Apa yang anda ketahui tentang kecipir?

Kecipir adalah tumbuhan merambat anggota suku Fabaceae. Pucuk dan polong mudanya dimanfaatkan sebagai sayuran. Di Sumatra dikenal sebagai kacang botol atau kacang belingbing, dan kacang embing. Nama-nama lainnya adalah jaat; cipir, cicipir, kēcipir; kēlongkang, serta biraro; kacang botor, k. botol, dan k. kumbotor.

Kecipir ( Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC.) adalah tanaman dikotil yang jarang dimanfaatkan ( underutilised ) tergolong dalam famili Fabaceae (Leguminosae). Tanaman kecipir dibudidayakan sebagai tanaman sayuran yang dimanfaatkan polongnya, daun, akar, biji segar maupun kering, dan umbi (NAS, 1974; Khan, 1976; Lepcha et al . 2017). Di beberapa daerah, kecipir dikenal dengan nama kacang belingbing (Sumatera Utara dan Sumatera Barat), kacang embing (Sumatera Selatan), jaat (Jawa Barat), kecipir (Jawa Tengah dan Jawa Timur), kelonkang (Bali), biraro (Sulawesi), dan kacang botor/botol (Kalimantan) (Soeseno, 1985; Heyne, 1987; Supriyatna, 2007; Sunarjono, 2013).

Asal dan Distribusi


Kecipir atau Phophocarpus berasal dari bahasa latin yaitu “ psophos” (bising) dan “ karpos” (buah), mengacu pada suara bising yang dibuat setelah perikarp kering dan pecah biji tersebar keluar (Allen dan Allen, 1981). Keragaman genetik terluas kecipir ditemukan di India ( morisu avarai ), Sri Lanka (d ambala ), Bangladesh, Myanmar ( pe saung ya ), Thailand ( thua phuu ), Laos, Vietnam ( dacu cau ), Kamboja ( prapiey ), Malaysia (kacang belimbing/botol), Filipina ( sigarilya ), dan Papua New Guinea (NAS, 1974; Khan, 1976; Drinkall, 1978; Eagleton, 1999; Grubben dan Denton, 2004).

Adapun klasifikasi tanaman kecipir adalah

Kingdom: Plantae,
Sub-kingdom: Tracheobinta,
Superdivision: Spermatophyta,
Divisi: Magnoliophyta,
Kelas: Magnoliopsida,
Sub-Kelas: Rosidae,
Orde: Fabales,
Famili: Fabaceae,
Genus: Psophocarpus ,
Species: Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC. (Handayani, 2013).

Terdapat sembilan species genus Psophocarpus, delapan species diantaranya tersebar di Afrika dan Madagaskar yaitu P. grandiflorus , P. lancifolius, P. lukafuensis, P. monophyllus, P. palustris, P. scandens, P. necker, dan P. lecomtei sedangkan P. tetragonolobus tersebar luas di Asia dan Papua New Guinea (Smartt, 1990; Prasanna, 2007; Krisnawati, 2010).

Berdasarkan Krisnawati (2010), diperkirakan tanaman kecipir masuk ke Indonesia pada abad ke–17. Hingga kini masih menjadi perdebatan mengenai pusat asal-usul kecipir. Diperkirakan terdapat empat wilayah yang menjadi pusat asal kecipir: (1) Indo – Malaya, sejarah budidaya di Assam, India, (2) Asia, domestikasi dari Asia, (3) Papua New Guinea, berdasarkan keragaman genetik yang tinggi, dan (4) Afrika, adanya kemiripan dengan spesies Afrika (Zeven dan De Wet, 1982). Hipotesis asal Afrika mendapat banyak dukungan didasari atas kesamaan morfologi dengan spesies Afrika yaitu Psophocarpus grandiflorus (Smartt, 1980).

Morfologi Tanaman Kecipir


Kecipir merupakan tanaman perennial berupa semak yang tumbuh merambat sehingga diperlukan ajir atau bantuan penyangga dalam budidayanya, memiliki perakaran tunggang dengan akar lateral yang tebal dan panjang dan berbintil, hal tersebut menjadikan tanaman kecipir toleran terhadap cekaman kekeringan. Batang berbentuk silindris, beruas, dan jarang mengayu. Warna batang hijau, namun terdapat beberapa varietas memiliki batang dengan warna keunguan, merah muda, hingga cokelat. Daun majemuk dengan bentuk segi tiga ( trifolate ), pucuk daun acute , dasar daun acute , dengan tepian rata, panjang rata-rata 7 – 8,5 cm, berselang-seling, tulang daun menyirip, tangkai daun bulat, serta terdapat noda kuning pada daunnya.

