Apa saja yang termasuk dalam unsur-unsur pembangun novel?

Di samping unsur formal bahasa, banyak unsur yang membangun sebuah novel yang kemudian secara bersama-sama membentuk totalitas. Unsur-unsur pembangun novel itu secara konvensional (Wellek & Warren, 1989), dapat dibagi menjadi dua yakni unsur intrinsik (intrinsic) dan ekstrinsik (extrinsic). Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung turut membangun karya sastra itu, yang secara faktual terdapat di dalam karya sastra. Unsur- unsur inilah yang membuat sebuah karya hadir sebagai karya sastra. Atau, dari sudut pandang pembaca, unsur-unsur cerita itulah yang akan dijumpai ketika membaca sebuah novel. Unsur intrinsik itu yakni: tema, alur, latar, tokoh, sudut pandang, dan gaya bahasa.

Adapun unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung turut mempengaruhi bangunan karya sastra itu. Unsur-unsur itu mempengaruhi totalitas bangunan cerita tetapi tidak berada di dalamnya. Karena karya sastra tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya, maka pemahaman unsur ekstrinsik sebuah novel itu penting untuk membantu pemahaman maknanya. Unsur ekstrinsik terdiri atas beberapa unsur yang merupakan keadaan subjektivitas pribadi pengarang yang berupa keyakinan, sikap, ideologi, dan pandangan hidup. Unsur ekstrinsik lainnya adalah psikologi pengarang (mencakup proses kreatifnya), lingkungan sosial budaya, politik, pendidikan, dan profesi. Latar belakang kehidupan pengarang akan turut menentukan corak karya sastra yang dihasilkannya.

Robert Stanton (1975) membagi unsur-unsur yang membangun novel menjadi tiga, yakni tema (theme), fakta (facts), dan sarana sastra (literary device). Tema adalah gagasan yang melandasi cerita, yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, seperti masalah sosial, politik, budaya religi, juga cinta kasih, maut, dan sebagainya. Fakta cerita meliputi tokoh, alur, dan latar, ketiganya merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan eksistensinya dalam sebuah cerita. Karena itu, ketiganya sering disebut sebagai struktur faktual (factual structure).Adapun sarana sastra adalah teknik yang digunakan pengarang untuk menyusun detil-detil cerita berupa peristiwa dan kejadian-kejadian menjadi pola yang bermakna. Sarana sastra dipakai untuk memungkinkan pembaca melihat dan merasakan fakta seperti yang dilihat dan dirasakan pengarang, serta menafsirkan makna seperti yang ditafsirkan pengarang. Sarana sastra dalam fiksi antara lain berupa sudut pandang penceritaan, gaya bahasa dan nada, simbolisme, dan ironi.

Menurut kaum strukturalis, unsur fiksi (teks naratif) dapat dibagi menjadi dua yakni unsur cerita (story, content) dan wacana (discourse expression). Cerita merupakan isi dari ekspresi naratif, sedangkan wacana merupakan bentuk dari isi cerita yang diekspresikan (Chatman, 1980). Cerita terdiri atas peristiwa (event) dan wujud eksistensinya (existance). Peristiwa dapat berupa tindakan (action, peristiwa yang berupa tindakan manusia, verbal dan nonverbal) dan kejadian (happening, peristiwa yang bukan merupakan hasil tindakan manusia, misalnya peristiwa alam gempa bumi dan banjir). Wujud eksistensinya terdiri atas penokohan (characters) dan unsur–unsur latar (setting items).

Adapun wacana di pihak lain, merupakan sarana untuk mengungkapkan isi. Secara singkat dapat dikatakan, unsur cerita adalah apa yang ingin dilukiskan dalam teks naratif, sedangkan wacana adalah bagaimana cara melukiskannya (Chatman, 1980). Jadi, dalam fiksi unsur cerita dan wacana tidak terpisahkan satu dengan lainnya.

Tema (Theme)


Tema adalah gagasan yang melandasi cerita, yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, seperti masalah sosial, politik, budaya religi, juga cinta kasih, maut, dan sebagainya. Sastrawan dalam karya sastranya ingin mengemukakan suatu gagasan sesuai dengan latar belakang kehidupannya, pandangan, wawasan, dan ideologinya. Tema cerita lazimnya merupakan sesuatu yang bersifat universal yang berlaku sepanjang masa yang dapat dihayati orang selama karya itu masih ada.

