Apa yang anda ketahui tentang Ken Arok ?

image

Ken Arok atau ditulis Ken Angrok, bergelar Sri Rajasa San Amurwabhumi, memerintah kerajaan Tumapel, atau yang terkenal dengan nama kerajaan Singasari di tahun 1222 hingga 1227. Dari Ken Arok inilah lahir raja-raja besar di Nusantara. Salah satu keturunan Ken Arok yang terkenal adalah pendiri Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya dengan gelar Naraya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana.

Apa yang anda ketahui tentang Ken Arok ?

Ken Arok atau sering pula ditulis Ken Angrok, lahir di Jawa Timur pada tahun 1182 dan wafat pada tahun 1227, merupakan pendiri Kerajaan Tumapel, yang kemudian terkenal dengan nama Singhasari. Ia memerintah sebagai raja pertama bergelar Sri Rajasa san Amurwabhumi pada tahun 1222 - 1227.

Ken Arok dikenal sebagai pendiri Dinasti Rajasa, yakni dinasti yang menurunkan raja-raja Singhasari dan Majapahit hingga abad ke-16. Para raja Demak, Pajang, dan Mataram Islam, juga merupakan keturunan Dinasti Rajasa.

Asal usul


Ken Arok merupakan putra Gajah Para dari desa Campara, Bacem, Sutojayan, Blitar dengan seorang wanita desa Pangkur, Jiwut, Nglegok, Blitar, bernama Ken Ndok. “Gajah” adalah nama jabatan setara “wedana” (pembantu adipati) pada era kerajaan Kediri. Sebelum Ken Arok lahir ayahnya telah meninggal dunia saat ia dalam kandungan, dan saat itu Ken Ndok telah direbut oleh raja Kediri. Oleh ibunya, bayi Ken Arok dibuang di sebuah pemakaman, hingga kemudian ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembong.

Ken Arok tumbuh menjadi berandalan yang lihai mencuri dan gemar berjudi, sehingga membebani Lembong dengan banyak hutang. Lembong pun mengusirnya. Ia kemudian diasuh oleh Bango Samparan, seorang penjudi dari desa Karuman (sekarang Garum, Blitar) yang menganggapnya sebagai pembawa keberuntungan.

Ken Arok tidak betah hidup menjadi anak angkat Genukbuntu, istri tua Bango Samparan dan Istri mudanya bernama Thirthaja. Istri muda Bango Samparan mempunyai 5 anak, yaitu Panji Bawuk, Panji Kuncang, Panji Kunal, Panji Kenengkung dan yang bungsu wanita bernama Cucupuranti. Ia kemudian bersahabat dengan Tita, anak kepala desa Siganggeng, sekarang Senggreng, Sumberpucung, Malang. Keduanya pun menjadi pasangan perampok yang ditakuti di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri.

Akhirnya, Ken Arok bertemu seorang brahmana dari India bernama Lohgawe, yang datang ke tanah Jawa mencari titisan Wisnu. Dari ciri-ciri yang ditemukan, Lohgawe yakin kalau Ken Arok adalah orang yang dicarinya. Berdasarkan Serat Pararaton juga, Ken Arok (disebut pula Ken Aŋgrok) digambarkan juga sebagai keturunan Dewa Brahma. Hal ini hanya untuk simbolis menggambarkan perbedaan status sosial kognitif si calon raja di kemudian hari daripada anak-anak seusianya saat itu.

Merebut Tumapel


Tumapel merupakan salah satu daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Yang menjadi akuwu (setara camat zaman sekarang) Tumapel saat itu bernama Tunggul Ametung. Atas bantuan Lohgawe, Ken Arok dapat diterima bekerja sebagai pengawal Tunggul Ametung.

Ken Arok kemudian tertarik pada Ken Dedes, istri Tunggul Ametung yang cantik. Apalagi Lohgawe juga meramalkan kalau Ken Dedes akan menurunkan raja-raja tanah Jawa. Hal itu semakin membuat Ken Arok berhasrat untuk merebut Ken Dedes, meskipun tidak direstui Lohgawe.

Ken Arok membutuhkan sebilah keris ampuh untuk membunuh Tunggul Ametung yang terkenal sakti. Bango Samparan pun memperkenalkan Ken Arok pada sahabatnya yang bernama Mpu Gandring dari desa Lulumbang, sekarang Plumbangan, Doko, Blitar yaitu seorang ahli pembuat pusaka ampuh.

