Apa yang anda ketahui tentang Harimau Sumatera?

Harimau-sumatera

Harimau sumatra (Panthera tigris sondaica) adalah subspesies harimau yang habitat aslinya di pulau Sumatra, dan merupakan satu dari enam subspesies harimau yang masih bertahan hidup hingga saat ini dan termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah (critically endangered) dalam daftar merah spesies terancam yang dirilis Lembaga Konservasi Dunia IUCN. Populasi liar diperkirakan antara 400-500 ekor, terutama hidup di taman-taman nasional di Sumatra. Uji genetik mutakhir telah mengungkapkan tanda-tanda genetik yang unik, yang menandakan bahwa subspesies ini mungkin berkembang menjadi spesies terpisah, bila berhasil lestari.

Penghancuran habitat merupakan ancaman terbesar terhadap populasi saat ini. Pembalakan tetap berlangsung bahkan di taman nasional yang seharusnya dilindungi. Tercatat 66 ekor harimau sumatra terbunuh antara tahun 1998 dan 2000.

Ciri-ciri

Harimau sumatra adalah subspesies harimau terkecil. Harimau sumatra mempunyai warna paling gelap di antara semua subspesies harimau lainnya, pola hitamnya berukuran lebar dan jaraknya rapat kadang kala dempet. Harimau sumatra jantan memiliki panjang rata-rata 92 inci dari kepala ke kaki atau sekitar 250 cm panjang dari kepala hingga kaki dengan berat 300 pound atau sekitar 140 kg, sedangkan tinggi dari jantan dewasa dapat mencapai 60 cm. Betinanya rata-rata memiliki panjang 78 inci atau sekitar 198 cm dan berat 200 pound atau sekitar 91 kg. Belang harimau sumatra lebih tipis daripada subspesies harimau lain. Warna kulit harimau sumatra merupakan yang paling gelap dari seluruh harimau, mulai dari kuning kemerah-merahan hingga jingga tua. Subspesies ini juga punya lebih banyak janggut serta surai dibandingkan subspesies lain, terutama harimau jantan. Ukurannya yang kecil memudahkannya menjelajahi rimba. Terdapat selaput di sela-sela jarinya yang menjadikan mereka mampu berenang cepat. Harimau ini diketahui menyudutkan mangsanya ke air, terutama bila binatang buruan tersebut lambat berenang. Bulunya berubah warna menjadi hijau gelap ketika melahirkan.

Habitat

Harimau sumatra hanya ditemukan di pulau Sumatra. Kucing besar ini mampu hidup di manapun, dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan, dan tinggal di banyak tempat yang tak terlindungi. Hanya sekitar 400 ekor tinggal di cagar alam dan taman nasional, dan sisanya tersebar di daerah-daerah lain yang ditebang untuk pertanian, juga terdapat lebih kurang 250 ekor lagi yang dipelihara di kebun binatang di seluruh dunia. Harimau sumatra mengalami ancaman kehilangan habitat karena daerah sebarannya seperti blok-blok hutan dataran rendah, lahan gambut dan hutan hujan pegunungan terancam pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan komersial, juga perambahan oleh aktivitas pembalakan dan pembangunan jalan. Karena habitat yang semakin sempit dan berkurang, maka harimau terpaksa memasuki wilayah yang lebih dekat dengan manusia, dan seringkali mereka dibunuh dan ditangkap karena tersesat memasuki daerah pedesaan atau akibat perjumpaan yang tanpa sengaja dengan manusia.

Beberapa keuinikan dari harimau sumatera, menurut Zoological Society of London, antara lain :

  • Harimau Terkecil
    Ada 5 sub-spesies harimau yang kini masih eksis, seperti harimau Bengali, harimau Siberia, dan harimau Malaya. Harimau sumatera merupakan sub-spesies yang terkecil, hanya ditemukan di pulau Sumatera.

  • Jumlahnya Tinggal ratusan
    Status harimau sumatera menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) adalah terancam punah. Data terbaru menyebut, populasi harimau itu hanya sekitar 441 - 679 di alam liar.