Secara sederhana Stanton (2007) menyebut tema yang disamakan dengan “gagasan utama” sebagai makna yang bernilai besar lebih dari kelihatannya. Menurut Sudjiman (1996) yang dimaksud dengan tema adalah gagasan yang mendasari karya sastra. Tema itu kadang-kadang didukung oleh penulis latar, dalam karya yang lain tersirat dalam lakuan tokoh, atau dalam penokohan. Tema bahkan menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa dalam suatu alur. Ada kalanya gagasan itu begitu dominan sehingga menjadi kekuatan yang mempersatukan pelbagai unsur yang sama-sama membangun karya sastra dan menjadi motif tindak tokoh.

Dengan demikian dapat disimpulkan tema adalah suatu gagasan utama atau ide sentral yang menjadi dasar atau melandasi sebuah cerita. Tema inilah yang menggerakkan cerita dari awal hingga akhir. Sebagai contoh, tema novel Keluarga Permana karya Ramadhan K.H. adalah fenomena perkawinan lintas agama yang menimbulkan masalah sosial keagamaan

Alur (Plot)

Alur merupakan rangkaian peristiwa yang sambung-sinambung yang terjalin dalam hubungan kausalitas (sebab-akibat) guna membangun jalannya cerita secara terpadu dan utuh. Peristiwa yang dialami tokoh dalam cerita dapat tersusun menurut urutan waktu terjadinya. Akan tetapi tidak semua kejadian dalam hidup tokoh ditampilkan secara berurutan, lengkap sejak kelahiran tokohnya. Peristiwa yang ditampilkan dipilih dengan memper- hatikan kepentingan dalam membangun cerita.

Alur merupakan unsur cerita yang berperan penting dalam memperlancar jalannya cerita. Alur adalah rangkaian peristiwa yang terpilih yang menggiring pembaca untuk melihat peristiwa yang terjadi berikutnya. Oleh karena itu, jalinan peristiwa harus memperlihatkan sebab akibat. Plot mengandung penyebab/ motivasi, dan akibat serta saling berhubungan antara keduanya.

Secara garis besar struktur alur sebuah novel dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap awal, tengah, dan akhir (Nurgiyantoro, 1998). Pada tahap awal lazim disebut tahap perkenalan. Tahap perkenalan biasanya berisi informasi penting mengenai hal-hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Tahap ini menyampaikan informasi yang diperlukan untuk memahami cerita selanjutnya. Fungsi tahap awal sebuah cerita adalah untuk memberikan informasi dan penjelasan seperlunya khususnya yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan.

Tahap tengah merupakan tahap pertikaian atau konflik (conflict), menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Pada tahap ini terjadi komplikasi, penggawatan (complication) dan klimaks (climax). Konflik erat kaitannya dengan unsur penggawatan yang terdapat pada kejadian awal. Tahap tengah merupakan bagian terpanjang dan terpenting dalam fiksi.

Pada tahap akhir atau tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Tahap ini menyampaikan bagaimana akhir cerita atau pecahan masalah (denouement).

Menurut Saleh Saad (dalam Rahmanto, 1988:30), alur dibagi menjadi dua bagian yakni:

  • alur maju (progresi) yaitu suatu cerita yang dimulai dari awal tengah kemudian baru berakhir
  • alur mundur (regresi) yaitu suatu cerita yang dimulai dari akhir menuju tahap tengah dan berakhir pada tahap awal. Alur ini juga disebut alur sorot balik atau flashback.

Pada realitasnya, terkadang terdapat alur fiksi campuran yakni alur progresi dan regresi dipakai bersama-sama dalam sebuah fiksi.

S. Tasrif (dalam Lubis, 1978:10) membagi alur menjadi lima tahap.
Tahap Penyituasian (Situation) yakni tahap pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini disebut tahap pembukaan cerita yang berisi penyampaian informasi awal.

