Apa yang anda ketahui tentang Kepribadian Otoritarian atau Otoriter?

Otoriter

Otoriter, menurut KBBI mempunyai arti berkuasa sendiri atau sewenang-wenang.

Erich Fromm dalam bukunya Escape From Freedom (1997), mengartikan otoritas bukan sebagai kualitas yang dimiliki seorang pribadi dalam arti memiliki kekayaan atau kualitas- kualitas fisik. Otoritas, menurut Fromm, menunjuk pada hubungan antar-pribadi, dimana orang yang satu memandang orang lain lebih tinggi ataupun lebih rendah daripada dirinya.

Kata otoritarian dalam pengertian psikologi adalah bentuk tertentu pada kepribadian yang ditandai oleh suatu keinginan akan ketaatan dari seluruh orang yang dipandang memiliki kepribadian lebih rendah. Bentuk kepribadian ini muncul karena rendahnya toleransi terhadap sikap mendua dan tidak pasti terutama pada orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi dan terhormat.

Kurt W. Back (1977) mendefinisikan kepribadian otoritarian sebagai kepribadian yang dicirikan oleh kebutuhan yang tinggi akan kepatuhan, ketaatan dan subordinasi yang tidak diragukan; seringkali disertai dengan kepatuhan yang kuat terhadap pemimpin, memandang rendah kelemahan dan ketidaksesuaian, dan permusuhan dengan orang-orang di luar kelompok.

Kepribadian otoritarian, berdasar variabel-variabel yang digunakan dalam skala F, secara umum ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut (Sanford dan Capaldi, 1967):

  1. Konvensionalisme ( Conventionalism ): ketaatan yang kuat terhadap nilai-nilai konvensional dan nilai-nilai dari kelas menengah.

  2. Kepatuhan Otoritarian ( Authoritarian Submission ): sikap tunduk, patuh dan tidak kritis terhadap otoritas moral yang diidealkan bagi anggota kelompok.

  3. Agresi Otoritarian ( Authoritarian Agression ): kecenderungan untuk mencela, menghina, menolak dan menghukum orang-orang yang melanggar nilai-nilai konvensional.

  4. Anti Intrasepsi ( Anti-Intraception ): menolak pemikiran subjektif, imajinatif dan lemah.

  5. Ketahayulan dan Stereotipe ( Superstition and Stereotype ): percaya terhadap determinan yang bersifat mistik atas takdir manusia; kecenderungan untuk berpikir dalam kategori yang kaku.

  6. Kekuasaan dan “Kekerasan” ( Power and “Toughness” ): mengkategorikan dalam batasan dua atau dimensi hal yang berlawanan, seperti kuat-lemah, pemimpin-pengikut; mengidentifikasi dengan figur yang berkuasa.

  7. Pengerusakan dan Sinisme ( Destructiveness and Cynicism ): rasa permusuhan yang digeneralisir, melakukan fitnahan terhadap manusia.

  8. Proyektivitas ( Projectivity ): kecenderungan untuk percaya bahwa berbagai hal yang liar dan berbahaya terjadi di dunia; proyeksi ditujukan atas dorongan emosional tak sadar.

Variabel tersebut dianggap secara bersama-sama membentuk suatu sindrom tunggal, suatu struktur yang kurang lebih bersifat abadi dalam diri seseorang. Struktur tersebut mendorong seseorang untuk menerima propaganda anti demokratik (Sanford & Capaldi, 1967). Tetapi, dan hal ini banyak dilakukan dalam penelitian-penelitian selanjutnya tentang kepribadian otoritarian, bahwa definisi konseptual dan operasional dari setiap variabel tersebut ditafsirkan kembali dan tidak semua variabel tersebut digunakan, terutama untuk mengetahui sifat anti demokrasi.

