Apa yang anda ketahui mengenai ASEAN Preferential Trading Arrangements?

ASEAN Preferential Trading Arrangements

Apa yang anda ketahui mengenai ASEAN Preferential Trading Arrangements ?

Pada KTT ASEAN pertama di Bali, 24 Februari 1976, seluruh pemimpin ASEAN sepakat untuk lebih meningkatkan kerja sama di bidang ekonomi dalam kerangka “ASEAN Economic Cooperation ” di mana salah satu pilarnya adalah ASEAN Preferential Trading Arrangements (PTA). Perwujudan PTA yakni setahun kemudian dengan disepakati dan ditandatangani oleh lima menteri luar negeri ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) di Manila pada tanggal 25 Februari 1977.

ASEAN PTA merupakan komitmen nyata pertama yang dilakukan ASEAN dalam mendorong perdagangan intra-ASEAN. Tujuan dari adanya PTA adalah untuk mendorong kerja sama regional agar lebih dekat melalui perluasan perdagangan intra regional. Dengan adanya PTA ini, importir (intra ASEAN) akan membayar tarif yang lebih rendah terhadap suatu produk jika produk tersebut berasal dari negara anggota ASEAN yang lain dibandingkan dengan produk yang sama yang diperoleh dari negara non-ASEAN.

Dalam PTA, negara-negara ASEAN diwajibkan untuk menjalin kerja sama dengan saling menukarkan preferensi atau konsesi perdagangan yang bersifat tolong menolong di sektor komoditas dasar, khususnya di bidang pangan dan energi, penyediaan dukungan untuk produk-produk yang bersal dari proyek industri ASEAN, dan perluasan dari perdagangan intra-ASEAN dan peningkatan pemanfaatan bahan baku yang tersedia di antara negara-negara ASEAN. Untuk mewujukan rencana tersebut, maka diterapkan beberapa instrument pendukungnya antara lain yaitu kontrak jangka panjang dalam hal kuantitas, subsidi bunga bagi pembiayaan perdagangan, preferensi dalam pengadaan barang untuk pemerintah, perpanjangan tarif preferensi, penghapusan hambatan non tarif, dan tindakan lainnya.

Pada praktiknya, hanya penurunan tarif lah yang efektif di negosiasikan dan diterapkan oleh seluruh anggota ASEAN. Keraguan dan ketidakjelasan konsep menjadi faktor tidak efektifnya penerapan instrumen lain dalam PTA intra ASEAN. Kerja sama ASEAN dalam hal ini mengupayakan konsentrasi pada Margins of Preferences (MOP). Yang dimaksud dengan MOP adalah konsep selisih antara tarif umum (tarif yang berlaku bagi seluruh negara di luar blok perdagangan tertentu, atau dikenal dengan “MFN tariff ”) dengan tarif preferensi (tarif yang berlaku bagi sesama anggota blok perdagangan tertentu). MOP biasanya ditetapkan dalam bentuk prosentase diterapkan pada tingkat sebuah negara ASEAN saat ini dan 50% untuk semua produk PTA.

Tarif preferensi dinegosiasikan melalui the Tariff Preferences Negotiating Group of the Committee on Trade and Tourism (COTT), yang merupakan satu dari lima komite ekonomi untuk mengurus program kerja sama regional di ASEAN5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand). Terdapat tiga cara pendekatan dalam melaksanakan konsesi tarif yaitu pendekatan per produk atau barang ( product by product approach atau disebut juga matrix approach ), pendekatan sukarela ( voluntary offers approach ), dan pendekatan lintas produk barang berdasarkan nilai impor tertinggi ( across-the-board tariff cut on a value ceiling approach ).

Pada pendekatan matrix, penurunan tarif ditetapkan melalui negosiasi secara bilateral antar negara yang terkait. Biasanya negara-negara tersebut akan menegosiasikan besarnya penurunan tarif untuk masing-masing barang. Karena kesepakatan penurunan tarif yang dicapai secara bilateral namun berdampak secara multilateral, maka tiap negara harus lebih hati-hati dalam penurunan tarif produk tersebut. Oleh karena itu, dalam tiap perundingan, biasanya tidak lebih dari dua jenis produk yang dinegosiasikan.

Sebelum tahun 1980, sistem sukarela ( voluntary ) diadopsi menjadi pendekatan instrumen tarif di mana negara anggota ASEAN secara sukarela memberikan konsesi tarif dengan cara mengajukan 750 produk setiap kwartalnya yang akan diturunkan tarifnya. Dengan demikian, tidak ada ketergantungan kepada negara lain untuk menurukan tarif suatu produk. Sistem ini dirasakan cukup memadai ketika itu, dibuktikan dengan MOP meningkat dari sepuluh persen menjadi dua puluh lima persen setelah tahun 1981.

