Apa tujuan kita ketika melakukan khalwat?

Khalwat

Khalwat, menurut Michaela Ozelsel, yang dalam bahasa turki disebut halvet, mempunyai arti menyepi, menyendiri atau mengasingkan diri.

Khalwat ibarat sebuah tungku tukang besi, di mana besi dimasukkan ke dalam tungku pembakaran agar karat dan kotoran yang ada pada besi itu hangus terbakar. Hasilnya adalah besi yang putih bersih. Sama halnya dengan hati yang telah dibakar di tungku khalwat, maka hati akan menjadi putih bersinar dan mudah mendapatkan sinar Ilahi, serta terungkap pula rahasia ilmu yang tersembunyi di alam raya ini, sebagai anugrah besar dari Allah SWT.

Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, Tujuan dari khalwat adalah untuk mengembleng diri dalam penyucian jiwa serta mengikis daki-daki dosa dengan berzikir dan bertaubat.

Menurut Hendrawan bahwa khalwat diperlukan untuk memperoleh pencerahan jiwa, kesucian, dan hikmah atau apa yang sekarang sering disebut imajinasi, iluminasi, kreativitas, dan intuisi. Sedangkan Michaela Ozelsel menjelaskan tentang tujuan dari pelatihan-pelatihan spiritual dari berbagai macam tradisi sama sekali tidak berlangsung atas dasar kepentingan pribadi dengan tujuan untuk mencapai pencerahan pribadi, tapi ia memiliki tujuan yang jelas untuk dapat mengabdi kepada masyarakat dengan lebih baik sesudah pelatihan itu.

Syaikh atau guru thariqat Michaela Ozelsel mengingatkan padanya, sebelum dia mulai melakukan khalwat, engkau jangan melakukan khalwat untuk kepentingan dirimu sendiri, Islam tidak mengenal kerahiban dan kependetaan, pengasingan diri hanya bersifat sementara, karena mengabdi kepada masyarakat, umat, lebih berguna setelah engkau keluar.

Sebagaimana penjelasan Djamaluddin Ahmad bahwa, berkhalwat memang bertujuan untuk membersihkan diri. Ketika berada dalam kesendirian dan kesunyian itulah proses pembersihan dilakukan. Di dalam kesenyapan, seorang sufi merasa berada di depan Allah dan menjauhkan dirinya dari pengaruh keduniaan, hawa nafsu dan syahwat badani. Pikirannya dikosongkan dari hal-hal yang bersifat materi, bahkan meniadakan dirinya sendiri. Ia menyatukan dirinya dalam ke Baqo’an , karena telah sirna semua yang bersifat materi dalam dirinya. Dalam kefanaan khalwatnya, tiada lagi sesuatu dalam pandangannya selain Allah. Ia bermuwajjahah (bertatap muka) sepenuhnya di dalam keheningan jiwa dan keteduhan qalbu , bercengkrama dengan Allah yang Maha Indah ( Al - Jamal ).

Lebih lanjut Djamaluddin menambahkan, ketika dalam khalwat hanya ada satu maksud yaitu tujuan tertingi dari maqam sufiyah, yakni muraqabah dan musyahadah, lalu masuk ke maqam ma’rifat sebagai tujuan yang paling tinggi. Seperti bunyi ungkapan para sufi dalam munajah mereka kepada Allah.

Ya Ilahi, hanya Engkaulah yang aku tuju, ridha-Mu yang aku cari, aku sangat mengharap kecintaan-Mu dan mengenal keagungan-Mu.

Abdurrahman al-Jauzi menceritakan dalam sebuah syair yang didengar oleh Dzun Nun al-Misri, ketika Dzun Nun al-Misri mendatangi seorang ahli ma’rifat yang mengasingkan diri disebuah bukit, ia mendengar pekik suara yang menyayat hati, yakni untaian syair:

“Wahai zat yang dengan berdzikir kepada-Mu, jinakanlah hati, hanya Engkaulah satu-satunya zat yang kuharap, malam dan zaman telah lenyap, namun cinta kasih-Mu tetap lembut segar, sejuk terasa dalam qalbu ”.

Dari berbagai pandangan tentang tujuan yang ingin dicapai dari khalwat di atas maka jelaslah bahwa tujuan khalwat dapat dirumuskan kurang lebih sebagaimana berikut:

  • Untuk melatih diri dalam penyucian jiwa atau pencerahan jiwa serta mengikis daki-daki dosa dengan berzikir dan bertaubat.

  • Untuk mencapai maqam tertingi dari maqam sufiyah, yakni muraqabah dan musyahadah, lalu masuk ke maqam ma’rifat sebagai tujuan yang paling tinggi.

  • Untuk dapat mengabdi kepada masyarakat dengan lebih baik sesudah pelatihan khalwat.

Referensi :

  • Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, Rahasia Sufi, Sirr al-Asrar fi ma Yahtaju Ilaihi al Abrar . Terj. Abdul Majid Hj. Khatib, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002)
  • Sanerya Hendrawan, Spiritual Menegement , (Bandung: Mizan Pustaka, 2009)
  • Michaela Ozelsel, Empat Puluh Hari Khalwat “Catatan Harian Seorang Psikolog Dalam Pengasingan Diri Sufistik”, terj, Nuruddin Hidayat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002)