David O. Sears, dkk. (1991), misalnya, menyatakan bahwa kepribadian otoritarian yang menyebabkan orang bersikap anti demokrasi, secara psikologis dicirikan oleh:

  1. Ketaatan kaku terhadap (dan hukuman keras bagi orang-orang yang menyimpang dari) nilai dan pola perilaku konvensional.

  2. Kebutuhan yang berlebihan untuk tunduk pada, dan mengidentifikasi dengan otoritas yang lebih kuat.

  3. Rasa permusuhan yang digeneralisir.

  4. Pemikiran yang diwarnai oleh mistik dan tahayul.

Dengan sifat-sifat tersebut, lebih lanjut Sears menjelaskan bahwa, orang otoriter beranggapan bahwa kelompoknya adalah kelompok yang sangat hebat, sedangkan kelompok lain buruk dan memuakkan (Sears, 1991).

Dalam pembacaannya atas kepribadian otoritarian, David E. Apter (1996) menyatakan bahwa, karya Adorno d.k.k. adalah kajian orisinil yang menonjol mengenai kepribadian otoritarian. Lebih lanjut Apter berpendapat, kepribadian otoritarian adalah kepribadian yang kaku, selalu mengalah, dan disiplin, yang hanya mampu memberi kasih sayang yang sedikit dan bersyarat, dan ditandai oleh suatu kecenderungan menuju kepemimpinan tokoh-bapak, serta menyetujui, walaupun secara diam-diam terhadap prasangka sosial (prejudice).

Menurut Adorno, seperti yang dikutip oleh Apter, bahwa orang dengan kepribadian otoritarian, ketika dihadapkan pada masalah akan mencari “kambing hitam”; mereka menghendaki diperluasnya konformitas seperti militer kepada sipil; mereka dengan sengaja membatasi kebebasan pribadi dan mendukung intervensi negara dalam semua aspek kehidupan.

Maurice Duverger (1982), dalam pembacaannya atas kepribadian otoritarian menyatakan bahwa, kepribadian otoritarian didefinisikan sebagai konformitas yang sangat kuat, kepatuhan buta kepada sistem-sistem nilai tradisional, dengan tidak mempertanyakan kepatuhan kepada otoritas, oleh penglihatan yang disederhanakan tentang semesta sosial dan moral yang dibagi ke dalam kategori yang jelas (baik dan buruk, hitam dan putih, salah dan benar), dimana segala-galanya dibagi secara teliti, diatur, dan dibatasi—karena merekalah yang terbaik, yang lemah harus mendapatkan tempat di bawah karena dari segala segi mereka lebih rendah, dan nilai orang ditentukan hanya oleh kriteria luar, yang didasarkan pada kondisi sosial.

Mengutip pendapat dari Alfred Adler, lebih lanjut Duverger berpendapat bahwa, kecenderungan otoritarianisme adalah suatu unsur fundamental dalam jiwa manusia. Menurut Adler, sebagaimana yang dikutip Duverger, bahwa naluri untuk menguasai adalah sumber utama perilaku manusia, yang menggantikan libido—naluri kesenangan—dalam konsep Freudian (Duverger, 1982).

Analisa Psikologis atas Otoritarian


Dalam bukunya Escape From Freedom (1947/1997), Erich Fromm dengan sudut pandang psikoanalisa, membahas Fasisme dan makna kebebasan dalam sistem otoriter dan sistem demokrasi. Berawal dari kajian atas masyarakat modern, yaitu suatu masyarakat yang menurut Fromm ditandai oleh keinginan individu untuk lari dari kebebasan, maka ditegaskan oleh Fromm bahwa diperlukan adanya mekanisme untuk melarikan diri. Mekanisme tersebut, lebih lanjut Fromm menjelaskan, meliputi otoritarianisme, kedestruktifan dan penyesuaian diri secara otomatis.

Otoritarianisme ditandai oleh dua kecenderungan psikologis.