  • Tahap Pemunculan Konflik (Generating Sircumstances) yakni peristiwa-peristiwa yang menyulut konflik mulai dimuncul- kan. Jadi tahap ini merupakan awal munculnya konflik.

  • Tahap Peningkatan Konflik (Rising Action), yakni konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kladar intesitasnya. Peristiwa- peristiwa dramatic yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan.

  • Tahap Klimaks (Climax), konflik atau pertentangan- pertentangan yang terjadi yang terjadi pada para tokoh cerita mencapai intensitas puncak. Pada tahap inilah puncak pertikaian dan ketegangan berlangsung.

  • Tahap Penyelesaian (Denouement), konflik yang telah mencapai puncak atau klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Semua konflik dan subkonflik juga diberi jalan keluar dan cerita diakhiri.

Secara lebih rinci, alur fiksi dapat pula dikaji melalui struktur naratifnya. Sebagai sebuah karya sastra, novel merupakan satu sistem yang berstruktur. Sebagai sistem yang bersruktur, novel memiliki unsur struktur naratif. Struktur naratif menurut Chamamah Soeratno merupakan perwujudan bentuk penyajian suatu atau beberapa peristiwa (1991), sedangkan naratif dapat diartikan sebagai rangkaian peristiwa yang menjadi pokok pembicaraan dalam wacana dengan berbagai relasi yang mengaitkan peristiwa (1991).

Di dalam struktur naratif terdapat dua hal yakni cerita (story atau content) dan wacana (discourse atau expression). Struktur naratif merupakan penanda (signifie) dari peristiwa, penokohan dan latar yang terdapat di dalam cerita dan petanda (signifiant) dari unsur-unsur di dalam ekspresi naratif yang terdapat di dalam wacana. Dengan demikian objek estetik naratif ialah cerita dari artikulasi wacana (Chatman, 1978). Tujuan analisis struktur naratif dengan demikian adalah untuk memperoleh susunan teks baik susunan wacana (discourse) maupun susunan cerita (story). Untuk itu analisis sekuen (sequence) perlu dilakukan guna mengungkapkan struktur naratif.

Langkah pertama untuk itu adalah dengan menentukan satuan-satuan cerita dan fungsinya. Dalam hal ini digunakan konsep sintaksis naratif Roland Barthes, yang sebenarnya diilhami oleh pemikiran Ferdinand de Saussure perihal hubungan sintagmatik dan paradigmatik dalam bidang linguistik.

Menurut Barthes, hubungan sintagmatik adalah hubungan yang berdasarkan kehadiran bersama (in praesentia). Hubungan itu didasari oleh dua atau sejumlah istilah yang bersama-sama hadir dalam suatu seri efektif. Sebaliknya, hubungan paradigmatik menyatukan istilah- istilah yang tidak hadir (in absentia) di dalam ingatan sebagai suatu rangkaian kemungkinan. Konsep ini lalu dipergunakan dalam analisis sastra, sehingga berkembanglah kemudian analisis sintagmatik dan analisis paradigmatik. Analisis sintagmatik digunakan untuk menelaah struktur, sedangkan analisis paradigmatik digunakan untuk menelaah hubungan antara unsur yang hadir dan tak hadir dalam teks, yaitu hubungan makna dan simbol (Zaimar, 1991).

Telaah struktur dengan analisis sintagmatik menyajikan kembali teks dengan menampilkan urutan sekuen. Mengenai cara memperoleh satuan-satuan cerita dan bagaimana kriterianya, Barthes (1984) mengemukakan sebagai berikut.

“From the start, meaning nust be the criterion of the unit: it is the functionalnature of certain segment of the story that makes them units - hence the name ‘functions’ immediately attributed to this first units. Since the Russians Formalists, a unit has been taken as any segment of the story which can be seen as teh term of a correlation. The essence of a function is, so to speak, the seed that it sows in the narrative, planting an element that will come to fruition later - either on the same level or elswhere, on another level.”

