Banteng
Banteng ( Bos javanicus d‟Alton 1832) adalah satwa yang memiliki beberapa nama daerah seperti sapi alas (Jawa), klebo dan temadu (Kalimantan), (Alikodara 1983) mempunyai klasifikasi taksonomi. Berikut taksonomi banteng (Lekagul & McNeely 1977) :
- Kingdom : Animalia
- Sub-kingdom : Metazoa
- Phylum : Chordata
- Sub-phylum : Craniata
- Class : Mammalia
- Sub-class : Theria
- Superorder : Ruminantia
- Familia : Bovidae
- Sub-familia : Bovinae Tribe : Bovini
- Genus : Bos
- Spesies : Bos javanicus d‟Alton, 1938
Morfologi
Banteng memiliki ciri ciri tubuh yang tegap, besar, dan kuat. Pada bagian dadanya terdapat gelambir (dewlap) yang dimulai dari pangkal kaki depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan (Alikodra 1983). Di kepalanya terdapat sepasang tanduk, pada banteng jantan tanduk berwarna hitam agak mengkilap, runcing dan melengkung ke dalam, sedangkan pada banteng betina ukuran tanduk lebih kecil dibanding dengan tanduk banteng jantan.
Pada dasarnya ukuran tubuh banteng jantan lebih besar dibandingkan dengan banteng betina. Tinggi badan dari banteng sendiri bervariasi menurut umurnya, banteng jantan yang berumur 8-10 tahun mempunyai tinggi bahu ± 170 cm, sedangkan banteng betina dengan umur yang sama mempunyai tinggi sampai bahu ± 150 cm. Banteng jantan ukuran tengkoraknya 50 cm, sedangkan betina lebih ≥ 45 cm. Berat tubuh banteng betina berkisar antara 248 –315 kg (Hoogerwerf 1970).
Menurut Hoogerwerf (1970), banteng jantan dewasa yang hidup di daratan asia mempunyai jarak maksimum antara ujung tanduk 109,4 cm dan keliling ujung tanduk di bagian dasar yaitu 46,9 cm. Perkembangan tanduk dapat digunakan untuk mengetahui kelas umur dari banteng sampai batas umur tertentu.
Banteng jantan mempunyai tubuh berwarna hitam, makin tua umurnya warna tubuhnya akan semakin hitam. Banteng betina tubuhnya berwarna coklat kemerah-merahan, semakin tua umurnya semakin cokelat tua dan gelap warnanya. Pada banteng anakan baik jantan maupun betina berwarna cokelat tua sehingga sulit menentukan kelaminnya (Alikodra 1983) akan tetapi semakin tua umur anakan maka warna tubuhnya akan berubah menurut jenis kelaminnya. berbeda dengan kerabatnya Kerbau liar yaitu warna jantan dan betina sama (Santosa 1985).
Pada bagian tertentu dari tubuh banteng terdapat warna putih yang sekaligus menjadi ciri khas satwa ini dibandingkan dengan satwa satwa yang lain. Warna putih pada tubuh banteng ini terdapat pada bagian pantat atau pangkal kaki yang semakin tua warna putih tersebut akan semakin mengecil tetapi tidak hilang.
Menurut Hoogerwerf (1970) pada anak banteng seluruh bagian pantatnya akan ditutupi oleh warna putih. Bagian kaki sampai lutut, gelambir dan bagian mulutnya juga berwarna putih.
Habitat
Satwa memerlukan hal untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti tempat untuk digunakan sebagai tempat mencari makan, minum, berlindung, bermain dan berkembang biak. Tempat-tempat yang berfungsi semacam ini membentuk suatu kesatuan yang disebut habitat (Alikodra 1979). Jadi dapat disimpulkan habitat adalah tempat hidup satwa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Alikodra (1980) mengatakan tentang lingkungan hidup banteng yang paling ideal, terdiri atas komponen hutan alam yang berfungsi sebagai tempat berlindung dan bersembunyi dari segala macam gangguan baik cuaca, manusia maupun pemangsa. Padang penggembalaan sebagai tempat mencari makan, istirahat, mengasuh dan membesarkan anaknya serta melakukan hubungan sosial lainnya. Sumber air tawar sebagai tempat minum. Hutan pantai atau payau sebagai daerah penyangga yang berfungsi untuk melindungi banteng dari pemburu dan daerah pantai sebagai tempat mencari garam yang dibutuhkan untuk membantu pencernaannya.
