Apa yang anda ketahui tentang Gajah Sumatera ?

Gajah sumatra

Gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) adalah subspesies dari gajah asia yang hanya berhabitat di Pulau Sumatra. Gajah sumatra berpostur lebih kecil daripada subspesies gajah india. Populasinya semakin menurun dan menjadi spesies yang sangat terancam. Sekitar 2000 sampai 2700 ekor gajah sumatra yang tersisa di alam liar berdasarkan survei pada tahun 2000. Sebanyak 65% populasi gajah sumatra lenyap akibat dibunuh manusia, dan 30% kemungkinan dibunuh dengan cara diracuni oleh manusia. Sekitar 83% habitat gajah sumatra telah menjadi wilayah perkebunan akibat perambahan yang agresif.

Gajah sumatra merupakan mamalia terbesar di Indonesia, beratnya mencapai 6 ton dan tumbuh setinggi 3,5 meter pada bahu. Periode kehamilan untuk bayi gajah sumatra adalah 22 bulan dengan umur rata-rata sampai 70 tahun. Herbivora raksasa ini sangat cerdas dan memiliki otak yang lebih besar dibandingkan dengan mamalia darat lain. Telinga yang cukup besar membantu gajah mendengar dengan baik dan membantu mengurangi panas tubuh. Belalainya digunakan untuk mendapatkan makanan dan air dengan cara memegang atau menggenggam bagian ujungnya yang digunakan seperti jari untuk meraup.

Gajah Sumatera merupakan ‘spesies payung’ bagi habitatnya dan mewakili keragaman hayati di dalam ekosistem yang kompleks tempatnya hidup.

Gajah Sumatera mempunyai ukuran tinggi badan sekitar 1,7-2,6 meter. Jika dibandingkan dengan Gajah Afrika, ukuran Gajah Sumatera lebih kecil. Saat ini kondisi populasinya semakin menurun seiring dengan tingginya laju kehilangan hutan Sumatera. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) saat ini berada dalam status Kritis (Critically Endangered) dalam daftar merah spesies terancam punah yang keluarkan oleh Lembaga Konservasi Dunia –IUCN). Di Indonesia, Gajah Sumatera juga masuk dalam satwa dilindungi menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan diatur dalam peraturan pemerintah, yaitu PP 7/1999 tentang Pengawetaan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Masuknya Gajah Sumatera dalam daftar tersebut disebabkan oleh aktivitas pembalakan liar, penyusutan dan fragmentasi habitat, serta pembunuhan akibat konflik dan perburuan. Perburuan biasanya hanya diambil gadingnya saja, sedangkan sisa tubuhnya dibiarkan membusuk di lokasi.

Pengembangan industri pulp dan kertas serta industri kelapa sawit sebagai salah satu pemicu hilangnya habitat gajah di Sumatera, mendorong terjadinya konflik manusia-satwa yang semakin hari kian memuncak. Pohon-pohon sawit muda adalah makanan kesukaan gajah dan kerusakan yang ditimbulkan gajah ini dapat menyebabkan terjadinya pembunuhan (umumnya dengan peracunan) dan penangkapan. Ratusan gajah mati atau hilang di seluruh Provinsi Riau sejak tahun 2000 sebagai akibat berbagai penangkapan satwa besar yang sering dianggap ‘hama’ ini.

Status
Kritis (Critically Endangered)

Populasi
2.400-2.800 individu

Berat
4-6 ton

Nama Ilmiah
Elephas maximus sumatranus

Habitat
Hutan primer dan hutan sekunder

Panjang
5,5 – 7,3 meter

Ancaman

Namun kini diperkirakan telah menurun jauh dari angka tersebut karena habitatnya terus menyusut dan pembunuhan yang terus terjadi. Kajian WWF-Indonesia menunjukkan bahwa populasi gajah Sumatera kian hari makin memprihatinkan, dalam 25 tahun, Gajah Sumatera telah kehilangan sekitar 70% habitatnya, serta populasinya menyusut hingga lebih dari separuh. Estimasi populasi tahun 2007 adalah antara 2400-2800 individu, namun kini diperkirakan telah menurun jauh dari angka tersebut karena habitatnya terus menyusut dan pembunuhan yang terus terjadi.

Khusus untuk di wilayah Riau dalam seperempat abad terakhir ini estimasi populasi Gajah Sumatera, yang telah lama menjadi benteng populasi gajah, menurun sebesar 84% hingga tersisa sekitar 210 ekor saja di tahun 2007. Lebih dari 100 individu Gajah yang sudah mati sejak tahun 2004. Ancaman utama bagi Gajah Sumatera adalah hilangnya habitat mereka akibat aktivitas penebangan hutan yang tidak berkelanjutan perburuan dan perdagangan liar juga konversi hutan alam untuk perkebunan (sawit dan kertas) skala besar.