  • Pertama adalah kecenderungan untuk menghilangkan kemandirian diri seseorang sendiri,

  • Kedua , kecenderungan seseorang untuk menguasai orang lain di luar dirinya agar mendapat kekuatan yang dirasa kurang dari dirinya. Maka, bentuk nyata dari mekanisme ini adalah usaha untuk tunduk dan menguasai (Fromm, 1997).

Sikap tunduk atau yang disebut oleh Fromm sebagai masokistis, adalah perasaan rendah diri, inferior, tidak berdaya dan tidak berarti. Orang-orang yang mengalami kondisi ini, ditandai oleh kecenderungan untuk tidak menegakkan dirinya sendiri, tidak mengerjakan apa yang mereka inginkan, tetapi justru tunduk pada perintah-perintah yang dikatakan oleh kekuatan luar.

Sebaliknya, sikap menguasai atau yang disebut oleh Fromm sebagai sadistis, ditandai oleh tiga kecenderungan.

  • Pertama adalah kecenderungan untuk membuat orang lain tergantung pada dirinya sendiri dan menanamkan kekuasaan mutlak dan tidak terbatas terhadap orang lain, sehingga mereka menjadi sekedar alat.

  • Kedua adalah kecenderungan untuk, disamping mengatur orang lain dengan cara absolut, juga memeras, memanfaatkan orang lain.

  • Ketiga adalah kecenderungan untuk membuat orang lain menderita atau melihat mereka sengsara. Bentuk penderitaan yang diinginkan, bukan hanya fisik, tetapi juga mental.

Dari dua kecenderungan tersebut, Fromm menjelaskan bahwa, kecenderungan sadistis dalam wujud sosialnya, seringkali dirasionalisasikan ketimbang kecenderungan masokistis, antara lain dengan berbagai bentuk perhatian terhadap orang lain atau cara-cara persuasif lainnya. Bentuk rasionalisasi yang paling sering dilakukan, Fromm memberi contoh, adalah: “Saya menguasai anda karena saya tahu apa yang terbaik untuk anda, dan dengan keinginan anda sendiri, anda harus mengikuti saya tanpa melawan”.

Pandangan Fromm tentang sadistis tersebut, sangat dipengaruhi oleh pandangan- pandangan sebelumnya, salah satunya adalah Thomas Hobbes. Dalam Leviathan (1651), seperti yang dikutip oleh Fromm, Hobbes menganggap sadisme sebagai kecenderungan umum umat manusia. Hasrat tersebut mendorong manusia untuk selalu ingin berkuasa, dan mencapai titik akhir pada kematian. Lebih lanjut Hobbes berpendapat bahwa, hasrat untuk berkuasa bukan merupakan sifat yang kejam, tetapi merupakan akibat paling rasional dari hasrat manusia untuk kenikmatan dan keamanan.

Tetapi, pada sosok Frederich Nietzsche-lah (1844-1900), pandangan filosofis- psikologis tentang hasrat atau kehendak untuk berkuasa ( will to power ), dipandang mencapai titik yang sempurna. Menurut Nietzsche, dalam tiga bukunya: Beyond God and Evil, The Genealogy of Morals dan The Will to Power , kehendak untuk berkuasa adalah hakekat dunia, hakekat hidup dan hakekat terdalam dari ada ( being ). Singkatnya, kehendak untuk berkuasa adalah hakekat dari dunia, hidup dan ada. Kehendak untuk berkuasa adalah hakekat dari segala-galanya (Sunardi, 1996).

Kehendak untuk berkuasa adalah akibat langsung dari hakekat hidup manusia. Nietzsche mendefinisikan hidup sebagai sejumlah kekuatan yang disatukan oleh suatu proses-pemeliharaan. Hidup merupakan suatu bentuk yang mengakhiri proses-proses kekuatan sebelumnya, yang berusaha saling berkuasa, menonjolkan diri dan saling melawan (Sunardi, 1996). Inti dari pandangan Nitzsche tentang hidup, seperti yang dikutip oleh St. Sunardi dari buku The Will to Power , adalah:

