Apa yang anda ketahui tentang Kerajaan Aceh Darussalam ?

Sebagai pusat penyebaran agama Islam, berdirinya kerajaan Samudra Pasai mengilhami pendirinya Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1511 M. Kerajaan Aceh Darusalam berlokasi di daerah hulu pulau Sumatra, atau ujung Pantai Aceh yang disebut sebagai Aceh Besar. Raja pertama Kerajaan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Syah. Setelah Sultan Ali Mughayat Syah wafat, tahta Kerajaan Aceh Darussalam beralih pada putranya yang kemudian bergelar Sultan Salahuddin. Sayangnya, keadaan pemerintahan kurang mendapat perhatian raja sehingga selama masa pemerintahannya Aceh Darussalam mengalami kemunduran drastis. Kekuasan Sultan Salahuddin, kemudian direbut oleh Sultan Alauddin.

Selama pemerintahan, Sultan Alauddin mengadakan perbaikan kondisi kerajaan dan perluasan wilayah, antara lain ke Kerajaan Aru. Namun, usahanya untuk merebut Malaka dari Portugis mengalami kegagalan. Sultan Alauddin juga aktif menyebarkan pengaruh Islam dengan mengirim banyak ahli dakwah ke Pulau Jawa. Salah satunya adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Sultan Alauddin wafat, Kerajaan Aceh Darussalam kembali mengalami kemunduran. Hal ini terjadi akibat pergolakan politik internal dan pemberontakan yang berlangsung cukup lama. Kerajaan Aceh Darussalam mengalami perkembangan pesat dan mencapai masa keemasan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Kerajaan Aceh Darussanlam pada saat itu tumbuh menjadi kerajaan besar yang berhasil menguasai jalur perdagangan alternatif. Keberhasilan ini mampu menyaingi monopoli perdagangan Portugis di Kerajaan Malaka.

Struktur pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam dibentuk oleh Sultan Iskandar Muda. Pada dasarnya, struktur kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam terbagi menjadi dua wilayah, yaitu kekuasaan oleh kaum bangsawan dan alim ulama. Dalam kekuasaan kebangsawanan, wilayah Kerajaan Aceh Darusalam terbagi dalam daerah-daerah kehulubalangan yang dikepalai oleh Uleebalang.

Apa yang anda ketahui tentang Kerajaan Aceh Darussalam ?

“Bahwasanya kita semua satu negeri bernama Aceh,…yakni satu negeri, satu bangsa, dan satu Kerajaan, dan satu ‘alam (bendera) dan satu ajaran yakni Islam dengan mengikuti Syariat Nabi Muhammad SAW. atas jalan Ahlussunnah Waljamaah r.a. dengan mengambil hukum dari pada Al-Quran dan Hadis Nabi dan Qias dan Ijma ‘alim ulama ahlussunnah waljamaah r.a. dengan hukum dengan adat dengan reusam dengan qanun yaitu syara’ Allah syara’ Rasulullah dan syara‟ kami bernaung di bawah panji-panji syariat nabi Muhammad saw dari dunia sampai akhirat dan dalam dunia sepanjang masa”.

Kutipan di atas adalah Pohon Kerajaan Aceh atau landasan filosofis Kerajaan Aceh Darussalam yang ditegaskankan oleh pendiri Kerajaan Aceh Darussalam Paduka Sri Sultan Alaiddin Johan Ali Ibrahim Mughayat Syah pada 12 Rabiulawal 913 H (Alfian 2005).

Kerajaan Aceh Darussalam dalam catatan Reid (2005) dibentuk pada tahun 1520 oleh Sultan Ali Mughayat Syah ini telah menyatukan seluruh Kerajaan-Kerajaan seperti Pase, Pidie dan KerajaanKerajaan lainnya di wilayah Sumatera bagian utara. Penyatuan ini sekaligus untuk mengusir Portugis dari wilayah-wilayah itu. Kenyataan bahwa Kerajaan Aceh dibentuk dengan semangat untuk mengusir penjajah Portugis dari perairan Selat Malaka yang memenopoli jalur perdagangan laut kemudian telah membentuk karakter tersendiri bagi anak negerinya, karakter bersatu untuk berperang mengusir musuh dan karakter bersatu untuk menguasai perdagangan. Salah satu kesadaran Aceh adalah menyangkut cerita sejarah pasukan armada laut dibawah pimpinan Laksamana Keumalahayati, seorang perempuan yang memimpin perang melawan pasukan tentara Portugis di laut Selat Malaka.