  • Jago berburu sejak kecil
    Harimau sumatera memang tinggal dengan induknya hingga usia sekitar 2 tahun. Namun, menurut penelitian, jenis itu telah berburu sejak usianya setahun.

  • Ada sejak jutaan tahun lalu
    Jangan menyangka bahwa harimau sumatera adalah sub-spesies yang baru lahir. Fosil di China mengindikasikan bahwa harimau itu telah eksis sejak 2 juta tahun lalu.

  • Suka Hawa Dingin
    Tak seperti sepupu lainnya, harimau sangat senang berenang. Mereka senang “ngadem” berada di tepi sungai dan “berendam” di air sungai itu.

  • Pola garis unik
    Pola garis tiap harimau sumatera unik. Harimau seumatera sendiri unik karena pola garisnya merupakan yang paling tipis dibandingkan dengan harimau lainnya.

  • Suara yang sangat keras
    Harimau sumatera punya auman yang super keras. Auman itu bisa terdengar hingga jarak 3 kilometer.

  • Jago Melompat
    Bahkan jika duduk sekalipun, harimau Sumatera mampu melompat hingga jarak 10 meter.

  • Mempunyai Bulu Janggut
    Harimau punya 5 jenis bulu janggut. Bulu itu akan menangkap getaran dari mangsanya.

  • Gigitan Kuat
    Harimau sumatera memiliki kekuatan gigitan yang kuat, mencapai 450 kilogram gaya.

Harimau Sumatra


Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae)merupakan spesies harimau yang saat ini masih dimiliki oleh Indonesia setelah sebelumnya dua spesies yaitu harimau bali (Panthera tigris sondaica) dan harimau jawa (Panthera tigris javanica) telah mengalami kepunahan.

Harimau sumatra hanya dijumpai di pulau Sumatera, terutama di hutan-hutan dataran rendah sampai dengan pegunungan. Wilayah penyebarannya pada ketinggian 0-2.000 m dpl (O’Brien et al., 2003), tetapi kadang-kadang juga sampai ketinggian lebih dari 2.400 m dpl (Linkie et al., 2003). Satwa predator ini setiap hari harus mengkonsumsi 5-6 kg daging yang sebagian besar (75%) terdiri atas hewan-hewan mangsa dari golongan rusa (Sunquist et al., 1999). Di Sumatera, rusa sambar (Cervus sp) dan muntjak (Muntiacus muntjak) adalah hewan mangsa utama bagi harimau, meskipun hewan mangsa yang lebih kecil juga menjadi pakannya. Sebagai hewan pemangsa utama (top predator), harimau memerlukan wilayah habitat yang luas supaya dapat hidup dan berkembang biak.

Oleh karena itu, kepadatan hewan mangsa sebagai sumber pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam mendukung keberlanjutan populasi harimau. Ketersediaan hewan mangsa ini juga memainkan peran penting dalam menentukan daerah jelajah individu harimau (Ahearns et al., 2001). Daerah jelajah harimau sumatra jantan telah diketahui sekitar 110 km2 dan betinanya mempunyai kisaran daerah jelajah antara 50-70 km2 (Franklin et al., 1999). Daerah-daerah jelajah ini keberadaannya tumpang tindih antara individu harimau.

Alih fungsi kawasan hutan secara besar-besaran menyebabkan hilangnya habitat hutan atau terpotongnya blok kawasan hutan yang luas menjadi bagian-bagian kecil yang terpisah-pisah. Kompetisi ruang dan sumber pakan antara manusia dan harimau telah mendorong masyarakat untuk memusuhi dan membunuh satwa ini. Perusakan habitat dan perburuan hewan mangsa telah diketahui sebagai faktor utama yang menyebabkan turunnya jumlah harimau secara dramatis di Asia (Seidensticker et al., 1999; Karanth dan Stith, 1999; Nyhus dan Tilson, 2004). Pada pertemuan population and habitat viability assessment (PHVA) tahun 1992 di kota Padang, dinyatakan bahwa hanya tersisa 400 ekor harimau sumatra yang bertahan hidup di lima kawasan konservasi besar di Sumatera. Seratus individu lainnya diperkirakan hidup di hutan-hutan di luar kawasan konservasi (Faust dan Tilson 1994; Seal et al., 1994).

