Apa yang anda ketahui tentang Asrul Sani?

Asrul Sani

Asrul Sani Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, mendirikan “Gelanggang Seniman” (1946) dan secara bersama-sama pula menjadi redaktur “Gelanggang” dalam warta sepekan Siasat. Selain itu, Asrul pun pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana (kemudian Gema), Gelanggang (1966-1967), dan terakhir sebagai pemimpin umum Citra Film (1981-1982).

Karyanya: Tiga Menguak Takdir (kumpulan sajak bersama Chairil Anwar dan Rivai Avin, 1950), Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, 1972), Mantera (kumpulan sajak, 1975), Mahkamah (drama, 1988), Jenderal Nagabonar (skenario film, 1988), dan Surat-Surat Kepercayaan (kumpulan esai, 1997).

Di samping menulis sajak, cerpen, dan esai, Asrul juga dikenal sebagai penerjemah dan sutradara film. Terjemahannya: Laut Membisu (karya Vercors, 1949), Pangeran Muda (terjemahan bersama Siti Nuraini; karya Antoine de St-Exupery, 1952), Enam Pelajaran bagi Calon Aktor (karya Ricard Boleslavsky, 1960), Rumah Perawan (novel Yasunari Kawabata, 1977), Villa des Roses (novel Willem Elschot, 1977), Puteri Pulau (novel Maria Dermount, 1977), Kuil Kencana (novel Yukio Mishima, 1978), Pintu Tertutup (drama Jean Paul Sartre, 1979), Julius Caesar (drama William Shakespeare, 1979), Sang Anak (karya Rabindranath Tagore, 1979), Catatan dari Bawah Tanah (novel Fyodor Dostoyeski, 1979), Keindahan dan Kepiluan (novel Yasunari Kawabata, 1980), dan Inspektur Jenderal (drama Nicolai Gogol, 1986).

Film yang disutradarainya: “Pagar Kawat Berduri” (1963), “Apa Jang Kau Tjari, Palupi?” (1970), “Salah Asuhan” (1974), “Bulan di Atas Kuburan” (1976), “Kemelut Hidup” (1978), “Di Bawah Lindungan Kaabah” (1978), dan lain-lain.

Tahun 2000 Asrul menerima penghargaan Bintang Mahaputra dari Pemerintah RI.

Asrul Sani dilahirkan pada tanggal 10 Juni 1926 di Rao, Sumatra Barat. Ia keluaran Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan Bogor.

Pada waktu revolusi, ia memimpin Laskar Rakyat, kemudian menjadi tentara. Ia menerbitkan harian-perlawanan Suara Bogor ; korektor di percetakan, redaktur Gema Suasana.

Dalam bulan Maret 1952, dia berangkat ke negeri Belanda untuk menambah pengetahuan.

Buah tangannya berupa sajak-sajak, cerita-cerita, dan esai. Bersama–sama dengan Chairil Anwar dan Rivai Apin menyusun Tiga Menguak Takdir (BP 1950).

Di bawah ini dicantumkan sajaknya yang berjudul Anak Laut, Surat dari Ibu, dan Pengakuan.

ANAK LAUT

Sekali ia pergi tiada bertopi

Ke pantai landasan matahari

Dan bermimpi tengah hari

Akan negeri di jauhan.

Pasir dan air keakan

Bercampur. Awan

tiada menutup

mata dan hatinya rindu

melihat laut terbentang biru.

“ Sekali aku pergi

Dengan perahu

Ke negeri jauhan

Dan menyanyi

Kekasih hati

Lagu merindukan

Daku”

“Tenggelam matahari

Ufuk sama tiada nyata

bayang-bayang bergerak perlahan

aku kembali kepadanya.“

Sekali ia pergi tiada bertopi

Ke pantai landasan matahari

Dan bermimpi tengah hari

Akan negeri di jauhan.

Prof. Dr. Teeuw (1958 : 77-78) berpendapat bahwa sifat karangan-karangan Asrul Sani agaknya sejelas-jelasnya dilukiskan oleh ucapannya sendiri dalam salah satu esainya, tatkala ia mengatakan: ‘Ini (jalan keakuan dalam kesusastraan) adalah suatu penyelamatan dalam masyarakat semacam-demokrasi yang hendak mencekik tiap-tiap kebangsawanan jiwa’. Hampir kita hendak mengatakan, sesungguhnyalah itu yang amat ditakutkan oleh Asrul Sani, akan dicekik oleh dunia lain, disamaratakan dengan masyarakat sehingga hilang kepribadiannya ‘individualitet’-nya. Kadang-kadang, agaknya dalam sanjak-sanjaknya yang terdahulu, ketakutannya itu dilahirkannya dengan menghindari yang biasa-biasa; lambang kehidupan sejati yang layak bagi manusia ialah Anak Laut.