Pembentukan karakter ini menemukan zaman keemasannya pada masa Sultan Iskandar Muda. Pada zaman ini, Aceh diwarnai oleh penaklukan negeri-negeri di sekitar Aceh Darussalam. Tulisantulisan agung dari para pemikir dan para sufi Islam juga bermunculan. Atas dua hal inilah landasan struktur dan kultur dari ideologi Aceh sebagai “Serambi Mekah” semakin menemui bentuknya (Abdullah dalam Alfian 1987). Bagi Aceh kemudian hari, zaman keemasan Iskandar Muda ini menjadi memori kolektif kesadaran sejarah sebagai satu bangsa dan sebagai ikon penting yang selalu diceritakan dan dibangga-banggakan oleh sebagian masyarakat Aceh.

Tinta emas sejarah juga telah mencatat bagaimana kiprah dan sepak terjang Aceh dalam politik dunia internasional. Tersebutlah di mana Aceh telah menjalin hubungan diplomatik dua negara yang telah terbina antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Oranje sejak Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil (1589-1604) mengirim seberkas surat kepada Prins Mauris (pendiri Dinasti Oranje) untuk memberi pengakuan kemerdekaan kepada Belanda dalam perang kemerdekaannya melawan Spanyol. Aceh kemudian bahkan dikenal sebagai negeri pertama dari Timur yang mengakui kemerdekaan Belanda dari Spanyol dan menempatkan Duta Besarnya Abdul Hamid di Negeri Belanda (Alfian 1997:36).

Kemudian pada 1857 telah ditantandatangani pula satu-satunya perjanjian internasional antara Belanda dan negara berdaulat di Nusantara sejak Belanda menapakkan kakinya di Nusantara. Perjanjian itu dikenal dengan Tractat London yang berisi pengakuan atas kedaulatan Negara Aceh oleh Belanda dan perjanjian saling mengakui dan menghormati kedaulatan masing-masing (Reid 2005). Namun 26 tahun setelah Tractat London ini ditandatangani Belanda pun mengirimi Aceh sepucuk surat permakluman perang kepada Kerajaan Aceh pada 1873. Sehingga Ibrahim Alfian dkk (1997) menyebut Tractat London itu hanyalah siasat belaka kaum kolonial Belanda. Secara sepihak Belanda kemudian membuat Tractat Soematera untuk mengesahkan agresi mereka ke Aceh di saat Aceh dalam keadaan lemah. Hal ini terlihat misalnya jauh sebelum agresi Belanda ke Aceh 1873. Sultan Ibrahim pada 1850 pernah meminta kepada Turki untuk menjadikan Aceh sebagai sebuah propinsi dibawah kekaisaran Ottoman. Permintaan itu dijawab sultan Abdul Mejid dengan memperbarui perlindungan kepada Aceh dengan memerintahkan Gubernur Yaman untuk melindungi kepentingan Aceh dan meneguhkan Ibrahim sebagai raja Aceh (Reid 2005).

Demikian juga dengan hubungan diplomatik yang telah terjalin antara negara Aceh dengan Turki Osmani. Hal ini dapat kita lihat ketika Sultan Aceh 'Ala al-Din Ri‟ayat Syah al Kahar (1537-1571) mengirim perutusan Kerajaan Aceh yang dipimpin Husein Effendi untuk meminta bantuan Turki ketika Aceh bertikai dengan Potugis pada petengahan abad ke 16 (Alfian 1977). Sejarah mencatat Sultan Selim II kemudian mengirim bala bantuan armada laut kepada Aceh sebanyak 15 buah kapal perang dan 2 buah kapal logistik di bawah pimpinan Laksamana Kourtoglu Khizir Reis untuk membantu Aceh dalam berperang dengan Portugis. Dalam rombongan bantuan itu turut dikirim pula ahli bangunan benteng, ahli perkapalan, ahli peralatan logam, ulama dan para perwira militer (Alfian 1977).

