Candi Kidal terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, tepatnya sekitar 20 km ke arah timur dari kota Malang. Candi ini dapat dikatakan merupakan candi pemujaan yang paling tua di Jawa Timur, karena pemerintahan Airlangga (11-12 M) dari Kerajaan Kahuripan dan raja-raja Kerajaan Kediri (12-13 M) hanya meninggalkan Candi Belahan dan Jalatunda yang merupakan petirtaan atau pemandian.
Candi Kidal dibangun pada 1248 M, setelah upacara pemakaman ‘Cradha’ untuk Raja Anusapati dari Kerajaan Singasari. Tujuan pembangunan candi ini adalah untuk mendarmakan Raja Anusapati, agar sang raja dapat mendapat kemuliaan sebagai Syiwa Mahadewa. Dibangun pada masa transisi dari zaman keemasan pemerintahan kerajaan-kerajaan Jawa Tengah ke kerajaan-kerajaan Jawa Timur, pada Candi Kidal dapat ditemui perpaduan corak candi Jawa Tengah dan candi Jawa Timur. Sebagian pakar bahkan menyebut Candi Kidal sebagai prototipe candi Jawa Timuran.
Bangunan candi seluruhnya terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Di sekeliling halaman candi terdapat susunan batu yang berfungsi sebagai pagar. Tubuh candi berdiri diatas batur (kaki candi) setinggi sekitar 2 m. Untuk mencapai selasar di lantai kaki candi dibuat tangga batu tepat di depan pintu. Yang menarik, anak tangga dibuat tipis-tipis, sehingga dari kejauhan tampak seperti bukan tangga masuk yang sesungguhnya. Tangga batu ini tidak dilengkapi pipi tangga berbentuk ukel, sebagaimana yang banyak dijumpai di candi lainnya, namun di kiri-kanan anak tangga pertama terdapat badug (tembok rendah) berbentuk siku yang menutup sisi samping dan sebagian sisi depan kaki tangga. Badug semacam ini tidak terdapat di candi lain.
Pintu candi menghadap ke barat, dilengkapi dengan bilik penampil dengan hiasan kalamakara (kepala Kala) di atas ambangnya. Hiasan kepala kala yang nampak menyeramkan dengan matanya melotot penuh, mulut terbuka serta 2 taring besar dan bengkok, memberi kesan dominan. Adanya 2 taring tersebut juga merupakan ciri khas candi Jawa Timur. Disudut kiri dan kanan terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam, sehingga sempurnalah kesan seram yang patut dimiliki oleh makhkuk penjaga bangunan suci candi. Di kiri dan kanan pintu terdapat relung kecil tempat meletakkan arca yang dilengkapi dengan bentuk ‘atap’ di atasnya. Di atas ambang relung-relung ini juga terdapat hiasan kalamakara.
Atap Candi Kidal berebentuk kotak bersusun tiga, makin ke atas makin mengecil. Puncaknya tidak runcing, melainkan persegi dengan permukaan yang cukup luas. Puncak atap tidak dihiasi dengan ratna atau stupa, melainkan hanya datar saja. Sekeliling tepi masing-masing lapisan dihiasi dengan ukiran bunga dan sulur-suluran. Konon dulu di setiap sudut lapisan atap candi dipasang sebuah berlian kecil. Sekeliling kaki candi dihiasi dengan pahatan bermotif medalion yang berjajar diselingi bingkai bermotif bunga dan sulur-suluran. Di kiri dan kanan pangkal tangga serta di setiap sudut yang menonjol ke luar terdapat patung binatang yang terlihat mirip singa dalam posisi duduk seperti manusia dengan satu tangan terangkat ke atas. Patung-patung ini terlihat seperti sedang menyangga pelipit atas kaki candi yang menonjol keluar dari selasar.
Tubuh candi dapat dikatakan ramping, sehingga selasar di kaki candi cukup lebar. Dalam tubuh candi terdapat ruangan yang tidak terlalu luas. Saat ini ruangan tersebut dalam keadaan kosong. Dinding candi juga dihiasi dengan pahatan bermotif medalion. Pada dinding di sisi samping dan belakang terdapat relung tempat meletakkan arca. Relung-relung tersebut juga dilengkapi dengan bentuk ‘atap’ dan hiasan kalamakara di atas ambangnya. Tidak satupun arca yang masih bisa didapati di Candi Kidal. Konon arca Syiwa yang indah, yang saat ini tersimpan di museum Leiden, dahulu berasal dari Candi Kidal.