Di dalam struktur piramida makanan, harimau terletak paling atas atau dikenal dengan top predator, sehingga keberadaannya sangat rawan terhadap kepunahan dibandingkan dengan jenis satwa lain apabila kawasan hutan terpisah-pisah menjadi blok-blok hutan kecil yang tidak mampu mendukung populasi hewan mangsa (Woodroffe dan Ginsberg, 1998). Kepunahan harimau jawa (Panthera tigris sondaica) dan harimau bali (P. tigris balica) telah menjadikan pelajaran berharga bagi para pengelola satwa liar dalam upaya penyelamatan harimau sumatra. Pada prinsipnya untuk mempertahankan hidup, harimau sumatra memerlukan tiga kebutuhan dasar yaitu ketersediaan hewan mangsa yang cukup, sumber air (Sunquist dan Sunquist, 1989), dan tutupan vegetasi yang rapat untuk tempat menyergap mangsa (Lynam et al., 2000).

Habitat hutan dataran tinggi yang tersisa saat ini tidak dapat mendukung biomassa jenis-jenis ungulata besar sebagai hewan mangsa (Eisenberg dan Seidensticker, 1976). Sebaliknya, keberadaan hutan dataran rendah sangat penting karena dapat mendukung biomassa hewan ungulata besar seperti babi hutan (Sus scrofa), rusa (Cervus unicolor), dan kijang (Muntiacus muntjak) sebagai hewan mangsa. Namun, luasan hutan dataran rendah yang tersisa secara cepat menyusut akibat alih fungsi menjadi lahan pertanian. Diperkirakan antara 65-80% hutan dataran rendah di Sumatera telah hilang atau beralih fungsi menjadi peruntukan lain (Whitten et al., 1984).

Saat ini populasi harimau sumateramengalami penurunan yang drastis dan keberadaannya semakin sulit ditemukan karena penurunan populasi harimau yang kian hari semakin meningkat. Hal ini diduga disebabkan karena habitat harimau banyak yang telah berubah menjadi tutupan lain seperti Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan masyarakat seperti sawit dan karet.Berkurangnya populasi harimau disebabkan oleh berbagai faktorsepertimenyempitnya areal hutan yang dikonversi menjadi lahan perkebunan,pemukiman, pertanian, dan industri,sehingga mempersempit habitat yang dapat berdampak padapenurunan populasi (Sriyanto, 2003).Perkembangannya konflik satwa liar dengan masyarakat terus meningkat bahkan sudah berada dalam tahap yang sangat meresahkan dan memprihatinkan.

Penanggulangan konflik satwa liar dengan masyarakat perlu segera ditanganidengan benar. Agar penanggulangan konflik satwa liar dengan manusia dapat terlaksana lebih adil, peduli, dan saling menguntungkan diperlukan peningkatan efektifitas manajemen penanggulangan konflik satwa liar diantaranya melalui pengembangan pendidikan dan pelatihan dalam rangka penanggulangan konflik satwa liar yang berbasis konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Hasiholan dan Widyaiswara, 2011).

Harimau Sumatera


Harimau sumatera merupakan satwa karnivora yang masuk ke dalam keluarga kucing. Slater dan Alexander (1986) mengklasifikasikan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) sebagai berikut :

  • Kingdom : Animalia
  • Phylum : Chordata
  • Sub Phylum : Vertebrata
  • Class : Mammalia
  • Ordo : Carnivora
  • Family : Felidae
  • Sub Family : Pantherinae
  • Genus : Panthera
  • Spesies : Panthera tigris
  • Sub Spesies : Panthera tigris sumatrae (Pocock,1929)

Terdapat 8 subspesies harimau di dunia, dimana tiga diantaranya sudah dinyatakan punah (Grzimek, 1975), subspesies tersebut yaitu :

