Harimau Sumatera
Harimau sumatera merupakan satwa karnivora yang masuk ke dalam keluarga kucing. Slater dan Alexander (1986) mengklasifikasikan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) sebagai berikut :
- Kingdom : Animalia
- Phylum : Chordata
- Sub Phylum : Vertebrata
- Class : Mammalia
- Ordo : Carnivora
- Family : Felidae
- Sub Family : Pantherinae
- Genus : Panthera
- Spesies : Panthera tigris
- Sub Spesies : Panthera tigris sumatrae (Pocock,1929)
Terdapat 8 subspesies harimau di dunia, dimana tiga diantaranya sudah dinyatakan punah (Grzimek, 1975), subspesies tersebut yaitu :
- Panthera tigris altaica (Temminck, 1984) ; Harimau Siberia, disebut juga harimau amur, terdapat di Rusia, Cina dan Korea Utara.
- Panthera tigris amoyensis (Hilzheimer, 1905) ; Harimau Cina, terdapat di Cina.
- Panthera tigris corbetti (Mazak, 1968) ; Harimau Indo Cina, terdapat di Thailand, Cina, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam dan Malaysia.
- Panthera tigris tigris (Linnaeus, 1758) ; Harimau Bengala, terdapat di India, Nepal, Bangladesh, Bhutan dan Myanmar.
- Panther tigris sumatrae (Pocock, 1929) ; Harimau Sumatera, terdapat di Pulau sumatera.
- Panthera tigris sondaica (Temminck, 1844) ; Harimau Jawa, terdapat di Pulau Jawa, dinyatakan punah pada sekitar tahun 1980.
- Panthera tigris balica (Schwarz, 1912) ; Harimau bali, terdapat di Pulau Bali, sudah dinyatakan punah pada tahun 1937.
- Panthera tigris virgata (IIIiger, 1815) ; Harimau Kaspia, terdapat di Iran, Afganistan, Turki dan Rusia, sudah punah sekitar tahun 1950.
Morfologi
Menurut Mazak (1981) harimau sumatera merupakan subspesies yang mempunyai ukuran tubuh paling kecil dibandingkan dengan 5 subspesies harimau lain yang masih ada. Harimau Sumatera betina dewasa mempunyai berat rata-rata antara 75-110 kg dengan panjang 2,15-2,30 m. Umumnya ukuran harimau jantan lebih besar dibandingkan dengan harimau betina. Hewan ini memiliki rambut pada badannya sepanjang 8 – 11mm, surai pada harimau sumatera jantan berukuran panjang 11 – 13 cm. Rambut di dagu, pipi dan belakang kepala lebih pendek.
Panjang ekor sekitar 65 – 95 cm (Mountfort, 1973 ; Treep, 1973 ; Hafild dan Aniger, 1984 ;
Direktorat Pelestarian Alam, 1986 ; MacDonald, 1986; Sutedja dan Taufik, 1993 ; Saleh dan Kambey, 2003 dalam Lestari 2006). Harimau sumatera mempunyai warna tubuh bagian atas lebih gelap dari pada subspesies lain, dan bergaris yang lebih jelas. Warna dasar dari harimau adalah jingga (orange) dengan garis-garis belang berwarna hitam sampai coklat tua yang lebih lebar sehingga cenderung lebih jarang (Mazak, 1981; MacDonald, 1984). Garis belang yang kecil dan hitam akan terlihat diantara garis yang biasa terdapat pada belakang punggung, panggul, dan kaki belakang. Belang pada harimau menurut beberapa ahli berfungsi untuk kamuflase dan bersembunyi dari mangsa incaran. Sebagai perbandingan, harimau sumatera memiliki belang yang paling banyak diantara subspesies lainnya, sedangkan harimau siberia merupakan spesies yang memiliki belang yang paling sedikit (Mazak, 1981).
Populasi dan Distribusi
Harimau sumatera tersebar terutama di Sumatera bagian utara dan di daerah pegunungan Sumatera bagian barat daya. Habitat di Sumatera ini terdiri dari hutan dataran rendah hingga hutan sub-pegunungan dan hutan pegunungan. Harimau di Aceh hidup di daerah dataran rendah Indragiri, Lumbu Dalem, Sungai Litur, Batang Serangan dan sekitarnya, Jambi dan Sungai Siak. Di daerah Silindung, harimau kebanyakan terdapat di daerah padang alang-alang dan bahkan di daerah hutan pantai yang berlumpur. Mereka juga hidup di dataran Bengkalis (Suwelo dan Sumantri, 1978 dalam Lestari, 2006).