“sejumlah kekuatan, yang disatukan oleh proses-pemeliharaan umum, kita sebut hidup. Yang termasuk dalam proses-pemeliharaan umum ini—sebagai sarana yang membuat hidup itu mungkin—adalah semua yang disebut perasaan. Ide, pikiran; yaitu :

  1. penolakan terhadap semua kekuatan lain,
  2. penyesuaian semua (kekuatan) yang sama sesuai dengan bentuk dan ritme,
  3. pertimbangan berhubungan dengan penyatuan atau pemindahan”. (dikutip dari Sunardi, 1996)

Walaupun jarang disebut dalam kajian teoritis psikologi, pandangan Nietzsche tentang hidup, manusia dan kehendak untuk berkuasa, dapat dikatakan mengandung nilai-nilai psikologis. Hal tersebut dapat dilihat, terutama dalam pandangan Nietzsche bahwa manusia akan merasa dirinya benar-benar hidup, apabila manusia merasakan pergolakan kehendak untuk berkuasa. Akibatnya, untuk mencapai kekuasaan, maka manusia harus mengatasi segala hambatan yang ada. Tetapi, hal yang lebih penting adalah bagaimana manusia mampu mempertahankan kekuasaannya, dan prinsip otoritarian adalah pilar utamanya.

Pergolakan tersebut terjadi dalam ruang-ruang psikologis manusia, yang berakibat munculnya perilaku untuk berkuasa. Bila tujuan hidup adalah kebahagian, maka menurut Nietzsche, hal tersebut dapat dipenuhi dengan perasaan akan bertambahnya kekuasaan. Dengan kata lain, kebahagian manusia dapat dicapai apabila segala hambatan untuk berkuasa, dan juga upaya untuk merebut kekuasaan darinya, dapat diatasi. Tujuan hidup untuk menjadi

lebih berkuasa, dan bukan kedamaian, melainkan perang, digambarkan oleh Nietzsche dalam tulisannya:

“percayalah padaku: rahasia untuk memetik buah paling besar dan kenikmatan tertinggi manusia adalah hidup dengan bahaya! Dirikanlah kota-kotamu di lereng gunung Vesuvius. Kirimkanlah kapal-kapalmu ke samudera yang belum dipetakan! Hiduplah dalam perang melawan sesamamu dan dirimu sendiri!” (dikutip dari Sunardi, 1996)

Pandangan Nietzsche bahwa hidup didominasi oleh dorongan-dorongan untuk bertindak agresif, walaupun kurang ada bukti yang jelas, memiliki kesamaan dengan pandangan Freud tentang Thanatos. Thanatos atau insting mati bersifat merusak. Menurut Bapak Psikoanalisa ini, dalam sebuah fatwanya yang terkenal, bahwa “tujuan semua kehidupan adalah kematian” (Hall & Lindzey, 1993). Salah satu bentuk turunan dari insting- insting mati adalah dorongan destruktif. Dorongan tersebut menjadi sebab utama munculnya keagresifan, yaitu pengerusakan diri yang diarahkan ke objek-objek substitusi.

Dalam kajian psikologi politik berperspektif psikoanalisa, karena sifat utamanya yang cenderung merusak, maka thanatos atau insting mati dipandang sebagai sumber bagi sifat- sifat otoritarian, sedangkan eros atau insting hidup adalah sumber bagi sifat-sifat demokratis (Duverger, 1997).

Lebih lanjut, pengejawantahan sifat-sifat otoritarian dalam perilaku, terutama dalam komunikasi, orang otoritarian dipandang memiliki ciri-ciri tertentu. Dalam komunikasi, orang berpendirian otoritarian hanya mengenal satu macam komunikasi, yaitu satu arah. Sebaliknya, komunikasi dua arah, saling diskusi dan menanggapi, dan model demokratis dengan segala kemungkinan perbedaan dan pertentangan pendapat, secara konseptual mungkin dipahami, tetapi sulit untuk dihayati (Mangunhardjana, 1997).