Apa yang anda ketahui tentang Candi Jago: Candi persembahan untuk Sri Jaya Wisnuwardhana ?

Perpusnas - Candi Jago terletak di Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, tepatnya 22 km ke arah timur dari Kota Malang. Karena letaknya di Desa Tumpang, candi ini sering juga disebut Candi Tumpang. Penduduk setempat menyebutnya Cungkup.

Menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, nama candi ini yang sebenarnya adalah Jajaghu. Dalam pupuh 41 gatra ke-4 Negarakertagama dijelaskan bahwa Raja Wisnuwardhana yang memerintah Singasari menganut agama Syiwa Buddha, yaitu suatu aliran keagamaan yang merupakan perpaduan antara ajaran Hindu dan Buddha. Aliran tersebut berkembang selama masa pemerintahan Kerajaan Singasari, sebuah kerajaan yang letaknya sekitar 20 km dari Candi Jago. Jajaghu, yang artinya adalah ‘keagungan’, merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat suci.

Masih menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, pembangunan Candi Jago berlangsung sejak tahun 1268 M sampai dengan tahun 1280 M, sebagai penghormatan bagi Raja Singasari ke-4, yaitu Sri Jaya Wisnuwardhana. Walaupun dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Singasari, disebut dalam kedua kitab tersebut bahwa Candi Jago selama tahun 1359 M merupakan salah satu tempat yang sering dikunjungi Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Keterkaitan Candi Jago dengan Kerajaan Singasari terlihat juga dari pahatan padma (teratai), yang menjulur ke atas dari bonggolnya, yang menghiasi tatakan arca-arcanya. Motif teratai semacam itu sangat populer pada masa Kerajaan Singasari. Yang perlu dicermati dalam sejarah candi adalah adanya kebiasaan raja-raja zaman dahulu untuk memugar candi-candi yang didirikan oleh raja-raja sebelumnya. Diduga Candi Jago juga telah mengalami pemugaran pada tahun 1343 M atas perintah Raja Adityawarman dari Melayu yang masih memiliki hubungan darah dengan Raja Hayam Wuruk.

Saat ini Candi Jago masih berupa reruntuhan yang belum dipugar. Keseluruhan bangunan candi berbentuk segi empat dengan luas 23 x 14 m. Atap candi sudah hilang, sehingga tinggi bangunan aslinya tidak dapat diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa tingginya mencapai 15 m.

Bangunan candi menghadap ke barat, berdiri di atas batur setinggi sekitar 1 m dan kaki candi yang terdiri atas 3 teras bertingkat. Makin ke atas, teras kaki candi makin mengecil sehingga pada lantai pertama dan kedua terdapat selasar yang dapat dilewati untuk mengelilingi candi. Garba ghra (ruang utama) terletak bergeser agak ke belakang.

Bentuk bangunan bersusun, berselasar dan bergeser ke belakang merupakan bentuk yang umum ditemui pada bangunan pada zaman megalitikum, yaitu yang disebut sebagai bangunan punden berundak. Bentuk itu umumnya digunakan dalam membangun tempat pemujaan arwah leluhur. Menilik bentuknya, diperkirakan bahwa tujuan pembangunan Candi Jago adalah juga untuk tempat pemujaan arwah leluhur. Namun masih diperlukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut untuk membuktikan kebenarannya.

Untuk naik ke lantai yang lebih atas, terdapat dua tangga sempit di sisi kiri dan kanan bagian depan (barat). Lantai yang terpenting peranannya dan tersuci adalah yang paling atas, dengan bangunan yang letaknya sedikit bergeser ke belakang.

Candi Jago dipenuhi dengan panel-panel relief yang terpahat rapi mulai dari kaki sampai ke dinding ruangan teratas. Hampir tidak terdapat bidang yang kosong, karena semua terisi dengan aneka ragam hiasan dalam jalinan cerita-cerita yang mengandung unsur pelepasan kepergian. Hal ini menguatkan dugaan bahwa pembangunan Candi Jago berkaitan erat dengan wafatnya Sri Jaya Wisnuwardhana. Sesuai dengan agama yang dianut oleh Raja Wisnuwardhana, yaitu Syiwa Buddha, maka relief pada Candi Jago mengandung ajaran Hindu maupun Buddha.