Mpu Gandring sanggup membuatkan sebilah keris ampuh dalam waktu setahun. Ken Arok tidak sabar. Lima bulan kemudian ia datang mengambil pesanan. Keris yang belum sempurna itu direbut dan ditusukkan ke dada Mpu Gandring sampai tewas. Dalam sekaratnya, Mpu Gandring mengucapkan kutukan bahwa keris itu nantinya akan membunuh 7 orang raja, termasuk Ken Arok sendiri dan anak cucunya.

Kembali ke Tumapel, Ken Arok menjalankan rencananya untuk merebut kekuasaan Tunggul Ametung. Mula-mula ia meminjamkan keris pusakanya pada Kebo Hijo, rekan sesama pengawal. Kebo Hijo dengan bangga memamerkan keris itu sebagai miliknya kepada semua orang yang ia temui, sehingga semua orang mengira bahwa keris itu adalah milik Kebo Hijo. Dengan demikian, siasat Ken Arok berhasil.

Malam berikutnya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Hijo yang sedang mabuk arak. Ia lalu menyusup ke kamar tidur Tunggul Ametung dan membunuh majikannya itu di atas ranjang. Ken Dedes menjadi saksi pembunuhan suaminya. Namun hatinya luluh oleh rayuan Ken Arok. Lagi pula, Ken Dedes menikah dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan.

Pagi harinya, Kebo Hijo dihukum mati karena kerisnya ditemukan menancap pada mayat Tunggul Ametung. Ken Arok lalu mengangkat dirinya sendiri sebagai akuwu baru di Tumapel dan menikahi Ken Dedes. Tidak seorang pun yang berani menentang kepustusan itu. Ken Dedes sendiri saat itu sedang mengandung anak Tunggul Ametung, bernama Anusapati, disebut juga Panji Anengah.

Mendirikan Kerajaan Tumapel


image

Pada tahun 1222 terjadi perselisihan antara Kertajaya raja Kadiri dengan para brahmana. Para brahmana itu memilih pindah ke Tumapel meminta perlindungan Ken Arok yang kebetulan sedang mempersiapkan pemberontakan terhadap Kadiri. Setelah mendapat dukungan mereka, Ken Arok pun menyatakan Tumapel sebagai kerajaan merdeka yang lepas dari Kadiri. Sebagai raja pertama ia bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi.

Kertajaya, dalam Pararaton disebut Dhandhang Gendis, tidak takut menghadapi pemberontakan Tumapel. Ia mengaku hanya dapat dikalahkan oleh Bhatara Siwa. Mendengar sesumbar itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Siwa (= Bhatara Guru) dan siap memerangi Kertajaya.

Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi di dekat desa Ganter. Pihak Kadiri kalah. Kertajaya diberitakan naik ke alam dewa, yang mungkin merupakan bahasa kiasan untuk mati.

Keturunan Ken Arok


Ken Dedes telah melahirkan empat orang anak Ken Arok, yaitu Mahisa Wonga Teleng, Apanji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rumbu. Ken Arok juga memiliki selir bernama Ken Umang, yang telah memberinya empat orang anak pula, yaitu Tohjaya, Panji Sudhatu, Tuan Wergola dan Dewi Rambi.

Selain itu, Ken Dedes juga memiliki putra dari Tunggul Ametung yang bernama Anusapati. Semua anaknya Ken Arok berjumlah 9 orang, 7 laki-laki dan 2 wanita.

Gambar Silsilah Wangsa Rajasa dari berbagai sumber prasasti dan naskah.

Kematian Ken Arok


Anusapati merasa heran pada sikap Ken Arok yang seolah menganaktirikan dirinya, padahal ia merasa sebagai putra tertua. Setelah mendesak ibunya (Ken Dedes), akhirnya Anusapati mengetahui kalau dirinya memang benar-benar anak tiri. Bahkan, ia juga mengetahui kalau ayah kandungnya bernama Tunggul Ametung telah mati dibunuh Ken Arok.

Anusapati berhasil mendapatkan Keris Mpu Gandring yang selama ini disimpan Ken Dedes. Ia kemudian menyuruh pembantunya yang berasal dari desa Batil untuk membunuh Ken Arok. Ken Arok tewas ditusuk dari belakang saat sedang makan sore hari. Anusapati ganti membunuh pembantunya itu untuk menghilangkan jejak.

