Apa yang anda ketahui tentang Candi Pari ?

Candi Pari

Candi Pari, menurut cerita rakyat, didirikan sebagai simbol kesuburan desa setempat dengan produksi padi yang melimpah dan mampu memberikan upeti kepada Raja Majapahit. Apa yang anda ketahui tentang Candi Pari ?

Candi Pari terletak di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Menurut perkiraan, Candi ini dibangun saat masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk tahun 1350 sampai dengan 1389 Masehi.

Candi ini terletak di 2 km arah Barat Laut semburan pusat lumpur panas Lapindo Brantas. Candi Pari ini juga dibangun dengan batu bata berbentuk persegi empat seperti pura yang ada di Bali dan candi ini dibangun menghadap ke arah Barat.

Candi ini berada Candi ini merupakan suatu bangunan persegi empat dari batu bata, menghadap ke barat dengan ambang serta tutup gerbang dari batu andesit. Dahulu, di atas gerbang ada batu dengan angka tahun 1293 Saka = 1371 Masehi. Merupakan peninggalan zaman Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk 1350-1389 M. Di dalam candi ini ditemukan 2 arca Siwa Mahadewa, 2 arca Agastya, 7 arca Ganesa dan 3 arca Buddha yang semuanya disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Dari berbagai temuan arca tersebut membuktikan bahwa Candi Pari berlatar belakang agama Hindu.


Gambar Awal Candi Pari ketika ditemukan

Menurut J.Knebel, Candi Pari dan juga Candi Sumur, dibangun untuk mengenang sekaligus memperingati hilangnya adik angkat dan juga seorang sahabat dari salah satu putra Prabu brawijaya yang menolak untuk tinggal di Keraton Kerajaan Majapahit.

Diatas pintu Candi Pari ini dulunya terdapat batu tua dan apabila dilihat dari arsitektur sangat dipengaruhi dengan budaya Campa yakni kebudayaan dari Vietnam. Ini bisa terjadi karena dulu Indonesia menjalin hubungan dagang dengan Vietnam dan disaat yang bersamaan juga, perekonomian Vietnam hancur sehingga sebagian orang mengungsi ke Jawa Timur.

Candi ini didirikan pada tahun 1293 Saka (1371 M) pada masa Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Di dalam candi ini ditemukan 2 arca Siwa Mahadewa, 2 arca Agastya, 7 arca Ganesa dan 3 arca Buddha yang semuanya disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Dari berbagai temuan arca tersebut membuktikan bahwa Candi Pari berlatar belakang agama Hindu.

Konon, pada zaman dahulu kala, ada seorang tua yang hidup di pertapaan bernama Kyai Gede Penanggungan dan adiknya seorang janda yang bernama Janda Ijingan. Kyai Gede Penanggungan mempunyai dua orang puteri bernama Nyai Lara Walang Sangit dan Nyai Lara Walang Angin, sedangkan adiknya Janda Ijingan mempunyai putera yang tampan bernama Jaka Walang Tinunu. Ketika sedang memancing ikan bersama dua sahabatnya, Satim dan Sabalong, mereka menemukan ikan deleg yang ternyata adalah jelmaan manusia tampan yang kemudian diberi nama Jaka Pandelegan.

Kedua pemuda tersebut kemudian membuka lahan di sekitar tempat tinggal Kyai Gede Penanggungan dan membuat kedua putrinya jatuh hati. Walaupun tanpa izin orang tuanya, kedua pasang kekasih tersebut tetap menikah dan mengerjakan sawah hingga berhasil panen dengan baik. Ketika itu Kerajaan Majapahit sedang paceklik dan raja mendengar bahwa di Kedung Soko ada orang arif yang memiliki padi berlimpah. Raja meminta supaya orang itu yaitu Jaka Walang Tinunu diminta menghadap beliau, dan diketahui bahwa ternyata Jaka adalah putra raja. Maka raja meminta Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan hidup bersama di kerajaan.

Jaka Pandelegan dan istrinya Dewi Lara Walang Angin ternyata tidak bersedia, dan mereka memilih moksa. Karena kekagumannya kepada suami istri tersebut, Raja Brawijaya memerintahkan untuk didirikan candi di tempat moksa kedua orang tersebut.