Pulau Sumatera merupakan salah satu wilayah dengan laju deforestasi hutan terparah di dunia dan populasi gajah berkurang lebih cepat dibandingkan jumlah hutannya. Penyusutan atau hilangnya habitat satwa besar ini telah memaksa mereka masuk ke kawasan berpenduduk sehingga memicu konflik manusia dan gajah, yang sering berakhir dengan kematian gajah dan manusia, kerusakan lahan kebun dan tanaman dan harta benda.

Pengembangan industri pulp dan kertas serta industri kelapa sawit sebagai salah satu pemicu hilangnya habitat gajah di Sumatera, mendorong terjadinya konflik manusia-satwa yang semakin hari kian memuncak. Pohon-pohon sawit muda adalah makanan kesukaan gajah dan kerusakan yang ditimbulkan gajah ini dapat menyebabkan terjadinya pembunuhan (umumnya dengan peracunan) dan penangkapan. Ratusan gajah mati atau hilang di seluruh Provinsi Riau sejak tahun 2000 sebagai akibat berbagai penangkapan satwa besar yang sering dianggap ‘hama’ ini.

Kerugian
Selama tahun 2013 saja, kerugian ekonomi yang disebabkan oleh konflik Gajah di Riau menyebabkan sekitar 1,99 miliar. Belum lagi jika ditambahkan dengan angka keseluruhan konflik Gajah di Sumatera.

Gajah sumatera merupakan sub spesies dari Gajah asia ( Elephas maximus ) yang diperkenalkan oleh Temminck dengan nama ilmiah Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847. Taksonomi Gajah sumatera, yaitu :

  • Kingdom : Animalia
  • Phylum : Chordata
  • Sub Phylum : Vertebrata
  • Class : Mammalia
  • Order : Proboscidea
  • Family : Elephantidae
  • Genus : Elephas
  • Species : Elephas maximus Linnaeus, 1758
  • Sub species : Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847.

Gajah asia ( Elephas maximus ) terbagi kedalam tiga sub spesies, yaitu Elephas maximus maximus di Srilangka, Elephas maximus indicus di anak Benua India dan Asia Tenggara termasuk Kalimantan dan Elephas maximus sumatranus di Sumatera. Gajah asia ( Elephas maximus ) di Indonesia hanya ditemukan di Sumatera dan Kalimantan bagian timur. Gajah asia terdaftar dalam Red List Book IUCN ( International Union for Conservation of Nature and Natural Resources ) dengan status terancam punah ( endangered species ). Gajah asia ( Elephas maximus ) dinyatakan sebagai satwa dilindungi Undang-undang dan hampir punah di Indonesia sejak Tahun 1931 melalui Ordonansi Perlindungan Binatang Liar. Selanjutnya CITES ( Convention on International Trade of Endangered Species of Fauna and Flora /Konvensi tentang Perdagangan Internasional Satwa dan Tumbuhan) mengategorikan Gajah asia kedalam kelompok Appendix I. sehingga keberadaannya perlu diperhatikan dan dilestarikan.

Distribusi dan Populasi Gajah di Pulau Sumatera

Gajah sumatera tersebar di tujuh provinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Lampung. Tahun 1980 dilakukan survei gajah di seluruh Sumatera dengan menggunakan metode penaksiran secara cepat ( rapid assessment survey ). Hasil survei memperkirakan populasi Gajah sumatera 2.800 - 4.800 ekor dan tersebar di 44 lokasi (Blouch dan Simbolon 1985). Estimasi sementara populasi Gajah sumatera yaitu 2.400 - 2.800 ekor (Dephut 2007). Berikut ini tabel yang berisi proporsi sebaran populasi Gajah sumatera di beberapa status kawasan hutan :

Status Kawasan Luas Kawasan (hektar) Persentase (%)
Hutan konversi 386.829 9,39
Hutan produksi terbatas 1.648.654 40,03
Hutan konservasi 619.988 15,05
Hutan produksi 709.145 17,22
Hutan lindung 494.088 12,00
Hutan negara tidak terbatas 15.916 0,39
Perairan 2.108 0,05
Daerah lain 234.46 5,69
Tidak ada data 7.678 0,19

1. Habitat Gajah Sumatera
Habitat adalah kawasan yang terdiri dari komponen fisik dan biotik sebagai satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwaliar (Alikodra 1990). Persyaratan habitat yaitu variasi pakan, cover dan faktor-faktor lain yang dibutuhkan oleh suatu jenis satwaliar untuk melangsungkan hidupnya dan keberhasilan perkembangbiakannya. Habitat gajah merupakan kesatuan wilayah yang luas meliputi hutan, tempat terbuka, sumber-sumber air dan tempat mencari garam. Wilayah ini tergambarkan dalam daerah pengembaraan gajah yang sangat luas sehingga menggunakan lebih dari satu tipe habitat.

