Apa saja yang menjadi subjek pajak dalam pajak bumi dan bangunan?

building tax

Apa saja yang menjadi subjek pajak dalam pajak bumi dan bangunan?

Subjek Pajak adalah Orang pribadi atau badan yang secara nyata :

  • mempunyai suatu hak atas bumi,
  • memperoleh manfaat atas bumi,
  • memiliki bangunan,
  • menguasai bangunan,
  • memperoleh manfaat atas suatu bangunan.

Pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas Bumi dan bangunan.

Subjek Pajak dalam PBB (Pajak Bumi dan bangunan) adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hal atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau memiliki penguasaan dan atau memperoleh manfaat atas bangunan.

Wajib pajak PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) belum tentu pemilik bumi dan atau bangunan, tetapi dapat pula orang atau badan yang memanfaatkan Bumi dan atau Bangunan tersebut (Valentina, Sri S. dan Aji Suryo, 2006 ).

Pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besar pajak (Erly Suandy, 2005). Jadi, dari pengertian-pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pajak bumi bangunan adalah pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan, besarnya pajak ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah/bangunan.

Dasar Hukum


Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang – undang No. 12 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang – undang No. 12 tahun 1994.

Asas


Asas Pajak Bumi dan Bangunan, yaitu :

  • Memberikan kemudahan dan kesederhanaan;

  • Mudah dimengerti dan adil;

  • Adanya kepastian dalam hukum;

  • Menghindari pajak berganda.

Ketentuan Umum


Ketentuan Umum Pajak Bumi dan Bangunan Pasal 1 (UU No 12 Tahun 1985) adalah :
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan peraoran pedalaman (termasuk rawa – rawa, tambak, dan perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia.

Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :

  1. jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan
  2. jalan tol;
  3. kolam renang;
  4. pagar mewah;
  5. tempat olah raga;
  6. galangan kapal, dermaga;
  7. taman mewah;
  8. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
  9. fasilitas lain yang memberikan manfaat.

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek pajak lain yang sejenis atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak Pengganti.

Yang dimaksud dengan :

  • Perbandingan harga dengan objek pajak lain yang sejenis adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis, yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.

  • Nilai perolehan baru adalah suatu pendekatan/metoda penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.

  • Nilai jual pengganti adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
    Besarnya NJOP ditentukan berdasarkan klasifikasi:

    1. Objek pajak sektor pedesaan dan perkotaan;

    2. Objek pajak sektor perkebunan;

    3. Objek pajak sektor atas hak pengusaha hutan, hak pengusaha hasil hutan, izin pemanfaatan kayu serta izin sah lainnya selain hak pengusaha hutan tanaman industri.

    4. Objek pajak sektor kehutanan atas hak pengusaha hutan tanaman industri;

    5. Objek pajak sektor pajak pertambangan minyak dan gas bumi;

    6. Objek pajak sektor pertambangan energi panas bumi;

    7. Objek pajak sektor pertambangan non migas selain pertambangan energi panas bumi dan galian C;

    8. Objek pajak pertambangan non migas galian C;

    9. Objek pajak sektor pertambangan yang dikelola berdasarkan kontrak karya atau kontrak kerjasama;

    10. Objek pajak usaha bidang perikanan laut;

    11. Objek pajak usaha bidang perikanan darat; dan

    12. Objek pajak yang bersifat khusus;

Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data objek menurut ketentuan undang – undang Pajak Bumi dan Bangunan.
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terutang berdasarkan SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Pajak) kepada Wajib Pajak.

Objek Pajak


Berdasarkan Pasal 2 (UU No 12 Tahun 1985) Objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah

  1. Yang dimaksud objek pajak adalah bumi dan atau bangunan.

  2. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokkan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang.
    Dalam menentukan klasifikasi bumi / tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :

    • Letak;
    • Peruntukkan;
    • Pemanfaatan; dan
    • Kondisi lingkungan dan lain – lain.

Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor – faktor sebagai berikut:

  • Bahan yang digunakan;
  • Rekayasa;
  • Letak; dan
  • Kondisi lingkungan dan lain – lain.
  1. Pengecualian Objek Pajak

Berdasarkan Pasal 3 (UU No 12 Tahun 1994) objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek pajak yang :

  • Digunakan semata- mata untuk melayani kepentingan umum yang tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan;
  • Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala dan atau yang sejenis dengan itu;
  • Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
  • Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan atau
  • Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
  1. Objek pajak yang digunakan oleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penetuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

  2. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk masing – masing Kabupaten/Kota dengan besar setinggi- tingginya Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu Objek Pajak yang nilainya terbesar. Objek Pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan menetapkan besarnya NJOPTKP dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat.

Subjek Pajak


Berdasarkan Pasal 4 (UU No 12 Tahun 1985), Subjek Pajak adalah :

  1. Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.

  2. Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam nomor (a) yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak.

  3. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam nomor (a) sebagai wajib pajak. Hal ini berarti memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan subjek pajak apabila suatu subjek pajak belum jelas wajib pajaknya.

  4. Subjek pajak yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam nomor © dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan Wajib Pajak terhadap objek pajak dimaksud.

  5. Bila keterangan yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam nomor (d) disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai Wajib Pajak sebagaimana dalam nomor © dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud.

  6. Bila keterangan yang diajukan ini tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan- alasannya.

  7. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dalam nomor (d) Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui.

    Apabila Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan dari Wajib Pajak, maka ketetapan sebagai Wajib Pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan Wajib Pajak.