Menurut Lekagul dan McNeely (1977) sebelum perang dunia II banteng selalu merumput di daerah terbuka selama pagi dan sore hari, dan baristirahat di bawah hutan pada saat matahari terik.
Penyebaran
Sebelum tahun 1940 banteng dapat ditemukan pada semua dataran rendah pulau Jawa, akan tetapi sekarang penyebaran satwa ini menyempit antara lain hanya dapat ditemukan di dalam Suaka Margasatwa, Cagar Alam serta Taman Nasional yang berada di pulau Jawa. Sebelum perang dunia II, banteng dapat ditemukan hidup bebas pada padang rumput di Burma dan Indochina, akan tetapi setelah perang dunia II berakhir banteng menjadi jarang ditemukan (Lekagul & McNeely 1977).
Penyebaran banteng pada saat ini menurut IUCN hanya berada di beberapa tempat saja seperti pada gambar 1. Di pulau Jawa, banteng hanya dapat ditemukan di kawasan cagar alam, suaka margasatwa dan taman nasional. Di Jawa Timur, banteng dapat ditemui Suaka Margasatwa Meru Betiri, Taman Nasional Baluran dan Blambangan Purwo (Banyuwangi Selatan). Di Jawa Barat, banteng dapat dijumpai di Taman Nasional Ujung Kulon, Cagar alam (Cikamurang, Cikepuh, Penanjung Pangandaran, Leuweung Sancang, Bojong Larang Jayanti dan Tegal Waru) (Alikodra 1983). Di Kalimantan Timur, banteng terdapat di Taman Nasional Kutai dan Kota Waringin serta kemungkinan di daerah daerah berbukit. Sekitar tahun 1930 banteng sangat banyak dijumpai di Kutai dan sekitarnya dan kelihatannya sebagian dari populasi tersebut sudah tidak murni lagi, tetapi merupakan hasil kawin silang dengan sapi domestik (Hoogerwerf 1970).
Makanan dan Air
Makanan dan air merupakan salah satu faktor terpenting bagi semua makhluk hidup dan merupakan pembatas bagi satwa. Makanan dan air itu sendiri sangatlah penting untuk menyangga keberlangsungan hidup satwa termasuk banteng.
Makanan dibutuhkan untuk proses sintesa di dalam tubuh satwa dan melengkapi kebutuhan energi yang dibutuhkan tubuh satwa untuk proses pertumbuhan, penggantian jaringan yang sudah mati, produksi sel-sel baru serta kegiatan lainnya seperti lokomasi, osmoregulasi dan ekskresi.
Alikodra (1983) mengemukakan bahwa untuk mndapatkan pertumbuhan populasi satwa yang normal diperlukan makanan yang cukup, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Makanan tersebut harus mengandung komponen- komponen protein, karbohidrat, lemak, air, garam inorganic , dan vitamin. Selanjutnya Alikodra (1983) dalam penelitiannya menggunakan sistem ransum pada 12 ekor banteng di Kebun Binatang Ragunan menunjukkan bahwa dalam hal makanan banteng tidak selektif. Jenis rumput yang diberikan langsung dimakan, di antaranya adalah : jampang pilit ( Cytococcum patens ), rumput geganjuran ( Paspalum commersonii ), rumput bamboo ( Panicum montanum ), rumput memerakan ( Themeda arguens ), ki pait ( Axonopus compressus ), rumput alang- alang ( Imperata cylindrica ), daun dan batang padi ( Oriza sativa ), dan jukut kidang ( Centoteaca lappacea ). Dari hasil perhitungan diperoleh, nilai konsumsi makanan rata-rata untuk tiap ekor per hari berdasarkan berat basahnya yaitu 18,71 kg. Nilai konsumsi makanan tersebut diukur berdasarkan banteng yang ada di dalam kandang.