2) Tipe Habitat
Habitat Gajah sumatera tersebar pada tipe hutan hujan pegunungan, hutan primer dan hutan sekunder. Widowati (1985) menyatakan habitat yang ideal bagi Gajah sumatera yaitu kombinasi antara tipe hutan Dipterocarpaceae dataran rendah (tipe antropogen yaitu hutan sekunder yang tidak terganggu) dan hutan rawa tidak tergenang air payau. Gajah umumnya lebih menyukai hutan rawa pada musim kemarau dan akan berpindah ke hutan pegunungan atau hutan primer pada musim hujan. Perpindahan ini disebakan oleh kondisi pakan di hutan pegunungan atau hutan primer mencukupi kebutuhan gajah.

Widowati (1985) menyebutkan komponen penentu pemilihan habitat gajah sebagai berikut :
1. Ketersediaan pakan, sumber air dan garam mineral.
2. Ketersediaan cover atau pelindung.
3. Ketersediaan tempat untuk berperilaku kesukaan dan pergerakan.
4. Tingkat gangguan.

Kondisi pakan, sumber air, garam mineral, cover dan ruang yang mampu memenuhi kebutuhan gajah di habitatnya akan mengurangi beban daerah pertanian sebagai daerah kantong pakan gajah.

4. Komponen Habitat

  • Pakan
    Gajah merupakan satwa herbivor yang membutuhkan pakan hijauan di habitatnya. Gajah juga membutuhkan habitat yang bervegetasi pohon sebagai pakan pelengkap untuk memenuhi kebutuhan mineral seperti Kalsium untuk memperkuat tulang, gigi dan gading. Satu ekor Gajah sumatera diperkirakan menghabiskan lebih dari 300 kg tumbuhan segar setiap harinya (Poniran 1974).

    Gajah memakan semak muda dan daun-daunan dari berbagai jenis pohon yang berserat halus seperti daun waru dan dadap. Gajah juga menyukai jenis-jenis tanaman budidaya seperti tebu, padi, jagung, kacang tanah dan kelapa. Bagian tanaman yang dimakan gajah sangat bervariasi mulai dari buah muda sampai buah masak, umbut, pelepah, kulit batang, pucuk, daun muda dan tua beserta durinya dan bunga (Widowati 1985).

    Jenis pakan Gajah sumatera antara lain Artocarpus integer , Artocarpus kemando , Sloetia elongata , Musa acuminata , Oncosperma tigilarium, Licuala vallida , Ficus grossularioides , Mangifera macrophylla , Garcinia parviflora , Garcinia maingayi , Nephelium cuspidatum , Baccaurea spp. , Calamus spp. , Durio sp. dan Artocarpus sp. (LIPI 2003).

  • Air
    Kebutuhan minum Gajah asia tidak kurang dari 200 liter per hari (Lekagul dan Mc Neely 1977). Kebutuhan minum Gajah sumatera menurut perkiraan Poniran (1974) adalah 20-50 liter per hari.

  • Garam mineral
    Gajah memiliki kebiasaan memakan gumpalan tanah yang mengandung garam-garam mineral seperti Kalium, Kalsium dan Magnesium. Kebiasaan ini dikenal dengan sebutan salt licking (mengasin). Tempat mengasin gajah dapat berupa tebing sungai besar atau sungai kecil dengan kelerengan bervariasi dari sangat landai sampai sangat curam, dasar dan tepi rawa-rawa kecil atau rawa-rawa lebar dan lantai hutan (Widowati 1985).

  • Naungan
    Gajah termasuk binatang berdarah panas. Gajah akan bergerak mencari naungan ( thermal cover ) untuk menstabilkan suhu tubuhnya agar sesuai dengan lingkungannya ketika cuaca panas. Tempat yang sering digunakan sebagai naungan pada siang hari yaitu vegetasi hutan yang lebat.

  • Ruang atau wilayah jelajah ( home range )
    Wilayah jelajah adalah areal penjelajahan normal sebagai aktivitas rutinnya (Jewell 1966 diacu dalam Widowati 1985). Luasan wilayah jelajah akan bervariasi tergantung dari ketersediaan pakan, cover dan tempat berkembangbiak. Luas wilayah jelajah untuk Gajah sumatera belum diketahui secara pasti namun Santiapillai (2001) menyebutkan luas wilayah jelajah Gajah asia yaitu 32,4 km²-166,9 km². Wilayah jelajah gajah di hutan primer mempunyai ukuran dua kali lebih besar dibanding dengan wilayah jelajah di hutan sekunder.