Menurut perkiraan pada saat ini jumlah harimau sumatera yang tersisa adalah 500 ekor. Diperkirakan 400 ekor hidup di kawasan konservasi utama yang tersebar di Sumatera, sedangkan 100 ekor harimau hidup di kawasan yang tidak dilindungi dimana cepat atau lambat kawasan tersebut berubah menjadi tanah pertanian dan perkebunan (Siswomartono et al, 1994).
Perilaku Berburu
Harimau menggunakan teknik berburu yang mengandalkan taktik perburuan individual, bersembunyi, mengejar dan menyerang secara tiba-tiba lalu membunuh mangsanya. Namun, tidak semua mangsa dibunuh dengan cara yang sama. Ada beberapa mangsa yang diterkam pada panggul belakangnya, ada yang diterkam dibagian lehernya, dan ada pula yang digigit secara mematikan pada bagian tenggorokannya atau pada bagian belakang tengkuknya. Sifat memangsa ini mungkin berbeda berdasarkan ukuran atau spesies mangsa dan berbeda berdasarkan tipe habitatnya, dan ada pula sifat pemangsa yang berubah karena berdasarkan pengalaman (Sunquist et al., 1999). Harimau sumatera merupakan satwa karnivora yang biasanya memangsa babi hutan (Sus sp), rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus sp), kerbau liar (Bubalus bubalis), tapir (Tapirus indicus), kera (Macaca sp), landak (Hystrix brachyura) dan trenggiling (Manis javanica).
Seperti kucing besar lainnya, harimau memiliki adaptasi morfologi yang memudahkannya untuk berburu mangsa dengan ukuran yang cukup besar, tungkai belakang memiliki ukuran yang lebih panjang dibanding dengan tungkai depan, dengan keadaan ini akan memungkinkan bagi harimau untuk melakukan lompatan secara maksimal, tungkai depan dan bahu memiliki otot yang lebih padat dan lebih kuat dibandingkan tungkai belakang, cakar depan dilengkapi dengan kuku yang lebih panjang dan tajam, tengkorak rahang memendek sehingga dapat meningkatkan daya gigit atau jepit (MacDonald, 1984).
Untuk memenuhi kebutuhan makannya, harimau berburu 3-6 hari sekali tergantung ukuran mangsanya. Seekor harimau betina dapat membunuh seekor kijang seberat 20 kg tiap dua atau tiga hari sekali atau seekor rusa sambar seberat 200 kg setiap beberapa minggu. Biasanya seekor harimau membutuhkan 5-6 kg daging per hari (Seidensticker et al,. 1999).
Perilaku Reproduksi
Harimau merupakan jenis satwa yang tidak tahan terhadap panas dan sengatan cahaya matahari langsung. Biasanya harimau aktif pada pagi, sore dan malam hari. Waktu siang hari digunakan untuk beristirahat dan tidur di tempat yang teduh dan terlindung dari sinar matahari (Tilson et al., 1997). Harimau merupakan satwa yang hidup soliter, namun akan berkelompok jika pada saat masa kawin. Masa kehamilan harimau 103 hari, masa estrus betina ( harimau betina mau menerima jantan untuk melakukan perkawinan) sangat cepat diikuti dengan pergi atau matinya harimau muda (Sunquist et al., 1999). Harimau jantan dapat mengenali harimau betina dalam masa birahi dari aroma khas urinnya (McDougal 1979). Selama masa birahi, harimau betina lebih agresif, banyak mengeluarkan suara dan sedikit beristirahat.