Di samping makanan, air juga mempuynyai peranan penting bagi kehidupan banteng, terutama untuk minum. Air berfungsi untuk mengangkut zat-zat makanan dari bagian tubuh yang satu ke bagian tubuh yang lainnya, menggelembungkan sel-sel untuk membantu sel-sel tersebut dalam mempertahankan bentuknya serta digunakan dalam banyak reaksi-reaksi biokimia dalam tubuh, menolong mengatur suhu tubuh dan membantu mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar.
Menurut Alikodra (1983) pada daerah yang lebih kering seperti Taman Nasional Baluran, dalam musim kemarau air merupakan salah satu pembatas sehingga banteng menyesuaikan dirinya dengan keterbatasan sumber air dengan jalan :
Melakukan perpindahan ke tempat-tempat yang dapat mencukupi keperluan akan air.
Sebagian dari populasi bertahan pada kondisi air minum yangh kritis, bersaing dengan jenis satwa yang lainnya.
Perilaku
Perilaku merupakan ilmu dasar yang perlu dipelajari dan dipahami secara baik agar mendapat pengetahuan atau mempelajari pembinaan dan pengelolaan satwa. Dalam mempelajari tentang perilaku satwa ini masing-masing ilmuwan mempunyai cara tersendiri untuk mengungkapkannya akan tetapi perbedaan tersebut merupakan pertanda awal bahwa makin berkembangnya ilmu perilaku satwa terutama satwa liar.
Tanudimadja (1978) mengungkapkan perilaku satwa adalah tidak tanduk yang terlihat dan saling berkaitan baik secara individual maupun secara bersama- sama atau kolektif. Teage (1971) memberikan batasan bahwa perilaku satwa adalah ekspresi satwa yang ditimbulkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya. Sedangkan Alikodra (1983) mengatakan bahwa perilaku satwa adalah strategi satwa dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam lingkungannya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, selanjutnya Alikodra (1983) semua satwa akan bergerak untuk mencari makan dan minum maupun untuk berkembang biak.
Teage (1971) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku satwa disebut sebagai rangsangan, stimuli atau agent. Sedangkan aktivitas yang ditimbulkan oleh rangsangan tersebut disebut respon. Satwa menerima rangsangan atau stimuli dari lingkungannya melalui suara, pandangan, tenaga mekanis dan kimia. Berikut ini beberapa perilaku Banteng diantaranya :
-
Perilaku makan dan minum
Banteng menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya untuk merumput dan memamah biak secara bergantian. Banteng akan memulai merumput jika cuaca cerah, mereka memilih hari yang agak berawan dibanding hari yang terik (Hoogerwerf 1970). Selanjutnya Alikodra (1983) menyatakan bahwa kawanan banteng di daerah terbuka pada waktu siang hari terdiri dari beberapa kawanan banteng yang biasanya masing-masing terdiri dari 10-12 ekor. Mereka merumput sambil berjalan berlawanan arah mata angin.
Banteng termasuk satwa diurnal atau satwa yang aktif sepanjang siang hari yaitu mulai pagi hingga petang hari. Hoogerwerf (1970) masih diragukan penyebab banteng berada di tempat terbuka pada saat panas sekali. Merumput pada siang hari di luar cover mungkin disebabkan kurangnya gangguan manusia atau makan diwaktu malam ternyata tidak mencukupi kebutuhan tubuh menghindari pemangsaan predator hal ini dikarenakan pada daerah bertumbuhan lebat, predator akan mudah menyerang mereka dan kemungkinan lain adalah banteng menghindari dari serangan nyamuk dan serangga
Di alam kegiatan merumput banteng berselang seling dengan istirahat sambil memamah biak (ruminansi), waktu merumput sangat bervariasi, bila cuaca baik maka banteng lebih suka memamah biak sambil berbaring di tempat merumput, tetapi bila hujan lebat banteng seringkali memamah biak sambil berdiri (Hoogerwerf 1970).
Sancayaningsih et al. (1983) mengemukakan banteng memamah biak di saat merumput dengan posisi berbaring maupun berdiri. Periode ruminansi tersebut ± 2-5 jam per hari. Kecepatan mengunyah selama periode tersebut 48-56 kali permenit. Dari bentuk rahangnya (bentuk U), banteng lebih beradaptasi untuk memakan jenis rumput daripada semak.