Setelah setahun bertugas di Aceh dan Portugis pun telah berhasil diusir, bala bantuan itu pun kembali ke Turki. Namun, atas permintaan Sultan 2 kapal tetap berada di Aceh. Kerja sama AcehTurki pun semakin ditingkatkan. Hal ini nampak terlihat manakala dibukanya Akademi Militer bantuan Turki untuk Aceh yang diberi nama Asykari Bayt al Muqaddas (Soldier of the Holy House). Akademi ini kemudian telah melahirkan sejumlah ahli perang, diantaranya adalah Laksamana Keumalahayati. Seorang perempuan perkasa dari armada laut Kerajaan Aceh Darussalam (Alfian 1977:36). Demikian juga hubungan persahabatan antara Aceh dengan Inggris yang telah dijalin sejak masa Ratu Elisabeth I. Pada waktu itu Ratu Inggris itu telah mengirim utusannya kepada Aceh yakni James Lancater untuk membina hubungan diplomati ini. Hal yang sama juga telah dilakukan dengan Perancis. Di Prancis sendiri pada waktu hubungan dipomatik ini dijalin beraada di bawah Louis XIII dan di Aceh berada di bawah tahta Sutan Iskandar Muda (Alfian, dkk 1977:37).

Semua peristiwa ini adalah sejarah dan wawasan penting pembentuk kesadaran keacehan. Keutuhan sistem sosial politik yang terbina sedemikian rupa itu meminjam Dhakidhae (2001) adalah dimensi penting bagi identitas keacehan. Ikatan jati diri Orang Aceh dengan kesadaran sejarahnya yang berkaitan dengan keutuhan Aceh baik sebagai sebuah negara Kerajaan yang berdaulat yang bahkan menjadi aktor politik penting di panggung internasional maupun sebagai sebuah bangsa yang identitas utamanya didasarkan pada Islam tidak saja telah menjadi cermin diri tetapi juga telah menjadi citra diri dan orientasi diri Orang Aceh.

Banda Aceh merupakan ibukota Kesultanan Aceh Darussalam, sekitar abad ke- 14. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun diatas puing-puing kerajaan- kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura (Indrapuri). Kemunculan Kesultanan Aceh Darussalam yang beribukota di Banda Aceh tidak lepas dari Kerajaan Islam Lamuri. Akhir abad ke 15, dengan terjalinnya suatu hubungan baik dengan kerajaan tetangganya, maka pusat singgasana Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Meukuta Alam.

Lokasi istana Meukuta Alam berada di wilayah Banda Aceh. Kerajaan Darussalam awalnya bernama Kerajaan Indra Purba yang berada di Aceh, beribu kota di Lamuri. Ketika tahun 450-460 H (1059-1069 M) tentara Cina yang telah menduduki Kerjaan Indra Jaya yang sekarang disebut dengan daerah Leupung, saat itu tentara Cina menyerang Kerajaan Indra Purba yang pada masa itu diperintah oleh Maharaja Indra Sakti. Saat peperangan Kerajaan Islam Peureulak mengirim 300 orang di bawah kepemimpinan Syekh Abdullah Kan’an yang bergelar “Syiah Hudan” keturunan Arab dari Kan’an. Di antara mereka terdapat seorang pemuda yang bernama Meurah Johan putra dari Adi Genali atau Teungku Kawee Teupat yaitu Raja dari Negeri Lingga.

Ketika tentara Cina dikalahkan, maka seluruh rakyat dan Kerajaan Indra Pura membalas jasa dengan Maharaja Indra Sakti untuk masuk islam kemudian mengawinkan anaknya yang bernama Putri Blieng Indra Kesumawati dengan Meurah Johan. Setelah Raja Maharaja Indra Sakti meninggal dunia, maka diangkatlah menantunya yaitu Meurah Johan menjadi Raja yang bergelar Sultan Alaiddin Johan Shah. Kemudian Kerajaan Indra Purba dijadikan Kerajaan Islam dengan nama Kerajaan Darussalam yang beribu kota di Tei sungai Kuala Naga (Krueng Aceh) dan dinamai Bandar Darussalam.