Setelah tahun 1980, negara-negara ASEAN5 menyetujui pada sistem across-the-board tariff cut on a value ceiling approach yakni pengurangan tarif sebesar dua puluh persen terhadap seluruh produk impor yang bernilai kurang dari US$ 50.000,- per produk pada tahun 1978. Batasan ini kemudian secara progresif meningkat menjadi US$ 10.000.000,- sampai US$ 20.000.000,- dan pada akhirnya tidak ada batasnya. Selain itu MOP juga meningkat dari dua puluh persen menjadi lima puluh persen pada tahun 1984.70 Dalam pendekatan ini, setiap negara memiliki keleluasaan dalam menetapkan daftar produk yang dikecualikan (exclusion list/ sensitive list ) dalam memperoleh konsesi tarif, baik dari segi jumlah maupun waktunya.

Perlu diketahui juga, terdapat ketentuan mengenai Rules of Origin (ROO) dalam ASEAN PTA yang tertuang pada Rules of Origin for the ASEAN Preferential Trading Arrangements yang terdapat pada lampiran PTA 1977. Jika produk yang merupakan produk yang seluruhnya diproduksi atau dihasilkan oleh negara ASEAN, maka secara otomatis produk tersebut akan dikenakan tarif preferensi. Sedangkan untuk produk yang tidak seluruhnya diproduksi atau dihasilkan oleh negara ASEAN, tarif preferensi masih diberikan sepanjang bagian dari non-ASEAN maksimal sebesar lima puluh persen (khusus untuk Indonesia, maksimal sebesar empat puluh persen) dari nilai Free On Board (FOB) produk yang dihasilkan atau diperoleh dan akhir proses manufaktur yang dilakukan di dalam wilayah Negara Anggota yang mengekspor.

image
Dari tabel di atas, maka dapat dilihat bahwa pendekatan yang paling banyak dipakai adalah Pendekatan across-the-board tariff cut on a value ceiling . Hal ini dikarenakan pendekatan ini memiliki fleksibilitas yang tinggi di mana setiap negara dapat dengan leluasa menentukan masuk atau keluarnya produk dari pengecualian ( exclusion list/ sensitive list ).

Pada perkembangnya, ASEAN PTA ini juga memiliki permasalahan yang mengakibatkan tingkat perdagangan intra ASEAN tidak meningkat secara signifikan. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan PTA tidak berjalan dengan efektif, yang terutama adalah keengganan dan ketidaksiapan negara-negara anggota ASEAN itu sendiri dalam melakukan liberalisasi perdagangan di antara mereka. Faktor lain yang menjadi kelemahan PTA yaitu ketergantungan satu negara dengan negara lainnya ketika melakukan konsesi tarif dengan menggunakan pendekatan matrix , selain itu juga memakan waktu yang lama mengingat dampak persetujuan bilateral yang mengikat secara multilateral. Pada pendekatan across-the-board tariff cut on a value ceiling , keleluasaan yang dimiliki tiap negara untuk menentukan produknya dalam exclusion list/ sensitive list mengakibatkan banyaknya produk yang masuk ke dalam daftar itu karena tidak adanya definisi yang dirumuskan secara tegas dan detail. Selain itu, pada skema PTA ini dianut kebijakan substitusi impor yang bersifat inward looking sehingga kurang mendukung upaya pengembangan perdagangan intra ASEAN pada saat itu.

Maka untuk menyempurnakan skema PTA agar meningkatkan perdagangan intra ASEAN, disepakatilah Protocol on Improvements on Extension of Tariff Preferences under the ASEAN Preferential Trading Arrangements , di Manila pada 15 Desember 1987. Protokol ini mengatur antara lain yaitu

  • Menentukan batas minimal MOP sebesar dua puluh lima persen untuk produk baru dan menaikan MOP menjadi lima puluh persen untuk produk yang sudah ada , dan
  • Mengurangi persyarataan kandungan ASEAN dari lima puluh persen menjadi tiga puluh persen , dan khusus untuk Indonesia kandungan ASEAN menjadi empat puluh dua persen.

Namun, adanya upaya ini pun belum dapat meningkatkan tingkat perdagangan di ASEAN, sehingga menyebabkan mekanisme ASEAN PTA tidak berjalan secara efektif. Hal ini dikarenakan oleh liberalisasi yang dilakukan melalui penurunan tarif tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh karena memandang liberalisasi perdagangan adalah sesuatu yang belum dibutuhkan oleh hampir seluruh negara ASEAN pada saat itu.