Apa yang anda ketahui tentang biografi Ario Soerjo ?

Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo

Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo (biasa dikenal dengan nama Gubernur Soerjo); lahir di Magetan, Jawa Timur, 9 Juli 1898. Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo adalah seorang pahlawan nasional Indonesia dan gubernur pertama Jawa Timur dari tahun 1945 hingga tahun 1948. Sebelumnya, ia menjabat Bupati di Kabupaten Magetan dari tahun 1938 hingga tahun 1943. Ia adalah menantu Raden Mas Arja Hadiwinoto. Setelah menjabat bupati Magetan, ia menjabat Su Cho Kan Bojonegoro (Residen) pada tahun 1943.

Apa yang anda ketahui tentang biografi Ario Soerjo ?

Adalah Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo atau lebih dikenal dengan sebutan Gubernur Suryo merupakan gubernur pertama Provinsi Jawa Timur (1945-1948). Sebelumnya, dia menjabat bupati di Magetan dari tahun 1938 hingga tahun 1943. Gubernur Suryo yang lahir di Magetan pada 9 Juli 1898 ini dikenal sebagai sosok pemberani. Gubernur Suryo, sosok penting dalam sejarah Jawa Timur. Tokoh yang pernah mengemban amanat sebagai residen di Bojonegoro tersebut juga terlibat dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Melalui pidatonya, Gubernur Suryo menolak tegas ultimatum sekutu yang mewajibkan arek-arek Suroboyo menyerahkan diri dan senjata. Pada November 1945, saat dia menjabat gubernur Jawa Timur. Kala itu, Mayor Jenderal E.C Mansergh sebagai pengganti Mallaby mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia di Surabaya. Isi ultimatumnya agar semua penduduk Surabaya yang memiliki senjata api segera menyerahkan senjata mereka di tempat-tempat yang telah ditentukan oleh Inggris, selambat-lambatnya pukul 06.00 pada 10 November 1945. Saat masa pendudukan Jepang, Suryo yang saat itu menjabat bupati Magetan kedatangan tamu seorang perwira Jepang. Tanpa diketahui sebabnya, perwira Jepang yang datang bersama ajudannya itu marah-marah, mengeluarkan kata-kata dalam bahasa Jepang yang tidak dimengerti oleh Bupati. Perwira itu juga menghunus samurainya. Suasana kala itu cukup tegang. Mereka yang menyaksikan adegan itu tampak cemas karena sering mendengar cerita tentang kekejaman Jepang. Tetapi, Suryo tampak tenang. Dia lalu berjalan menghampiri perwira Jepang itu. Dengan suara lantang, Suryo berkata dalam bahasa Jawa yang artinya kurang lebih sebagai berikut: “Tanpa sebab musabab dan tanpa memberi salam kau datang dan marah. Saya tidak bersalah dan saya tidak takut”. Perwira Jepang itu terdiam, menyarungkan samurainya kembali, lalu melangkah meninggalkan kantor bupati. Setelah Gubernur Suryo rapat dengan pihak terkait, diputuskan bahwa ultimatum itu ditolak. “Berulang-ulang telah kita katakan, bahwa sikap kita ialah lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum,” begitu kata Gubernur Suryo.

Singkat cerita, pemerintah melihat potensi yang ada dalam diri Suryo. Juni 1947, Suryo diangkat menjadi wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) berkedudukan di Yogyakarta. Lalu, Suryo menjadi ketua dewan tersebut karena sang ketua, Ahmad Wiranatakusumah, dalam keadaan sakit. Pada tanggal 18 September 1948, PKI melancarkan pemberontakan di Madiun. Mereka berhasil pula menguasai beberapa kota lain. Pemerintah segera bertindak. Tanggal 30 September Madiun direbut kembali oleh pasukan yang setia kepada pemerintah, tetapi keamanan belum pulih seluruhnya. Di beberapa tempat, orang-orang komunis masih melakukan pengacauan. Dalam kondisi seperti itulah, Suryo pada tanggal 10 September 1948 berangkat dari Yogyakarta menuju Madiun. Dia bermaksud menghadiri peringatan 40 hari meninggalnya adiknya yang dibunuh orang-orang PKI. Sejumlah sahabat, termasuk Wakil Presiden Mohammad Hatta, meminta agar Suryo mengurungkan maksudnya. Tetapi, Suryo ngotot pada pendiriannya. Tanda-tanda kurang baik terlihat. Baru saja tiba di luar Kota Yogya, ban mobilnya pecah. Sesudah itu mobil kehabisan bensin. Suryo terpaksa dua kali kembali ke kota untuk menambal ban dan untuk mengisi bensin. Meski teman-temannya mengatakan bahwa itu pertanda buruk, Suryo tidak mempercayainya. Suryo tiba sore hari di Surakarta. Sudiro yang ketika itu menjadi residen Surakarta menahan Suryo supaya bermalam dan perjalanan diteruskan esok hari. Suryo melanjutkan perjalanannya ke Madiun pagi-pagi sekali. Di Desa Gendingan, sekali lagi diperingatkan supaya Suryo tidak meneruskan perjalanan. Namun, peringatan itu juga diabaikan. Hingga akhirnya, di Kabupaten Ngawi menjadi hari terakhir bagi Raden Mas Tumenggung Ario Suryo. Saat melintas di hutan jati Kedunggalar, Ngawi, mobil yang ditumpangi gubernur pertama JawaTimur ini dicegat beberapa orang yang disinyalir anggota Partai Komunis Indonesia. Gubernur Suryo dipaksa keluar dari mobil yang ia tumpangi. Dari arah Madiun, muncul mobil yang ditumpangi polisi Kombes Pol M Doerjat dan Kompol Soeroko, yang merupakan anggota kepolisian yang turut berjuang mengamankan kondisi di wilayah Madiun dan sekitarnya, dalam gejolak tahun 1948. Suryo, Kombes Pol M Doerjat dan Kompol Soeroko diperintahkan turun dari mobil. Mereka dibawa ke hutan. Di tempat inilah Gubernur Suryo dan dua orang lainnya itu dihabisi PKI. Empat hari kemudian, jenazah Suryo ditemukan penduduk di Kali Kakah, Dukuh Ngandu, Desa Bangunrejo, Kedunggalar, Ngawi, lalu dibawa ke Madiun dan dimakamkan di Sawahan, Desa Kepalrejo, Magetan. Di tempat Gubernur Suryo, Kombes Pol M Doerjat dan Kompol Soeroko dihabisi oleh gerombolan PKI tersebut kini berdiri Monumen Suryo. Monumen tersebut diresmikan pada 28 Oktober 1975 oleh Pangdam Brawijaya Mayjen TNI Witarmin. Kisah ini diabadikan di relief yang terletak di bawah patung Gubernur Suryo dan dua sosok polisi, di Wana Wisata Monumen Gubernur Suryo, di tepi jalan raya Ngawi–Solo. Monumen yang diresmikan Mayor Jenderal TNI AD Witarmin, 20 Oktober 1975 ini cukup terawat. Hingga kini, di sekitarnya tumbuh aneka tanaman yang terjaga keasriannya dan kerap menjadi tujuan istirahat para pengendara