Dalam buku Hasjmy Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, bahwa Sultan Aliddin Ali Mughayat Shah adalah sultan ke 11 yang menjabat pada tahun 916-936 H (1511-1530 M). Beliau adalah sultan Kerajaan Islam Aceh terakhir dan membangun Kerajaan Aceh Darussalam yang meliputi seluruh kerajaan kecil- kecil, sejak dari Aru hingga ke Jaya. Jadi, pemimpin pertama kerajaan Aceh Darussalam mempunyai tahapan kedua yaitu pertama ketika bernama kerajaan Darussalam yaitu dipimpin oleh Sultan Johan Shah kemudian, ketika sudah menjadi kerajaan yang bernama Kerajaan Aceh Darussalam sultan pertama yang memimpin adalah Sultan Ali Mughayat Shah. Saat itu sudah dijadikan satu kerajaa-kerajaan kecil yang ditaklukkan oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Penguasa pertama dalam Kesultanan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Shah.

Pada awalnya, wilayah Kesultanan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh Syamsu Shah, ayah dari Sultan Ali Mughayat Shah. Ketika orang-orang Portugis mulai datang ke Malaka, status politik Aceh masih merupakan suatu Kesultanan takluk dari Kesultanan yang di Sumatera Utara yaitu Pedir, akan tetapi Aceh kemudian melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Pedir berkat seorang tokoh yang kuat menjadi penguasa Aceh pada saat itu yaitu Sultan Ali Mughayat Shah. Setelah meninggalnya Sultan Ali Mughayat Shah, digantikan oleh anaknya yaitu Sultan Salah ad-Din pada tahun 1528-1537 M. Dari buku Kesultanan Aceh pengarang Hoesein Djajadiningrat menjelaskan bahwa Sultan Ali Mughayat Shah mempunyai anak dua yaitu Sultan ad-Din dan Sultan Alauddin atau biasa disebut dengan Sultan Kahhar.

Sultan Riayat Shah atau disebut dengan Sultan Moeda adalah sultan yang ke-11. Dari beberapa nama sultan di kerajaan Aceh mempunyai kesamaan tetapi dalam kesamaan tersebut terdapat nama gelar yang membedakan nama sultan tersebut. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kesultanan-kesultanan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir Timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Potugis. Ali Mughayat Shah dikenal sangat anti kepada Potugis, oleh karena itu untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ditaklukkannya dan dimasukkan ke dalam wilayah Kesultanannya. Sejak saat itu Kesultanan Aceh menjadi Kesultanan yang lebih besar dan lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari panaklukkan Kesultanan-kesultanan kecil yang berada di wilayah Aceh. Kemajuan Aceh pada saat itu sangat terpengaruh oleh kemunduran Kesultanan Malaka yang jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 M. Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis maka daerah-daerah pengaruhnya yang terdapat di Sumatera mulai melepaskan diri dari Malaka. Ketika Malaka mulai mundur memberi kesempatan pada Aceh untuk berkembang.

Setelah sultan Ali Mughayat Shah wafat yaitu pada tahun 12 Dzulhijjah (7 Agustus 1530 M), Kerajaan Islam Aceh Darussalam dipimpin oleh sultan Salahuddin pada tahun 1530-1539 M. Dalam catatan sejarah, setelah mengalami berbagai kemajuan dalam militer pada saat Sultan Ali Mughayat Shah memimpin pemerintahan salah satunya melawan kebijakan yang Portugis buat, karena pada kekuasaan beliau tidak ingin Portugis menguasai kerajaan Aceh Darussalam. Setelah meninggal, pada masa pemerintahan Sultan Ala ad-Din Riayat Shah anak dari Sultan Ali Mughayat Shah serangan untuk melawan Malaka, pertama mengalami kegagalan dengan 3000 tentara, serangan kedua dengan kekuatan 60 kapan dan 5000 personil militer berhasil mendaraat di Malaka dan menduduki Upeh, membakar kapal-kapal Portugis.