Kawanan banteng yang sedang merumput di padang rumput dipimpin beberapa banteng betina tua yang selalu bersikap waspada dan selalu memperhatikan keadaan sekitarnya. Banteng betina sebagai pemimpin kelompok tidak langsung merumput ketika datang ke padang penggembalaan tetapi melihat sekeliling dahulu selama beberapa menit. Jika sudah merasa aman mereka akan mulai merumput, banteng dewasa sesekali akan mendongakkan kepalanya untuk melihat sekeliling guna memastikan bahwa keadaan sekitarnya aman.
Di alam banteng biasa minum sekali dalam sehari. Tempat minum tersebut jarang didatangi oleh lebih dari 10 banteng pada waktu yang bersamaan, pada umumnya mereka memeriksa dan mengintai dahulu sebelum mendekati tempat minum. Sekali mereka datang ke tempat air selanjutnya tidak lagi memperhatikan lingkungan sekitarnya (Hoogeerwerf 1970).
-
Perilaku istirahat
Banteng beristirahat baik di padang penggembalaan, di tepi-tepi hutan bahkan kadang di tepi pantai. Ketika beristirahat biasanya kakinya ditekuk di bawah badannya dan sering juga mereka menggeletakkan badannya di tanah (Setiawati 1986).
Pada matahari bersinar sangat terik, biasanya banteng akan beristirahat di bawah hutan maupun di bawah cover (Lekagul & McNeely 1977; Alikodra 1983). Jika cuaca cerah atau agak berawanbanteng lebih sering istirahat di padang penggembalaan.
-
Perilaku bermain
Perilaku bermain biasanya terjadi pada banteng anakan. Tingkah laku bermain atau play behaviour ini sebenarnya mempunyai manfaat yang besar karena tingkah laku bermain ini merupakan latihan dalam berkelahi dalam membela diri dan melatih kelincahan tubuh untuk beradaptasi untuk hidup di alam. Banteng muda akan memulai bermain setelah lelah merumput. Kadang- kadang dua ekor banteng muda akan saling mengadukan kepala (Sancayaningsih et al . 1983).
-
Perilaku Kawin
Alikodra (1983) menyatakan bahwa banteng di Ujung Kulon melakukan perkawinan di padang penggembalaan antara jam 15.00-17.00 WIB. Dalam musim kawin, banteng jantan tampak lebih agresif. Nafsu birahi banteng jantan dapat diperlihatkan dalam perilaku sebagai berikut :
-
Bersuara lebih banyak daripada biasanya
-
Mengikuti banteng betina sambil menjilati pantat banteng betina dan sering mendongakkan kepala
-
Berusaha untuk mengusir banteng jantan lain yang berada di dekatnya, gelisah dan banyak makan dari biasanya
-
Sering menanduk pohon atau pun semak sambil berjalan berputar-putar.
Banteng melakukan perkawinan dalam periode tertentu tergantung dari lokasinya (Setiawati 1986). Menurut Lekagul & McNeely (1977) musim banteng kawin di Thailand adalah bulan Mei dan Juni.
-
Perilaku mengasuh anak
Perilaku mengasuh anak ini biasanya dilakukan oleh banteng betina dewasa. Menurut Hoogerwerf (1970) banteng betina bila akan memanggil anaknya ialah dengan cara mengeluarkan suara yang lemah dan anak-anaknya akan mendekati induknya dengan segera.
-
Perilaku hubungan banteng dengan satwa lain yang menggunakan habitat yang sama
Menurut Hoogerwerf (1970) kehidupan banteng dengan satwa pemakan tumbuhan lainnya baik, tetapi pada musim kawin sedikit ditandai oleh sikap permusuhan. Banteng juga melakukan hubungan yang saling menguntungkan dengan beberapa jenis burung seperti jalak ( Sturnus javanicus ), gagak ( Corvus enca ), dan burung merak ( Pavo muticus ). Biasanya burung jalak dan gagak sering terlihat diatas punggung banteng untuk memakan kutu dan serangga yang ada di tubuh banteng. Jenis satwa lain yang ada di padang penggembalaan adalah babi hutan ( Sus scrofa ) dan rusa ( Cervus timorensis ).