Apa yang anda ketahui tentang arca Dwarapala ?

Mohon info segala sesuatu yang berkaitan dengan arca dwarapala.

Arca Dwarapala adalah sebuah patung penjaga gerbang dalam ajaran Siwa dan juga Buddha dengan bentuk manusia terlihat seperti monster. Dwarapala diletakkan pada bagian luar candi, kuil atau bangunan lainnya sebagai pelindung dari tempat suci. Dwarapala digambarkan sebagai sesosok makhluk seram dan jumlahnya bisa satu, sepasang atau terdiri dari beberapa kelompok.

Arca Dwarapala di Candi Singosari

Arca Dwarapala di Candi Singosari
Gambar Arca Dwarapala di Candi Singosari

Arca ini dibangun dengan material batu monolitik dengan tinggi 3.70 M yang menjadi pintu gerbang dari Kerajaan Singasari. Kedua arca ini terlihat seperti sama sehingga dikatakan kembar namun posisi tangan saja yang berbeda. Arca yang ada di selatan bagian tangan kiri ada diatas kaki kiri dan tangan kanan memegang gada telungkup. Sedangkan arca di utara, bagian tangan kiri memegang gada telungkup dan tangan kanan seperti sedang memperingatkan dengan jari tengah dan telunjuk mengacung keatas sementara 3 jari lainnya rapat dengan telapak tangan.

Ornamen yang ada di 2 arca tersebut terlihat seram dan penuh dengan kekerasan. Pada bagian kepala memakai ikat kepala dengan hiasan tengkorak. Pada bagian telinga memakai anting bentuk tengkorak serta untaian manik-manik dengan nama Kapala Kundala. Sedangkan pada hiasan kelat bahu bernama Sarpa Keyura yakni kelat bahu berbentuk ular.

Dwarapala merupakan gabungan dari dua suku kata yaitu dwara (Dvāra) yang berarti pintu dan pala (Pāla) yang berarti penjaga, jadi Dwarapala berarti penjaga pintu.

Margaret dan James Stutley (1977) menyatakan bahwa dwara artinya pintu atau gerbang, yang pada masa Veda awal memiliki makna simbolis yang tinggi karena merupakan pintu masuk ke tempat yang penting seperti candi, istana atau rumah. Dalam kontek ritual, semua pintu merupakan petunjuk ke sesuatu yang baik. Sebagai dewa penjaga dan sebagai bentuk yang tidak pernah habis-habisnya membantu pada upacara sakral, serta dihormati seperti dewa. Dewa-dewa masuk ke tempat yang sakral melalui dewa-dewa penjaga pintu seperti cahaya pagi yang melewati pintu gerbang dari langit sebelah timur.

Rumbi Mulia (1982) berpendapat bahwa Dwarapala merupakan perkembangan dari Yaksa. Di dalam agama Buddha, Yaksa merupakan pendamping Buddha sebagai pelindung dan penjaga bangunan suci. Tugas Yaksa sebagai pelindung inilah yang kemudian berkembang menjadi penjaga pintu (Dwarapala). Sebagai penjaga pintu (Dwarapala) dapat digambarkan sebagai mahluk yang ganas untuk mengusir kejahatan dan menjauhkan bahaya.

Di Jawa, Dwarapala diwujudkan sebagai raksasa. Akan tetapi aspek menakutkan tidak mutlak, karena Dwarapala sering tidak menonjolkan ciri-ciri menakutkan, tetapi kadang di- gambarkan tersenyum.

Dalam Gŗhya Sūtra , posisi pintu menunjukkan hal yang baik dan kurang baik bagi pemilik rumah. Rumah dengan pintu masuk di sebelah timur lambang ketenaran dan kekuatan, pintu masuk selatan lambang pemenuhan segala keinginan, pintu utara lambang keturunan yang baik dan kekuatan, tetapi pintu masuk barat atau pintu belakang lambang ketidak beruntungan. Selanjutnya penafsiran atau perlambangan ini bersatu dengan penafsiran pada Silpa Sāstra. Jika pintu utama terlalu dekat dengan pohon, pojok, jalan atau tempat pemujaan, pemilik rumah dan anak laki-lakinya akan mendapat kesialan. Pintu yang datar mendatangkan ketidak-beruntungan, sehingga perlu diberi hi- asan dengan simbol yang menguntung- kan seperti kendi simbol kelimpahan, buah-buahan, daun-daunan, burung-burung, dan sebagainya.