Jelaslah bahwa bagi Barthes, sejak awal maknalah yang harus menjadi kriterianya. Dalam hal itu yang membentuk satuan adalah ciri fungsional dari bagian-bagian tertentu dalam cerita. Karena itu, kata ‘fungsi’ diberikan pada satuan-satuan utama. Menurut Barthes, setiap bagian cerita yang muncul sebagai suatu korelasi, ditetapkan sebagai satuan. Inti setiap fungsi adalah unsur yang dapat menggerakkan cerita. Jadi jelaslah bahwa sejak awal kriterianya adalah makna.

Untuk memperoleh satuan isi cerita, analisis dapat dimulai dengan membagi teks ke dalam satuan-satuan makna yang membentuk satu sekuen atau rangkaian. Sekuen dapat dinyatakan dalam kalimat, atau dengan satuan yang lebih tinggi. Dalam sekuen terdapat beberapa unsur. Oleh karena itu satu sekuen dapat dibagi dalam beberapa sekuen yang lebih kecil, yang dapat juga dibagi lagi menjadi sekuen yang lebih kecil. Jadi, satu sekuen naratif dapat berupa serangkaian peristiwa yang menunjukkan suatu tahap dalam perkembangan tindakan (Zaimar, 1991).

Chatman (1969) menyatakan, bahwa dilihat dari macam peristiwa dalam rangka struktur terdapat tingkatan-tingkatan dalam sekuen yakni yang disebut kernel dan satelit. Kernel yakni peristiwa yang menggerakkan tindakan, dan satelit yakni peristiwa yang mengembangkan tindakan (dalam Chamamah-Soeratno, 1991). Jadi, dalam kernel dapat berupa beberapa satelit (satellite), dan begitu juga sebaliknya.

Selanjutnya perlu dikemukakan pula tentang satuan cerita. Menurut Barthes (1984), satuan cerita itu memiliki dua macam fungsi yaitu cardinal functions (or nuclei) dan catalysers, atau meminjam istilah Zaimar (1991) sebagai fungsi utama dan katalisator. Satuan-satuan yang memiliki satuan utama (kardinal) tersebut bertugas untuk mengarahkan jalan cerita, sedangkan katalitsator bertugas menghubungkan fungsi-fungsi utama. Sementara itu katalisator tetap fungsional selama masih berkaitan dengan fungsi utamanya (kardinalnya), meskipun kefungsionalannya bersifat parasitis. Antara katalisator satu dengan lainnya berhubungan secara kronologis, sedangkan fungsi utama satu dengan lainnya berhubungan secara konsekuensial atau hubungan sebab akibat (logis).

Analisis struktur naratif berusaha mengemukakan kembali teks fiksi dengan menampilkan urutan sekuen. Rangkaian semantis dalam teks dapat dibagi dalam beberapa sekuen. Setiap bagian ujaran yang membentuk suatu satuan makna membentuk satu sekuen. Satu sekuen itu berarti sangat kompleks. Untuk itu perlu diperhatikan kriteria sekuen yang dikemukakan Schmitt dan A. Viala (dalam Zaimar, 1991) sebagai berikut.

  1. Sekuen haruslah terpusat pada satu titik perhatian (atau fokalisasi), yang diamati merupakan objek yang tunggal dan yang sama: peristiwa yang sama, tokoh yang sama, gagasan yang sama, bidang pemikiran yang sama.

  2. Sekuen harus mengurung suatu kurun waktu dan ruang yang koheren: sesuatu terjadi pada suatu tempat atau waktu ter- tentu. Dapat juga merupakan gabungan dari beberapa tempat dan waktu yang tercakup dalam satu tahapan. Misalnya satu periode dalam kehidupan seorang tokoh atau serangkaian contoh atau pembuktian untuk mendukung satu gagasan.

Selanjutnya, untuk menelaah hubungan antara unsur yang hadir dengan tak hadir, yaitu hubungan makna dan simbol, digunakan analisis paradigmatik. Dalam hal ini dasar analisisnya adalah unsur-unsur cerita berasosiasi dalam pikiran peneliti sebagai pembaca, misalnya untuk membahas tokoh, gagasan, suasana, dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa satuan isi cerita dapat memiliki hubungan sintagmatik dan paradigmatik sekaligus dengan satuan lainnya (Zaimar, 1991:35). Untuk itu analisis struktur naratif fiksi dibagi menjadi dua bagian, yakni: urutan tekstual dan urutan kronologis.

