Asrul Sani dilahirkan pada tanggal 10 Juni 1926 di Rao, Sumatra Barat. Ia keluaran Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan Bogor.
Pada waktu revolusi, ia memimpin Laskar Rakyat, kemudian menjadi tentara. Ia menerbitkan harian-perlawanan Suara Bogor ; korektor di percetakan, redaktur Gema Suasana.
Dalam bulan Maret 1952, dia berangkat ke negeri Belanda untuk menambah pengetahuan.
Buah tangannya berupa sajak-sajak, cerita-cerita, dan esai. Bersama–sama dengan Chairil Anwar dan Rivai Apin menyusun Tiga Menguak Takdir (BP 1950).
Di bawah ini dicantumkan sajaknya yang berjudul Anak Laut, Surat dari Ibu, dan Pengakuan.
ANAK LAUT
Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan.
Pasir dan air keakan
Bercampur. Awan
tiada menutup
mata dan hatinya rindu
melihat laut terbentang biru.
“ Sekali aku pergi
Dengan perahu
Ke negeri jauhan
Dan menyanyi
Kekasih hati
Lagu merindukan
Daku”
“Tenggelam matahari
Ufuk sama tiada nyata
bayang-bayang bergerak perlahan
aku kembali kepadanya.“
Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan.
Prof. Dr. Teeuw (1958 : 77-78) berpendapat bahwa sifat karangan-karangan Asrul Sani agaknya sejelas-jelasnya dilukiskan oleh ucapannya sendiri dalam salah satu esainya, tatkala ia mengatakan: ‘Ini (jalan keakuan dalam kesusastraan) adalah suatu penyelamatan dalam masyarakat semacam-demokrasi yang hendak mencekik tiap-tiap kebangsawanan jiwa’. Hampir kita hendak mengatakan, sesungguhnyalah itu yang amat ditakutkan oleh Asrul Sani, akan dicekik oleh dunia lain, disamaratakan dengan masyarakat sehingga hilang kepribadiannya ‘individualitet’-nya. Kadang-kadang, agaknya dalam sanjak-sanjaknya yang terdahulu, ketakutannya itu dilahirkannya dengan menghindari yang biasa-biasa; lambang kehidupan sejati yang layak bagi manusia ialah Anak Laut.
Kehidupan mulia sejati ialah kehidupan dalam kesunyian di laut, pendeknya jauh dari kesibukan sehari-hari.
SURAT DARI IBU
Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daun
dalam rimba dan padang hijau.
Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau.
Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman,
Boleh engkau datang padaku!
Kembali pulang anakku sayang
Kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari”.
Asrul Sani dalam sajaknya di atas menggunakan kata-kata yang biasa-biasa saja, sehingga mempermudah untuk memahami maksud sajak tersebut.
Isi atau kandungan Surat dari Ibu itu ialah seorang ibu merelakan anaknya merantau ke alam bebas untuk mencari nafkah. Selanjutnya, ia menghimbau anaknya supaya kembali ke pangkuannya.
PENGAKUAN
Akulah musafir yang mencari Tuhan
Atas runtuhan gedung dan dada yang remuk
Dalam waktu tiada kenal berdiam dan samadi
Serta kepercayaan pada cinta yang hilang bersama kabur pagi.
Akulah yang telah berperi,
Tentang kerinduan akan penyelesaian yang tamat,
Dari manusia, dari dunia dan dari Tuhan.
Ah, bumi yang mati
Lazuardi yang kering.
Bagaimanakah aku masih dapat,
Menyayangkan air mata berlinang dari kembang kerenyam yang kering,
Sedang kota-kota dan rumah-rumah bambu lebih rendah dari wajah lautan.
Satu-satu masih terbayang antara pelupuk mata telah hampir terkatup,
Karena murtad, karena tiada percaya
Karena lelah, karena tiada punya ingatan,
Suatu lukisan dari deru air berlayar atas lunas berganti-ganti bentuk
Dari suatu lembah gelap dan suram
Menguapkan kabut mati dari suatu kerahasiaan.
Tuhan yang berkata.
Akulah musafir yang mencari Tuhan
Dalam negeri batu retak,
Lalang dan api yang siap bertemu.
Suatu kisah sedih dari sandiwara yang lucu
Dari seorang pencari rupa,
Dari rupa yang tiada lagi dikenalnya.
Perawan ringan, perawan riang
Berlagulah dalam kebayangan
Berupa warna,
Berupa wareni
Dan berlupalah sebentar akan kebiasaan umum.
Marilah bermain
Marilah berjalin tangan.
Jangan ingat segala yang sedih,
Biarkanlah lampu-lampu kelip
Lebih samar dari Sinar Surya senja
Kita akan bermain,
Dan tidur pulas, sampai
Datang lagi godaan:
“Akulah musafir yang mencari Tuhan.”
Dalam sajak Asrul Sani ysng berjudul Pengakuan yang tercantum di atas, Asrul Sani menyebut: Akulah musafir yang mencari Tuhan sebanyak tiga kali. Penyebutan kalimat itu mengawali dan mengakhiri sajak; dan yang ketiga tercantum di tengah sajak. Berbagai hal yang dia lakukan untuk menemukan Tuhan.
Di tengah-tengah usahanya mencari Tuhan, dia merasakan kegembiraan di samping suka dukanya. Hal ini dikatakannya:
Marilah bermain,
Marilah berjalin tangan,
Jangan ingat segala yang sedih.
Angkatan 45 punya konsepsi humanisme universal. Asrul Sani (yang muak mendengar nama itu) berkata pada akhir 49: Derita dunia ialah derita kita, karena kita adalah ahli waris dunia yang sah dari kebudayaan dunia. Dan selanjutnya pula: ‘Temuilah manusia dulu, tidak saja dengan pikiran, tetapi dengan kaki dan tangan, biarkan segala kelenjar dalam tubuh bekerja dan hormon-hormon tertumpah dalam darah sebanyak-banyaknya. Kita mesti berani dulu memandang manusia sonder baju, sonder kegagahan, pretensi dan segala yang tidak kita temui dalam darah dan daging, dalam esensinya’.
Referensi
http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/8/unm-digilib-unm-andifatima-356-1-sejarah-a.pdf