  1. Panthera tigris altaica (Temminck, 1984) ; Harimau Siberia, disebut juga harimau amur, terdapat di Rusia, Cina dan Korea Utara.
  2. Panthera tigris amoyensis (Hilzheimer, 1905) ; Harimau Cina, terdapat di Cina.
  3. Panthera tigris corbetti (Mazak, 1968) ; Harimau Indo Cina, terdapat di Thailand, Cina, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam dan Malaysia.
  4. Panthera tigris tigris (Linnaeus, 1758) ; Harimau Bengala, terdapat di India, Nepal, Bangladesh, Bhutan dan Myanmar.
  5. Panther tigris sumatrae (Pocock, 1929) ; Harimau Sumatera, terdapat di Pulau sumatera.
  6. Panthera tigris sondaica (Temminck, 1844) ; Harimau Jawa, terdapat di Pulau Jawa, dinyatakan punah pada sekitar tahun 1980.
  7. Panthera tigris balica (Schwarz, 1912) ; Harimau bali, terdapat di Pulau Bali, sudah dinyatakan punah pada tahun 1937.
  8. Panthera tigris virgata (IIIiger, 1815) ; Harimau Kaspia, terdapat di Iran, Afganistan, Turki dan Rusia, sudah punah sekitar tahun 1950.

Morfologi


Menurut Mazak (1981) harimau sumatera merupakan subspesies yang mempunyai ukuran tubuh paling kecil dibandingkan dengan 5 subspesies harimau lain yang masih ada. Harimau Sumatera betina dewasa mempunyai berat rata-rata antara 75-110 kg dengan panjang 2,15-2,30 m. Umumnya ukuran harimau jantan lebih besar dibandingkan dengan harimau betina. Hewan ini memiliki rambut pada badannya sepanjang 8 – 11mm, surai pada harimau sumatera jantan berukuran panjang 11 – 13 cm. Rambut di dagu, pipi dan belakang kepala lebih pendek.

Panjang ekor sekitar 65 – 95 cm (Mountfort, 1973 ; Treep, 1973 ; Hafild dan Aniger, 1984 ;
Direktorat Pelestarian Alam, 1986 ; MacDonald, 1986; Sutedja dan Taufik, 1993 ; Saleh dan Kambey, 2003 dalam Lestari 2006). Harimau sumatera mempunyai warna tubuh bagian atas lebih gelap dari pada subspesies lain, dan bergaris yang lebih jelas. Warna dasar dari harimau adalah jingga (orange) dengan garis-garis belang berwarna hitam sampai coklat tua yang lebih lebar sehingga cenderung lebih jarang (Mazak, 1981; MacDonald, 1984). Garis belang yang kecil dan hitam akan terlihat diantara garis yang biasa terdapat pada belakang punggung, panggul, dan kaki belakang. Belang pada harimau menurut beberapa ahli berfungsi untuk kamuflase dan bersembunyi dari mangsa incaran. Sebagai perbandingan, harimau sumatera memiliki belang yang paling banyak diantara subspesies lainnya, sedangkan harimau siberia merupakan spesies yang memiliki belang yang paling sedikit (Mazak, 1981).

Populasi dan Distribusi


Harimau sumatera tersebar terutama di Sumatera bagian utara dan di daerah pegunungan Sumatera bagian barat daya. Habitat di Sumatera ini terdiri dari hutan dataran rendah hingga hutan sub-pegunungan dan hutan pegunungan. Harimau di Aceh hidup di daerah dataran rendah Indragiri, Lumbu Dalem, Sungai Litur, Batang Serangan dan sekitarnya, Jambi dan Sungai Siak. Di daerah Silindung, harimau kebanyakan terdapat di daerah padang alang-alang dan bahkan di daerah hutan pantai yang berlumpur. Mereka juga hidup di dataran Bengkalis (Suwelo dan Sumantri, 1978 dalam Lestari, 2006).

Menurut perkiraan pada saat ini jumlah harimau sumatera yang tersisa adalah 500 ekor. Diperkirakan 400 ekor hidup di kawasan konservasi utama yang tersebar di Sumatera, sedangkan 100 ekor harimau hidup di kawasan yang tidak dilindungi dimana cepat atau lambat kawasan tersebut berubah menjadi tanah pertanian dan perkebunan (Siswomartono et al, 1994).