Penokohan/Perwatakan (Characters)


Kehadiran tokoh dalam suatu cerita dapat dilihat dari berbagai cara, yang secara garis besar dapat dibagi dalam tiga cara antara lain:

  • Cara analitis, yakni pengarang secara langsung menjelaskan dan melukiskan tokoh-tokohnya
  • Cara dramatik, yakni pengarang melukiskan tokoh-tokohnya melalui gambaran tempat dan lingkungan tokoh, dialog antartokoh, perbuatan dan jalan pikiran tokoh
  • Kombinasi keduanya (Saad dalam Ali, 1986)

Rimmon-Kenan (1986) menyebut cara pertama sebagai pendefinisian langsung (direct definition), dan cara kedua disebut sebagai penghadiran tidak langsung (indirect presentation). Penghadiran tidak langsung ini dapat juga dilakukan dengan mengacu pada relasi spasial atas penampilan eksternal dan lingkungan tokoh. Setiap tokoh yang hadir dalam cerita memiliki unsur fisiologis yang berkaitan dengan fisik; unsur psikologis yang menyangkut psikis tokoh; dan unsur sosiologis yang berhubungan dengan lingkungan sosial tokoh (Oemarjati, 1971).

Analisis tokoh dapat dilakukan dari nama tokoh. Penamaan tokoh (naming) menurut Wellek dan Warren (1989) merupakan cara paling sederhana untuk menampilkan tokoh. Penamaan tokoh disesuaikan dengan kepribadiannya yang berkaitan dengan psikososial dan sikapnya yang mengacu pada perbuatan atau tingkah lakunya dalam cerita. Penamaan tokoh dapat juga berupa simbol, profesi dan pekerjaannya. Nama tokoh dapat membayangkan tentang wajah dan perangainya. Dengan demikian dalam penafsiran tokoh, nama mempunyai fungsi penting. Karena itu nama tokoh akan dibicarakan bersama-sama dalam analisis penokohan.

Tokoh dalam cerita tidak sepenuhnya bebas. Tokoh merupakan bagian atau unsur dari suatu keutuhan artistik yakni karya sastra, yang seharusnya selalu menunjang keutuhan artistik itu (Kenney, 1986). Dalam suatu cerita umumnya tokoh hadir lebih dari seorang yang disebut sebagai tokoh utama atau sentral dan tokoh bawahan atau tokoh pendamping (Sudjiman, 1991). Tokoh utama adalah tokoh yang memegang peran sentral dalam cerita, menjadi pusat sorotan di dalam kisahan, dan yang penting mempunyai intensitas keterlibatan yang tinggi dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Adapun tokoh bawahan adalah tokoh yang kedudukannya tidak sentral dalam cerita tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk mendukung tokoh utama.

Penokohan dalam cerita secara wajar dapat diterima jika dapat dipertanggungjawabkan dari sudut psikologis, fisiologis, dan sosiologis. Ketiga sudut itu masih mempunyai berbagai aspek (Lubis dalam Hutagalung, 1968). Termasuk aspek psikologis antara lain cita-cita, ambisi, kekecewaan, kecakapan, temperamen, dan sebagainya. Aspek yang masuk dalam fisiologis misalnya jenis kelamin, tampang, kondisi tubuh, warna kulit, dan lain-lain. Aspek sosiologis terdiri atas misalnya lingkungan, pangkat, status sosial, agama, kebangsaan, dan sebagainya. Dalam karya fiksi, penghadiran tokoh-tokoh cerita lazimnya dilakukan dengan cara kombinasi analitik dan dramatik atau langsung dan tidak langsung dengan menampilkan ciri-ciri fisiologis, psikologis, dan sosiologis.

Latar atau Setting


Moody (1972) mengartikan latar sebagai tempat, sejarah, sosial, kadang-kadang pengalaman politik atau latar belakang cerita itu terjadi. Menurut Parkamin dan Bari (1973) latar adalah penempatan mengenai waktu dan tempat termasuk lingkungan- nya. Yang dimaksud lingkungan meliputi antara lain kebiasaan, adat istiadat, latar alam atau keadaan sekitar. Latar merupakan lingkungan, dan lingkungan dapat dipandang berfungsi sebagai metonimia, atau metafora, ekspresi dari tokohnya. Latar juga merupakan ekspresi kehendak manusia. Dalam cerita modern, kota-kota besar merupakan latar tokoh-tokohnya (Wellek dan Warren, 1992).

