipertegas juga oleh I Ketut Ardhana (2005)Setelah perjanjian dengan Belanda pada tahun 1660, manggarai berada dibawah pemerintahan Bima dan harus membayar upeti kepada Sultan Bima dalam bentuk budak, kayu manis, kuda, ayam dan anjing. Demikian daerah Bima yang terdapat di Flores terdiri dari dua daerah yang dibagi dalam 13 distrik dimana distrik-distrik yang lebih luas dibagi menjadi 13 Onderdistrik sehingga seluruhnya berumlah 481 Kampung.

Awal abad ke 17 M, merupakan saat yang amat penting bagi perkembangan sejarah Bima. Pada awal abad ke 17 M, terjadi peristiwa yang sangat mempengaruhi perjalanan Kerajaan Bima.18 Peristiwa itu terjadi karena seorang tokoh yang bernama Salisi (mantau Asi Peka), putra raja Mawa’a Ndapa. Menurut adat ia belum berhak untuk menjadi raja karena masih ada putra-putra raja yang lain yang lebih berhak mewarisi tahta kerajaan. Oleh karena ia berambisi menjadi raja, ia membunuh raja Samara dan Sarise bahkan putra mahkotapun ia bunuh di padang rumput perburuan Wera. Maka dari itu mereka yang terbunuh di gelar “Ma Mbora Di Mpori Wera”. Salisi belum puas karena di istana masih ada Jena Teke (La Kai/ Abdul khair) rencana liciknya tidak berhasil karena dia ada di pihak yang benar. Abdul Khair berhasil membawa Bima ke babak yang baru yaitu masa KeSultanan.

Sistim Pemerintahan Kerajaan Gowa

Butta Gowa pada bentuk kenegaraannya mula mula bersifat konfederasi, tetapi lambat laun menjadi federasi dari kesembilan negeri asal (Batte Salapang). Karena sifatnya yang demikian itu, maka pimpinan Butta Gowa menjadi lebih dinamis dalam kegiatannya memperluas wilayah keluar daerahnya.

Negeri-negeri yang ditaklukan atau yang menggabungkan diri secara suka rela di jadikan negeri-negeri yang dilindungi ( Proktektorat ), negeri negeri otonomi ( Palili’ ) atau negeri Passiajingeng (negeri yang terbentuk karena kekerabatan). Kepada negerinegeri itu di berikan pimpinan dari keturunan To Manurung yang disebut Ana’-Karaeng ri Gowa. Mereka itu disebut juga Batte Ana’ Karaaeng . Suatu kerajaan pasti memiliki sistim pemerintahan yang digunakan dalam perjalanan kerajaannya dan dapat dipastikan pula sistim pemerintahan yang digunakan pasti berbeda dengan yang lainnya.

Raja Gowa yang pertama “ Tumanurunga” tidak sepihak, dengan “Paccallaya bersama dengan Kasuwiyang Salapanga” dilain pihak, dibuat “Ikrar”. Dari ikrar itu jelas, bahwa pada mulanya bentuk pemerintahan di Gowa, dibawah Pimpinan Tumanurunga adalah mengandung unsur-unsur Demokratis. Akan tetapi unsur-unsur Demokrasi itu menjadi kabur adanya. Karna yang nampak ialah unsur-unsur “ absolute monaracie ” (kerajaan Mutlak). Raja seolah-olah menguasai hidup dan mati serta hak milik Rakyatnya. Kehendak raja adalah Undang-undang, raja adalah Pemerintah dan pemerintah adalah Raja.

Ada lembaga perwakilan yang disebut “ Kasuwiyang-Salapang ” yang kemudian lazim disebut “ Bate-Salapang ”, akan tetapi lembaga itu tidak berarti lebih dari sebuah lembaga yang biasa disebut oleh orang Belanda “ raad van negen kiesheren ” (majelis dari Sembilan orang pejabat yang memilih raja), karena itu tidak mempunyai wewenang didalam pemerintahan, tidak mempunyai wewenang dalam menjalankan pemerintahan diseluruh kerajaan, pun tidak merupakan badan penasehat.

Suatu pejabat yang dianggap tertinggi di Gowa sesudah raja Gowa, ialah disebut, “ Pabbicara Butta ” (juru bicara negeri), jabatan ini dapat disamakan dengan “ Mangkubumi ”. Pada mulanya jabatan Pabbicara Butta di gowa diadakan karena raja yang diangkat belum dewasa (belum aqil baliq), akan tetapi kemudian banyak sekali jabatan itu selaku tanda penghargaan dihadiahkan kepada orang-orang bangsawan tinggi atas jasa-jasanya yang luar biasa, juga walaupun raja sudah lama dewasa.