Meskipun serangan dari Kerajaan Aceh Darussalam pada waktu itu tidak memancing orang Portugsi keluar dari bentengnya. Disebutkan dalam buku Amirul Hadi dalam judul Aceh, Sejarah Budaya dan Tradisi bahwa Portugis tetap memenangkan penyerangan karena mendapat bantuan dari Johor, Perak dan Pahang yang pada saat itu memusuhi Aceh, karena Portugis membantu mengentikan blokade yang dilakukan oleh Aceh.

Setelah Sultan Alauddin Riayat Shah wafat, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Ali Riayat Shah atau Hosein pada tahun 1568-1575 M. Pada masa pemerintahnya Sultan Husen, penyerangan terhadap Malaka terus berlanjut. Pada bulan Oktober 1573 M, didukung oleh 7000 personel dan 90 kapal, pasukan Aceh kembali membombardir Malaka dan membakar suburban bagian Selatan. Disebutkan dalam buku Hoesein Djajadiningrat bahwa sultan Husen atau Sultan Husain Ali Riayat Shah III pada tahun 1573 M dan Tahun 1575 M sia-sia menyerang Malaka. Kemudian sultan yang menggantikan sultan Husen yaitu Sultan Moeda anak dari Sultan Husein.

Sultan Moeda ini berumur 4 bulan, 7 tahun kemudian ia meninggal setelah menjabat sebagai sultan. Tetapi dalam buku Hasjmy yang berjudul Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia menyebutkan bahwa sultan ke lima dalam kerajaan Aceh Darussalam berusia Tujuh bulan dan hanya menjabat 28 hari karena meninggal.11 Tetapi dalam buku Akhwan Mukkarom yang berjudul Sejarah Islam Indonesia I, mengutip pada Harun Tucer dalam Osmanlinin Gelgesyide Biz Uzakdogu Deobet Ace (Camlica, 2010) mengatakan bahwa sultan ini tidak di cantumkan pada struktur sultan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam. Disebutkan bahwa, sutan Ali Riayat Shah berada pada nomer ke 10 kesultanan. Dikarenakan yang hanya menjadi sultan bayangan karena hanya memerintah selama beberapa bulan. Kesultanan selanjutnya digantikan oleh

Sultan Sri Alam yaitu anak dari Sultan Alauddin Riayat Shah al-kahhar. Disebutkan bahwa sultan ini sangat kejam, beliau dibunuh setelah dua bulan memerintah dalam waktu yang singkat yaitu pada tahun 1576 M. Dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia yang dikarang oleh Hasjmy silsilah raja-raja kerajaan Aceh Darussalam berbeda dengan silsilah Raja-raja Kerajaan Darussalam. Kerajaan Aceh Darussalam selanjutnya di pimpin oleh sultan Zein al- abidin dikenal sangat kejam dalam buku Kesultanan Aceh karangan Hoesein Djajadiningrat. Ia juga disebut sebagai Sultan Mansur Shah, meninggal karena dibunuh pada tahun 1577 M.

Ketika Aceh menyerang Johor pada tahun 1582 M, kerajaan Aceh Darussalam sudah dipimpin oleh Sultan Alauddin dari Perak atau disebut juga dengan Sultan Mansur Sjah yaitu anak dari Sultan Ahmad. Dalam buku karangan Hasjmy, mengatakan bahwa sultan Zein al-abidin memerintah pada tahun 1579-1580 M sedangkan pada waktu itu Aceh menyerang Johor pada tahun 1580 M tidak memungkinkan jika hanya beberapa bulan setelah turun tahta hingga digantikan oleh sultan Ala ad-din kerajaan Aceh Darusssalam sudah mampu untuk menyerang Johor. Karena sebelum tahun 1580 M Aceh mengalami krisis Dinasti dan pada waktu itu juga bangsa Portugis menghancurkan armada Aceh di depan Kedah.