Perilaku Berburu


Harimau menggunakan teknik berburu yang mengandalkan taktik perburuan individual, bersembunyi, mengejar dan menyerang secara tiba-tiba lalu membunuh mangsanya. Namun, tidak semua mangsa dibunuh dengan cara yang sama. Ada beberapa mangsa yang diterkam pada panggul belakangnya, ada yang diterkam dibagian lehernya, dan ada pula yang digigit secara mematikan pada bagian tenggorokannya atau pada bagian belakang tengkuknya. Sifat memangsa ini mungkin berbeda berdasarkan ukuran atau spesies mangsa dan berbeda berdasarkan tipe habitatnya, dan ada pula sifat pemangsa yang berubah karena berdasarkan pengalaman (Sunquist et al., 1999). Harimau sumatera merupakan satwa karnivora yang biasanya memangsa babi hutan (Sus sp), rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus sp), kerbau liar (Bubalus bubalis), tapir (Tapirus indicus), kera (Macaca sp), landak (Hystrix brachyura) dan trenggiling (Manis javanica).

Seperti kucing besar lainnya, harimau memiliki adaptasi morfologi yang memudahkannya untuk berburu mangsa dengan ukuran yang cukup besar, tungkai belakang memiliki ukuran yang lebih panjang dibanding dengan tungkai depan, dengan keadaan ini akan memungkinkan bagi harimau untuk melakukan lompatan secara maksimal, tungkai depan dan bahu memiliki otot yang lebih padat dan lebih kuat dibandingkan tungkai belakang, cakar depan dilengkapi dengan kuku yang lebih panjang dan tajam, tengkorak rahang memendek sehingga dapat meningkatkan daya gigit atau jepit (MacDonald, 1984).

Untuk memenuhi kebutuhan makannya, harimau berburu 3-6 hari sekali tergantung ukuran mangsanya. Seekor harimau betina dapat membunuh seekor kijang seberat 20 kg tiap dua atau tiga hari sekali atau seekor rusa sambar seberat 200 kg setiap beberapa minggu. Biasanya seekor harimau membutuhkan 5-6 kg daging per hari (Seidensticker et al,. 1999).

Perilaku Reproduksi


Harimau merupakan jenis satwa yang tidak tahan terhadap panas dan sengatan cahaya matahari langsung. Biasanya harimau aktif pada pagi, sore dan malam hari. Waktu siang hari digunakan untuk beristirahat dan tidur di tempat yang teduh dan terlindung dari sinar matahari (Tilson et al., 1997). Harimau merupakan satwa yang hidup soliter, namun akan berkelompok jika pada saat masa kawin. Masa kehamilan harimau 103 hari, masa estrus betina ( harimau betina mau menerima jantan untuk melakukan perkawinan) sangat cepat diikuti dengan pergi atau matinya harimau muda (Sunquist et al., 1999). Harimau jantan dapat mengenali harimau betina dalam masa birahi dari aroma khas urinnya (McDougal 1979). Selama masa birahi, harimau betina lebih agresif, banyak mengeluarkan suara dan sedikit beristirahat.

Daya Jelajah dan Teritori

Harimau merupakan satwa yang hidup soliter. Umumnya individu harimau memiliki daerah teritori yang selalu dijaga agar tidak dilalui oleh individu harimau lain. Setiap jenis harimau memiliki daerah jelajah (home range) yang berbeda-beda. Umumnya harimau jantan memiliki daerah jelajah yang lebih luas dibandingkan dengan harimau betina. Harimau jantan mampu menjelajah tiga kali lebih jauh dari pada harimau betina, sebagian harimau betina philopatric, lebih senang tinggal di dekat induknya (Smith, 1993 dalam Rudiansyah 2007). Lebih lanjut mengemukakan, jarak jelajah untuk rata-rata harimau jantan adalah 33 km, terjauh 65 km, sedangkan jelajah rata-rata harimau betina adalah kurang dari 10 km dan terjauh 33 km. hal ini bukan berarti harimau tidak mampu menjelajah lebih jauh, akan tetapi daya jelajah harimau tergantung dari daya tahan tubuhnya. Harimau meninggalkan tanda-tanda berupa cakaran pada tanah (scrape), cakaran pada pohon (scratch), urin dan feses untuk menandakan daerah teritorinya. Ukuran teritori untuk seekor harimau sumatera biasanya tergantung banyaknya
persediaan makanan yang ada di daerah tersebut (Mac Donald, 1986; Treep, 1973 dalam Hutabarat, 2005). Luas wilayah jelajah erat kaitannya dengan keberadaan satwa mangsa, pada tingkat kepadatan satwa mangsa rendah maka wilayah jelajah harimau akan menjadi lebih luas (Tilson, et al., 1997).

