Alur (Plot)
Alur merupakan rangkaian peristiwa yang sambung-sinambung yang terjalin dalam hubungan kausalitas (sebab-akibat) guna membangun jalannya cerita secara terpadu dan utuh. Peristiwa yang dialami tokoh dalam cerita dapat tersusun menurut urutan waktu terjadinya. Akan tetapi tidak semua kejadian dalam hidup tokoh ditampilkan secara berurutan, lengkap sejak kelahiran tokohnya. Peristiwa yang ditampilkan dipilih dengan memper- hatikan kepentingan dalam membangun cerita.
Alur merupakan unsur cerita yang berperan penting dalam memperlancar jalannya cerita. Alur adalah rangkaian peristiwa yang terpilih yang menggiring pembaca untuk melihat peristiwa yang terjadi berikutnya. Oleh karena itu, jalinan peristiwa harus memperlihatkan sebab akibat. Plot mengandung penyebab/ motivasi, dan akibat serta saling berhubungan antara keduanya.
Secara garis besar struktur alur sebuah novel dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap awal, tengah, dan akhir (Nurgiyantoro, 1998). Pada tahap awal lazim disebut tahap perkenalan. Tahap perkenalan biasanya berisi informasi penting mengenai hal-hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Tahap ini menyampaikan informasi yang diperlukan untuk memahami cerita selanjutnya. Fungsi tahap awal sebuah cerita adalah untuk memberikan informasi dan penjelasan seperlunya khususnya yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan.
Tahap tengah merupakan tahap pertikaian atau konflik (conflict), menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Pada tahap ini terjadi komplikasi, penggawatan (complication) dan klimaks (climax). Konflik erat kaitannya dengan unsur penggawatan yang terdapat pada kejadian awal. Tahap tengah merupakan bagian terpanjang dan terpenting dalam fiksi.
Pada tahap akhir atau tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Tahap ini menyampaikan bagaimana akhir cerita atau pecahan masalah (denouement).
Menurut Saleh Saad (dalam Rahmanto, 1988:30), alur dibagi menjadi dua bagian yakni:
- alur maju (progresi) yaitu suatu cerita yang dimulai dari awal tengah kemudian baru berakhir
- alur mundur (regresi) yaitu suatu cerita yang dimulai dari akhir menuju tahap tengah dan berakhir pada tahap awal. Alur ini juga disebut alur sorot balik atau flashback.
Pada realitasnya, terkadang terdapat alur fiksi campuran yakni alur progresi dan regresi dipakai bersama-sama dalam sebuah fiksi.
S. Tasrif (dalam Lubis, 1978:10) membagi alur menjadi lima tahap.
Tahap Penyituasian (Situation) yakni tahap pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini disebut tahap pembukaan cerita yang berisi penyampaian informasi awal.
-
Tahap Pemunculan Konflik (Generating Sircumstances) yakni peristiwa-peristiwa yang menyulut konflik mulai dimuncul- kan. Jadi tahap ini merupakan awal munculnya konflik.
-
Tahap Peningkatan Konflik (Rising Action), yakni konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kladar intesitasnya. Peristiwa- peristiwa dramatic yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan.
-
Tahap Klimaks (Climax), konflik atau pertentangan- pertentangan yang terjadi yang terjadi pada para tokoh cerita mencapai intensitas puncak. Pada tahap inilah puncak pertikaian dan ketegangan berlangsung.
-
Tahap Penyelesaian (Denouement), konflik yang telah mencapai puncak atau klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Semua konflik dan subkonflik juga diberi jalan keluar dan cerita diakhiri.
Secara lebih rinci, alur fiksi dapat pula dikaji melalui struktur naratifnya. Sebagai sebuah karya sastra, novel merupakan satu sistem yang berstruktur. Sebagai sistem yang bersruktur, novel memiliki unsur struktur naratif. Struktur naratif menurut Chamamah Soeratno merupakan perwujudan bentuk penyajian suatu atau beberapa peristiwa (1991), sedangkan naratif dapat diartikan sebagai rangkaian peristiwa yang menjadi pokok pembicaraan dalam wacana dengan berbagai relasi yang mengaitkan peristiwa (1991).
Di dalam struktur naratif terdapat dua hal yakni cerita (story atau content) dan wacana (discourse atau expression). Struktur naratif merupakan penanda (signifie) dari peristiwa, penokohan dan latar yang terdapat di dalam cerita dan petanda (signifiant) dari unsur-unsur di dalam ekspresi naratif yang terdapat di dalam wacana. Dengan demikian objek estetik naratif ialah cerita dari artikulasi wacana (Chatman, 1978). Tujuan analisis struktur naratif dengan demikian adalah untuk memperoleh susunan teks baik susunan wacana (discourse) maupun susunan cerita (story). Untuk itu analisis sekuen (sequence) perlu dilakukan guna mengungkapkan struktur naratif.
Langkah pertama untuk itu adalah dengan menentukan satuan-satuan cerita dan fungsinya. Dalam hal ini digunakan konsep sintaksis naratif Roland Barthes, yang sebenarnya diilhami oleh pemikiran Ferdinand de Saussure perihal hubungan sintagmatik dan paradigmatik dalam bidang linguistik.