Latar tidak dapat terlepas dari tokoh. Tindakan tokoh selalu berkaitan dengan latar tertentu, yang bagi Chatman (1978) terdiri atas latar internal dan latar eksternal. Latar internal antara lain berupa perasaan hati sedih, gembira dan lain-lain. Latar eksternal meliputi alam, cuaca, tempat-tempat tertentu dan sebagainya. Elemen latar itu sebagai unsur cerita mempunyai fungsi, di manafungsi utama latar adalah memberikan suasana (mood) pada cerita.

Abrams (1981) memberikan deskripsi latar dalam karya sastra menjadi tiga yakni latar tempat, waktu dan sosial. Latar tempat berkaitan dengan masalah geografis; latar waktu berhubungan dengan zaman; dan latar sosial erat berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan atau sosial budaya. Dengan demikian secara simpel dapat dikatakan, bahwa latar cerita dapat berupa latar tempat, latar waktu dan latar lingkungan. Latar lingkungan terutama sekali adalah latar sosial budaya yang melingkupi kehidupan para tokoh. Adapun latar berfungsi untuk memberikan suasana dalam cerita.

Sejalan dengan fungsi latar tersebut, aspek ruang, waktu dan sosial merupakan elemen latar cerita yang berperan dalam menghidupkan gambaran pada imajinasi pembaca. Tokoh-tokoh pada berbagai peristiwa yang dialaminya dalam cerita diimajinasikan pembaca dalam kerangka aspek ruang, waktu dan sosial. Dalam struktur cerita, ketiga aspek itu dengan demikian berkaitan erat satu dengan lainnya. Dalam melukiskan aspek ruang misalnya, langsung atau tidak langsung akan mengaitkan aspek waktu, bahkan sering juga aspek lingkungan sosial. Sebuah pelukisan latar sosial cerita, umumnya terkait pula dengan aspek ruang dan waktu peristiwanya. Aspek waktu sering berkaitan dengan peristiwa-peritiwa dalam cerita, sedangkan aspek ruang berkaitan dengan tokoh-tokoh cerita. Aspek sosial berhubungan erat dengan latar sosial budaya tokoh dan tempat tinggalnya.

Unsur ruang dapat ditangkap pembaca melalui tiga cara, yakni:

  • pemakaian kata-kata yang mewujudkan sifat atau keadaan yang disebut
  • kata-kata yang telah mempunyai pengertian tersendiri yang sudah baku
  • pemakaian perbandingan

Ketiga cara itu terbentuk dalam wacana yang kecil. Pada wacana yang lebih besar unsur ruang dapat dilihat melalui:

  • penunjukan arah suatu tempat tertentu
  • dialog yang melukiskan perilaku tokoh
  • deskripsi langsung oleh pengarang

Pada umumnya sebuah novel menyiratkan atau menyuratkan suatu tempat. Ruang oleh pengarang novel dipakai untuk memberikan gambaran lingkungan yang melingkupi tokoh. Juga ruang digunakan untuk mencerminkan dunia luar teks dengan baik. Aspek waktu pada novel pada umumnya meliputi lama berlangsungnya cerita dan penyebutan waktu dilakukan baik secara eksplisit maupun secara implisit dalam cerita. Sesuai dengan hakikat fiksi sebagai karya imajinatif dengan sarana bahasa khas sastra yang asosiatif maka aspek waktu pada umumnya tidak disebutkan secara eksplisit. Namun demikian, ada pula beberapa fiksi yang mengungkapkan aspek waktu dalam cerita secara eksplisit.