Daya Jelajah dan Teritori
Harimau merupakan satwa yang hidup soliter. Umumnya individu harimau memiliki daerah teritori yang selalu dijaga agar tidak dilalui oleh individu harimau lain. Setiap jenis harimau memiliki daerah jelajah (home range) yang berbeda-beda. Umumnya harimau jantan memiliki daerah jelajah yang lebih luas dibandingkan dengan harimau betina. Harimau jantan mampu menjelajah tiga kali lebih jauh dari pada harimau betina, sebagian harimau betina philopatric, lebih senang tinggal di dekat induknya (Smith, 1993 dalam Rudiansyah 2007). Lebih lanjut mengemukakan, jarak jelajah untuk rata-rata harimau jantan adalah 33 km, terjauh 65 km, sedangkan jelajah rata-rata harimau betina adalah kurang dari 10 km dan terjauh 33 km. hal ini bukan berarti harimau tidak mampu menjelajah lebih jauh, akan tetapi daya jelajah harimau tergantung dari daya tahan tubuhnya. Harimau meninggalkan tanda-tanda berupa cakaran pada tanah (scrape), cakaran pada pohon (scratch), urin dan feses untuk menandakan daerah teritorinya. Ukuran teritori untuk seekor harimau sumatera biasanya tergantung banyaknya
persediaan makanan yang ada di daerah tersebut (Mac Donald, 1986; Treep, 1973 dalam Hutabarat, 2005). Luas wilayah jelajah erat kaitannya dengan keberadaan satwa mangsa, pada tingkat kepadatan satwa mangsa rendah maka wilayah jelajah harimau akan menjadi lebih luas (Tilson, et al., 1997).
Habitat
Habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwaliar (Alikodra, 2002). Lebih lanjut mengemukakan, bahwa habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung, serta habitat yang baik bagi satu jenis satwaliar belum tentu sesuai untuk jenis lainnya, karena setiap satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda.
Harimau sumatera tersebar merata di Sumatera akan tetapi keadaan populasi dan persebarannya sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, karena belum ada penelitian khusus tentang hal itu. Harimau merupakan jenis kucing besar yang mampu beradaptasi pada habitat yang berbeda-beda. Satwa ini hidup menyebar di delapan tipe habitat penting di Asia meliputi : hutan hujan dataran rendah, hutan tropis kering dan mangrove, hutan subtropis dan hutan musim, hutan subtropis basah, padang rumput, hutan konifer, dan hutan boreal taiga (Sherpa dan Makey 1998).
Harimau tidak ditemukan dalam habitat terbuka, biasanya mereka mendiami daerah yang lebih tertutup yang akan memudahkan mereka untuk berburu dan menyerang mangsanya secara tiba-tiba (MacDonald, 1984). Secara umum harimau memiliki sifat soliter terutama pada yang jantan dan harimau betina yang sedang mengasuh anaknya (Setijati et al, 1992). Selanjutnya Sriyanto (2003) menambahkan, bahwa harimau sumatera yang ada di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) dapat hidup dengan baik pada daerah yang ada di TNWK mulai dari habitat alang-alang, padang rumput, hutan sekunder, daerah rawa serta semak belukar. Bahkan harimau di TNWK dapat menyeberangi sungai untuk bisa menjangkau daerah lainnya yang
masih ada dalam teritorinya.
Habitat harimau sumatera beranekaragam dari dataran pantai berawa payau dengan tipe vegetasi hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, sampai lahan perkebunan dan pertanian masyarakat. Habitat yang paling disukai adalah daerah perbatasan antara hutan dan areal garapan masyarakat yang biasanya banyak dihuni oleh jenis-jenis yang dapat dimangsa seperti babi hutan, rusa, kijang, dan kancil. Harimau Sumatra menyukai pula daerah basah, seperti daerah rawa dan sekitar sungai untuk bermain-main dan berendam (Setijati et al, 1992).
Menurut Santiapillai dan Ramono (1985), distribusi harimau sumatera tidak hanya ditentukan oleh jumlah ketersediaan habitat atau vegetasi hutan yang cocok. Adanya pemangsa dan kompetisi dengan karnivora yang lain juga merupakan salah satu ancaman. Tidak seperti keluarga kucing lainnya, harimau sangat suka air dan dapat berenang (Lekagul dan McNeely, 1977). Harimau sumatera sangat mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Akan tetapi satwa ini kurang mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Tipe habitat yang biasanya menjadi pilihan bagi harimau sumatera di Indonesia sangat bervariasi (Suwelo dan Sumantri, 1978 dalam Lestari, 2006) yaitu sebagai berikut :
-
Hutan hujan tropik, hutan primer dan hutan sekunder pada dataran rendah
sampai dataran tinggi pegunungan, hutan savana, hutan terbuka dan hutan
pantai.