Menurut Barthes, hubungan sintagmatik adalah hubungan yang berdasarkan kehadiran bersama (in praesentia). Hubungan itu didasari oleh dua atau sejumlah istilah yang bersama-sama hadir dalam suatu seri efektif. Sebaliknya, hubungan paradigmatik menyatukan istilah- istilah yang tidak hadir (in absentia) di dalam ingatan sebagai suatu rangkaian kemungkinan. Konsep ini lalu dipergunakan dalam analisis sastra, sehingga berkembanglah kemudian analisis sintagmatik dan analisis paradigmatik. Analisis sintagmatik digunakan untuk menelaah struktur, sedangkan analisis paradigmatik digunakan untuk menelaah hubungan antara unsur yang hadir dan tak hadir dalam teks, yaitu hubungan makna dan simbol (Zaimar, 1991).
Telaah struktur dengan analisis sintagmatik menyajikan kembali teks dengan menampilkan urutan sekuen. Mengenai cara memperoleh satuan-satuan cerita dan bagaimana kriterianya, Barthes (1984) mengemukakan sebagai berikut.
“From the start, meaning nust be the criterion of the unit: it is the functionalnature of certain segment of the story that makes them units - hence the name ‘functions’ immediately attributed to this first units. Since the Russians Formalists, a unit has been taken as any segment of the story which can be seen as teh term of a correlation. The essence of a function is, so to speak, the seed that it sows in the narrative, planting an element that will come to fruition later - either on the same level or elswhere, on another level.”
Jelaslah bahwa bagi Barthes, sejak awal maknalah yang harus menjadi kriterianya. Dalam hal itu yang membentuk satuan adalah ciri fungsional dari bagian-bagian tertentu dalam cerita. Karena itu, kata ‘fungsi’ diberikan pada satuan-satuan utama. Menurut Barthes, setiap bagian cerita yang muncul sebagai suatu korelasi, ditetapkan sebagai satuan. Inti setiap fungsi adalah unsur yang dapat menggerakkan cerita. Jadi jelaslah bahwa sejak awal kriterianya adalah makna.
Untuk memperoleh satuan isi cerita, analisis dapat dimulai dengan membagi teks ke dalam satuan-satuan makna yang membentuk satu sekuen atau rangkaian. Sekuen dapat dinyatakan dalam kalimat, atau dengan satuan yang lebih tinggi. Dalam sekuen terdapat beberapa unsur. Oleh karena itu satu sekuen dapat dibagi dalam beberapa sekuen yang lebih kecil, yang dapat juga dibagi lagi menjadi sekuen yang lebih kecil. Jadi, satu sekuen naratif dapat berupa serangkaian peristiwa yang menunjukkan suatu tahap dalam perkembangan tindakan (Zaimar, 1991).
Chatman (1969) menyatakan, bahwa dilihat dari macam peristiwa dalam rangka struktur terdapat tingkatan-tingkatan dalam sekuen yakni yang disebut kernel dan satelit. Kernel yakni peristiwa yang menggerakkan tindakan, dan satelit yakni peristiwa yang mengembangkan tindakan (dalam Chamamah-Soeratno, 1991). Jadi, dalam kernel dapat berupa beberapa satelit (satellite), dan begitu juga sebaliknya.
Selanjutnya perlu dikemukakan pula tentang satuan cerita. Menurut Barthes (1984), satuan cerita itu memiliki dua macam fungsi yaitu cardinal functions (or nuclei) dan catalysers, atau meminjam istilah Zaimar (1991) sebagai fungsi utama dan katalisator. Satuan-satuan yang memiliki satuan utama (kardinal) tersebut bertugas untuk mengarahkan jalan cerita, sedangkan katalitsator bertugas menghubungkan fungsi-fungsi utama. Sementara itu katalisator tetap fungsional selama masih berkaitan dengan fungsi utamanya (kardinalnya), meskipun kefungsionalannya bersifat parasitis. Antara katalisator satu dengan lainnya berhubungan secara kronologis, sedangkan fungsi utama satu dengan lainnya berhubungan secara konsekuensial atau hubungan sebab akibat (logis).
Analisis struktur naratif berusaha mengemukakan kembali teks fiksi dengan menampilkan urutan sekuen. Rangkaian semantis dalam teks dapat dibagi dalam beberapa sekuen. Setiap bagian ujaran yang membentuk suatu satuan makna membentuk satu sekuen. Satu sekuen itu berarti sangat kompleks. Untuk itu perlu diperhatikan kriteria sekuen yang dikemukakan Schmitt dan A. Viala (dalam Zaimar, 1991) sebagai berikut.
-
Sekuen haruslah terpusat pada satu titik perhatian (atau fokalisasi), yang diamati merupakan objek yang tunggal dan yang sama: peristiwa yang sama, tokoh yang sama, gagasan yang sama, bidang pemikiran yang sama.
-
Sekuen harus mengurung suatu kurun waktu dan ruang yang koheren: sesuatu terjadi pada suatu tempat atau waktu ter- tentu. Dapat juga merupakan gabungan dari beberapa tempat dan waktu yang tercakup dalam satu tahapan. Misalnya satu periode dalam kehidupan seorang tokoh atau serangkaian contoh atau pembuktian untuk mendukung satu gagasan.
Selanjutnya, untuk menelaah hubungan antara unsur yang hadir dengan tak hadir, yaitu hubungan makna dan simbol, digunakan analisis paradigmatik. Dalam hal ini dasar analisisnya adalah unsur-unsur cerita berasosiasi dalam pikiran peneliti sebagai pembaca, misalnya untuk membahas tokoh, gagasan, suasana, dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa satuan isi cerita dapat memiliki hubungan sintagmatik dan paradigmatik sekaligus dengan satuan lainnya (Zaimar, 1991:35). Untuk itu analisis struktur naratif fiksi dibagi menjadi dua bagian, yakni: urutan tekstual dan urutan kronologis.