    Sub spesies Gajah asia lainnya seperti di India memiliki ukuran wilayah jelajah yang sangat bervariasi. Luas wilayah jelajah gajah di India Selatan untuk kelompok betina yaitu 600 km² dan kelompok jantan 350 km² (Baskaran et al . 1995 diacu dalam Dephut 2007). Luas wilayah jelajah gajah di India Utara untuk kelompok betina 184 km² - 320 km² dan kelompok jantan 188 km² - 408 km² (Williams et al . 2001 diacu dalam Dephut 2007).

    Gajah jantan hidup secara sendiri ( soliter ) atau bergabung dengan jantan lainnya membentuk kelompok jantan. Kelompok jantan memiliki daerah jelajah yang tumpang tindih atau bersinggungan dengan daerah jelajah kelompok betina atau jantan lainnya.

  • Keamanan dan kenyamanan
    Gajah membutuhkan suasana yang aman dan nyaman agar perilaku kawin ( breeding ) tidak terganggu dan proses reproduksinya dapat berjalan dengan baik. Gajah termasuk satwa yang sangat peka terhadap bunyi-bunyian sehingga aktivitas pengusahaan yang tinggi dan penggunaan alat-alat berat dalam penebangan hutan yang dilakukan oleh perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dapat mengganggu keamanan dan kenyamanan gajah.

Gajah hidup dengan pola matriarchal yaitu hidup berkelompok yang dipimpin oleh betina dewasa dengan ikatan sosial yang kuat. Perilaku berkelompok ini merupakan perilaku sosial yang sangat penting peranannya dalam melindungi anggota kelompoknya. Besarnya anggota setiap kelompok dipengaruhi oleh musim dan kondisi sumber daya di habitatnya terutama pakan dan luas wilayah jelajah yang tersedia. Kelompok gajah di hutan hujan Malaysia dan Sumatera umumnya 5 - 6 ekor (Olivier 1978 diacu dalam Hariady 1992). Studi di India menunjukkan satu populasi gajah dapat terbentuk dari beberapa klan (kelompok) dan memiliki pergerakan musiman berkelompok dalam jumlah 50 - 200 ekor (Sukumar 1989 diacu dalam Dephut 2007).

Gajah melakukan perjalanan untuk memenuhi kebutuhan pakan, air dan sumber mineral (garam). Pergerakan kelompok gajah ini dipimpin oleh gajah betina tua dan diikuti oleh betina lainnya serta anak-anaknya. Gajah jantan mengikuti dari belakang dengan jarak beberapa puluh meter dari kelompoknya (Lekagul dan Mc Neely 1977). Gajah jantan dewasa hanya bergabung pada periode tertentu untuk kawin dengan beberapa betina dalam kelompok tersebut. Gajah jantan tua akan hidup menyendiri karena tidak mampu lagi mengikuti kelompoknya dan gajah jantan muda yang sudah beranjak dewasa dipaksa meninggalkan kelompoknya atau pergi dengan suka rela untuk bergabung dengan kelompok jantan lain. Gajah betina muda tetap menjadi anggota kelompok dan bertindak sebagai bibi pengasuh pada kelompok “taman kanak-kanak” atau kindergartens

Gajah melakukan penjelajahan secara berkelompok mengikuti jalur yang tetap dalam satu tahun penjelajahan. Jarak jelajah gajah mencapai 7 km per hari dan mampu mencapai 15 km per hari ketika musim kering atau musim buah- buahan. Kecepatan gajah berjalan dan berlari di hutan (untuk jarak pendek) dan di rawa melebihi kecepatan manusia di medan yang sama. Gajah juga mampu berenang menyeberangi sungai yang dalam dengan menggunakan belalainya sebagai “snorkel” atau pipa pernapasan.

Masa kopulasi dan konsepsi gajah terjadi sepanjang tahun. Frekuensi perkawinan mencapai puncaknya pada bulan-bulan tertentu umumnya bersamaan dengan musim hujan di daerah tersebut. Usia aktif reproduksi gajah dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, ketersediaan sumber daya pakan dan faktor ekologinya (misalnya kepadatan populasi).

Gajah jantan dewasa (jarang yang betina) baik liar ataupun jinak mendapat gangguan kegilaan ( maniac ) secara periodik yang disebut musht . Gajah mempunyai temperamen jelek seperti berkelahi dengan jantan lain pada masa musth (Hariady 1992). Hasil sekresi berupa minyak akan terlihat keluar dari kelenjar yang terletak di tengah-tengah antara mata dan saluran telinga sebelum memasuki masa musht . Minyak ini berwarna hitam dan berbau merangsang. Gejala seperti ini datang setiap tahun atau dapat tertunda beberapa waktu. Musht terjadi 3 - 5 bulan sekali selama 1 - 4 minggu saat musim panas atau musim kering. Perilaku musht sering dihubungkan dengan musim birahi namun tidak ada bukti penunjang (Altevogt dan Kurt 1975).

1 Like