Apa yang anda ketahui tentang biografi La Madukelleng ?

La Maddukkelleng, lahir: di Belawa, Wajo, Sulawesi Selatan, 1700 - wafat di Siengkang, 1765, adalah seorang ksatria dari lingkungan kerajaan Wajo dan merupakan Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI No. 109/TK/Thn 1998 pada tanggal 6 November 1998.

Apa yang anda ketahui tentang biografi La Madukelleng ?

La Maddukkelleng adalah putera dari Arung Peneki “La Mataesso To Adettia dan We Tenriangka Arung Singkang”, saudara Arung Matowa Wajo “La Salewangeng To Tenriua” (1713-1737).

Pada usia 9 tahun, La Maddukelleng meninggalkan Belawa, “Tanah kelahirannya” dan tinggal bersama keluarganya di lingkungan kerajaan Wajo. Pada usia 11 tahun, La Maddukkelleng disunnat dengan pelaksanaan ritual di lingkungan kerajaan. Dalam kondisi baru saja disunnat, La Maddukkelleng ikut bersama pamannya menghadiri pesta perayaan pemasangan giwang (Matteddo) I Wale di CenranaE, putri raja Bone, La Patau Matanna Tikka, Ia ditugaskan oleh pamannya, Arung Matowa Wajo "La Salewangeng to Tenriruwa sebagai pemegang tempat sirih raja.

Sebagaimana lazimnya, dalam setiap pesta raja-raja Bugis, selalu diadakanlah lomba perburuan rusa “maddengngeng” dan pertandingan sambung ayam “mappabbitte”. Pada saat pesta sabung ayam tersebut sedang berlangsung, ayam putera Raja Bone dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Tapi kemenangan itu tidak diakui oleh orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahwa tidak ada yang menang dan kalah dalam pertarungan itu. Perbedaan pendapat itulah yang kemudian menyebabkan terjadinya keributan yang berujung pada perkelahian. La Maddukkelleng yang pada saat itu baru saja disunat dan lukanya belum sembuh benar, turut serta dalam perkelahian yang mengakibatkan jatuhnya korban di pihak Bone dan La Maddukkelleng berhasil membunuh 11 orang, di mana waktu itu usia La Maddukkelleng juga baru 11 tahun.

Dalam suasana darurat, Arung Matowa Wajo beserta para pengikutnya terpaksa pulang ke Wajo melalui Sungai Walennae.Beberapa saat setelah Arung Matowa Wajo La Salewangeng tiba di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan ke Raja Bone untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak berada Wajo. Walaupun tidak percaya pada penjelasan Arung Matowa mengenai keberadaan La Maddukkelleng, utusan raja Bone itu kembali ke Bone dengan tangan hampa. Mareka tidak bisa memaksakan kehendak untuk membawa La Maddukkelleng karena ada ikrar yang telah disepakati antara kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu harus saling mempercayai.

Atas kejadian tersebut, hubungan kerajaan Wajo dan kerajaan Bone kurang harmonis, dan untuk menjaga agar hubungan baik ke dua kerajaan tersebut tetap terjaga, maka La Maddukkelleng memutuskan untuk pergi merantau. Sebelum ia berangkat, La Maddukkelleng datang menghadap dan meminta restu Arung Matowa Wajo dan Dewan Pemerintah Wajo (arung bentempola). Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung tempat penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur masjid Tosora serta gedung padi di Tellu Limpoe)

Arung Matoa bertanya, “aga bokongmu?”, (apa bekalmu?). La Maddukkelleng menjawab, bekalku adalah tiga ujung “Tellu Cappa” yaitu Ujung lidah, ujung pedang dan ujung kemaluan “Cappa Lila, Cappa Kalewang dan Cappa Laso (Kemaluan)”. Menjelang kepergian La Maddukkelleng, anggota Dewan pemerintah Kerajaan Wajo “La Tenri Wija Daeng Situju” berpesan agar ia tidak melupakan negeri Bugis khususnya “Tanah Wajo”

Pada tahun 1714, La Maddukkelleng disertai sejumlah pengikutnya berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu pinisi menuju Johor (Malaysia sekarang). Lontarak Sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, yang menjadi seorang saudagar kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh negeri orang. Selama masa petualanagannya, La Maddukkelleng berhasil membangun kerjaan di Klantan, Trengganu dan Malaya.