Adapun aspek sosial lebih kompleks. Permasalahan yang sering dikemukakan oleh sastrawan dalam karya fiksi pada umumnya adalah aspek sosial dalam kehidupan masyarakat. Kompleksitas dimensi sosial budaya itu yang menjadi latar cerita sangat bervariasi, bahkan sering tidak hanya satu yang menjadi atar sebuah cerita. Kadang-kadang aspek sosial tersebut bergayut pula dengan masalah sejarah, politik, ekonomi, ideologi, moral, kemanusiaan, keagamaan, bahkan gender. Dengan demikian, ketiga latar cerita yakni latar ruang, waktu, dan sosial harus dicermati secara teliti.

Sarana Sastra (Literary Device)


Gaya Bahasa

Karya sastra merupakan dunia imajinatif yang merupakan hasil kreasi pengarang setelah melakukan refleksi terhadap lingkungan sosial kehidupannya. Dunia dalam karya sastra dikreasikan dan sekaligus diekspresikan lazimnya melalui bahasa. Dengan demikian, apa pun yang dipaparkan pengarang dalam karyanya kemudian ditafsirkan oleh pembaca, berkaitan dengan bahasa (Al-Ma’ruf, 2009).

Struktur fiksi (novel dan cerpen) dengan segala sesuatu yang dikomunikasikan, menurut Fowler (1977), selalu dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa pengarang. Demi efektivitas pengungkapan, bahasa dalam sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan didayagunakan sedemikian rupa. Bahasa sastra memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan karya nonsastra. Bahasa sastra, demikian Teeuw (1983), bersifat konotatif, mengandung banyak arti tambahan, sehingga tidak hanya bersifat referensial. Sebagai wujud penggunaan bahasa yang khas, karya sastra hanya dapat dipahami dengan pengertian dan konsepsi bahasa yang tepat

Bahasa sastra memiliki beberapa ciri khas, yakni penuh ambiguitas dan homonim (kata-kata yang sama bunyinya tetapi berbeda artinya), memiliki kategori-kategori yang tidak beraturan dan tidak rasional seperti gender (jenis kata yang mengacu pada jenis kelamin dalam tata bahasa), penuh dengan asosiasi, mengacu pada ungkapan atau karya sastra yang diciptakan sebelumnya atau konotatif sifatnya (Wellek dan Warren (1989).

Bahasa sastra bukan sekedar referensial, yang mengacu pada satu hal tertentu, dia mempunyai fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan sikap pengarangnya, berusaha mempengaruhi, membujuk dan pada akhirnya dapat mengubah sikap pembaca. Yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah tanda, simbolisme kata-kata. Oleh karena itu, berbagai teknik diciptakan oleh pengarang seperti aliterasi dan pola suara, untuk menarik perhatian pembaca.

Dalam novel pola suara kurang penting dibandingkan dengan dalam puisi. Tingkat intelektualitas bahasa pun dalam karya sastra berbeda-beda. Ada puisi filosofis dan didaktis, namun ada pula novel-novel yang menyoroti masalah tertentu dengan menggunakan bahasa emotif dan simbolis. Tegasnya, bahasa sastra berkaitan lebih mendalam dengan struktur historis bahasa dan menekankan kesadaran akan tanda, serta memiliki segi ekspresif dan pragmatis yang dihindari sejauh mungkin oleh bahasa ilmiah (Wellek dan Warren, 1989).

Bahasa sastra memiliki segi ekspresifnya yang membawa nada dan sikap pengarangnya. Bahasa sastra tidak hanya menyatakan apa yang dikatakan, melainkan juga ingin mempengaruhi sikap pembaca, membujuknya dan akhirnya mengubahnya (Pradopo, 1997). Itulah sebabnya bahasa sastra berkaitan erat dengan gaya bahasa, yang berfungsi untuk mencapai nilai estetik karya sastra.

Style, ‘gaya bahasa’ dalam karya sastra merupakan sarana sastra yang turut memberikan kontribusi sangat berarti dalam memperoleh efek estetik dan penciptaan makna. Stilistika sering membawa muatan makna. Setiap diksi yang dipakai dalam karya sastra memiliki tautan emotif, moral, dan ideologis di samping maknanya yang netral (Sudjiman, 1995). Ratna (2007 menyatakan bahwa aspek-aspek keindahan sastra justru terkandung dalam pemanfaatan gaya bahasanya. Oleh karena itu, gaya bahasa berperan penting dalam menentukan nilai estetik karya sastra.