Dalam kesusastraan Jawa kuno, terdapat mitos yang terkenal di kalangan masrakyat, yaitu mitos Garudheya, seekor garuda yang berhasil membebaskan ibunya dari perbudakan dengan tebusan air suci amerta (air kehidupan). Konon relief mitos Garudheya dibuat untuk memenuhi amanat Anusapati yang ingin meruwat Ken Dedes, ibunda yang sangat dicintainya. Mitos Garudheya tertuang secara lengkap dalam relief di seputar kaki candi. Untuk membacanya digunakan teknik prasawiya (berlawanan dengan arah jarum jam), dimulai dari sisi selatan.
Relief pertama menggambarkan seekor garuda menggendong 3 ekor ular besar, relief kedua melukiskan seekor garuda dengan kendi diatas kepalanya, dan relief ketiga garuda menggendong seorang wanita. Diantara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan utuh.
Mitos Garudheya
Mitos Garudheya hidup di kalangan masyarakat Jawa kuno, khususnya yang mendapat pengaruh Hinduisme. Mitos ini mengisahkan perjuangan seorang anak untuk membebaskan ibunya dari penderitaan. Alkisah di sebuah pertapaan, tinggal seorang resi bernama Resi Kasyapa dengan dua orang istrinya, Dewi Winata dan Dewi Kadru. Walaupun kedua istri sang resi tersebut bersaudara kandung, namun di antara keduanya terjadi persaingan keras untuk mendapatkan perhatian yang lebih dari suaminya. Oleh karena itu, keduanya merasa gelisah ketika mereka tak juga dikaruniai putra.
Pada suatu hari, Dewi Winata kedatangan seorang dewa yang menghadiahkan sebuah telur kepadanya. Dewa itu berpesan agar Dewi Winata menjaga telur itu baik-baik hingga saatnya menetas nanti dan merawat makhluk yang keluar dari dalam telur tersebut. Sang Dewi lalu menyimpan telur di tempat tersembunyi. Pada saat yang bersamaan ternyata Dewi Kadru juga mengalami hal yang sama. Setelah tiba waktunya, telur yang diberikan kepada Dewi Winata menetas dan dari dalam telur tersebut keluar seekor anak burung. Sementara itu, telur milik Dewi Kadru juga menetas dan dari dalamnya keluar beberapa ekor ular. Kedua wanita itu merawat anak-anak angkat mereka dengan baik. Anak angkat Dewi Winata tumbuh menjadi seekor garuda yang diberi nama Garudheya, sementara anak-anak Dewi Kadru tumbuh menjadi naga.
Walaupun masing-masing telah mempunyai anak angkat, persaingan di antara kedua wanita tersebut tidak mereda. Pada suatu hari, Dewi Kadru menipu kakaknya dalam sebuah taruhan, sehingga ia memenangkan taruhan tersebut. Dewi Winata yang kalah harus menjadi budak Dewi Kadru dan anak-anaknya. Garudheya sangat sedih melihat penderitaan ibunya. Setelah dewasa, Garudheya berusaha mencari cara untuk membebaskan ibunya dari perbudakan.
Akhirnya Garudheya berhasil mendapatkan keterangan bahwa ibunya akan bebas dari ikatan perjanjian dengan tebusan tirta amerta (air kehidupan) yang tersimpan di kahyangan dan dijaga oleh Dewa Wisnu. Setelah melalui berbagai perjuangan, Garudheya berhasil mendapatkan izin dari Dewa Wisnu untuk mengambil tirta amerta yang diperlukan untuk meruwat (membebaskan dari penderitaan) ibunya dengan syarat ia harus menjadi tunggangan Dewa Wisnu.
Galeri
Anak tangga dibuat tipis-tipis, sehingga dari kejauhan tampak seperti bukan tangga masuk yang sesungguhnya. Tangga batu ini tidak dilengkapi pipi tangga berbentuk ukel, sebagaimana yang banyak dijumpai di candi lainnya, namun di kiri-kanan anak tangga pertama terdapat badug (tembok rendah) berbentuk siku yang menutup sisi samping dan sebagian sisi depan kaki tangga. Badug semacam ini tidak terdapat di candi lain.