Ketika sultan Alaiddin Mansur Shah meninggal karena di bunuh oleh Ulubalangnya namannya yaitu Sri Pada. Sultan Ali Riayat Shah atau Raja Bujung, beliau naik tahtah pada tahun 1586 M. Pada tahun 1587 M percobaan Johor dan Aceh untuk bersekutu dan pada tahun yang sama Armada Dom Paulo de Lyma menangkap sebuah kapal Aceh dan membebaskan lintasan lewat selat selat. Pada 28 juni tahun 1589 M/ 977 H Sultan Bujung wafat, seketika itu tahun yang sama Sultan Alauddin Riayat Shah yaitu kakek dari Iskandar Muda menjabat untuk menggantikan Sultan Buyung.

Pada tahun kekuasaan kakek dari Iskandar Muda ini terdapat banyak pengarang yang menerbitkan karya sastra Melayu diantaranya yaitu pada tahun 1601 M Syams ud-Din mengarang Mirat al- Muminin dan pada tahun 1603 M Mahkota Raja-raja dikarang oleh Bukhari Al- Johari. Beliau dikenal dengan nama Sajjid al-Moekammal. Sultan Ali Riayat Shah atau sultan Moeda yang kemudian menggantikan ayahnya yaitu Sultan Alauddin Riayat Shah. Banyak sekali kejadian yang tidak bagus bagi kekuasaan sultan Ali Riayat Shah ini, salah satunya sebelum dua tahun genap menjabat sabagai penguasa di Aceh mengalami kelaparan pada tahum 1605 M.

Ketika Johor dengan bangsa Belanda melakukan perjanjian persekutuan melawan Malaka pada tahun 1606 M, pada 29 juni bangsa Portugis menyerang Aceh yaitu dengan armada Martin Affonse. Wafatnya sultan Muda pada tahun 1607 M langsung digantikan oleh Iskandar Muda yaitu sepupu dari beliau. Menurut Beaulieu, kekuasaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda merupakan bagian yang paling menguntungkan. Di sebelah Timur beliau menguasai Pedir, Pasai sampai Deli dan Aru, di sebelah barat meliputi Dya, Labu, Singkel, Barus, Bataham, Pasaman, Tiku, Priaman dan Padang. Serta negara- negara vassal di Semenanjung Melayu yaitu Johor, Kedah, Pahang dan Perak.

Sultan iskandar muda memerintah sekitar 29 tahun dan dijuluki dengan Marhorm Mahkota Alam. Selanjutnya digantikan oleh Sultan Iskandar Thani Ala ad-din Moeghayar Shah pada tahun 1636 M, lalu Sultan Ahmad, Sultan Tadj al- alam Safiat Alauddin Shah atau Putri Sri Alam, Sultan Noer al-alam Nakiat ad-din Sjah, Sultan Inayat Shah Zakiat ad-din atau Putri Radjah Setia pada tahun 1678 M- 1688 M, Sultan
Kamalat Shah pada tahun 1688-1699 M, Sultan Badr al-alam Syafir Hasjim Djamal Alauddin pada tahun 1699M-1702 M, Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtoei ibn Syarif Ibrahim pada tahun 1702 M-1703 M, Sultan Djaman al- alam Badr al-Moenir pada tahun 1703 M- 1726 M. Sultan Djauhar al-alam Ama ad-din Shah yang meninggal 20 hari setelah penobatannya, Sultan Shams al-alam atau Wandi Tebing, Sultan Alauddin Ahmad Shah atau Maharaja Lela Melajo pada tahun 1727 M- 1735 M, Sultan Ala ad-din Johan Shah atau Poejoe Aoek pada tahun 1735 M- 1760 M, Sultan Mahmud Shah atau Tuanku Raja pada tahun 1760 M- 1781 M, Sultan Alauddin Muhammad Shah atau Tuanku Mohammad pad tahun 1781 M- 1795 M, Sultan Alauddin Jauhar al-alam Shah pada tahun 1795 M- 1824 M, Sultan Muhammad Shah atau Tuanku Darid juga dinamai dengan Sultan Boejang pad tahun 1824 M- 1836 M.

Referensi

http://digilib.uinsby.ac.id/11699/5/Bab%202.pdf