Peristiwa kematian Ken Arok dalam naskah Pararaton terjadi pada tahun 1247 M (1169 Ç).

Berdasarkan Negarakertagama, telah didirikan candi pendarmaan Ken Arok di Genengan sebagai Siwa dan di Usana sebagai Budha. Candi pendarmaan ini dipercaya berada di Situs Gunung Katu yang terletak di sebelah timur Gunung Kawi yang masuk ke dalam wilayah Wagir, Kabupaten Malang. Bekas-bekasnya menunggu untuk digali lebih lanjut.

Versi Nagarakretagama


Nama Ken Arok ternyata tidak terdapat dalam Nagarakretagama (1365). Naskah tersebut hanya memberitakan bahwa pendiri Kerajaan Tumapel merupakan putra Bhatara Girinatha yang lahir tanpa ibu pada tahun 1182.

Pada tahun 1222 Sang Girinathaputra mengalahkan Kertajaya raja Kadiri. Ia kemudian menjadi raja pertama di Tumapel bergelar Sri Ranggah Rajasa. Ibu kota kerajaannya disebut Kutaraja (pada tahun 1254 diganti menjadi Singasari oleh Wisnuwardhana).

Sri Ranggah Rajasa meninggal dunia pada tahun 1227 (selisih 20 tahun dibandingkan berita dalam Pararaton). Untuk memuliakan arwahnya didirikan candi di Kagenengan, di mana ia dipuja sebagai Siwa, dan di Usana, di mana ia dipuja sebagai Buddha.

Kematian Sang Rajasa dalam Nagarakretagama terkesan wajar tanpa pembunuhan. Hal ini dapat dimaklumi karena naskah tersebut merupakan sastra pujian untuk keluarga besar Hayam Wuruk, sehingga peristiwa pembunuhan terhadap leluhur raja-raja Majapahit dianggap aib.

Adanya peristiwa pembunuhan terhadap Sang Rajasa dalam Pararaton diperkuat oleh prasasti Mula Malurung (1255). Disebutkan dalam prasasti itu, nama pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa yang meninggal di atas takhta kencana. Berita dalam prasasti ini menunjukkan kalau kematian Sang Rajasa memang tidak sewajarnya.

Keistimewaaan Ken Arok


Nama Rajasa selain dijumpai dalam kedua naskah sastra di atas, juga dijumpai dalam prasasti Balawi yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya, pendiri Majapahit tahun 1305. Dalam prasasti itu Raden Wijaya mengaku sebagai anggota Wangsa Rajasa. Raden Wijaya memang adalah keturunan Ken Arok.

Nama Ken Arok memang hanya dijumpai dalam Pararaton, sehingga diduga kuat merupakan ciptaan si pengarang sebagai nama asli Rajasa. Arok diduga berasal dari kata rok yang artinya “berkelahi”. Tokoh Ken Arok memang dikisahkan nakal dan gemar berkelahi.

Pengarang Pararaton sengaja menciptakan tokoh Ken Arok sebagai masa muda Sang Rajasa dengan penuh keistimewaan. Kasus yang sama terjadi pula pada Babad Tanah Jawi di mana leluhur raja-raja Kesultanan Mataram dikisahkan sebagai manusia-manusia pilihan yang penuh dengan keistimewaan. Ken Arok sendiri diberitakan sebagai putra Brahma, titisan Wisnu, serta penjelmaan Siwa, sehingga seolah-olah kekuatan Trimurti berkumpul dalam dirinya.

Terlepas dari benar atau tidaknya kisah Ken Arok, dapat ditarik kesimpulan kalau pendiri Kerajaan Tumapel merupakan perkawinan seorang bangsawan yang dipercaya sebagai titisan Dewa Brahma dengan seorang rakyat jelata, namun memiliki keberanian dan kecerdasan di atas rata-rata sehingga dapat mengantarkan dirinya sebagai pembangun suatu dinasti baru yang menggantikan dominasi keturunan Airlangga dalam memerintah pulau Jawa.