Habitat

Habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwaliar (Alikodra, 2002). Lebih lanjut mengemukakan, bahwa habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung, serta habitat yang baik bagi satu jenis satwaliar belum tentu sesuai untuk jenis lainnya, karena setiap satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda.

Harimau sumatera tersebar merata di Sumatera akan tetapi keadaan populasi dan persebarannya sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, karena belum ada penelitian khusus tentang hal itu. Harimau merupakan jenis kucing besar yang mampu beradaptasi pada habitat yang berbeda-beda. Satwa ini hidup menyebar di delapan tipe habitat penting di Asia meliputi : hutan hujan dataran rendah, hutan tropis kering dan mangrove, hutan subtropis dan hutan musim, hutan subtropis basah, padang rumput, hutan konifer, dan hutan boreal taiga (Sherpa dan Makey 1998).

Harimau tidak ditemukan dalam habitat terbuka, biasanya mereka mendiami daerah yang lebih tertutup yang akan memudahkan mereka untuk berburu dan menyerang mangsanya secara tiba-tiba (MacDonald, 1984). Secara umum harimau memiliki sifat soliter terutama pada yang jantan dan harimau betina yang sedang mengasuh anaknya (Setijati et al, 1992). Selanjutnya Sriyanto (2003) menambahkan, bahwa harimau sumatera yang ada di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) dapat hidup dengan baik pada daerah yang ada di TNWK mulai dari habitat alang-alang, padang rumput, hutan sekunder, daerah rawa serta semak belukar. Bahkan harimau di TNWK dapat menyeberangi sungai untuk bisa menjangkau daerah lainnya yang
masih ada dalam teritorinya.

Habitat harimau sumatera beranekaragam dari dataran pantai berawa payau dengan tipe vegetasi hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, sampai lahan perkebunan dan pertanian masyarakat. Habitat yang paling disukai adalah daerah perbatasan antara hutan dan areal garapan masyarakat yang biasanya banyak dihuni oleh jenis-jenis yang dapat dimangsa seperti babi hutan, rusa, kijang, dan kancil. Harimau Sumatra menyukai pula daerah basah, seperti daerah rawa dan sekitar sungai untuk bermain-main dan berendam (Setijati et al, 1992).
Menurut Santiapillai dan Ramono (1985), distribusi harimau sumatera tidak hanya ditentukan oleh jumlah ketersediaan habitat atau vegetasi hutan yang cocok. Adanya pemangsa dan kompetisi dengan karnivora yang lain juga merupakan salah satu ancaman. Tidak seperti keluarga kucing lainnya, harimau sangat suka air dan dapat berenang (Lekagul dan McNeely, 1977). Harimau sumatera sangat mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Akan tetapi satwa ini kurang mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Tipe habitat yang biasanya menjadi pilihan bagi harimau sumatera di Indonesia sangat bervariasi (Suwelo dan Sumantri, 1978 dalam Lestari, 2006) yaitu sebagai berikut :

  1. Hutan hujan tropik, hutan primer dan hutan sekunder pada dataran rendah
    sampai dataran tinggi pegunungan, hutan savana, hutan terbuka dan hutan
    pantai.

  2. Pantai berlumpur, mangrove, pantai berawa payau dan pantai air tawar.

  3. Padang rumput terutama padang alang-alang.

  4. Daerah datar sepanjang aliran sungai.

  5. Daerah perkebunan dan tanah pertanian.
    Menurut Siswomartono et al. (1994) habitat yang optimal bagi harimau sumatera adalah daerah peralihan antara hutan dan padang rumput. Lokasi ini sangat mendukung kelangsungan hidup harimau karena terdapat kepadatan populasi mangsa yang cukup tinggi seperti babi hutan, rusa, kijang, dan kancil. Harimau jarang menjelajah sampai ke hutan mangrove, satwa ini lebih memilih daerah yang tidak selalu tergenang dan terdapat areal yang kering.