Ajaran Buddha tercermin dalam relief cerita Tantri Kamandaka dan cerita Kunjarakarna yang terpahat pada teras paling bawah. Pada dinding teras kedua terpahat lanjutan cerita Kunjarakarna dan petikan kisah Mahabarata yang memuat ajaran agama Hindu, yaitu Parthayajna dan Arjuna Wiwaha. Teras ketiga dipenuhi dengan relief lanjutan cerita Arjunawiwaha. Dinding tubuh candi juga dipenuhi dengan pahatan relief cerita Hindu, yaitu peperangan Krisna dengan Kalayawana.

Di tengah pelataran depan, sekitar 6 m dari kaki candi, terdapat batu besar yang dipahat menyerupai bentuk tatakan arca raksasa, dengan diameter batu sekitar 1 m. Di puncaknya terdapat pahatan bunga padma yang menjulur dari bonggolnya.

Di sisi barat halaman candi terdapat arca Amoghapasa berlengan delapan dilatarbelakangi singgasana berbentuk kepala raksasa yang saling membelakangi. Kepala arca tersebut telah hilang dan lengan-lengannya telah patah. Sekitar 3 m di selatan arca ini terdapat arca kepala rasaksa setinggi sekitar 1 m. Tidak didapat informasi apakah benda-benda yang terdapat di pelataran candi tersebut memang aslinya berada di tempatnya masing-masing.

Galeri

Bangunan candi menghadap ke barat, berdiri di atas batur setinggi sekitar 1 m dan kaki candi yang terdiri atas 3 teras bertingkat. Makin ke atas, teras kaki candi makin mengecil sehingga pada lantai pertama dan kedua terdapat selasar yang dapat dilewati untuk mengelilingi candi. Graba ghra (ruang utama) terletak bergeser agak ke belakang. Bentuk bangunan bersusun, berselasar dan bergeser ke belakang merupakan bentuk yang umum ditemui pada bangunan pada zaman megalitikum, yaitu yang disebut sebagai bangunan punden berundak. Bentuk itu umumnya digunakan dalam membangun tempat pemujaan arwah leluhur. Menilik bentuknya, diperkirakan bahwa tujuan pembangunan Candi Jago adalah juga untuk tempat pemujaan arwah leluhur.

ca

Candi Jago dipenuhi dengan panel-panel relief yang terpahat rapi mulai dari kaki sampai ke dinding ruangan teratas. Hampir tidak terdapat bidang yang kosong, karena semua terisi dengan aneka ragam hiasan dalam jalinan cerita-cerita yang mengandung unsur pelepasan kepergian.

Untuk naik ke lantai yang lebih atas, terdapat dua tangga sempit di sisi kiri dan kanan bagian depan (barat).

Candi Jago atau yang dikenal dengan sebagai Candi Tumpang disebut-sebut dalam Pararaton dan Nagarakrtagama sebagai candi pendharmaan Raja Wisnuwarddhana (Nagarakartagama) atau Ranggawuni (Pararaton) atau Narrarya Seminingrat (Prasasti Mula-Malurung).

Fungsi Candi Jago adalah pendharmaan Raja Wisnuwarddhana sebagai Buddha selain di Weleri sebagai Siwa. Informasi ini kita dapatkan dari pemberitaan kitab Pararaton dan Nagarakrtagama. Pada Kitab Pararaton disebutkan, “Panjenenganira Cri Ranggawuni ratu taun 14, moktanira 1194, dhinarma sira ring Jajaghu” (Soekmono, 1993). Sedangkan dalam Nagakrtagama disebutkan “Caka 1190 bhatara wisnu mulih ing curalaya pjah dhinarma ta sire Waleri Ciwawimbha len Sugatawimbha” (Pigeaud, 1962).

Jadi candi ini seharusnya merupakan candi Buddhis karena sugata sama dengan buddha namun melihat temuan relief Hindu maka candi ini dapat dikategorikan bernafaskan Siwa-Buddha sebagaimana agama yang dianut raja-raja Singhasari-Majapahit.

Candi pendharmaan adalah candi yang dibangun sebagai monumen atau peringatan bagi raja yang sudah mangkat dan dibuatkan arca perwujudan sebagaimana dewa yang disembah. Jadi candi bukan makam namun pendharmaan atau monumen peringatan raja atau keluarga raja yang telah mangkat.

