Apa sebab buruknya birokrasi di tatanan pemerintahan di Indonesa ?

Banyak sekali masyarakan yang tidak puas dengan layanan pemerintahan. Lalu apa yang menyebabkan buruknya birokrasi di tatanan pemerintahan di Indonesa ?

Penyebab tidak efisiennya birokrasi pemerintahan Indonesia ditinjau dari aspek budaya dikarenakan kurangnya kompetensi yang dimiliki anggota instansi pemerintah. Ditambah lagi dengan peraturan dan prosedur yang seringkali tidak jelas dan berubah-ubah. Selain itu, karena ada unsur hirarki yang kuat pada organisasi yang mengambil bentuk birokrasi, maka mestinya pimpinan-pimpinannya betul-betul pimpinan yang bisa menegakkan aturan dan prosedur.
Yah, memang perkara birokrasi pemerintah ini tak habis-habis dibahas. Sebagaimana yang kerap muncul dalam media, instansi pemerintah begitu banyak disorot karena kasus-kasus inefektivitas dan inefisiensi yang terjadi di dalamnya. Hari ke hari, surat kabar tak pernah lepas memberitakan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai instansi pemerintah, mulai dari kalangan pegawai pelaksana yang sekadar mengurus administrasi Kartu Penduduk, hingga tataran pejabat yang seharusnya menegakkan amanat rakyat. Kondisi ini memunculkan pandangan bahwa kondisi birokrasi pemerintahan identik dengan segala inefisiensi dan inefektivitas. Ketika publik mendengar kata “birokrasi”, yang segera terbayang adalah kondisi instansi pemerintah yang carut marut dan sarat dengan penyimpangan yang dilakukan anggotanya. Apakah itu berarti birokrasi adalah hal yang jelek?
Konsep birokrasi dikembangkan sudah melalui kajian seksama terhadap kebutuhan suatu bentuk organisasi tertentu. Birokrasi pada dasarnya adalah suatu struktur administratif yang dikenakan pada organisasi yang besar (tidak terbatas pada instansi pemerintah saja), yang tujuannya adalah agar organisasi tersebut menjadi rasional, efisien, dan profesional.
Di dalam struktur birokrasi, tata hubungan tugas secara horisontal dan tata kewenangan vertikal diatur secara jelas. Dengan demikian sudah tidak perlu dipertanyakan lagi apa peran dan tugas seseorang dalam organisasi karena jabaran akuntabilitasnya sudah jelas. Jadi, tidak lagi setiap kali harus ada pengambilan kesepakatan apa saja yang menjadi tugas keseharian seseorang.
Tersedianya peran dan tugas yang jelas tersebut kemudian diikuti dengan tata peraturan dan standar-standar kerja yang mengatur bagaimana cara mengerjakan tugas. Adanya pedoman yang jelas ini akan mengurangi beban pengawasan seorang pimpinan terhadap bawahannya, sekaligus membantu meningkatkan integrasi organisasi karena gerak kerja anggotanya sudah ditertibkan.
Di dalam struktur birokrasi, posisi dipisahkan dari personelnya. Artinya, di dalam rumusan posisi sudah jelas apa saja syarat-syarat personel yang bisa menempatinya, dan apa tanggung jawab si personel ketika ia menduduki posisi tersebut. Apa yang diharapkan dari sebuah peran sudah jelas dan menjadi akuntabilitas siapa pun pemegang peran tersebut. Pegawai didorong untuk berusaha memenuhi apa yang diharapkan darinya. Jadi, anggota organisasi tidak boleh menggunakan posisi untuk memenuhi kepentingan pribadi. Kalau sampai itu terjadi, berarti ada peraturan yang dilanggar dan yang bersangkutan dapat dikenai sanksi.

Sejarah birokrasi di Indonesia memiliki raport buruk, khususnya semasa Orde Baru yang menjadikan birokrasi sebagai mesin politik. Imbas dari itu semua, masyarakat harus membayar biaya yang mahal. Ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian siapa yang bertanggung jawab adalah beberapa fakta empiris rusaknya layanan birokrasi. Lebih dari itu, layanan birokrasi justru menjadi salah satu causa prima terhadap maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pejabat politik yang mengisi birokrasi pemerintah sangat dominan. Kondisi ini cukup lama terbangun sehingga membentuk sikap, perilaku, dan opini bahwa pejabat politik dan pejabat birokrat tidak dapat dibedakan.

Mengutip catatan guru besar ilmu politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti, mengenai fenomena birokrasi di Indonesia, kewenangan besar dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan daripada pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat daripada sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat.

Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk hanya sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja daripada pamong praja. Bahkan, terjadi politisasi birokrasi.

Pascareformasi pun, para pejabat politik yang kini menjabat dalam birokrasi pemerintah ingin melestarikan budaya tersebut dengan mengaburkan antara pejabat karier dan nonkarier. Sikap mental seperti ini membawa birokrasi pemerintahan Indonesia kembali pada kondisi birokrasi pemerintahan pada masa Orde Baru. Bahkan, kemunculan RUU Administrasi Pemerintahan saat ini turut mendapat respons yang cukup agresif dari para pejabat politik melalui fraksi-fraksi di DPR yang berusaha mengakomodasikan kepentingan jabatan politik mereka untuk menduduki jabatan birokrasi.