Apa yang dimaksud dengan alat musik tradisional calung?

Calung

Apa yang anda ketahui tentang alat musik tradisional calung ?

Awal mula musik calung adalah berasal dari seorang anak yang mengusir burung di sawah. Anak tersebut menggunakan belahan bambu yang disebut kekeprak untuk mengusir burung. Akhirnya, potongan kekeprak ini yang menjadi awal alat musik calung.

Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan memukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).

Fungsi Calung


Calung merupakan salah satu benda yang selalu digunakan dalam upacara pertanian. Calung adalah alat yang disakralkan dan dalam memainkannya ada irama serta tembang tertentu. Selain itu juga, memainkan calung dipercaya dapat mencegah bala (musibah) dan juga dipercaya dapat menyembuhkan penyakit.

Fungsi alat musik calung yang mulanya calung dipentaskan untuk mengiringi upacara-upacara adat sunda sebagai ritual perayaan masyarakat Jawa Barat, dengan berkembangnya zaman, calung berubah fungsi menjadi alat musik yang manghibur masyarakat dengan menghasilkan harmoni yang indah.

Jenis Calung


Ada 2 jenis calung yang terkenal yakni calung rantay dan juga calung jinjing.

Calung Rantay memiliki 7 wilahan (ruas bambu) atau lebih yang tabungnya dideretkan dan diurutkan dari ukuran yang terbesar hingga terkecil. Cara memainkan Calung rantay adalah dengan dipukul dengan dua tangan sambil duduk sila. Calung jenis ini bisa anda temukan terikat di pohon atau bilik rumah di daerah Banjaran, Bandung.

Calung Jinjing terdiri dari 4 hingga 5 bambu, seperti Calung Gonggong (2 bambu), Calung Jongrong (5 bambu), Calung Panepas (5 bambu) dan Calung kingking (12 bambu). Cara memainkan Calung Jinjing adalah dengan cara dipukul menggunakan tangan kanan dengan alat pemukul dan tangan kiri memegang Calung.

Calung adalah waditra jenis alat pukul yang berbahan dasar bambu, dimainkan dengan cara dipukul menggunakan alat bantu pukul. Waditra ini pada mulanya merupakan seni kalangenan (bersifat hobi), namun pada perkembangannya calung telah menjadi seni pertunjukkan yang bersifat tontonan.

Pengertian calung menurut kamus umum basa Sunda, Lembaga Basa dan Sastra Sunda, artinya “Tatabeuhan tina awi guluntungan” (Tabuhan yang terbuat dari bambu, ada yang seperti gambang dan ada yang disemat serta ditabuhnya sambil dijinjing). Calung berasal dari kata “ca” baca macam waca, “lung” berasal dari kata linglung (bingung).

Dimasa lampau, waditra calung disajikan sebagai alat mandiri (tunggal). Biasa dimainkan ditempat-tempat sepi oleh orang-orang yang sedang menunggu padi, di ladang atau di sawah sambih menghalau burung. Bagi orang yang memaikannya, calung merupakan musik pelipur lara atau pelipur hati yang sedang bingung.

Alat musik bambu pada awalnya digunakan masyarakat Sunda menjadi sarana untuk mengucap syukur kepada yang kuasa. Kesenian bambu menjadi elemen yang paling penting dalam upacara adat di bidang pertanian. Calung merupakan salah satu benda yang selalu digunakan dalam upacara pertanian (Somawijaya, 1968).

Adapun jenis-jenis calung yaitu calung rantay, calung gambang, dan calung jingjing. Sebelum adanya calung jingjing seperti saat ini, didapatkan calung rantay yang salah satunya berada di Kampung Cintaasih, Desa Ciapus, Kec. Banjaran, Kab. Bandung. Pada saat itu calung rantay dimainkan dalam rangka prosesi mengangkut padi dari sawah ke tempat penyimpanan (lumbung/leuit), atau sebaliknya yaitu pada saat padi akan dikeluarkan dari lumbung padi. Selain itu, calung biasa dimainkan dalam rangka pemujaan terhadap Dewi Padi (Dewi Sri) atau Sri Pohaci. Kemudian berkembang mejadi alat untuk menghibur diri sendiri (kalangenan) pada sore hari dikala petani pulang ke rumah setelah seharian bekerja di sawah/ladang.