Keempat pintu masuk bagian luar diperuntukan bagi arca penjaga pintu (Dwarapala) di mana dibedakan menurut dewa yang disembah di candi tersebut.

Dalam Silpa Prakasa , Kaulacara (1966) dijelaskan bahwa Dwarapala adalah penjaga pintu candi. Kalau jumlah Dwarapala dua buah diletakkan pada bingkai pintu bagian bawah, kanan dan kiri, tetapi kalau tiga buah maka yang satu diletakkan di bingkai pintu bagian atas (ditengah).

Bentuk Dwarapala bermacam-macam di antaranya yaitu: Bhairawa dan Nandi Bhairawa. Penjaga pintu Bhairawa ini digambarkan berwajah raksasa, bertangan empat memegang ular, trisula (Śūla), gada, dan mangkuk minum (Pā na-p ā tra). Seda ngkan Nandi Bhairawa juga berwajah raksasa bertangan empat memegang tali (pāśa) dan khaţvāńga.

Makna Dwarapala


Arca Dwarapala merupakan salah satu peninggalan pada masa Hindu-Buddha yang menunjukkan hasil karya manusia pada saat itu. Hasil karya ini berkaitan dengan hasil tingkah laku manusia yang mengandung makna. Pemahaman makna arca Dwarapala dapat diketahui secara utuh apabila dilakukan dengan melihat makna arca ini menurut berbagai aspeknya.

Candi sebagai tempat pemujaan dibuat sesuai dengan aturan-aturan yang ada dalam kitab Silpasastra maupun Silpaprakasa. Di dalam kitab yang membahas tentang arsitektur candi dapat diketahui bahwa setiap bagian candi baik dari pintu masuk halaman pertama yang bersifat profan sampai halaman yang paling sakral semuanya memiliki makna.

  • Pada halaman pertama yang bersifat profan, pintu masuk ke halaman ini diawali dengan upaya untuk menghilangkan atau menghalau hal-hal yang bersifat jahat. Hal itu dapat dilihat dari penempatan arca yang menjadi simbol penghalau segala sesuatu yang jahat.

  • Pada halaman kedua yang bersifat semi-profan pun, Dwarapala juga ditempatkan di pintu masuk baik berupa arca (biasanya lebih kecil dari arca Dwarapala di halaman pertama) maupun dalam bentuk relief/pahatan di dinding pintu masuk. Begitu pula di pintu masuk halaman paling sakral. Pemahaman tentang arca penjaga pintu atau Dwarapala ini masih berlanjut sampai sekarang, di mana arca penjaga pintu ini masih ada pada pintu-pintu masuk ditempat pemujaan maupun di rumah-rumah.

Dwarapala merupakan pelengkap penggambaran makrokosmos dalam konsep kosmogoni agama Hindu maupun Buddha. Pusat dari makrokosmos adalah Gunung Mahameru yang menggambarkan tempat tinggal para dewa. Sebagai tempat tinggal para dewa, Gunung Mahameru dilengkapi dengan dewa utama, penjaga pintu kayangan, prajurit, dewa pendamping (pariwara) besar dan kecil, makhluk-makhluk kayangan, dan sebagainya. Dalam kehidupan manusia, penggambaran tempat tinggal para dewa ini diwujudkan dalam bentuk bangunan yaitu candi sebagai mikrokosmos. Oleh karena itu, candi dibangun sesuai dengan keadaan di Gunung Mahameru dan sesuai dengan aturan-aturan yang ada di dalam kitab-kitab yang berisi tentang pedoman pembangunan candi sebagai tempat pemujaan.

Sebagai penjaga pintu, Dwarapala digambarkan dengan ciri-ciri tertentu dan ciri-ciri ini memiliki makna. Penggambaran arca Dwarapala yang besar dan kuat (bentuk raksasa) memberikan kesan wibawa, sehingga orang atau hal-hal yang membawa keburukan atau kejahatan akan takut untuk melewatinya. Raut muka yang digambarkan menakutkan (kroda) mengandung makna keduniawian dan pengusiran roh jahat, walaupun Dwarapala ada yang digambarkan tersenyum tidak mengurangi makna dan kewibawaannya sebagai penjaga pintu.