Adapun unsur-unsur style ’gaya bahasa’ yang dikaji dalam karya sastra sebagai sarana sastra meliputi:

  • Fonem (phonem), pemanfaatan bunyi-bunyi tertentu sehingga menimbulkan orkestrasi bunyi yang indah, misalnya asonansi dan aliterasi, eufoni dan kokofoni, rima dan irama (terutama pada puisi).

  • Leksikal atau diksi (diction), misalnya penggunaan kata konotatif, konkret, vulgar, kosakata bahasa daerah, kata asing. nama diri, dan kata seru khas.

  • Kalimat atau bentuk sintaksis, misalnya struktur kompleks, sederhana, inversi, panjang atau pendek kalimat.

  • Wacana (discourse), misalnya kombinasi kalimat, paragraf, termasuk alih kode dan campur kode dalam paragraf, serta bait puisi.

  • Bahasa figuratif (figurative language atau figure of speech), yakni bahasa kias meliputi majas, idiom, dan peribahasa.

  • Citraan (imagery) meliputi citraan visual, audio, perabaan, penciuman, gerak, pencecapan, dan intelektual.

Sudut Pandang (Point of View)

Sudut pandang (point of view) diartikan oleh Stanton sebagai posisi pengarang terhadap peristiwa-peristiwa di dalam cerita (Stanton, 1975). Untuk mengisahkan lakon dalam sebuah novel, pengarang dapat memposisikan diri dari sudut mana ia akan menyajikannya. Pada garis besarnya hanya ada dua yakni insider (pengarang ikut mengambil peran dalam cerita) atau outsider (pengarang berdiri sebagai orang yang berada di luar cerita).

Lebih lanjut Aminudin (1991) mengatakan sudut pandang atau biasa diistilahkan poin of view adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Sebelum menulis sastrawan lebih dahulu menentukan siapa yang menjadi subjeknya. Menentukan pusat cerita atau pusat pengisahan berarti menentukan pertalian atau relasi antara pengarang dengan ceritanya, di mana sastrawan berdiri (Aminuddin, 1990.

Stanton (1979) membagi sudut pandang ke dalam empat tipe, tipe-tipe itu adalah:

  • First-person-central
    Sudut pandang orang pertama sentral atau dikenal juga sebagai akuan-sertaan, dalam cerita itu tokoh sentralnya adalah pengarang yang secara langsung terlibat di dalam cerita. Ada dua kemungkinan mengenai si aku/saya dalam cerita ini yaitu aku sebagai pengarang itu sendiri atau si aku saya bukan pengarang, seolah-olah pembaca mendengar cerita dari pelakunya sendiri.

  • First-person-periplural
    Sudut pandang orang pertama sebagai pembantu atau disebut sebagai akuan tak sertaan, adalah sudut pandang ketika tokoh aku hanya nienjadi pembantu yang mengantarkan tokoh lain yang lebih penting.

  • Third-person-omniscient
    Sudut pandang orang ketiga mahatahu atau disebut juga diaan-maha tahu, yaitu pengarang di luar cerita, menjadi pengamat yang mahatahu.

  • Third-person-himted
    Sudut pandang orang bekerja terbatas atau disebut juga diaan terbatas, yakni pengarang mempergunakan orang ketiga sebagai pencerita yang terbatas hak ceritanya. Pengarang hanya menceritakan apa yang dialami oleh tokoh yang dijadikan tumpuan cerita.

Dalam pelaksanaannya sering dijumpai novel yang mempergunakan sudut pandang campuran, bahkan ada pula yang mempergunakan lebih dari sebuah sudut pandang. Sayuti (1988) mengatakan bahwa sudut pandang adalah visi pengarang dalam arti bahwa ia yang merupakan sudut pandang yang diambil pengarang untuk melihat peristiwa atau kejadian dalam cerita.

Structural Device Lain
Tiga structural device yang lain adalah nada, simbolisme dan ironi. Khusus untuk nada paling sering digunakan dalam puisi dan jarang digunakan dalam karya sastra fiksi seperti novel.