Candi ini dibuat oleh penerus Wisnuwarddhana, yaitu Raja Kertanagara setelah upacara sraddha atau peringatan 12 tahun setelah kematian Wisnuwarddhana. Namun berdasarkan Kitab Nagarakrtagama direnovasi oleh Adityawarman pada masa pemerintahan Tribhuanatunggadewi masa Majapahit (Pigeaud, 1962)

Candi Jago memperlihatkan gaya Majapahit yang mempunyai ciri-ciri:

  1. kaki candinya berundak teras tiga dan salah satu atau lebih bagian tubuhnya tidak dijumpai lagi, karena dibuat dari bahan yang mudah rusak.
  2. bingkai datar (horisontal) dan bingkai tegak (vertikal) dihiasi dengan motif geometris, motif flora, fauna dan berbagai motif jambangan. Apabila terdapat relief naratif maka cerita diambil dari cerita yang terdapat dalam kakawin dan kidung, serta pada umumnya bertema kalepasan. Penggambaran relief ini lebih menyerupai wayang kulit.
  3. denahnya tidak berbentuk bujur sangkar, tetapi empat persegi panjang, memanjang ke arah belakang. Candi induknya terletak di halaman belakang sehingga tidak memusat seperti halaman candi dari masa klasik tua (Santiko, 1995: 5-6).

Arsitektur candi ini memperlihatkan bangunan yang dibuat berundak dengan kaki yang tinggi. Sekarang tinggal tersisa tubuh candi dengan pintu garbhagrha dan kaki candi. Melihat atapnya yang runtuh dan tidak terdapat sisa batu kemuncak maka dimungkinkan candi ini beratap bukan dari batu sebagaimana tubuhnya.

Kemungkinan besar candi ini beratap ijuk atau sirap dalam bentuk meru. Nampak pradaksinapatra atau selasar cukup luas pada setiap tingkatan tubuh candi. Fungsinya sebagai jalan dalam membaca relief sebagai kegiatan keagamaan pada masanya.

Gaya candi ini dapat dikategorikan gaya Majapahit karena nanti beberapa candi Majapahit menyerupai bentuk dan arsitektur Candi Jago. Bentuk berundak ini memberikan kesan bagaikan puncak meru atau gunung Mahameru. Sebagaimana kita ketahui bahwa candi dibuat seperti gambaran meru yang merupakan kediaman para dewa.

Relief pada Candi Jago

Relief yang dipahatkan menggambarkan sesuatu yang bersifat petuah ataupun kalepasan. Relief-relief tersebut menggambarkan perjalanan menuju kesempurnaan (Soekmono, 1974).

Candi Jago memiliki keragaman relief yang sangat kaya, tercatat hanya beberapa candi saja yang dihiasai dengan beragam relief dalam satu tubuh candi, selebihnya hanya satu hingga dua cerita saja.

Candi Jago memiliki beberapa cerita, yaitu :

  • Pertama, Tantri Kamandaka yang dipahatkan pada kaki candi teras satu sisi tenggara-timur dan timur laut.
  • Kedua, Ari Darma pada kaki candi teras satu sisi timur laut.
  • Ketiga, Kunjarakarna pada kaki candi teras satu sisi utara dan barat.
  • Keempat, Parthayajna atau Arjunawiwaha pada kaki candi teras dua pada semua sisi.
  • Kelima, Kresnayana pada tubuh candi semua sisi.

Beberapa relief telah aus karena pelapukan bahkan beberapa yang lain telah hilang karena dindingnya telah runtuh.

Relief Ari Darma diketahui hanya terdapat di Candi Jago, meskipun sebagai cerita telah dikenal baik dalam Kidung maupun Serat Angling Darma (Klokke, 1993 ). Relief ini terletak pada bagian kaki candi tepatnya pada sisi timur laut setelah relief

Tantri Kamandaka dan sebelum relief Kunjarakarna. Secara keseluruhan terdapat dalam tujuh panil relief yang didahului dengan adegan naga jantan merayu naga betina. Adegan terakhir ketika Ari Darma dirayu istrinya untuk membagi kesaktiannya.