Perhiasan yang dikena- kan dan atribut yang dibawa oleh Dwarapala memiliki dua makna yaitu dunia manusia dan kedewaan. Dunia manusia disimbolkan dengan penggunaan perhiasan yang lengkap (mewah) sebagai penggambaran keduniawian. Sedangkan simbol kedewaaan ditunjukkan dengan atributnya. Perhiasan berupa tali dan gelang lengan yang berbentuk ular sebagai lambang dunia bawah. Atribut berupa gada , pisau belati, dan tali ular (naga pasa) sebagai lambing kedewaan.

Posisi duduk arca Dwarapula jengkeng (bhs. Jawa), badan tegap, dan tangan memegang senjata memiliki makna siap siaga dan berjaga-jaga untuk menghalau hal-hal yang bersifat buruk. Posisi duduk seperti itu juga memiliki makna hormat pada siap saja yang memasuki tempat itu (candi). Secara keseluruhan, baik postur tubuh dan posisi duduk arca Dwarapala memiliki makna sesuai dengan fungsi dan tugasnya yaitu berfungsi mengusir roh-roh jahat dan bertugas sebagai penjaga pintu.

Arca Dwarapala di Candi Plaosan


Candi Plaosan (sering disebut Candi Plaosan Lor) terletak di Dusun Plaosan, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah. Candi ini letaknya ber- dekatan dengan komplek Candi Sewu dan Candi Prambanan. Keadaan candi saat ini sudah lebih baik karena sebagian bangunan sudah direkonstruksi. Arah hadap Candi Plaosan adalah ke arah barat. Sekitar candi baik di barat, utara dan timur berbatasan dengan persawahan penduduk, sebelah selatan berbatasan dengan jalan desa.

Berdasarkan tulisan pendek pada candi perwara yang berbunyi “ Anumoda Sang Sirikan Pu Surya ” (hadiah dari rakryan sirikan bernama pu Surya) dan “ Anumoda Sri Kahulunan ” (hadiah dari baginda putri), maka candi ini diperkirakan berasal dari pertengahan abad IX M (Casparis, 1956: 175-178). Halaman tengah (pusat/sakral) Candi Plaosan dibagi menjadi dua bagian yang masing-masing bagian mempunyai candi induk, yaitu candi induk utara dan candi induk selatan. Pada halaman kedua (Semi profan) terdapat candi- candi perwara yang mengelilingi halaman tengah/pusat. Selanjutnya, hala- man pertama (depan/profan) sebelah barat pada masing-masing candi utama di depan pintu terdapat arca Dwarapala (penjaga pintu).

Dua buah Arca Dwarapala di candi Palaosan Lor bagian selatan
Gambar Dua buah Arca Dwarapala di candi Palaosan Lor bagian selatan.

Arca Dwarapala di Candi Plaosan Lor bagian selatan berjumlah dua buah terletak di halaman candi sebelah barat. Arca ini diletakkan saling berhadapan di halaman depan candi mengapit jalan masuk pintu utama candi yang terletak di barat (gambar 1).

Arca Dwarapala yang terletak di sebelah utara menghadap selatan digambarkan dalam posisi berlutut, kaki kanan ditekuk dan kaki kiri dilipat ke bawah (Jawa: Jengkeng ) . Kepala menghadap ke depan dengan rambut keriting ditata ke belakang diikat menyerupai sanggul, dihiasi dengan ikat kepala berbentuk tumpal (Jawa: Jamang).

Telinga besar menggunakan hiasan telinga (anting-anting) berbentuk bulat dan besar, mata melotot kumis tebal, dan mulut tertawa dengan dua taring kelihatan. Kedua tangan memegang atribut berupa naga pasa (tali berkepala ular) di tangan kanan dan gada yang disandarkan di tanah dipegang dengan tangan kiri. Arca Dwarapala ini menggunakan hiasan kalung lebar dan besar, tali kasta (upawita) ular, ikat tangan (Jawa: kelat bahu), dan gelang tangan.