  6. Satwa Mangsa
    Harimau sumatera merupakan satwa karnivora pemakan daging yang tidak dapat menggantikan pakannya dengan tumbuhan karena struktur anatomi alat pencernaannya khusus sebagai pemakan daging. Oleh karena keberadaan satwa mangsa sangat penting sebagai pakan utama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keluarga kucing besar seperti harimau merupakan satwa karnivora spesialis yang cenderung untuk menangkap beberapa jenis mangsa dengan rata-rata kurang lebih empat jenis (Kitcherner, 1991 ; Jackson, 1990).

    Jenis-jenis felidae termasuk harimau merupakan satwa opportunis, namun dalam pemilihan makan, harimau cenderung melakukan pemilihan. Satwa mangsa utama harimau adalah satwa-satwa ungulata dan dari suku bovidae (Karanth dan Sunquist, 1995). Namun demikian dalam pemilihan makan biasanya satwaliar digolongkan menjadi dua kelompok yaitu makanan utama (preferred foods) dan makanan cadangan atau potensial (emergency foods) (Alikodra, 2002).

Pola Sebaran Spasial Satwaliar

Pola penyebaran satwaliar di alam bebas dapat berbentuk acak, kelompok, dan sistematis. Pola penyebaran tersebut merupakan bentuk strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Alikodra, 2002). Menurut Kartono (2000) pola penyebaran suatu jenis satwaliar disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan, kesamaan kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya (pakan dan ruang), dan antipredator. Kondisi habitat yang meliputi kualitas dan kuantitas sangat menentukan penyebaran populasi satwaliar. Ada dua tipe satwa dalam beraktivitas, yaitu soliter dan agregatif. Satwa soliter adalah satwa yang sebagian besar siklus biologisnya hidup sendiri sedangkan satwa agregatif adalah satwa yang sebagian besar siklus biologisnya hidup dalam kelompok.

Harimau sumatera merupakan satwa yang hidup soliter, tetapi pada saat tertentu hidup berkelompok seperti saat kawin dan mengasuh anak. Pola sebaran spasial adalah pola penyebaran satwaliar pada wilayah jelajahnya. Menurut Tarumingkeng (1994) bahwa pola sebaran spasial dapat berbentuk acak, berkelompok, dan sistematik. Pola sebaran spasial acak adalah satwaliar menyebar secara acak atau tidak tentu, baik dalam jumlah maupun wilayahnya. Pola sebaran spasial berkelompok adalah penyebaran satwaliar dalam satu atau beberapa kelompok saja. Pola sebaran spasial sistematik adalah satwaliar menyebar secara merata dalam suatu wilayah tertentu. Pola sebaran spasial sangat ditentukan oleh sumberdaya yang tersedia dan juga predator satwa tersebut.

Tarumingkeng (1994) menjelaskan bahwa untuk pola sebaran spasial mengelompok dapat disebabkan oleh sifat spesies yang gregarious (bergerombol) atau adanya keragaman (heterogeneity) habitat sehingga terjadi pengelompokkan di tempat yang terdapat banyak sumberdaya seperti makanan dan sebagainya. Hutchinson (1953) dalam Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa penyebab perbedaan pola sebaran spasial diakibatkan oleh berbagai faktor, yaitu :

  1. Faktor vektoral, yang timbul dari gaya-gaya eksternal seperti arah aliran air dan intensitas cahaya.
  2. Faktor reproduktif, yang berkaitan dengan cara berkembang biak suatu organisme.
  3. Faktor sosial, sebagai sifat yang dimiliki spesies tertentu atau perilaku bawaan waktu lahir, misalnya perilaku teritori. Penyebab terjadinya karena sifat social pada spesies-spesies tertentu seperti pada beberapa jenis kera yang membentuk kelompok pada suatu areal tertentu.
  4. Faktor koaktif, yang timbul sebagai akibat interaksi interen dan inter spesies, seperti persaingan ruang, pakan dan pasangan.
  5. Faktor stokostik, yang sebenarnya merupakan variasi acak dari faktor-faktor sebelumnya.