Kehidupan mulia sejati ialah kehidupan dalam kesunyian di laut, pendeknya jauh dari kesibukan sehari-hari.

SURAT DARI IBU

Pergi ke dunia luas, anakku sayang

pergi ke hidup bebas!

Selama angin masih angin buritan

dan matahari pagi menyinar daun-daun

dalam rimba dan padang hijau.

Pergi ke laut lepas, anakku sayang

pergi ke alam bebas!

Selama hari belum petang

dan warna senja belum kemerah-merahan

menutup pintu waktu lampau.

Jika bayang telah pudar

dan elang laut pulang ke sarang

angin bertiup ke benua

Tiang-tiang akan kering sendiri

dan nakhoda sudah tahu pedoman,

Boleh engkau datang padaku!

Kembali pulang anakku sayang

Kembali ke balik malam!

Jika kapalmu telah rapat ke tepi

Kita akan bercerita

“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari”.

Asrul Sani dalam sajaknya di atas menggunakan kata-kata yang biasa-biasa saja, sehingga mempermudah untuk memahami maksud sajak tersebut.

Isi atau kandungan Surat dari Ibu itu ialah seorang ibu merelakan anaknya merantau ke alam bebas untuk mencari nafkah. Selanjutnya, ia menghimbau anaknya supaya kembali ke pangkuannya.

PENGAKUAN

Akulah musafir yang mencari Tuhan

Atas runtuhan gedung dan dada yang remuk

Dalam waktu tiada kenal berdiam dan samadi

Serta kepercayaan pada cinta yang hilang bersama kabur pagi.

Akulah yang telah berperi,

Tentang kerinduan akan penyelesaian yang tamat,

Dari manusia, dari dunia dan dari Tuhan.

Ah, bumi yang mati

Lazuardi yang kering.

Bagaimanakah aku masih dapat,

Menyayangkan air mata berlinang dari kembang kerenyam yang kering,

Sedang kota-kota dan rumah-rumah bambu lebih rendah dari wajah lautan.

Satu-satu masih terbayang antara pelupuk mata telah hampir terkatup,

Karena murtad, karena tiada percaya

Karena lelah, karena tiada punya ingatan,

Suatu lukisan dari deru air berlayar atas lunas berganti-ganti bentuk

Dari suatu lembah gelap dan suram

Menguapkan kabut mati dari suatu kerahasiaan.

Tuhan yang berkata.

Akulah musafir yang mencari Tuhan

Dalam negeri batu retak,

Lalang dan api yang siap bertemu.

Suatu kisah sedih dari sandiwara yang lucu

Dari seorang pencari rupa,

Dari rupa yang tiada lagi dikenalnya.

Perawan ringan, perawan riang

Berlagulah dalam kebayangan

Berupa warna,

Berupa wareni

Dan berlupalah sebentar akan kebiasaan umum.

Marilah bermain

Marilah berjalin tangan.

Jangan ingat segala yang sedih,

Biarkanlah lampu-lampu kelip

Lebih samar dari Sinar Surya senja

Kita akan bermain,

Dan tidur pulas, sampai

Datang lagi godaan:

“Akulah musafir yang mencari Tuhan.”

Dalam sajak Asrul Sani ysng berjudul Pengakuan yang tercantum di atas, Asrul Sani menyebut: Akulah musafir yang mencari Tuhan sebanyak tiga kali. Penyebutan kalimat itu mengawali dan mengakhiri sajak; dan yang ketiga tercantum di tengah sajak. Berbagai hal yang dia lakukan untuk menemukan Tuhan.

Di tengah-tengah usahanya mencari Tuhan, dia merasakan kegembiraan di samping suka dukanya. Hal ini dikatakannya:

Marilah bermain,

Marilah berjalin tangan,

Jangan ingat segala yang sedih.

Angkatan 45 punya konsepsi humanisme universal. Asrul Sani (yang muak mendengar nama itu) berkata pada akhir 49: Derita dunia ialah derita kita, karena kita adalah ahli waris dunia yang sah dari kebudayaan dunia. Dan selanjutnya pula: ‘Temuilah manusia dulu, tidak saja dengan pikiran, tetapi dengan kaki dan tangan, biarkan segala kelenjar dalam tubuh bekerja dan hormon-hormon tertumpah dalam darah sebanyak-banyaknya. Kita mesti berani dulu memandang manusia sonder baju, sonder kegagahan, pretensi dan segala yang tidak kita temui dalam darah dan daging, dalam esensinya’.

Referensi

http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/8/unm-digilib-unm-andifatima-356-1-sejarah-a.pdf