Pakaian berupa kain panjang yang ditarik tinggi ke atas dan ujungnya diselipkan ke ikat pinggang, sehingga baik di depan maupun di belakang ujungnya jatuh ke bawah dengan lipatan teratur. Kain nampak seperti selendang panjang di antara kedua kaki. Kain yang ditarik sampai ke atas paha seperti celana yang ketat menutupi badan bagian bawah (dililitkan di tubuh bagian bawah). Arca dwarapala ini juga mengenakan ikat pinggang yang lebar dan hiasan kain yang menjuntai di depan atau uncal (bahasa Jawa). Di bagian belakang ikat pinggang diselipkan senjata berupa pisau/belati besar.

Arca Dwarapala (tampak depan) di Candi Plaosan yang terletak di sebelah utara menghadap selatan.
Gambar Arca Dwarapala (tampak depan) di Candi Plaosan yang terletak di sebelah utara menghadap selatan.

Arca Dwarapala di Candi Plaosan yang terletak di sebelah selatan menghadap utara
Gambar Arca Dwarapala di Candi Plaosan yang terletak di sebelah selatan menghadap utara.

Arca Dwarapala di Candi Plaosan yang terletak di sebelah selatan menghadap utara
Gambar Arca Dwarapala di Candi Plaosan yang terletak di sebelah selatan menghadap utara.

Arca Dwarapala di Candi Plaosan yang terletak di sebelah utara menghadap selatan.
Gambar Arca Dwarapala di Candi Plaosan yang terletak di sebelah utara menghadap selatan.

Arca Dwarapala di Candi Sewu


Candi Sewu terletak di sebelah barat Candi Plaosan di Desa Bener, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Candi Buddha yang dibangun pada abad IX M ini ber- diri di atas tanah seluas 185 x 165 m². Candi induk dikelilingi candi perwara berjumlah 240 buah. Saat ini candi Sewu masih dalam peoses rekonstruksi. Ber dasarkan langgam dan coraknya, Candi Sewu diperkirakan sejaman dengan candi-candi di sekitarnya, seperti Candi Lumbung, Candi Bubrah, dan Candi Plaosan.

Candi Sewu mempunyai empat pintu masuk. Di setiap pintu masuk terdapat arca Dwarapala. Pintu masuk di sebelah timur merupakan pintu utama dari Candi Sewu, di kanan dan kiri pintu masuk ini terdapat dua buah arca Dwarapala. Kedua arca Dwarapala tersebut digambarkan dalam posisi berlutut (Jawa: Jengkeng ) duduk di atas bantalan. Kepala menghadap ke depan dengan rambut keriting ditata ke belakang diikat menyerupai sanggul, dihiasi dengan ikat kepala berbentuk ular. Telinga besar menggunakan hiasan telinga (anting-anting) berbentuk bulat dan besar, mata melotot kumis tebal, dan mulut menyeringai dengan dua taring kelihatan. Ke dua tangan mengenakan gelang memegang atribut berupa ular di tangan kanan dan tangan kiri memegang gada.

Arca Dwarapala ini menggunakan hiasan kalung lebar dan besar, tali kasta ( upawita ) ular, ikat lengan (Jawa: kelat bahu ), dan gelang. Pakaian berupa kain panjang yang di- tarik tinggi ke atas dan ujungnya diselipkan ke ikat pinggang, sehingga baik di depan maupun di belakang ujungnya jatuh ke bawah dengan lipatan teratur. Kain nampak seperti selendang panjang di antara kedua kaki. Kain yang ditarik sampai ke atas paha seperti celana yang ketat menutupi badan bagian bawah (dililitkan di tubuh bagian bawah). Arca dwarapala ini juga mengenakan ikat pinggang yang lebar dan hiasan kain yang menjuntai di depan atau uncal (bahasa Jawa). Di bagian belakang ikat pinggang diselipkan senjata berupa pisau/belati besar. Arca Dwarapala di ketiga pintu yang lain juga digambarkan sama.

Arca Dwarapala di pintu masuk halaman Candi Sewu
Gambar Arca Dwarapala di pintu masuk halaman Candi Sewu

Sumber : Rr. Sri Wahyu Sarjanawati, Arca Dwarapala pada candi-candi Buddha di Jawa Tengah, Jurusan Sejarah Universitas Negeri Semarang