Pola sebaran spasial harimau sumatera sangat berkaitan dengan pola penggunaan ruang. Diduga pola sebaran spasial harimau berkaitan dengan sebaran spasial satwa mangsa. Secara tidak langsung pola sebaran spasial harimau sumatera juga dipengaruhi oleh kondisi habitat yang digunakan. Harimau sumatera menggunakan ruang habitat yang ada untuk melakukan aktivitas kesehariannya seperti makan, minum, berburu, bermain, istirahat, dan bereproduksi. Pola sebaran spasial satwa dipengaruhi oleh faktor eksternal (ekologis) dan internal (biologis dan perilaku) dari satwa itu sendiri. Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa pola sebaran spasial suatu ekologi dapat ditentukan dengan berbagai macam indeks penyebaran (dispersion index), yaitu : indeks dispersi (ID), indeks Agregatif (IC), dan indeks Greens (GI).

Pola Penggunaan Ruang

Habitat sebagai ruang bagi satwaliar dalam melakukan berbagai aktivitas hidupnya digunakan dalam suatu pola tersendiri yang menjadikan ciri khas bagi jenis satwa tertentu. Pola sebaran spasial sangat berkaitan dengan pola penggunaan ruang, hal ini untuk mengetahui jenis habitat seperti apa yang ditempati oleh harimau tersebut. Menurut Legay dan Debouzie (1985) dalam Santosa (1990), pola penggunaan ruang merupakan keseluruhan interaksi antara satwaliar dengan habitatnya. Parameter penggunaan ruang yang paling banyak diteliti ada dua hal yaitu
wilayah jelajah dan pergerakan. Hal ini untuk mengetahui seberapa jauh satwa berjalan setiap hari dan seberapa besar home range mereka. Struktur habitat yang diperlukan oleh satwaliar dapat dilihat dari beberapa keadaan, antara lain kebutuhan dasar, tipe habitat, faktor kesejahteraan yang spesifik dan komponen faktor-faktor kesejahteraan (Anderson, 1985; Bailey, 1984 dalam Alikodra, 1990). Menurut Weirsung (1973) dalam Hernowo et al. (1991), pembagian
pola penggunaan ruang oleh satwaliar di hutan tropika karena adanya stratifikasi tajuk vegetasi. Strata hutan tropika yang digunakan digolongkan sebagai berikut :

  1. Above of canopy, yaitu satwaliar yang hidup di atas tajuk pohon.
  2. Top of canopy, yaitu satwaliar yang hidup pada puncak tajuk pohon.
  3. Midle of canopy, yaitu satwaliar yang hidup di tajuk pohon bagian tengah.
  4. Scansorial canopy, yaitu satwaliar yang hidup di tajuk pohon bagian tengah tetapi sering turun ke tanah.
  5. Ground living animal, yaitu satwaliar yang hidup di lantai hutan.

Menurut Hernowo et al. (1991), penyebaran satwaliar di pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : sejarah penyebaran masa lalu, jenis satwaliar, kemampuan gerak, penghalang geografis, kondisi habitat, iklim, kemampuan adaptasi dan manusia beserta aktivitasnya. Penyebaran satwaliar pada suatu tempat sesuai dengan kemampuan pergerakannya dan kondisi lingkungan yang mendukung. Pola penggunaan ruang dan perilaku sosial betina sangat dipengaruhi oleh
keterbatasan, distribusi makanan dan cover, sedangkan pola penggunaan ruang oleh jantan dipengaruhi oleh jumlah dan penyebaran spasial betina (Osfield et al., 1985 dalam Mauziah, 1994). Aspek pola pemanfaatan ruang menggambarkan interaksi antara satwa dengan habitatnya (Santosa, 1990). Mobilitas dan wilayah jelajah merupakan parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator strategi pemanfaatan ruang oleh satwaliar.