Tubuh candi dapat dikatakan ramping, sehingga selasar di kaki candi cukup lebar. Dalam tubuh candi terdapat ruangan yang tidak terlalu luas. Saat ini ruangan tersebut dalam keadaan kosong.
Pada dinding di sisi samping dan belakang terdapat relung tempat meletakkan arca. Relung-relung tersebut juga dilengkapi dengan bentuk ‘atap’ dan hiasan kalamakara di atas ambangnya. Tidak satupun arca yang masih bisa didapati di Candi Kidal. Konon arca Syiwa yang indah, yang saat ini tersimpan di museum Leiden, dahulu berasal dari Candi Kidal.
Pintu candi menghadap ke barat, dilengkapi dengan bilik penampil dengan hiasan kalamakara (kepala Kala) di atas ambangnya. Hiasan kepala kala yang nampak menyeramkan dengan matanya melotot penuh, mulut terbuka serta 2 taring besar dan bengkok, memberi kesan dominan. Adanya 2 taring tersebut juga merupakan ciri khas candi Jawa Timur. Disudut kiri dan kanan terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam, sehingga sempurnalah kesan seram yang patut dimiliki oleh makhkuk penjaga bangunan suci candi. Di kiri dan kanan pintu terdapat relung kecil tempat meletakkan arca yang dilengkapi dengan bentuk ‘atap’ di atasnya. Di atas ambang relung-relung ini juga terdapat hiasan kalamakara.
Atap candi berebentuk kotak bersusun tiga, makin ke atas makin mengecil. Puncaknya tidak runcing, melainkan persegi dengan permukaan yang cukup luas. Puncak atap tidak dihiasi dengan ratna atau stupa, melainkan hanya datar saja. Sekeliling tepi masing-masing lapisan dihiasi dengan ukiran bunga dan sulur-suluran. Konon dulu di setiap sudut lapisan atap candi dipasang sebuah berlian kecil.
Sekeliling kaki candi dihiasi dengan pahatan bermotif medalion yang berjajar diselingi bingkai bermotif bunga dan sulur-suluran. Di kiri dan kanan pangkal tangga serta di setiap sudut yang menonjol ke luar terdapat patung binatang yang terlihat mirip singa dalam posisi duduk seperti manusia dengan satu tangan terangkat ke atas. Patung-patung ini terlihat seperti sedang menyangga pelipit atas kaki candi yang menonjol keluar dari selasar.
Relief pertama yang menggambarkan Garudheya menyunggi 3 ekor ular besar. Garudheya adalah putra Winata, istri Resi Kasiapa. Winata mempunyai seorang saudara wanita bernama Kadru, yang juga dipersunting oleh Resi Kasiapa sebagai istrinya. Kadru mempunyai 3 anak angkat berwujud ular yang kerjanya hanya bermain-main. Karena merasa bosan mengurusi ketiga anak angkatnya yang nakal, Kadru kemudian memperdayai Winata melalui sebuah taruhan. Winata yang kalah dalam taruhan tersebut terpaksa menjadi budak Kadru dan mengambil alih tugas mengasuh ketiga anak angkatnya. Sejak itu Winata dan anaknya, Garudheya, hidup dalam kesengsaraan sebagai budak Kadru.
Setelah beranjak dewasa, Garudheya mencari tahu mengenai cara melepaskan diri dari perbudakan yang dialaminya. Ketiga ekor ular anak angkat Kadru memberi tahu bahwa, untuk membebaskan dirinya dan ibunya dari perbudakan, Garudheya harus sanggup membawakan Tirta Amerta (air kehidupan) yang tersimpan di kahyangan. Setelah melampaui perjuangan berat, Garudheya berhasil mendapatkan izin dari Dewa Wisnu untuk membawa Tirta Amerta, dengan syarat ia harus bersedia menjadi kendaraan Wisnu. Garudheya menyanggupi lalu membawa Tirta Amerta turun ke bumi.
Dengan menyerahkan Tirta Amerta kepada ketiga ekor ular anak angkat Kadru, Garudheya membebaskan ibunya dari perbudakan. Ia lalu menggendong ibunya untuk dibawa pulang.
Sumber : Perpusnas