Kerajaan Islam di Nusa Tenggara (Kerajaan Bima) ,- Mulanya, Bima merupakan kerajaan yang dipengaruhi oleh Hindu-Buddha yang bercampur dengan kebudayaan asli. Sebelum Islam datang, penduduknya memercayai arwah-arwah leluhur mereka sebagai penjaga kehidupan. Pada awal abad ke-17, barulah ajaran Islam masuk ke Bima, yang terletak di bagian timur pulau Sumbawa. Tepatnya pada tahun 1620, raja Bima yang bernama La Ka’i memeluk Islam dan namanya berganti menjadi Abdul Kahir.

Sesungguhnya, ajara Islam telah masuk ke daerah Sumbawa sejak abad ke-16. Persebaran Islam di wilayah ini terbagi dalam dua gelombang. Gelombang pertama sekitar tahun 1540-1550 oleh para mubaligh dan pedagang dari Demak. Sementara, Gelombang kedua terjadi pada 1620 oleh orang-orang Sulawesi. Pada gelombang kedua inilah Raja Bima, La Ka’i tertarik untuk menjadi muslim. Sejak penguasanya masuk Islam, Bima menjelma menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah timur Nusantara. Para ulama yang berdakwah sebagian diangkat menjadi penasihat Sultan dan berperan besar dalam menentukan kebijakan Kerajaan. Banyak ulama termasyur yang datang ke Bima ini. Ada Syekh Umar al-Bantani dari Banten yang berasal dari Arab, Datuk Di Bandang dari Minangkabau, Datuk Di Tiro dari Aceh, Kadi Jalaludin serta Syekh Umar Bamahsun dari Arab.

Di bagian barat dan timur pelabuhan Bima telah terdapat perkampungan orang Melayu. Perkampungan ini menjadi pusat pengajaran Islam. Sultan Bima begitu menghormati orang-orang Melayu dan menganggap mereka saudara. Mereka bahkan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Ulama dan penghulu Melayu mendapat hak istimewa untuk mengatur perkampungan mereka sesuai dengan hukum Islam. Dengan demikian, bahasa Melayu dengan mudah menyebar di Bima dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan Kerajaan Bima meliputi Pulau Flores, Timor, Solor, Sumba, dan Sawu. Pada waktu itu, Bima merupakan salah satu bandar utama. Para pedagang yang pergi dari Malaka ke Maluku, aatau sebaliknya, pasti melewati perairan Sumbawa.

Untuk meningkatkan perdagangannya, Bima mengadakan hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain yang berdekatan. Salah satunya dengan Kerajaan Goa. Datuk Di Bandang dan Datuk Di Tiro adalah ulama yang datang ke Sumbawa atas dukungan Goa. Hubungan dua kerajaan ini dipererat dengan pernikahan antara keluarga kedua kerajaan.

Kerajaan Bima terbukti telah membantu pihak Goa dalam menghadapi Belanda. Ketika Goa menandatangani Perjanjian Bongaya taahun 1667 dengan pihak Belanda, Bima pun dipaksa untuk ikut menandatangani perjanjian tersebut. Ketika itu Sultan Bima menolak. Namun, dua tahun kemudian, 1669, Kerajaan Bima akhirnya harus mengakui kekuasaan Belanda. Perjanjian damai pun dilaksanakan, sejak itulah bangsa Belanda ikut serta dalam urusan dalam negeri Bima.

Pada tahun 1906, penguasa Bima, Sultan Ibrahim, dipaksa menandatangani kontrak politik yang bertujuan menghapus kedaulatan Kerajaan Bima oleh Belanda. Isi perjanjian ini antara lain: Bima mengakui wilayahnya menjadi bagian dari kekuasaan Hindia-Belanda, Sultan tidak boleh mengadakan kerjasama dengan bangsa Eropa lain. Selain itu, Bima harus membantu Belanda bila sedang berperang dan Sultan dilarang menyerahkan kekuasaannya selain kepada Belanda. Pada masa pemerintahan sultan terakhir, Muhammad Salahuddin (1915-1951), pendidikan agama Islam mengalami perkembangan yang pesat. Sultan Muhammad memperbanyak sarana peribadahan dan pendidikan, seperti masjid dan madrasah (sekolah Islam).

Kerajaan Baima berakhir pada tahun 1951 karena Sultan Muhammad Salahuddin meninggal dunia. Di samping itu, sebelumnya Bima telah mengakui kedaulatan Republik Indonesia dan menjadi bagiannya. Kini Bima menjadi wilayah kabupaten, berada dalam Provinsi Nusa Tenggara Barat.