Sumber : wikipedia

Tokoh Ken Aṅrok merupakan sosok yang kontrovesial. Nama Ken Arok tidak muncul pada kitab Nagarakretagama, dimana kitab tersebut banyak dijadikan rujukan oleh para sejarahwan. Didalam kitab Nagarakretagama, raja pertama di Tumapel adalah seorang raja yang bernama Sang Girinathaputra dan bergelar Sri Ranggah Rajasa, yang juga dianggap sebagai pendiri wangsa Rajasa.

Nama Ken Arok, yang dianggap sebagai pendiri wangsa Rajasa, disebutkan didalam kitab Pararaton.

Kitab Pararaton


Menurut kitab Pararaton, Ken Arok adalah penjelmaan kembali seorang yang mula-mula hidup tidak baik, tetapi karena sanggup dijadikan kurban untuk dewa penjaga pintu ia kembali ke surga dengan Viṣṇu. Ibunya adalah seorang petani dari desa Paṅkur yang diperkosa oleh dewa Bhramā. Sang dewa Bhramā meramalkan bahwa anak yang dilahirkan kelak akan memerintah pulau Jawa. Suami Ibu Ken Arok pun meninggal lima hari setelah peristiwa itu setelah akhirnya diceraikan sang istri.

Pada saat Ken Aṅrok beranjak dewasa, Pararaton mengabadikan ulah dan kenakalannya yang luar biasa. Saat ia kecil, ia terbiasa dibawa mencuri oleh Lěmboṅ, ayah angkat yang menurut Pararaton, menemukannya di kuburan, tempat Ken Éṇḍok membuangnya. Saat beranjak dewasa, kenakalan yang dipupuknya sejak kecil membuat dia suka melakukan onar di desanya, hobinya adalah bermain judi dan menghabiskan uang orangtuanya di meja judi. Kenakalannya tersebut membuat ia harus diusir dari desanya oleh kedua orangtuanya. Ken Aṅrok menjadi terlunta-lunta hingga akhirnya ia diangkat anak oleh Baṅo Samparan, setelah ia mendengar suara dari langit bahwa Ken Aṅrok dapat melunasi utangnya akibat kalah judi.⁴

Beranjak dewasa, Ken Aṅrok sempat pergi ke tempat pendeta di Sageṅgeṅ. Ia belajar membaca, sastra, dan menulis hingga candrasengkalan serta astronomi. Menurut pararaton, Ken Aṅrok mandirikan sebuah desa kecil bersama temannya Tuwan Tita. Ia kembali bebuat onar dengan mencegat orang di jalan dan memperkosa wanita.

Tuṅgul Amětuṅ sebagai akuwu di Tumapěl merasa resah dengan ulah Ken Arok. Oleh sebab itu, ia mengirimkan pasukan untuk mengejar Ken Arok. Namun dengan segala daya upaya dan pertolongan dewa, Ken Arok dapat menghindar dari kejaran pasukan Tuṅgul Amětuṅ. Selama pelarian diri, Pararaton mengisahkan bahwa Ken Arok bersembunyi di rumah pendeta, orang asing keturunan prajurit, serta di tempat kepala desa. Saat itulah datang seorang Brahmana bernama Dahngyang Lohgawe yang sengaja datang ke Jambudwipa untuk mencari Ken Arok. Dahngyang Lohgawe mangangkat anak Ken Arok, dan membuat Ken Arok menjadi abdi di Tumapěl.

Setelah mengabdi di Tumapěl, Ken Arok jatuh cinta kepa Ken Děděs, yang merupakan permaisuri sah Tuṅgul Amětuṅ. Ia pun akhirnya membunuh Tuṅgul Amětuṅ dalam upaya merebut Ken Děděs dan akhirnya menjadi Akuwu di Tumapěl. Menurut pararaton , Ken Aṅrok memesan keris kepada Mpu Gandring yang kemudian ‘pura-pura’ dihadiahkan kepada Kěbo Ijo. Kěbo Ijo dengan bangga memperlihatkan keris itu kepada semua orang yang ditemuinya. Lalu dengan cerdik Ken Aṅrok mencuri keris tersebut dan digunakan untuk membunuh Tuṅgul Amětuṅ. Keris tersebut dibiarkan tetap menancap pada tubuh Tuṅgul Amětuṅ sehingga Kebo Ijo menjadi tersangka dan dihukum mati. Setelah lama menjadi akuwu , Ken Aṅrok kemudian ‘memperluas wilayahnya’ dengan menyerang Daha dan kemudian mendirikan kerajaan Singasari.