-
Pantai berlumpur, mangrove, pantai berawa payau dan pantai air tawar.
-
Padang rumput terutama padang alang-alang.
-
Daerah datar sepanjang aliran sungai.
-
Daerah perkebunan dan tanah pertanian.
Menurut Siswomartono et al. (1994) habitat yang optimal bagi harimau sumatera adalah daerah peralihan antara hutan dan padang rumput. Lokasi ini sangat mendukung kelangsungan hidup harimau karena terdapat kepadatan populasi mangsa yang cukup tinggi seperti babi hutan, rusa, kijang, dan kancil. Harimau jarang menjelajah sampai ke hutan mangrove, satwa ini lebih memilih daerah yang tidak selalu tergenang dan terdapat areal yang kering.
-
Satwa Mangsa
Harimau sumatera merupakan satwa karnivora pemakan daging yang tidak dapat menggantikan pakannya dengan tumbuhan karena struktur anatomi alat pencernaannya khusus sebagai pemakan daging. Oleh karena keberadaan satwa mangsa sangat penting sebagai pakan utama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keluarga kucing besar seperti harimau merupakan satwa karnivora spesialis yang cenderung untuk menangkap beberapa jenis mangsa dengan rata-rata kurang lebih empat jenis (Kitcherner, 1991 ; Jackson, 1990).
Jenis-jenis felidae termasuk harimau merupakan satwa opportunis, namun dalam pemilihan makan, harimau cenderung melakukan pemilihan. Satwa mangsa utama harimau adalah satwa-satwa ungulata dan dari suku bovidae (Karanth dan Sunquist, 1995). Namun demikian dalam pemilihan makan biasanya satwaliar digolongkan menjadi dua kelompok yaitu makanan utama (preferred foods) dan makanan cadangan atau potensial (emergency foods) (Alikodra, 2002).
Pola Sebaran Spasial Satwaliar
Pola penyebaran satwaliar di alam bebas dapat berbentuk acak, kelompok, dan sistematis. Pola penyebaran tersebut merupakan bentuk strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Alikodra, 2002). Menurut Kartono (2000) pola penyebaran suatu jenis satwaliar disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan, kesamaan kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya (pakan dan ruang), dan antipredator. Kondisi habitat yang meliputi kualitas dan kuantitas sangat menentukan penyebaran populasi satwaliar. Ada dua tipe satwa dalam beraktivitas, yaitu soliter dan agregatif. Satwa soliter adalah satwa yang sebagian besar siklus biologisnya hidup sendiri sedangkan satwa agregatif adalah satwa yang sebagian besar siklus biologisnya hidup dalam kelompok.
Harimau sumatera merupakan satwa yang hidup soliter, tetapi pada saat tertentu hidup berkelompok seperti saat kawin dan mengasuh anak. Pola sebaran spasial adalah pola penyebaran satwaliar pada wilayah jelajahnya. Menurut Tarumingkeng (1994) bahwa pola sebaran spasial dapat berbentuk acak, berkelompok, dan sistematik. Pola sebaran spasial acak adalah satwaliar menyebar secara acak atau tidak tentu, baik dalam jumlah maupun wilayahnya. Pola sebaran spasial berkelompok adalah penyebaran satwaliar dalam satu atau beberapa kelompok saja. Pola sebaran spasial sistematik adalah satwaliar menyebar secara merata dalam suatu wilayah tertentu. Pola sebaran spasial sangat ditentukan oleh sumberdaya yang tersedia dan juga predator satwa tersebut.
Tarumingkeng (1994) menjelaskan bahwa untuk pola sebaran spasial mengelompok dapat disebabkan oleh sifat spesies yang gregarious (bergerombol) atau adanya keragaman (heterogeneity) habitat sehingga terjadi pengelompokkan di tempat yang terdapat banyak sumberdaya seperti makanan dan sebagainya. Hutchinson (1953) dalam Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa penyebab perbedaan pola sebaran spasial diakibatkan oleh berbagai faktor, yaitu :
- Faktor vektoral, yang timbul dari gaya-gaya eksternal seperti arah aliran air dan intensitas cahaya.
- Faktor reproduktif, yang berkaitan dengan cara berkembang biak suatu organisme.