Kesaktian Ari Darma berdasarkan naskah yang ada adalah dapat mendengarkan pembicaraan para hewan. Relief Ari Darma tidak digambarkan secara lengkap seperti dalam cerita naskah Angling Darma. Namun berdasarkan letimov atau relief pandu berupa raja naga bertemu seorang ksatria maka dapat dikenali sebagai cerita Ari Darma. Ketujuh relief Ari Darma didahului dengan pembatas cerita berupa tiga lingkaran dan satu guci atau gentong, Keempat gambar ini tersusun dalam posisi bujursangkar. Lingkaran pertama berisi bunga, kedua berisi medalion dan ketiga berisi pustaka.

Cerita pertama adalah adegan mesum antara naga jantan dan betina, kelihatannya yang memiliki niat jahat adalah naga jantan.

Selanjutnya Ari Darma memergoki mereka dan kemudian mengusir naga jantan yang bermaksud jahat pada naga betina. Gambaran relief untuk cerita ini adalah nampak suasana hutan dan diawali dengan gambar anjing.

Selanjutnya nampak seorang lelaki yang merupakan Ari Darma mengusir naga jantan menggunakan pedang pendek pada tangan kanannya dan pada tangan kiri nampak
memegang tameng atau busur. Nampak naga jantan sedang memaksa naga betina berbuat mesum dengan melilitnya

Cerita selanjutnya adalah terbebasnya naga betina dari rudapaksa naga jantan dan pergi atau pulang menemui ayahnya yang merupakan raja para naga. Naga betina menceritakan pada ayahnya budi baik Ari Darma yang telah membebaskan dirinya dari perbuatan dosa dan aib yang memalukan. Gambaran relief untuk cerita ini adalah masih nampak suasana hutan.

Selanjutnya nampak naga betina sedang bergerak dan menemui seekor naga dalam posisi duduk dengan ekor menjulur ke atas. Sosok kedua naga ini menggambarkan sebagai bangsawan nampak pada mahkotanya, dan mahkota ayahnya nampak lebih menandakan sebagai raja. Penggambaran posisi aktivitas ular nampak variatif sehingga ketika dalam posisi berjalan atau melata, duduk ataupun bersimpuh nampak jelas sehingga memudahkan interpretasi.

Berikutnya diceritakan bahwa Raja Naga yang sangat bersyukur anaknya terbebas dari perbuatan dosa merasa berhutang budi dan ingin berterima kasih kepada Ari Darma. Raja naga kemudian menyamar sebagai seorang brahmana menemui Ari Darma di istana Malwapati. Gambaran relief untuk cerita ini adalah nampak suasana istana Malwapati, kediaman Ari Darma dan terlihat sebuah pintu gerbang. Raja naga yang menyamar sebagai brahmana sedang berbicara dengan Ari Darma. Penggambaran brahmana terlihat pada surban resi yang dipakai oleh raja naga, sedangkan Ari Darma nampak berdiri berbicara pada sang brahmana.

Cerita selanjutnya raja naga berjalan keluar bersama dengan Ari Darma menuju dalam istana untuk membagi ilmu kesaktiannya sebagai rasa terimakasih kepada Ari Darma karena telah menolong putrinya. Dalam cerita digambarkan bahwa kesaktian itu adalah dapat mendengarkan percakapan para hewan sehingga Ari Darma dapat mengetahui hal-hal yang dibicarakan oleh
para hewan. Gambaran relief untuk cerita ini adalah terlihat dua orang sedang berjalan masuk dari pintu gerbang menuju ke dalam kompleks bangunan. Dua orang itu masih dapat dikenali sebagai Ari Darma dan brahmana. Bangunan yang digambarkan berada pada panil penampil sudut candi. Terdapat dua bangunan dimana yang satu nampak lebih kecil dan berdinding sedangkan yang lain terlihat seperti bangunan pendapa atau balai tanpa dinding.

Cerita selanjutnya adalah Ari Darma menemui istrinya untuk menceritakan pengalaman selama berpergian, yaitu bertemu dengan dua naga yang hendak berbuat mesum. Selanjutnya ia menceritakan telah pula didatangi oleh seorang Brahmana. Gambaran relief pada cerita ini adalah nampak dua orang sedang bertemu, yaitu Ari Darma dan isterinya. Digambarkan pula suasana dalam istana Malwapati, kediaman Raja Ari Darma. Penggambarannya terletak pada sudut penampil candi sisi timur laut.