Adapun faktor punahnya calung rantay yaitu karena sistem pewarisan yang bersifat keturunan atau kekeluargaan. Ketika pewaris habis, tidak ada orang lain lagi yang dapat melanjutkannya. Selain itu, faktor lainnya yaitu terjadi karena ekosistem alam yang tidak mendukung dalam keberlanjutan sektor pertanian (gagal panen) dan akibat berubahnya pola hidup masyarakat yang bergeser dari sektor pertanian ke perindustrian.

Pada tahun 1960, calung rantay berubah fungsinya menjadi kesenian tontonan/hiburan. Jenis calungnya pun berubah menjadi calung jingjing yang dimainkan oleh 4 orang. Perubahan dari calung rantay menjadi calung jingjing yaitu untuk keperluan hiburan, agar lebih praktis dan mudah dibawa ke berbagai tempat. Calung jingjing (tenteng) ini mengurai calung rantay kedalam empat bagian terpisah.

Perkembangan calung jingjing di Jawa Barat terbentuk pada tahun 1960, diperkenalkan kepada masyarakat dan dijadikan seni tontonan kepada mahasiswa di Fakultas Pertanian UNPAD oleh Ekik Barkah dkk. Pada tahun 1965, pertunjukan calung ini ditambah dengan unsur lawakan seperti permainan mimik, dialog yang lucu, dan gerakan-gerakan yang menggelikan. Berdasakan bentuknya calung memiliki ragam jenis, diantaranya :

  1. Calung Rantay
    Calung rantay adalah calung yang terdiri dari bilah-bilah bambu sebanyak 10 batang, dipasang dengan cara dideretkan dengan mempergunkan ikatan-ikatan tali.

  2. Calung Gambang
    Bentuk calung gambang hampir sama dengan calung rantay, perbedaannya terletak pada cara pemasangan bilah-bilah bambu yang ditempatkan pada acak/standard seperti waditra gambang.

  3. Calung Jingjing
    Calung jingjing adalah calung yang setiap rumpunnya (rangkaian bilah bambu) ditampilkan dengan cara digantung yaitu dipegang menggunakan tangan sebelah kiri, tanpa mempergunakan ancak/standar. Calung jingjing terdiri dari 4 rumpung bentuk menurut hasil sarasehan seni calung se-Jawa Barat yang dilaksanakan tahun 1980 adalah sebagai berikut :

    • Calung Kingking
      Rumpung terkecil disebut “Kingking” yang berfungsi sebagai melodi. Calung kingking dalam satu semat terdiri dari dua belas batang.

    • Calung Panempas
      Rumpung kedua yaitu “Panempas” yang berfungsi sebagai pemberi variasi pada arkuh lagu. Calung panempas adalah calung yang bentuk dan ukurannya lebih besar dari calung kingking, dalam satu semat terdiri dari tujuh batang.

    • Calung ketiga disebut “Jongrong” berfungsi sebagai pengiring/arkuh lagu. Bentuk dan ukurannya lebih besar lagi. Calung ini memiliki dua semat, semat yang pertama terdiri dari tiga batang dan semat yang kedua terdiri dari dua batang.

    • Calung keempat yang berukuran paling besar disebut “Gonggong” berfungsi sebagai kempul dan goong. Calung ini dalam satu semat terdiri dari dua batang.

Bahan baku yang dipergunakan baik untuk calung rantay, calung gambang, dan calung jingjing terbuat dari bahan bambu. Bambu yang biasa digunakan untuk membuat calung adalah awi wulung yang berwarna hitam atau putih.

Calung rantay maupun calung gambang pada dasarnya dimainkan dengan cara yang sama, yaitu dengan menggunakan dua buah alat pemukul. Alat pemukul dipegang pada tangan sebelah kana dan sebelah kiri. Permainanya tergantung pada keterampilan pemainnya dalam membawakan melodi-melodi lagu.

Calung Jingjing ini dimainkan oleh 4 orang pemain, sesuai dengan jumlah rumpung waditranya yaitu sebanyak 4 buah. Setiap waditra calung dimainkan dengan menggunakan satu buah alat pukul. Tangan sebelah kiri memegang waditra calung dan tangan sebelah kanan memegang alat pemukul. Keempat waditra calung itu dimainkan secara bersama-sama sesuai dengan fungsi masing-masing waditra. Untuk menghasilkan garapan yang harmonis pada calung jingjing, diperlukan kerjasama yang baik diantara para pemainnya.