- Faktor sosial, sebagai sifat yang dimiliki spesies tertentu atau perilaku bawaan waktu lahir, misalnya perilaku teritori. Penyebab terjadinya karena sifat social pada spesies-spesies tertentu seperti pada beberapa jenis kera yang membentuk kelompok pada suatu areal tertentu.
- Faktor koaktif, yang timbul sebagai akibat interaksi interen dan inter spesies, seperti persaingan ruang, pakan dan pasangan.
- Faktor stokostik, yang sebenarnya merupakan variasi acak dari faktor-faktor sebelumnya.
Pola sebaran spasial harimau sumatera sangat berkaitan dengan pola penggunaan ruang. Diduga pola sebaran spasial harimau berkaitan dengan sebaran spasial satwa mangsa. Secara tidak langsung pola sebaran spasial harimau sumatera juga dipengaruhi oleh kondisi habitat yang digunakan. Harimau sumatera menggunakan ruang habitat yang ada untuk melakukan aktivitas kesehariannya seperti makan, minum, berburu, bermain, istirahat, dan bereproduksi. Pola sebaran spasial satwa dipengaruhi oleh faktor eksternal (ekologis) dan internal (biologis dan perilaku) dari satwa itu sendiri. Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa pola sebaran spasial suatu ekologi dapat ditentukan dengan berbagai macam indeks penyebaran (dispersion index), yaitu : indeks dispersi (ID), indeks Agregatif (IC), dan indeks Greens (GI).
Pola Penggunaan Ruang
Habitat sebagai ruang bagi satwaliar dalam melakukan berbagai aktivitas hidupnya digunakan dalam suatu pola tersendiri yang menjadikan ciri khas bagi jenis satwa tertentu. Pola sebaran spasial sangat berkaitan dengan pola penggunaan ruang, hal ini untuk mengetahui jenis habitat seperti apa yang ditempati oleh harimau tersebut. Menurut Legay dan Debouzie (1985) dalam Santosa (1990), pola penggunaan ruang merupakan keseluruhan interaksi antara satwaliar dengan habitatnya. Parameter penggunaan ruang yang paling banyak diteliti ada dua hal yaitu
wilayah jelajah dan pergerakan. Hal ini untuk mengetahui seberapa jauh satwa berjalan setiap hari dan seberapa besar home range mereka. Struktur habitat yang diperlukan oleh satwaliar dapat dilihat dari beberapa keadaan, antara lain kebutuhan dasar, tipe habitat, faktor kesejahteraan yang spesifik dan komponen faktor-faktor kesejahteraan (Anderson, 1985; Bailey, 1984 dalam Alikodra, 1990). Menurut Weirsung (1973) dalam Hernowo et al. (1991), pembagian
pola penggunaan ruang oleh satwaliar di hutan tropika karena adanya stratifikasi tajuk vegetasi. Strata hutan tropika yang digunakan digolongkan sebagai berikut :
- Above of canopy, yaitu satwaliar yang hidup di atas tajuk pohon.
- Top of canopy, yaitu satwaliar yang hidup pada puncak tajuk pohon.
- Midle of canopy, yaitu satwaliar yang hidup di tajuk pohon bagian tengah.
- Scansorial canopy, yaitu satwaliar yang hidup di tajuk pohon bagian tengah tetapi sering turun ke tanah.
- Ground living animal, yaitu satwaliar yang hidup di lantai hutan.
Menurut Hernowo et al. (1991), penyebaran satwaliar di pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : sejarah penyebaran masa lalu, jenis satwaliar, kemampuan gerak, penghalang geografis, kondisi habitat, iklim, kemampuan adaptasi dan manusia beserta aktivitasnya. Penyebaran satwaliar pada suatu tempat sesuai dengan kemampuan pergerakannya dan kondisi lingkungan yang mendukung. Pola penggunaan ruang dan perilaku sosial betina sangat dipengaruhi oleh
keterbatasan, distribusi makanan dan cover, sedangkan pola penggunaan ruang oleh jantan dipengaruhi oleh jumlah dan penyebaran spasial betina (Osfield et al., 1985 dalam Mauziah, 1994). Aspek pola pemanfaatan ruang menggambarkan interaksi antara satwa dengan habitatnya (Santosa, 1990). Mobilitas dan wilayah jelajah merupakan parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator strategi pemanfaatan ruang oleh satwaliar.