Cerita terakhir menggambarkan ketika sang ratu membujuk Raja Ari Darma menunjukkan kesaktian yang telah diberikan oleh sang brahmana. Diceritakan pula bahwa ia merayu agar diberi ilmu kesaktian tersebut. Gambaran relief untuk cerita ini adalah terlihat dua orang sedang berbincang-bingcang, tentunya Ari Darma dan isterinya. Nampak pada adegan sebelumnya dua punakawan (emban) mengiringi kedua tuan mereka dan diakhiri oleh gambaran suasana istana Malwapati.

Makna relief Ari Dharma pada Candi Jago

Adegan cerita Ari Darma di candi Jago, meskipun hanya sedikit namun sarat dengan pesan moral. Cerita ini sangat populer pada masyarakat Jawa namun anehnya jarang direliefkan pada candi. Selain itu, nama Ari Darma mengingatkan kita pada arti ddharma itu sendiri yaitu kebajikan sehingga cerminan tokoh ini adalah kebajikan yang utama.

  • Pesan pertama yang dapat kita peroleh adalah tidak mendiamkan sebuah kejahatan yang akan atau telah berlangsung. Hal ini digambarkan melalui visualisasi Ari Darma menggagalkan niat buruk naga jantan yang akan menodai naga betina. Sebagaimana ajaran-ajaran berbagai agama maka dalam ajaran Hindu maupun Buddha juga tidak memperkenankan berbuat dosa dalam bentuk zina dan dianjurkan untuk mencegah jika hal itu akan terjadi.

  • Pesan kedua yang dapat kita peroleh adalah bahwa segala perbuatan dosa pasti akan mendapat balasannya dan tidak direstui oleh dewa. Gambaran ini diwakili oleh relief naga jantan dipukul oleh Ari Darma ketika akan merudapaksa naga betina. Ajaran ini dikenal sebagai karma dalam ajaran Hindu, yaitu akan mendapat balasan dalam setiap kelakuan yang kita buat.

  • Pesan ketiga yang dapat kita peroleh adalah rasa berterima kasih atas bantuan orang lain dan memberikan balasan budi bahkan dengan hal yang paling berharga. Hal ini nampak dalam penggambaran naga betina melaporkan pada ayahnya bahwa telah ditolong oleh Ari Darma dari perbuatan buruk naga jantan. Selanjutnya ayahnya sebagai rasa bersyukur berniat memberikan ilmunya yang paling berharga sebagai hadiah atas budi atau ddharma dari Ari Darma.

  • Pesan keempat yang dapat kita peroleh adalah jika ingin memberikan kebaikan tidak perlu menunjukkan diri sebagai upaya menghindari kesombongan. Hal ini digambarkan dalam bentuk penyamaran raja naga sebagai brahmana. Bentuk penyamaran ini sangat dikenal dalam ajaran Hindu-Buddha sebagai upaya penggambaran menguji keteguhan ataupun keikhlasan seseorang yang akan diberi anugrah. Penggambaran penyamaran ini dapat diketahui dari cerita sang Satyawan, Bubuksah Gagangaking, Mintaraga atau Arjunawiwaha dan berbagai cerita yang lain.

  • Pesan terakhir yang dapat kita peroleh adalah kesetian dan kejujuran terhadap pasangan hidupnya. Penggambaran dalam adegan ini adalah ketika Ari Darma menceritakan segala pengalamannya kepada sang isteri dan membagi ilmu kesaktian tersebut dengan isterinya. Dalam Hindu-Buddha dikenal konsep sakti yaitu energi yang terletak pada pasangan hidup utamanya dewi (isteri) dari sang dewa. Artinya seorang dewa tidaklah memiliki kekuatan tanpa energi sang isteri sehingga isteri adalah sebelah jiwa dari sang suami. Adegan dalam Ari Darma menggambarkan cinta kasih kepada isteri dan tidak ada hal-hal yang disembunyikan.

Relief Ari Darma merupakan salah satu relief dari beberapa relief yang terdapat di Candi Jago. Namun demikian, justru relief Ari Darma hanya terdapat di Candi Jago, itupun berada setelah cerita Tantri Kamandaka. Alasan mengapa hanya ada di sana belum dapat diketahui secara pasti.

