Apa saja yang menjadi permasalahan gizi pada remaja?

Remaja merupakan masa peralihan menuju kematangan seluruh organ-organ tubuh manusia.
Apa saja yang menjadi permasalahan gizi pada remaja?

Remaja tetap membutuhkan asupan nurisi yang baik agar perkembangan dan pertumbuhannya lebih maksimal. Namun ada beberapa masalah gizi yang kerap menyerang kaum remaja.

Saat remaja terjadi perubahan fisiologis yang bisa mempengaruhi kebutuhan gizi termasuk untuk pertumbuhan yang cepat, biasanya pertumbuhan cepat lebih banyak terlihat pada remaja laki-laki. Namun remaja kadang memilih makanan yang tidak tepat sehingga mempengaruhi asupan gizi yang masuk ke tubuhnya.

Berikut ini beberapa masalah gizi yang banyak menyerang kaum remaja, seperti dikutip dari BBCHealth, yaitu:

1. Kekurangan zat besi

Kondisi ini merupakan hal yang paling umum dijumpai. Pertumbuhan yang cepat ditambah dengan gaya hidup dan pilihan makanan yang buruk bisa mengakibatkan remaja mengalami anemia akibat kekurangan zat besi, terutama pada remaja putri ketika ia sudah mengalami menstruasi.

Sumber makanan utama yang mengandung zat besi adalah daging merah, sereal, buah kering, roti dan sayuran berdaun hijau. Sumber zat besi yang berasal dari non-daging membutuhkan asupan nutrisi lain untuk meningkatkan penyerapannya seperti makanan kaya vitamin C (jeruk, blackcurrant dan sayuran berdaun hijau), sedangkan zat tanin yang terkandung dalam teh bisa mengurangi penyerapan zat besi.

2. Kekurangan kalsium

Survei menemukan sekitar 25 persen remaja memiliki asupan kalsium lebih rendah dari yang direkomendasikan sehingga berdampak terhadap kesehatan tulangnya di masa depan, salah satunya adalah osteoporosis yang membuat tulang rapuh dan mudah patah.

Tulang akan terus tumbuh dan diperkuat sampai usia 30 tahun dan masa remaja adalah waktu yang sangat penting untuk perkembangan ini. Nutrisi yang diperlukan seperti vitamin D, kalsium dan fosfor.

Sumber kaya kalsium yang sebaiknya dikonsumsi adalah susu dan produk susu, misalnya segelas susu, 150 gram yogurt dan sepotong keju ukuran kecil. Jika tidak bisa mengonsumsi produk susu, maka konsumsilah susu kedelai yang sudah difortifikasi, atau jika takut dengan kandungan lemak pilihlah susu yang rendah lemak (low fat).

3. Kekurangan gizi akibat salah diet

Berbagai studi melaporkan kaum remaja terutama perempuan banyak yang tidak puas dengan berat badannya, sehingga melakukan diet dengan cara yang salah seperti melewatkan waktu makan, menghindari daging merah, tapi mengonsumsi makanan ringan dan bergula.

Hal ini bukanlah pilihan yang tepat dan sehat karena pada usia tersebut tubuh mengalami percepatan pertumbuhan yang menuntut adanya peningkatan nutrisi. Jika diet yang dilakukan salah maka tubuh akan mendapatkan nutrisi yang penting dalam jumlah kecil atau tidak sama sekali.

Sebaiknya konsumsilah makanan secara masuk akal, olahraga teratur, mengurangi makanan bergula dan banyak lemak untuk mengurangi kelebihan kalori sambil tetap mempertahankan nutrisi yang masuk. Selain itu masa-masa remaja merupakan waktu yang banyak menyebabkan perkembangan gangguan makan.

Sumber

Masalah gizi yang terjadi pada remaja umumnya disebabkan oleh satu sumber utama yaitu pola makan yang kurang tepat. Pola makan yang kurang tepat secara garis besar dipengaruhi dua hal, antara lain faktor lingkungan dan faktor personal atau individu dari remaja itu sendiri.

Perilaku makan yang kurang tepat dapat membawa dampak negative terhadap kesehatan atau status gizi remaja. Berikut beberapa masalah gizi yang dapat dialami oleh remaja.

1. Obesitas

Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan. Untuk menentukan obesitas diperlukan kriteria yang berdasarkan pengukuran antropometri berupa pengukuran BB, TB ataupun LLA maupun pemeriksaan laboratorik seperti pemeriksaan kadar kolesterol, LDL, HDL maupun trigliserid dalam darah.

Kelompok anak dan remaja merupakan kelompok rawan terjadinya obesitas. Obesitas pada masa anak berisiko tinggi menjadi obesitas dimasa dewasa dan berpotensi mengalami penyakit metabolik dan penyakit degeneratif dikemudian hari.