Bunga berjumlah 2 – 10 buah dalam tandan di ketiak daun, berbentuk cyme saat fase inflorescense, tunggal, berbentuk kupu-kupu dengan warna sayap bervariasi antara biru muda, biru, ungu muda atau ungu, tangkai putik melengkung dengan kepala putik berambut putih, dan benang sari bersatu pada bagian pangkal dengan warna kuning-kebiruan. Buah berbentuk polong, segi empat memanjang sekitar 15 – 40 cm. Keempat seginya berombak, bergerigi, beringgit, atau berlekuk. Oleh karena itu disebut “kacang bersayap” atau winged bean . Polong berwarna hijau dengan ragam merah muda, merah keunguan, cokelat, dan hitam. Polong berisi 5 – 20 biji. Biji bulat dengan diameter 8 – 10 mm, berwarna kuning, hijau, cokelat, krem, hingga hitam.

kecipir rv

Budidaya Tanaman Kecipir


Kecipir berbunga ungu dengan ukuran polong pendek sekitar 15 – 20 cm dan kecipir berbunga putih dengan ukuran polong panjang sekitar 30 – 40 cm merupakan kecipir yang umum dibudidayakan di Indonesia (Krisnawati, 2010; PHKT, 2012). Kecipir dapat tumbuh pada dataran rendah dengan ketinggian 1.600 – 2.000 m dpl, media tanam dengan kandungan bahan organik rendah, jenis tanah berlempung atau berpasir, dan toleran kekeringan dengan suhu udara 15 - 32°C dan kelembaban udara 50 – 90% dengan pH tanah yang baik berkisar 5,5 – 6,5. Berikut merupakan cara budidaya tanaman kecipir:

1. Penanaman

Biji tanaman kecipir ditanam pada lahan yang sebelumnya telah dilakukan olah lahan dengan mencampurkan pupuk kandang pada saat olah tanah. Buat guludan 200 x 20 cm atau sesuai dengan lahan yang hendak ditanami. Lubang tanam dibuat dengan cara ditugal jarak 20 – 30 cm dan jarak antar baris lubang 75 cm. Setiap lubang tanam terdapat 1 – 2 biji. Setelah tanaman mencapai 10 cm siapkan bambu untuk pembuatan ajir . Pupuk dasar yang digunakan ialah NPK (16-16-16) dan TSP dengan perbandingan 1 : 2 sebanyak 6 g tiap tanaman.

2. Pemeliharaan Tanaman

Tahapan pemeliharaan kecipir terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu:

  • Penyiangan
    Pertumbuhan tanaman kecipir akan terganggu apabila terdapat keberadaan gulma, sehingga apabila terdapat gulma disekitar pertanaman kecipir maka perlu disiangi secara mekanis atau kimiawi, dengan cara mekanis yaitu mencabut gulma menggunakan tangan dan penggunaan herbisida berbahan aktif isopropilamina glifosat untuk cara kimiawi.

  • Pembumbunan
    Pembumbunan dilakukan agar kecipir tidak roboh, sehingga dapat tumbuh dengan optimal, cara pembumbunan ialah dengan menutup guludan dengan tanah.

Pengendalian Hama dan Penyakit


Hama yang sering menyerang tanaman kecipir adalah ulat jengkal ( Chrysodeixis chalcites ). Penyebaran hama pada kecipir ditekan menggunakan insektisida Sumicidin 50 EC dengan dosis 1 – 1,5 cc/l air sedangkan, penyakit karat sering menyerang tanaman kecipir pada musim kemarau disebabkan oleh cendawan Woroninella psophocarpi dan penyakit akibat virus sapu ( witchs broom ) dengan vektor virusnya oleh kutu daun ( Aphis sp.). Kemudian untuk penyakit karat dapat menggunakan fungisida Dithane M-45, Benlate, atau Antracol sesuai dosis yang dianjurkan.

Pemanenan


Buah kecipir dapat dipanen saat berumur 10 – 12 minggu setelah tanam. Potensi hasil kecipir 35 – 40 ton polong muda tiap hektar atau setara dengan 4,5 ton biji kering per hektar. Panen dapat dilakukan secara rutin tiap seminggu sekali karena bunga kecipir dapat tumbuh terus-menerus hingga berumur lima bulan.

Manfaat Tanaman Kecipir


United States National Academy of Sciences (NAS) pada tahun 1974, membentuk komite untuk melakukan survei mengenai tanaman di daerah tropis yang belum dimanfaatkan ( underutilised ) sebagai tanaman potensial di masa depan. Di antara 36 species yang dipertimbangkan, kecipir mendapatkan perhatian khusus untuk dipromosikan ke komunitas peneliti pertanian, dengan mempertimbangkan hal berikut ini (Yanagi, 1984; Uebersax dan Occena, 2003; Allen, 2013):

  1. Semua bagian tanaman kecipir dapat dimanfaatkan, tidak hanya biji tetapi pada daun dan umbinya mengandung 20% protein (%bobot kering).

  2. Protein dan lemak pada biji tertinggi diantara semua jenis legume . Kandungan minyak biji kecipir ialah 15%, kadar protein 30 – 37%, dengan kandungan lisin melebihi keddelai yaitu sebesar 6,8%.

  3. Budidaya yang mudah. Selain itu dapat digunakan sebagai tanaman penambat nitrogen yang mempertahankan atau meningkatkan kesuburan tanah.