Beberapa dugaan dapat dikaitkan dengan fungsinya sebagai candi pendharmaan,
utamanya menyangkut pesan moral yang disampaikan oleh relief ini. Ada dua hal terkait itu, pertama mungkin berhubungan dengan Raja Wisnuwarddhana atau cerita ini beredar pada masa Singhasari.

Sumber : Deny Yudo Wahyudi dan Slamet Sujud Purnawan Jati, “Relief Ari Dharma di Candi Jago”

Candi Jago terletak di Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, tepatnya 22 km ke arah timur dari Kota Malang. Karena letaknya di Desa Tumpang, candi ini sering juga disebut Candi Tumpang. Penduduk setempat menyebutnya Cungkup.

ama lain dari Candi Jago adalah Candi Tumpang karena letak dari Candi Jago berada di Desa Tumpang serta Candi Cungkup karena candi ini dianggap keramat oleh warga sekitar. Nama “Jago” diambil dari kata “jajagu” yang tercantum dalam Kitab Nagarakertagama pada pupuh 41 bait 4 baris ke 2, yang merupakan tempat pendharmaan dari Raja Wisnuwardhana dari Singasari yang wafat pada tahun 1.268 Masehi. Candi Jago diperkirakan diresmikan pada 1280 Masehi dengan diadakannya upacara sradha.

Candi Jago berdenah persegi panjang dengan ukuran 24m x 14m dengan tinggi candi 10,5m. Candi ini menghadap ke arah barat dengan bahan baku candi adalah batu andesit. Candi ini memiliki keunikan tersendiri apabila dibandingkan dengan candi - candi lain. Keunikan tersebut terletak pada kaki candi yang terdiri dari tiga tingkat, terdapat delapan anak tangga di tingkat pertama, kemudian terdapat empat belas anak tangga di tingkat kedua, dan terakhir terdapat tujuh anak tangga di tingkat ketiga. Ada yang berpendapat bahwa atap dari candi ini terbuat dari kayu dan ijuk yang berbentuk meru layaknya pura yang ada di pulau Bali. Hal ini dibuktikan pada relief Parthayadnya (Mahabarata) yang terletak di teras kedua sebelah timur pada sisi tengah candi. Candi ini berdiri diatas semacam punden berundak dengan bentuk semakin ke atas semakin mengecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa tempat ini merupakan tempat pemujaan arwah atau roh leluhur.

candi jago

Relief yang terdapat di Candi Jago adalah relief Siwaistis dan Buddhistis yang menggambarkan agama Wisnuwardhana. Pada relief Buddhistis relief yang dipahatkan adalah relief cerita tantri/Pancatantra dan Kunjakarna. Dan relief Hinduistis pada candi ini adalah cerita Parthayadnya dan arjuna wiwaha dan relieh khrisna. Relief tantri menceritakan tentang cerita - cerita binatang, perjalanan Kunjakarna murid Buddha Wairocana ke neraka, tempat penyiksaan sahabat Purnawijaya. Setelah kembali ke dunia, Kunjakarna mengajak Purnawijaya belajar Buddha agar dosanya diampuni.

Pada relief Parthayadnya yang terdapat di tubuh teras II menceritakan kisah kalahnya Pandawa yang bermain dadu dan diusir ke hutan oleh Kurawa selama 15 tahun. Arjuna kemudian memisahkan diri dari Pandawa ke Gunung Indrakila. Pada teras III terdapat kelanjutan cerita dari cerita Parthayadnya dari proses bertapa Arjuna hingga Arjuna berburu bersama Dewa Siwa yang menyamar menjadi pemburu. Dan terakhir Arjuna diminta untuk membunuh Niwatawaca yang mengganggu kahyangan dan terakhir kawinnya Arjuna dengan Batari Supraba. Dulu di bilik candi terdapat arca Buddha Amogapasa serta empat pengawalnya, yaitu Sudhanakuma, Cyamatara, Hayagriwa dan Bhrekuti. Nama tersebut dipahatkan dengan huruf Nagari. Arca lain yang terdapat di atap serta relung Candi Jago yaitu arca Dyani Buddha Aksobya, arca Ratna Sambhawa, serta arca caktil istri dari Dyani Buddha yaitu Locana dan Pandurawasini. Pada Prasasti Majuri (1343M ) menyebutkan Candi Jago pernah dipugar dengan diperlebar serta diperindah pada masa kerajaan Majapahit sekitar periode 1343M.