Beberapa factor penyebab obesitas pada remaja dan anak-anak diantaranya factor genetic yang cukup berperan dalam kejadian obesitas pada anak. Seorang anak dengan kedua orang tua yang obesitas memiliki resiko 80% juga akan menderita obesitas. Selain factor genetic, factor lingkungan seperti gaya hidup, status social ekonomi, maupun letak geografis juga sangat berpengaruh pada kejadian obesitas pada anak dan remaja.

Prevalensi obesitas anak saat ini mengalami peningkatan di berbagai negara tidak terkecuali Indonesia. Tingginya prevalensi obesitas anak disebabkan oleh pertumbuhan urbanisasi dan perubahan gaya hidup seseorang. Menurut WHO, satu dari 10 (sepuluh) anak di dunia mengalami kegemukan.

Prevalensi yang cenderung meningkat baik pada anak maupun orang dewasa sudah merupakan peringatan bagi pemerintah dan masyarakat bahwa obesitas dan segala implikasinya memerlukan perhatian khusus.

Sejak tahun 1970 hingga sekarang, kejadian obesitas meningkat 2 (dua) kali lipat pada anak usia 2-5 tahun dan usia 12-19 tahun, bahkan meningkat tiga (3) kali lipat pada anak usia 6-11 tahun. Di Indonesia, prevalensi obesitas pada anak usia 6-15 tahun meningkat dari 5% tahun 1990 menjadi 16% tahun 2001(soegondo, 2008).

2. Kurang Energi Kronis

Kurang Energi Kronis (KEK) adalah suatu keadaan kekurangan makanan dalam waktu yang lama sehingga menyebabkan ukuran Indeks Massa Tubuhnya (IMT) di bawah normal (kurang 18,5 untuk orang dewasa) (persagi, 2009). Kurang energy kronis merupakan kondisi dimana seorang remaja mengalami kekurangan makanan yang berlangsung menahun yang mengakibatkan gangguan kesehatan dengan tanda-tanda seperti lemah dan pucat.

Pada remaja badan kurus atau disebut Kurang Energi Kronis (KEK) tidak selalu berupa akibat terlalu banyak olah raga atau aktivitas fisik. Pada umumnya KEK pada remaja terjadi akibat makan terlalu sedikit. Remaja perempuan yang menurunkan berat badan secara drastis erat hubungannya dengan faktor emosional seperti takut gemuk seperti ibunya atau dipandang lawan jenis kurang seksi.

Remaja dengan kurang energy kronis yang tidak ditanggulangi dengan baik akan memiliki kecenderungan melahirkan bayi yang BBLR jika hamil. Dan mengakibatkan ganguan metabolisme pada masa balita sang anak yang nantinya akan menimbulkan resiko KEK saat sang anak menginjak masa remaja.

Kekurangan Energi Kronis (KEK) dijumpai pada WUS usia 15-49 sebesar 24,9% pada tahun 1999 dan menurun menjadi 16,7% pada tahun 2003. Pada umumnya proporsi WUS dengan risiko KEK cukup tinggi pada usia muda (15-19 tahun), dan menurun pada kelompok umur lebih tua.

3. Anemia defisiensi besi
Anemia karena kurang zat besi adalah masalah yang paling umum dijumpai terutama pada perempuan. Zat besi diperlukan untuk membentuk sel-sel darah merah, dikonversi menjadi hemoglobin, beredar ke seluruh jaringan tubuh, berfungsi sebagai pembawa oksigen. Remaja perempuan membutuhkan lebih banyak zat besi daripada laki-laki. Anemia, terjadi pula karena peningkatan kebutuhan pada tubuh seseorang seperti pada saat menstruasi, kehamilan, melahirkan, sementara zat besi yang masuk sedikit.

Agar zat besi yang diabsorbsi lebih banyak tersedia oleh tubuh, maka diperlukan bahan makanan yang berkualitas tinggi. Seperti pada daging, hati, ikan, ayam, selain itu bahan maknan yang tinggi vitamin C membantu penyerapan zat besi.

Anemia pada anak sekolah dapat menyebabkan anak menjadi lemah, kurang nafsu makan, menururnnya sistim imun tubuh serta gangguan pada regenerasi sel. Selain itu, anemia pada remaja juga menurunkan fungsi kognitif dan berpengaruh pada psikis serta prilaku. Hai ini dapat mengakibatkan terjadinya penurunan prestasi belajar dan rendahnya kemampuan intelektualitas anak hingga dapat berdampak pada kualitas sumberdaya manusia di Negara tersebut.

Anemia defisiensi besi adalah jenis anemia yang sering dijumpai. Diperkirakan 25% dari total penduduk dunia menderita anemia jenis ini. Penyakit ini cenderung diderita oleh penduduk di Negara-negara sedang berkembang daripada Negara maju.diperkirakan 36% populasi di Negara berkembang menderita anemia jenis ini, sedangkan di Negara maju hanya diperkirakan sekitar 8% dari total penduduknya menderita anemia jenis ini. Di Indonesia prevalensi nemia pada remaja dan anak sekolah masih menunjukkan angka yang tinggi. Sekitar 37% dari total populasi di Indonesia.

Sumber