  4. Potensi biji yang tidak begitu rendah apabila dilakukan budidaya dengan tepat.

  5. Kecipir dapat ditanam di daerah tropis atau sub-tropis dimana kedelai atau kacang-kacangan lainnya tidak begitu cocok tumbuh di daerah tropis atau sebaliknya.

Kecipir merupakan tanaman multifungsi dengan manfaat yang luas dan sebagian besar bagian tanamannya dapat dikonsumsi, tergantung di mana kecipir dibudidayakan. Polong muda dapat dimakan sebagai sayuran yang dimakan mentah atau dimasak sebelumnya. Di Indonesia biji kecipir dapat dipanggang atau direbus. Di rebus, kukus, bakar, panggang, atau digoreng merupakan beberapa cara mengonsumsi biji kecipir di negara Myamar, Thailand, dan Papua New Guinea (NAS, 1974; Eagleton, 1999).

Selain itu, kecipir sebagai tanaman legume dapat menjadi bahan penutup tanah, bahan organik, bahan pakan ternak, maupun sebagai substitusi protein dalam kebutuhan sehari-hari karena memiliki kandungan lisin yang mendekati kedelai. Dengan berbagai potensi yang dimiliki, tanaman kecipir sangat perlu dikembangkan di Indonesia apalagi dengan kemampuan toleransinya terhadap cekaman kekeringan, sehingga tanaman kecipir dapat menjadi tanaman alternatif di daerah kering dan menjaga ketahanan pangan di daerah dengan cekaman kekeringan.

Referensi

Allen, L.H. 2013. Legumes. In : Encyclopedia of Human Nutrition 3rd edition. Caballero, B. (ed). Academic Press. ISBN: 9780123848857. 74-79 p.

Drinkall, M.J. 1978. False rust disease of the winged bean. Trop. Pest. Manag. 24: 160 – 166. Doi: 10.1080/09670877809411605.

Eagleton, G. 1999. Winged bean in Myanmar. Econ. Bot. 53: 342 – 352.

Grubben, G.J.H. and O.A. Denton. 2004. Plant Resources of Tropical Africa 2. Vegetables. PROTA Foundation, Wageningen, Netherlands. Backhyus Publishers.

Handayani, T. 2013. Kecipir ( Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC.) potensi lokal yang dipinggirkan. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. IPTEK Tanaman Sayuran. 1: 1 – 8. Kementerian Pertanian.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia : II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan : Institut Pertanian Bogor.

Khan, T.N. 1976. Papua New Guinea: a centre of genetic diversity in winged bean ( Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC.). Euphytica. 25: 693 – 705. Doi: 10.1007/BF0041608.

Krisnawati, A. 2010. Keragaman genetik dan potensi pengembangan kecipir ( Psophocarpus tetragonolobus L.) di Indonesia. J. Litbang Pertanian. 29 (3) : 113-119. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-umbian.

Lepcha, P., A.N. Egan, J.J. Doyle, and N. Sathyanarayana. 2017. A review on current status and future prospects of winged bean ( Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC.) in tropical agriculture. Plant Foods Hum. Nutr. 72: 225 – 235. Doi: 10.1007/s11130-017-0627-0.

NAS. 1974. The winged bean: a high-protein crop for the humid tropics. National Academy of Sciences. Washington.

Prasanna, K.P. 2007. Winged bean. In : Underutilized and Underexploited Horticultural Crops. Peter, K.V. (ed). India : New India Publishing. 67-72 p.

Pusat Kajian Hortikultura Tropika. 2012. Koleksi dan Identifikasi Tanaman Sayuran Indigenous. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 24 – 26 hlm.

Smartt, J. 1990. Grain Legumes : Evolution and Genetic Resources. Cambridge : Cambridge University Press. 379 p.

Soeseno, S. 1985. Sayur Mayur untuk Kurang Gizi. Jakarta: Penerbit Swadaya.

Sunarjono, H. 2013. Bertanam 36 Jenis Sayur. Jakarta: Penerbit Swadaya.

Supriyatna, N. 2007. Bercocok Tanam Sayuran. Jakarta: Azka Press.

Uebersax, M.A. and L.G. Occena. 2003. Legumes in The Diet. In : Encyclopedia of Food Sciences and Nutrition 2nd edition. Caballero, B. (ed). Academic Press. ISBN : 9780122270550. 3520-3528 p.

Yanagi, S.O. 1984. Winged bean protein : in comparison with other legume protein. JARQ. 18 (1) : 54 – 59.

Yulianah, I., B. Waluyo, S. Ashari, dan Kuswanto. 2020. Variation in morphological traits of a selection of Indonesian winged bean accessions ( Psophocarpus tetragonolobus ) and its analysis to assess genetic diversity among accessions. Biodiversitas. 21 (7) : 2991 – 3000. Doi: 10.13057/biodiv/d210716.

Zeven, A.C. and J.M.J. De Wet. 1982. Dictionary of cultivated plants and their regions of diversity. Excluding most ornamentals forest trees and lower plants. Center for Agricultural Publishing and Documentary. Wageningen.