Kitab Nāgarakṛtagama


Pada kitab Nāgarakṛtagama, diceritakan bahwa Ken Aṅrok merupakan putra Śrī Girīndra yang lahir tidak dari kandungan. Ia bertakhta di sebelah timur gunung Kawi pada tahun 1104 śaka, pada tahun 1144 śaka, ia berhasil mengalahkan raja Kadiri, Keṛtajaya.

Dalam Nāgarakṛtagama akhir kisah hidup Ken Aṅrok hanya disebutkan bahwa ia berpulang ke Swargaloka tahun 1149 śaka (1127 Masehi) dan didharmakan di Kagěněṅan dalam candi Śiwa, dan di Usāna sebagai Buddha. Berbeda dengan Nāgarakṛtagama, Pararaton menyebutkan bahwa Ken Aṅrok wafat pada 1169 śaka (1147 Masehi) dan hanya menyebutkan bahwa Ia didharmakan di Kagěněṅan.

Tafsiran Para Ahli

Naskah sangat berperan penting untuk menelusuri ‘siapakah’ Śrī Rājasa atau Amūrwwabhūmi ? Hal ini dikarenakan sedikitnya keterangan yang dapat diperoleh dari prasasti. Para ahli menggunakan naskah-naskah tersebut untuk menafsirkan tokoh Śrī Rājasa dan kehidupannya di masa lalu guna menyelidiki sejarah.

Eksistensi tokoh kontroversial Ken Aṅrok dibenarkan oleh beberapa ahli namun juga disanggah oleh ahli-ahli lain. C.C. Berg beranggapan bahwa Śrī Rājasa adalah tokoh fiktif yang dikarang sebagai bentuk legitimasi raja-raja setelahnya.

Namun Boechari, Brandes, J.L. Moens, Krom, dan sederet ahli lain beranggapan bahwa Ken Arok memang benar-benar ada dan menjadi pendiri wangsa Rājasa yang telah melahirkan raja-raja besar di tanah Jawa.

Boechari menafsirkan bahwa Ken Aṅrok adalah anak haram Tuṅgul Amětuṅ hasil ‘perkosaan’ dari selirnya yaitu Ken edok, yang kemudian sebagai anak seorang akuwu berusaha mendapatkan tahta kerajaan dengan membunuh ayahnya sendiri dan memperistri permaisurinya yang pada saat itu sedang hamil dan akan melahirkan putra mahkota Tumapěl.

Sedangkan Mimi Savitri menafsirkan bahwa Ken Aṅrok adalah anak tidak sah dari Kertajaya yang melakukan “serangan balik” terhadap kesewenang-wenangan ayahnya sendiri, dan harus membunuh ayahnya untuk mendapatkan tahta kerajaan.

Dalam pararaton diperoleh genealogi bahwa Ken Aṅrok memiliki anak bernama Mahisa Woṅa tělěṅ, Pañji Sapraṃ, Agnibhaya, dan Dewi Rimbū dari istrinya yang utama, Ken Děděs. Dari istrinya yang lain, Ken Umang, Ken Aṅrok memiliki empat anak juga yaitu Pañji Tohjaya, Pañji Sudhatu, Pañji Wrěgola, dan Dewi Rambū. Di antara anak-anak Ken Aṅrok tersebut, diketahui hanya Tohjaya yang menjadi raja di Tumapel.

Prasasti Mūla Maluruṅ menyebutkan bahwa Narāryya Guṅiṅ Bhaya digantikan oleh kakaknya, Pañji Tohjaya. Sedangkan menurut Pararaton, Tohjaya menggantikan Anūṣapati yang dibunuhnya dalam acara sabung ayam, untuk membalas dendam kematian ayahnya, Ken Aṅrok. Selain itu, dalam prasasti tersebut juga disebutkan Bhaṭāra Parameśwara yang kedudukannya digantikan oleh Narāryya Guṅiṅ Bhaya.

Hal ini menjadi kebingungan sejarah, namun beberapa ahli menafsirkan dengan ‘alternatif’ bahwa sesudah mangkatnya Ken Aṅrok Kerajaan Singasari memiliki beberapa daerah taklukan dengan raja-raja kecil, nah, yang menjadi raja-raja kecil itu adalah anak-anak dari Ken Aṅrok.